Selasa, 25 November 2014

Urusan Kampung Tangah Di Kampung

Urusan Kampung Tangah Di Kampung

Satu ketika dulu, kita biasa mengatakan, enak tinggal di kampung (maksudnya di Ranah Minang) karena apa-apa murah harganya. Berbelanja murah ini terasa bagi mereka yang datang dari Jakarta, atau orang-orang (karyawan Caltex) yang datang dari Riau. Atau katakanlah oleh orang-orang berduit.

Kebalikannya, ada pula yang mengeluh bahwa mereka merasa kena pakuak alias membayar terlalu mahal di rumah makan di kampung. Salah satu penyebabnya adalah, kebiasaan baru menghitung harga sesudah belanjaan masuk ke dalam perut.

Tersebutlah sebuah kejadian, ketika dua orang teman makan dengan cara biasa-biasa dalam arti tidak berlebih-lebihan di sebuah rumah makan di tengah kota. Katakan masing-masing makan dua potong lauk, sepotong tunjang dan sepotong dendeng paru. Yang lainnya sepotong rendang dan telor dadar. Sayur cubadak dikongsi satu piring berdua. Masing-masing minum teh es manis segelas. Itu saja. Waktu disuruh hitung pelayan rumah makan itu dengan tangkas mencoret-coret di kertas bon. Dan ketika kertas bon dibawa ke kasir dia sebutkan harga yang harus dibayar 190 ribu rupiah. Harga ini tidak bisa dikatakan murah. 

Kebanyakan orang biasanya malas untuk bertanya, bagaimana rincian sampai sebanyak itu. Walaupun seharusnya tidak perlu merasa malu untuk minta penjelasan. Setelah keluar dari rumah makan tersebut, dihitung-hitung dalam hati. Seandainya sepotong lauk dihargai 20,000 rupiah (di Restoran Padang terkenal di Jakarta saja tidak sampai semahal itu), maka empat potong lauk ditambah sepiring sayur cubadak belum akan sampai seratus ribu. Lalu dua piring nasi plus nasi tambah, terakhir dua gelas teh manis, masakan akan dihargai hampir seratus ribu pula?  

Waktu pulang kampung pekan lalu, aku menyempatkan (karena memang menyukai) mampir di kedai nasi Kapau 'uni' Lis di Pasa Ateh. Kami berempat orang, masing-masing makan dengan sepotong lauk. Tiga orang minta nasi tambah. Waktu membayar mula-mula dikatakan harganya Rp 98 ribu. Dalam hatiku, ini masih harga biasa seperti setahun yang lalu, ketika aku makan berdua saja dengan istri tidak sampai Rp 50 ribu. Tapi ternyata 'uni' kasir salah hitung. Harga Rp 98 ribu adalah untuk bertiga, padahal kami berempat. Dijelaskannya lagi bahwa sepiring nasi dan sepotong lauk harganya Rp 30 ribu. Tidak mengapa, karena harga  rinciannya jelas. 

Besoknya, kami berempat singgah makan sate mak Syukur di Padangpanjang. Yang di tengah pasar, bukan yang di pinggir jalan raya Padang - Bukit Tinggi. Ada terpampang tarif yang ditempel dekat gerobak sate. Harga satu piring sate Rp 22 ribu, setengah piring Rp 14 ribu. Untuk kami dihidangkan sepiring sate terpisah (tidak tahu berapa tusuk jumlahnya) dan masing-masing satu piring ketupat yang sudah dikuahi. Dugaanku, jumlah sate itu sekitar 40 tusuk. Sepiring sate tanpa dipisah dengan ketupat biasanya terdiri dari 8 tusuk daging. Waktu akan membayar orang kedai menanyakan berapa harga sate ke tukang sate, karena minuman dan kueh-kueh dihitung terpisah. Jawabnya, Rp 124 ribu. 

Malu pula untuk bertanya. Tapi aku menduga-duga, mungkin jumlah sate yang dihidangkan terpisah setara dengan 5 porsi alias 40 tusuk. Kalau begitupun, kata salah seorang di antara kami setelah kami pergi dari kedai itu, harusnya harganya baru 5 x Rp 22 ribu seperti yang tertulis di gerobak sate. Jadi bagaimana perhitungan sebenarnya, tidak ada di antara kami yang tahu, karena tidak bertanya. 

Memang seyogianya, pemilik rumah makan menyediakan daftar harga. Dan pembeli, kalau merasa ada yang kurang jelas, jangan malu untuk bertanya.

****                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar