Senin, 30 September 2013

Kisah Nyata Seorang Istri Shalihah

(Tulisan ini adalah kiriman / didapat dari saudara Rahmat Hotari Harahap di kantor)

 
Satu kisah nyata seorang istri sholihah
(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)
Description: http://firanda.com/images/pic-article/cyan-flower.jpg
Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :

Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan, berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.

Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95 persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami, terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa') tentang ayahnya yang sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan mainan yang disenanginya…

Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh -aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar aku menolak anjuran tersebut.

Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.

Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal al-Qur'an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam membisu.

Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7 tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.

Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya, dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya.
Pada suatu hari di tahun 1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur bersama ayahku...
Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun mengizinkannya.


Putriku bercerita :

Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai. Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.

Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku, "Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah) terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??"

Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam do'aku, "Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa 'Adziim (Yang Maha Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…, Yaa Mut'aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan, sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…"

Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.

Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., "Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di sini?". Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah ayahku…

Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, "Ittaqillah…(Takutlah engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!". Maka aku berkata kepadanya, "Aku ini putrimu Asmaa'". Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang, tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.

Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- : "Subhaanallahu…". Dokter yang lain dari Mesir berkata, "Maha suci Allah Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…". Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan sholat duha atau tidak..??

          Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa' akhirnya kembali lagi bagi kami sebagaimana biasanya yang aku mengenalinya, sementara usianya hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra, Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…

Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do'a…, sesungguhnya tidak ada yang menolak qodoo' kecuali do'a…barang siapa yang menjaga syari'at Allah maka Allah akan menjaganya.

Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut mengatur…

Ini adalah kisahku sebagai 'ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu keselamatan telah tertutup…

Maka ketuklah pintu langit dengan do'a, dan yakinlah dengan pengabulan Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil 'Aaalamiin (SELESAI…)

          Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
          Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
          Hiaslah do'amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
          Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya…


(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html , Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)


Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 19-11-1434 H / 25 September 2013 M
www.firanda.com
 

Sabtu, 28 September 2013

Alam Terkembang Jadi Guru

Alam Terkembang Jadi Guru

Alam takambang jadi guru, begitu sebuah mamang orang tua-tua di Minangkabau. Sebuah ungkapan, atau peringatan agar manusia berguru kepada alam. Memperhatikan kejadian-kejadian yang berlaku di sekitar kita. Karena banyak dari fenomena alam itu, baik yang asli maupun yang buatan manusia mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenali. Simaklah bagaimana petitih Minang mengatakan, 'cewang di langik tando ka paneh, gabak di hulu tando ka hujan.' Cerah di langit pertanda akan panas, awan tebal di hulu tanda hari akan hujan. Jadi, amatilah tanda-tanda yang diperlihatkan oleh alam. Bagi orang yang pandai membaca tanda-tanda alam, dia dapat berjaga-jaga dan menghindar dari petaka yang mungkin menghampir. Begitu pula sebaliknya dia dapat ikut serta dalam kebajikan yang mungkin akan segera tiba.

Membaca tanda-tanda alam bukanlah meramal sesuatu yang akan terjadi tanpa dasar, tetapi memahami kebiasaan-kebiasaan alam. Tanda-tanda tersebut kadang-kadang mudah dikenali namun adakalanya pula memerlukan keahlian khusus. Misalnya, pada suatu ketika binatang-binatang tertentu penghuni hutan gunung Merapi turun dari gunung dan masuk ke kampung-kampung. Ternyata itu merupakan isyarat bahwa gunung Merapi akan meletus. Binatang tersebut mempunyai indera yang tajam untuk mengenali perubahan suhu tanah yang dipijaknya yang menjadi tanda akan terjadinya letusan gunung.

Orang yang pandai membaca tanda-tanda alam raya itu adalah orang yang bijak. Baginya, terkilat ikan dalam air sudah diketahuinya jantan atau betina ikan tersebut. Orang-orang tua dahulu sangat akrab dengan alam. Mereka melihat dan mencatat tanda-tanda alam untuk dijadikan patokan mengerjakan sesuatu. Untuk menebang kayu di hutan, dalam kondisi pohon kayu yang paling prima untuk dijadikan bahan perumahan. Agar dia tidak mudah lapuk. Untuk menentukan mana lahan tanah yang elok untuk dijadikan sawah atau dijadikan ladang atau untuk jadi tapak perumahan. Semua dipelajari dari alam. Alam terkembang mereka jadikan guru.

Sayangnya, ilmu memperhatikan gejala alam untuk dijadikan guru ini semakin tidak diperhatikan manusia moderen. Kayu di hutan mereka babat sampai ke akar-akarnya. Tunggul dan ranting yang tidak diperlukan mereka bakar. Semua hanya dengan menggunakan seuntai ilmu sederhana, ilmu rakus. Kalau semua dapat dibabat hari ini kenapa mesti ditinggalkan untuk besok? Begitu prinsip mereka. Alam terkembang jadi sampah, itulah yang terjadi.

Orang tidak lagi memilih-milih mana tanah yang sebaiknya dijadikan perumahan, mana yang sebaiknya dijadikan ladang atau sawah. Sekarang sawah dikoversikan jadi hutan beton. Hutan tempat berlindung beribu satwa dikonversikan menjadi kebun sawit. Yang luasnya beribu hektar dan dimiliki hanya oleh beberapa gelintir manusia. Perkara satwa penghuni hutan, perkara kelestarian lingkungan yang sudah dirancang oleh Sang Maha Pencipta, bukanlah urusan mereka. Ilmu mereka hanya ilmu rakus dan serakah. Akibatnya ya itu tadi, alam terkembang jadi sampah yang akan membahayakan orang banyak. 

*****

       

Rabu, 18 September 2013

Sia-sia Hutang Tumbuh

Sia-sia Hutang Tumbuh

Terheran-heran kita melihat tingginya animo sementara orang untuk jadi pemimpin di negeri ini. Untuk jadi presiden. Entah berapa orang saat ini yang sudah mengambil ancang-ancang untuk menduduki kursi Indonesia-1. Begitu pula untuk jadi gubernur, untuk jadi bupati, jadi walikota. Bahkan untuk jadi lurah dan wali nagari. Mungkin karena sangat nyamannya hidup ketika jadi pemimpin pemerintahan.

Dalam pemilihan bupati dan walikota di beberapa daerah di Sumatera Barat beberapa pekan yang lalu ada tujuh sampai delapan pasang calon yang maju. Ada yang diusung oleh partai-partai dan ada pula yang maju sebagai perorangan. Setiap mereka berlomba-lomba memperagakan 'kelebihannya'.  Pamflet yang dicetak beribu-ribu lembar ditempel di mana-mana dan dibagi-bagikan. Begitu pula baliho-baliho serta lembaran spanduk yang dipajang di tiap sudut. Lengkap dengan foto besar sambil tersenyum sumringah. Dihiasi dengan titel dan gelar kebesaran. Sudah di bibir rasanya tepi cawan.

Tujuh pasang yang bertanding. Yang masing-masing merasa bahwa dirinya sudah sangat pantas untuk memegang tampuk kuasa di pemerintahan. Maju jadi calon petinggi negeri seperti itu pastilah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Bukanlah murah ongkos membuat pamflet. Membuat spanduk. Apalagi untuk berkampanye. Dan berkampanye itu tidak pula mungkin dikerjakan bersendirian. Harus ada tim sukses yang membantu menganjungkan. Di beberapa tempat perlu dibuat pos komando. 

Jelas sangat banyak biaya yang harus dikeluarkan. Bagi yang diusung partai, biasanya adalah dapat sumbangan biaya kampanye dari partai. Tapi tentu tidak seratus peratus. 'Awak' sendiri jelas harus berturun. Tidak kayu jenjang dikeping. Tidak emas bungkal diasah. Pokoknya usaha harus maksimal untuk menang.

Namun apa boleh buat, pemenang hanya satu pasang. Kalau ada tujuh pasang calon yang bertanding, yang enam adalah pecundang. Padahal pokok yang habis oleh masing-masing calon sudah sama-sama segerobak tolak. Sudah sama-sama berhabis-habis. Menurut kabar-kabar angin, untuk bertanding menuju jabatan bupati atau walikota, perlu dana berMM. Untuk jadi gubernur jauh lebih besar lagi. Apalagi untuk jadi orang nomor satu di republik ini. Berapa tepatnya tidaklah kita tahu. Tapi kalau melihat biaya yang dikeluarkan untuk segala urusan tetek bengek, ditambah biaya kampanye dari satu ke lain tempat dalam kabupaten, biaya transport anggota tim sukses, kita jadi faham bahwa modal yang diperlukan memang cukup besar. 

Bagi yang diusung partai, katakanlah separuh biaya kampanye ditalangi partai (karena partai nanti juga akan ikut memperoleh kebajikan (baca: untung!) seandainya calon yang mereka usung menang). Separuh dari berMM masih tetap berMM juga. Kalau itu uang pribadi?  

Kalau kita amati dengan sedikit teliti, kelihatan bahwa para calon petinggi itu sama-sama menggunakan prinsip orang berdagang. Dimodali dahulu untuk menjemput untung. Untung? Dari mana? 

Bagi yang berhasil seolah-olah terbuka jalan untuk mendapat duit. Bukan sedikit uang anggaran belanja negeri dan semua keluar melalui tangan kepala daerah. Sama tahu pulalah kita kalau uang itu dapat diatur-atur. Namun celakanya, ujung-ujungnya kalau tidak pandai-pandai, terpaksa berurusan dengan KPK. Ditangkap, diadili dan dimasukkan ke kandang situmbin. Sudah banyak contoh.

Kata orang tua-tua dahulu, sia-sia hutang tumbuh. Sangat sia-sia kalau niat untuk jadi kepala daerah sejak semula adalah untuk mencari untung. Sia-sia berhabis pokok. Tidak terpilih, sudah terbuang hangus biaya kampanye. Kalau terpilih, lalu tidak pandai 'bermain' sehingga sampai ditangkap KPK, merana pula akibatnya.

*****


Selasa, 10 September 2013

Mahalnya Biaya Demokrasi Kita

Mahalnya Biaya Demokrasi Kita

Kemarin, tanggal 10 September, Kalimantan Timur mengadakan pemilihan gubernur. Ada tiga pasang calon gubernur. Gubernur menjabat dengan pasangan baru, wakil gubernur menjabat dengan pasangannya pula, dan mantan walikota Balikpapan dengan pasangannya. Tiga pasangan yang bertarung memperebutkan suara secara demoktaris. Bukankah ini sebuah demokrasi yang hebat? Bahkan kota Tarakan pada saat yang sama juga mengadakan pemilihan walikota. Sungguh hebat. Demokrasi kita memang terlihat sangat hebat. Pemimpin-pemimpin itu dipilih langsung oleh rakyat dalam sebuah pemilihan resmi, yang hari pemilihan itu bahkan dijadikan hari libur. Sangat berbeda dengan sistim pemilihan dua puluh tahun yang lalu. Yang ketika itu sangat kentara diatur. Sangat tidak demokratis. 

Mana yang lebih bermutu pemimpin sekarang (gubernur, bupati, walikota) dengan pemimpin dua puluh tahun yang lalu? Tidaklah perlu kita pertanyakan. Kita sama tahu bahwa banyak di antara mereka yang kemudian menjadi penghuni penjara, setelah sebelumnya ditangkap oleh KPK.

Yang ingin aku sorot adalah biaya untuk menegakkan demokrasi ini. Yang ternyata lumayan mahal. Aku kaget mendengarnya. Tadi subuh, di mushala Sepinggan, aku yang datang ke mushala dengan menantuku, mendengar dan melihat penyelesaian tahap akhir dari tugas anggota KPU. Menandatangani dan menerima honor sebagai anggota KPU. Menantuku adalah seorang anggota petugas. Setiap petugas menerima honor sebesar Rp 600,000. Ada 7 orang petugas di setiap TPS. Ada 70 TPS di setiap kelurahan. Untuk sebuah kelurahan saja biayanya sudah Rp 294.000.000.- Dahsyat. Dan entah berapa banyak kelurahan di seluruh Kalimantan Timur. Pastilah bermilyar-milyar biayanya......

Belum lagi biaya yang dikeluarkan oleh setiap calon. Untuk kampanye. Untuk biaya tim sukses. Untuk biaya ini-itu. Yang besarnya juga bermilyar-milyar. Terlepas dari mana datangnya biaya-biaya kampanye tersebut.

Kita ingin bertanya. Sepadankah sesuatu yang dibiayai sangat mahal itu dengan hasil akhir untuk kesejahteraan rakyat. Rasa-rasanya tidak terlalu meyakinkan. Apalagi ditunjang fakta bahwa banyak dari pejabat yang memenangkan pemilu itu akhirnya berurusan dengan KPK. Alih-alih akan mengabdi untuk kepentingan rakyat yang memilihnya secara demokratis, banyak di antara beliau-beliau itu rupanya punya misi tersendiri. Paling tidak untuk mengembalikan modal ketika berkampanye. Paling tidak untuk balas jasa kepada partainya.

Demokrasi kita memang sangat mahal. 

*****

Senin, 09 September 2013

Ke Nunukan Lagi

Ke Nunukan Lagi.....

Pagi ini, tanggal 7 September 2013, aku berangkat lagi ke Nunukan. 'Lagi' karena kali ini adalah kunjungan ketiga kali tahun ini. Yang pertama bulan Maret yang lalu. Setelah itu bulan Mai. Star Energy berencana akan melakukan pemboran sumur eksplorasi di sana. Mungkin di paruh pertama tahun depan. Perjalanan ini dalam rangka mempelajari lebih detil, mudah2an yang terakhir, di lokasi mana tepatnya pemboran itu dilakukan.

Untuk ke Nunukan, kita harus melalui Balikpapan, kemudian ke Tarakan lalu terus ke Nunukan. Sampai ke Tarakan ukuran pesawat masih yang cukup besar, seperti Boeing 737-900. Untuk terus ke Nunukan harus menggunakan pesawat yang lebih kecil. Dua kali kunjungan sebelum ini kami menumpang pesawat Cessna dari Susi Air. Kemarin naik jenis pesawat lebih besar, dengan dua propeler, dari Kalstar.

Berangkat jam 9 pagi dari Bandara Soeta, kami sampai di Balikpapan jam 12 siang. Dalam perjalanan kali ini istriku ikut sampai ke Balikpapan, mengunjungi keluarga puteri kami nomor dua. Mengunjungi cucu kami Izan. Aku juga akan singgah di Balikpapan sekembali dari Nunukan, hari Selasa nanti insya Allah.

Pesawat ke Tarakan berangkat jam 2 siang. Aku punya waktu untuk mampir makan siang bersama anak, menantu dan cucu, sebelum meneruskan perjalanan tiga tahap ini. Dan waktunya benar-benar untuk a quick lunch only. Sesudah makan dan shalat, aku diantarkan kembali ke bandara. Ternyata pesawat ke Tarakan terlambat, lebih kurang setengah jam. Tidak terlalu lama. Kami empat orang dalam rombongan ini. Hanya saja, ketika kami mendarat di Tarakan,  pesawat Kalstar yang akan membawa ke Nunukan sudah siap untuk berangkat. Kedua  mesin sudah berputar. Kami terbirit-birit menghubungi petugas Kalstar agar bisa ikut dengan pesawat tersebut. Jawabannya, OK tapi harus segera naik ke pesawat. Masalahnya, bagasi kami belum keluar. Kami diberi dua pilihan, berangkat tanpa bagasi atau tinggal. 

Terpaksalah kami berangkat tanpa bagasi. Bagasi akan mereka kirim besok pagi. Apa boleh buat. Sampai di Nunukan kami terpaksa shopping dulu, membeli pakaian dalam dan baju kaus untuk tidur.  Yang lebih parah, kami ada acara makan malam dengan bupati Nunukan malam itu. Terpaksa dengan pakaian yang dipakai sejak pagi. Alhamdulillah, acara makan malam itu berjalan cukup santai...

*****

Jumat, 06 September 2013

Penyakit Apa Pula Ini?

Penyakit Apa Pula Ini?

Yang namanya penyakit.... Datangnya tanpa diduga-duga. Apa lagi di saat usia sudah semakin bertambah juga. Pertengahan bulan puasa yang lalu aku mengalami sakit yang agak aneh, yang belum pernah aku alami sebelumnya. Tulang kaki kiri, terasa ngilu dan kadang-kadang berdenyut sakit. Sakitnya lebih terasa ketika berdiri terlebih-lebih di saat rukuk dalam shalat. Jadi kalau rukuk, kaki kiri itu harus agak ditekuk, untuk mengurangi rasa sakit.

Aku berkonsultasi dengan tiga orang dokter kenalan melalui telepon, tapi tidak datang ke tempat praktek dokter. Entah kenapa, aku memang agak malas datang ke praktek dokter. Dua dari dokter yang aku minta pendapatnya itu menganjurkan agar aku memeriksa darah. Dan aku diberitahu obat yang harus diminum. Angsuran atau perubahan penyakit itu sangat lama. Rasa nyerinya berkurang tapi sakitnya menular ke kaki kanan. Dokter ketiga mengira bahwa aku menderita sebangsa flu tulang. Dia menganjurkan agar aku banyak beristirahat saja. Penyakit seperti itu perlu kesabaran karena biasanya bertahan agak lama. Teori yang terakhir ini rasanya paling mungkin. AC di kendaraanku sangat terasa bertiup ke arah kaki dan aku biarkan saja. Boleh jadi itulah penyebabnya.

Meski agak terpincang-pincang aku masih bisa tetap beraktifitas seperti biasa. Ternyata memang lama penderitaannya. Sampai minggu pertama hari raya, masih ada rasa nyeri meski sudah jauh berkurang. Aku sudah bisa rukuk dengan posisi kaki normal dalam shalat.

Belum hilang tuntas penyakit nyeri kaki itu, datang lagi penderitaan baru. Masih di kaki juga. Aku merasa kesemutan luar biasa di kedua kaki, mulai dari telapak kaki sampai ke paha kalau bangkit dari duduk. Baik ketika bangkit dari duduk di tikar ataupun duduk di kursi. Anehnya, kalau berdiri malahan hilang kesemutannya. Sepertinya aliran darah di tubuhku tidak lancar setiap kali bangkit dari duduk. Sempat juga bertanya ke engku Google tentang urusan kesemutan ini. Keterangan dan jawabannya ada yang agak mengerikan. 

Aku tetap saja masih malas untuk mengunjungi dokter. Mungkin besok-besok harus dipaksakan untuk periksa darah. Hanya repotnya, besok akan pergi bertugas pula ke luar daerah. Sementara ini dicoba dulu saja minum obat yang disarankan dokter. 

Entah penyakit apa pula ini......

*****

Kamis, 05 September 2013

Aksen Minang

Aksen Minang                

Dalam sebuah perjalanan kerja lapangan ke Nunukan, dalam rombongan ikut seorang anak muda yang baru aku kenal ketika itu. Pada saat  berbincang-bincang santai tiba-tiba dia bertanya sambil setengah menebak. Pertanyaannya apakah aku orang Minang. Aku jawab seadanya sambil balik bertanya bagaimana dia tahu. Dan dia mengatakan dari aksen Minang yang aku gunakan. Tentu saja.... Dia bertanya lagi sejak umur berapa aku meninggalkan Ranah Minang. Aku jawab lagi sejujurnya, sejak berumur 15 tahun di tahun 1966. Dia agak tercengang-cengang mendengarnya. 

Sudah hampir 50 tahun sejak aku meninggalkan kampung. Apakah selama itu aku terlalu banyak bergaul dengan orang Minang, tanyanya. Iya, dengan istriku, jawabku bercanda.

Memang begitulah adanya. Akupun menyadari, bahwa makin ke belakangan ini aku menggunakan aksen Minang yang lebih kental. Aksen atau intonasi berbicara ketika aku menggunakan bahasa Indonesia. Aku sendiri agak geli ketika mendengarnya dari rekaman yang dibuat kawan-kawan pada acara-acara khusus, baik di kantor ataupun di mesjid. Dengan cengkok seolah-olah aku sedang berbicara dalam bahasa Minang.

Di rumah kami menggunakan dua bahasa. Dengan istriku, kami berbahasa awak, sementara dengan anak-anak berbahasa Indonesia dengan aksen Minang itu. Dan ternyata, ini terbawa kemana-mana.

Bagaimana ketika aku berbicara dalam bahasa lain? Bahasa Sunda (aku bisa berbahasa Sunda sedikit-sedikit, kadang-kadang masih menggunakannya dengan teman sama kuliah dulu), Inggeris  atau Perancis? Aku tidak tahu dan tidak sadar. Karena belum pernah mendengar rekamannya pula. Atau, boleh jadi ada pula irama keMinang-minangannya?

Kan tidak ada salahnya. Bagus-bagus saja kalau orang tahu bahwa aku urang awak....

****