Sabtu, 21 Mei 2011

Sopir-sopir Taksi

Sopir-sopir Taksi

Untuk kepraktisan dan untuk menjaga stamina agar tidak hancur disedot capek melawan kemacetan lalu-lintas kota Jakarta, maka aku berlangganan taksi. Kok mesti taksi? Kok tidak memakai sopir pribadi saja? Begitu tanya beberapa orang. Aku yakin, dari pengalaman-pengalaman kawan-kawan yang menggunakan jasa sopir, keputusanku untuk menggunakan taksi sepertinya lebih baik. Tidak ada yang perlu dipusingkan.

Aku berlangganan dengan sebuah perusahaan taksi yang mulanya kutelpon tiap malam sebelum tidur agar aku dijemput jam enam pagi. Terakhir ini tanpa ditelponpun sebuah taksi sudah datang menjemput pagi-pagi sekali. Bahkan pernah ketika aku baru kembali dari shalat subuh di mesjid, sebuah taksi sudah stand by di depan rumah. Mereka dengan sabar menunggu sampai jam enam dan argo baru hidup setelah aku duduk di dalam mobilnya. Tidak pernah ada masalah.

Kadang-kadang aku ajak sopir itu berbincang-bincang. Rata-rata menyenangi pekerjaan mereka sebagai sopir di perusahaan tersebut. Mobil yang mereka gunakan setelah ditaksikan selama lima tahun akan jadi milik mereka. Tiap hari mereka membayar setoran yang termasuk untuk tabungan biaya perawatan mobil. Meski setoran itu relatif tinggi, rata-rata di atas 280,000 rupiah perhari, ditambah pula biaya bensin yang sekitar 150,000 rupiah sehari, umumnya sopir-sopir itu mampu memenuhi kewajiban mereka dan bahkan membawa uang lebih untuk keluarga. Kelebihan yang tergantung rezeki pada hari-harinya, kata mereka. Ada yang pernah membawa uang tunai bersih 700,000 rupiah sehari tapi ada juga yang ketika sedang seret hanya membawa beberapa puluh ribu rupiah saja. 

Mereka bekerja dari jam 4 sore sampai jam 12 siang atau dari jam empat subuh sampai jam dua belas malam. Ada yang bekerja dua hari diikuti satu hari libur ada yang bekerja satu hari dan libur satu hari. Ada yang berstatus sebagai 'pemilik' mobil karena dia membayar DP mobil ada yang berstatus sebagai sopir cadangan. Sopir cadangan atau bukan kewajiban setoran mereka sama saja. Dan yang mencari sopir cadangan adalah 'pemilik' mobil dengan janji-janji di antara mereka. Tujuannya agar si sopir cadangan juga berusaha menjaga keawetan mobil dan nanti dia akan diberi bagian pada saat mobil itu jadi miliknya benar-benar lima tahun kemudian.

Seorang sopir yang baru saja melunasi setoran selama lima tahun dan sudah menjadi pemilik mobil ex taksi (yang tidak boleh lagi digunakan sebagai taksi) mengaku sudah ada persetujuan dengan seorang pembeli untuk menjual mobil tersebut 61 juta rupiah tanpa mobil itu diapa-apakan (masih bercat taksi). Waktu itu sopir yang satu ini menjadi cadangan untuk temannya. Sementara menunggu transaksi selesai, pak dan setelah itu saya akan pulang ke Jawa berternak bebek, katanya.  Lho, kenapa, tanyaku. Stress pak, menghadapi macet Jakarta tiap hari, begitu jawabnya.

Sopir yang lain sedang menikmati mobil keduanya baru dua hari ketika aku menaiki taksinya yang masih bau plastik mobil baru. Dia sangat gembira dan bersemangat. Memang perlu semangat tinggi untuk mengayuh hidup di Jakarta ini. Ada pula sopir taksi yang bertanya shalat apa aku di taksinya pada jam tujuh pagi. Pembicaraan kami lalu berubah ke urusan shalat dan agama. Dia bercerita bahwa dia seorang mualaf (sejak lima belas tahun yang lalu padahal). Dia hanya shalat kalau di rumah katanya. Katanya pula dia sempat menduda selama delapan tahun sesudah ditinggal lari oleh istrinya. Baru menikah lagi dengan seorang gadis berumur 22 tahun padahal dia sudah berumur 45 tahun. Dan istrinya yang baru ini lebih taat beragama yang berimbas pula kepadanya, katanya (meski kelihatannya hanya kalau sedang di rumah saja).

Begitulah obrolan dengan sopir-sopir taksi di sela-sela kemacetan lalu lintas. Di sela-sela waktu tidur (tambahan) beberapa menit.

*****         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar