Senin, 08 Juni 2020

Karena Corona 8 (habis)

Karena Corona 8 (habis) 

Ada seorang jamaah mesjid kami, warga komplek yang rajin mengirim postingan tentang agama melalui WA kepadaku. Meski kadang-kadang kiriman yang sama sudah pernah aku terima dari grup lain. Aku agak jarang mengomentari atau membalas postingannya. Selama beberapa bulan terakhir, sebagaimana sebagian besar jamaah warga komplek, beliau inipun absen dari mesjid di komplek. 

Hari Kamis yang lalu beliau mengirim info WA tentang akan dimulainya kembali shalat berjamaah di mesjid X (di lingkungan tempat dahulu beliau pernah tinggal) dan bahwa shalat Jum'at akan diadakan kembali hari Jum'at tanggal 5 Juni. Aku tidak mengomentari info seperti ini. Dalam hati aku berkomentar, syukurlah kalau mesjid X akan kembali difungsikan.

Dua hari kemudian beliau kembali mengirim postingan foto, suasana subuh di mesjid X, di tambah catatan pasca 'libur' Covid 19. Aku tidak tahu kenapa beliau mesti jauh-jauh pergi shalat subuh ke mesjid X. Membaca catatan sesudah 'libur' Covid 19 itu, tanganku gatal ingin sedikit berkomentar. Dan aku tulis, 'Syukurlah sudah kembali dari libur. Kami di mesjid di sini tidak kebagian libur.' Entahlah kalau jawabanku ini dinilai lancang. Yang jelas, sesudah itu beliau membalas agak panjang, mengatakan bahwa beliau bersyukur karena Allah telah memberi kesempatan mengamalkan perintahNya dan sekaligus sunnah NabiNya dan sunnah khalifatur rasyidin yaitu mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri, dengan mengisolasikan diri dari penularan waba yang melanda dunia, mengikuti fatwa seluruh lembaga fatwa ulama resmi  di seluruh dunia dan sesuai faham ahlus sunnah wal jama'ah, serta berlepas diri dari paham jabariyah maupun qadariyah.....

Nah lho.... Mula-mula aku geli membacanya. Kok jauh amat, ya?

Tapi akhirnya aku merasa bahwa aku harus menjelaskan. Karena mungkin banyak juga yang lain yang menyangka bahwa aku penganut paham jabariyah / qadariyah. Itulah awal dari penulisan catatan ini dari nomor satu sampai nomor delapan ini. 

Aku bukannya tidak menerima fatwa para ulama (dalam hal ini MUI). Seperti yang sudah kutulis, salah satu aturan yang disebutkan fatwa itu adalah, kalau anda sehat dan anda berada di lingkungan yang aman, anda tetap harus pergi ke mesjid shalat berjamaah. Itu yang aku patuhi.

Apakah aku mengingkari perintah ulil amri? Tidak, aku mencernanya dengan hati-hati. Buktinya, sebelum bulan puasa walikota memerintahkan (aku memahaminya sebagai menghimbau) agar tidak beraktifitas di mesjid. Ternyata sebulan kemudian, walikota menyatakan bahwa kelurahan kami berada di jalur hijau, silahkan kalau mau melaksanakan shalat Id. 

Wallahu a'lam....

**** 

                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar