Minggu, 29 Desember 2013

Penciptaan Manusia

Penciptaan Manusia 

Pagi ini kami mengaji 3 ayat dari surah At Tiin (surah ke 95) yakni ayat-ayat 4, 5 dan 6.

Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim... Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik ciptaan (ayat 4). Allah subhanahu wa ta'ala yang memfirmankan demikian. Bahwa manusia ini adalah yang sebaik-baik ciptaan Allah. Allah jadikan bentuk tubuhnya serasi dan seimbang. Dan yang lebih utama Allah bekali manusia dengan akal, iman dan nafsu. Manusia akan tetap berada pada posisi yang terbaik selama dia mengendalikan dirinya untuk menjadi makhluk yang beriman kepada Allah, serta patuh dan tunduk kepada aturan dan perintah Allah. 

Kalau dia gagal dalam mengendalikan dirinya dari menempuh jalan yang sudah digariskan Allah maka derajadnya akan jatuh pada penilaian Allah. Bahkan bisa jatuh ke posisi paling rendah, sebagaimana firman Allah pada ayat berikutnya. Tsumma radadnaahu asfala saafiliin.... Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang paling rendah (ayat 5). Manusia-manusia yang sangat baik penciptaannya itu, kemudian kembali menjadi sangat buruk, menjadi hina, menempati posisi paling hina di sisi Allah karena salah urus atas dirinya. Ketika dia tidak beriman kepada Allah. Ketika dia melanggar aturan-aturan Allah. Tidak dilaksanakannya kewajiban yang ditetapkan Allah dan dilanggarnya apa-apa yang dilarang-Nya. 

Untuk memelihara nilai agar menjadi makhluk terbaik di hadapan Allah, maka manusia itu diperintah untuk beriman kepada Allah. Berbuat kebajikan atau beramal shalih karena Allah. Mentauhidkan Allah dan beribadah semata-mata hanya kepada-Nya. Ajaran memelihara iman seperti ini yang disampaikan para Nabi sejak dari anak-anak Nabi Adam alaihissalam sampai kepada kita ummat nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Hanya orang-orang yang beriman dan beramal shalih yang dikecualikan dari kemungkinan menjadi hina dan jatuh derajadnya. Sebagaimana firman Allah pada ayat berikutnya; Illalladziina aamanu wa 'amilushshaalihaati falahum ajrun ghairu mamnuun. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya.

Manusia akan tetap menjadi makhluk Allah yang paling baik selama dia beriman kepada Allah dengan sebenar-benar keimanan. Dan berbuat baik sesuai dengan yang ditetapkan dan diajarkan Allah melalui tuntunan utusan-utusan-Nya. Dalam keimanannya kepada Allah itu dia juga mengimani ketetapan Allah tentang hari akhirat di mana dia akan dihadapkan kepada pengadilan Allah. Dalam imannya kepada Allah dia mengimani keberadaan malaikat-malaikat Allah. Mengimani firman-firman Allah yang diturunkan untuk menjadi petunjuk dan pedoman kehidupannya. Dan mengimani para Nabi yang diutus Allah membawa petunjuk-Nya. Serta dia beriman dengan segala ketetapan dan keputusan Allah yang telah berlaku.

Allah membekali umat manusia dengan akal dan juga nafsu. Manusia harus mengendalikan kedua-duanya dengan keimanan. Keimanan harus menjadi imam diantara akal dan nafsu tersebut. Akal mempunyai keterbatasan. Tidak semua hal dapat terpecahkan oleh akal. Akan berbahaya jika manusia hanya dikendalikan oleh akal tanpa keimanan. Nafsu mempunyai kecenderungan untuk tidak pernah puas, selalu ingin mendapat lebih dan lebih. Manusia bisa celaka kalau tidak mampu mengendalikan nafsu. 

Iman adalah sesuatu yang dinamis. Kadangkala dia kuat, kadang-kadang lemah. Maka iman harus dipelihara agar dia tetap prima. Manusia memerlukan rujukan untuk memelihara iman. Untuk kita umat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam rujukan untuk memelihara iman itu adalah al Quran. Kita wajib mematuhi ketetapan-ketetapan Allah yang ada di dalamnya. Akan merugi orang-orang yang mengingkari ketetapan-ketetapan Allah yang dijelaskan-Nya dalam al Quran. 

Wallahu a'lam.

*****                                          

Kamis, 26 Desember 2013

Kisah Para Pengkhabar Injil (Posted by KabarNet)

Kisah Para Pengkhabar Injil

(Oleh Kafil Yamin)


Posted by KabarNet pada 24/12/2013

TAK ada yang perlu dicari Skip Estes muda dalam hidup, kecuali melangkah nyaman di jalan yang sudah terbentang mulus. Ia sudah punya apa yang diinginkan kebanyakan orang Amerika: kekayaan, usaha, keluarga bahagia, dan tampang yang boleh juga. Tambahan, ia punya kegiatan yang mulia: mengajak orang-orang kepada agama Kristen – kepada jalan Yesus Kristus.


Ya, disamping pebisnis alat-alat musik dan pemilik studio musik, stasiun radio dan TV lokal, ia juga seorang preacher – di Indonesia lazim disebut pastor, yakni penyeru agama dalam Kristen Protestan.

Dengan semua anugerah itu, ia selalu tampak bergairah, gembira dan bersemangat. Juga ketika ayahandanya, seorang ordain minister [pendeta senior], mengatakan padanya: “Kita akan berbisnis dengan seseorang dari Kairo, Mesir.”

“Baik ayah,” jawab Skip.

“Dan dia ‘Moslem’,” kata ayahnya lagi.

“Hah? Aku tidak mau ayah! ‘Moslem’? Mereka kan teroris, tukang meculik orang, membajak. Mereka tak percaya Tuhan. Mereka itu mencium tanah lima kali sehari dan menyembah kotak hitam di gurun pasir,” cerocos Skip.

“Ah, kamu harus ketemu dia. Ini bisnis,” desak ayahnya.

Merasa tak kuasa melawan, ia masih mengajukan syarat: “Baik. Aku mau ketemu dia. Tapi akan kukristenkan dia!”

“Kamu lakukan apa yang menurutmu bagus ,” pungkas ayahnya.

****

Hari pertemuan pun tiba. Skip sengaja menemui ‘tamu Kairo’ itu sepulang dari gereja pada hari minggu, dengan pakaian kebaktian lengkap dan injil di tangan, ditemani istri.

Ketika melihat sang tamu, ia kaget bercampur heran. “Kok ‘Moslem’ begini?” pikirnya. Sebelumnya ia membayangkan akan bertemu pria bercambang-jenggot, baju panjang dan bersorban. Tapi yang dilihatnya jauh dari bayangan itu: Muhammad Abdurrahman, nama tamu itu, berpakaian biasa: kemeja dan celana panjang, wajah kelimis, tak ada bulu-bulu di wajahnya. Bahkan di kepala pun tak ada! Dia botak.

Setelah sedikit obrolan perkenalan, masuk ke obrolan bisnis. Lancar. Tapi Skip ingin lebih dari itu. Ia punya agenda lain: mengkristenkan si tamu.

“Apakah anda percaya Tuhan?” Skip langsung nembak.

“Ya,” jawab Muhammad.

“Maksud saya Tuhannya Ibrahim. Anda percaya nabi Ibrahim?” desak Skip.

“Ya.”

“Anda percaya nabi Daud, Musa?”

“Ya.”

Sialan, pikir Skip. Kok dia percaya Tuhan orang Kristen? Nabi-nabi orang Kristen? Apa dia sedang basa-basi? Tidak jujur?

“Apakah anda juga percaya Yesus? Dan kelahiran ajaibnya? Mukjizatnya menyembuhkan orang lumpuh dan bahkan menghidupkan orang mati?”

“Ya,” jawab Muhammad.

“Anda juga percaya injil?”

“Ya.”

Skip bingung, tapi juga senang. Kalau begitu tak akan sulit mengkristenkan dia, pikirnya. Segera ia pun mengabarkan injil padanya. Ayat demi ayat. Bab demi bab. Dan sang tamu mengangguk-ngangguk penuh pengertian.

Tentu mengubah agama orang tak bisa singkat; tak boleh terburu-buru. Ia lantas mengajak sang tamu tinggal di rumahnya. Muhammad menolak, tapi Skip mendesak, memohon. Muhammad pun setuju.

Di luar urusan bisnis, di obrolan beranda, dalam perjalanan, Skip selalu mendakwahkan Kristen kepada Muhammad yang lebih banyak diam.  Hanya sesekali ia menimpali. Sampai satu titik, Skip mengajak Muhammad kepada Kristen. Kali ini Muhammad menjawab:

“Saya bersedia masuk agama anda,” katanya. “Asal anda bisa membuktikan agama anda lebih benar dari agama saya,” tambahnya.

Skip berkerut kening: “Bung, agama bukan soal bukti. Agama soal keyakinan.”

“Di agama kami ada dua-duanya. Kami punya keyakinan, kami pun punya bukti-bukti,” jawab Muhammad.

Skip terdiam. Bagaimana membuktikan injil benar? pikirnya.

***

Skip tak menyerah. Ia mengundang temannya, pendeta Katolik Peter Jacobs, ayahnya sendiri Edward Estes, dan istrinya,  untuk ikut mengabarkan kebenaran  injil kepada si tamu Mesir. Maka, saban senja, ‘pengajian’ pun digelar di rumah keluarga Estes dengan hanya satu jama’ah, yakni sang tamu, dan tiga ‘pendakwah’, yakni Skip sendiri, ayah Skip, dan si pendeta Katolik Peter Jacobs – plus istri Skip yang hadir lebih sebagai ‘saksi’.

Makin masuk ke  ‘pengajian’, masalah mulai timbul. Pengkhabaran yang disampaikan masing-masing pengkhabar kepada si Muslim berbeda-beda dalam banyak hal. Sebabnya, mereka mendasarkan pada versi injilnya masing-masing. Ayahanda Skip menggunakan versi King James, Skip menggunakan versi American Standard, pendeta Katolik Peter Jacobs membawa versi lebih kuno, dan istri Skip menggunakan versi Jimmy Swaggart, yang lebih ditujukan kepada masyarakat modern Amerika.

Ketika Skip mebacakan satu ayat injil, ayahandanya menyergah: “Tidak begitu bunyinya menurut injil ini,” sambil membacakan ayat injil yang dia bawa.

Peter Jacobs pun mengoreksi: “Bukan begitu menurut injil yang sebenarnya. Ini saya bawa,” sambil membacakan ayat injil versinya.

Ini terjadi pada banyak topik. Jadinya, tanpa disadari, perbincangan dan pedebatan lebih banyak terjadi antara para pengkhabar itu, tentang ayat mana yang sah dan injil versi mana yang bisa dijadikan sandaran – sang jama’ah tunggal lebih sebagai penonton.

Di tengah kebingungan, Skip bertanya kepada si tamu Mesir: “Kalau kitab anda ada berapa versi?”

“Kitab kami tak ada versinya, karena hanya satu,” jawab Muhammad.

Semua pengkhabar terlihat agak terhenyak.

“Teksnya, susunan ayatnya, bahasanya, kalimatnya, titik-komanya, satu – dalam bahasa Arab,” tambah Muhammad. “Kemana pun tuan-tuan pergi: Arab, Mesir, Turki, Pakistan, Indonesia – kemana saja – carilah al-Qur’an dan liat. Semua sama. Memang ada terjemahan ke berbagai bahasa, tapi kami tidak menyebut terjemahan sebagai al-Qur’an,” kata Muhammad pula.

Setiap kali ‘pengajian’ usai, kebingungan lebih menyerang para pengkhabar injil, terutama tentang keabsahan kitab mereka masing-masing.

***

Skip makin penasaran kepada dua hal: Islam dan al-Qur’annya; serta asal-usul injil yang didakwahkannya terus menerus. Kini, tanpa sadar, ia lebih banyak menyelidiki asal-usul injil sembari bertanya tentang al-Qur’an pada tamu Mesirnya, daripada mendakwahkan injil kepadanya.

Sampai suatu tahap, ia tersadar bahwa untuk hal-hal yang kurang dimengertinya dalam injil, ia mendapatkan penjelasan lebih lengkap dan jelas dari al-Qur’an. Misalnya, sementara ummat Kristen berkeyakinan bahwa Yesus itu anak Allah, dalam injil tak ada satu ayat pun yang menjelaskan itu. Bahkan yang ada adalah perintah menyembah Tuhan yang satu.

Perjanjian Baru:

Markus 12:29: Tuhan adalah satu, dan engkau harus menyembahnya sepenuh jiwa.

Perjanjian Lama:

Hozaiya, chapter 16:4: Engkau tak punya tuhan selain Aku. Dan selain aku tidak ada penyelamat.

Jesus saith unto Him, I am the Way the Truth and the life, no man cometh unto the Father but by Me. (Jhon 14:6).

Dia tak kunjung mengerti darimana asal muasalnya ketuhanan Yesus dan konsep Trinitas. Dalam al-Qur’an, keterangan tentang Yesus [Nabi Isa] sangat jelas. Ia adalah utusan Tuhan yang lahir secara mukjizat, dan menyeru untuk beriman dan menyembah kepada Allah yang esa. Bahkan nama bible [injil] pun tak ada dalam injil. Ia berasal dari bahasa Yunani biblios, yang artinya buku. Tapi al-Qur’an dengan jelas menyebutkan ummat yang menerima wahyu sebelum mereka, yakni Nasrani dan Yahudi, sebagai ahlul kitab.

Dan yang paling memusingkannya adalah konsep Trinitas. Satu yang tiga; tiga yang satu. Sudah pake logika apa pun tetap sulit. Bolak-balik ia berkonsultasi kepada Peter Jacobs minta saran bagaimana mendakwahkan Trinitas kepada si Muslim Mesir.

Pertama, si pendeta menyarankan pakai perumpamaan apel. Satu buah apel. Tapi dia terdiri dari tiga: kulit, isi dan biji. Tapi sambil di jalan pikirannya sendiri menyanggah: tapi biji apel kan tidak satu? Lagian biji apel, daging apel, dan kulit apel kan bukan apel? Jika Tuhan terdiri dari roh kudus, Bapak dan anak, berarti ketiga-tiganya bukan Tuhan. Ia pun urung menyampaikan perumpamaan Tuhan dan apel ini kepada Muhammad.

Lalu balik lagi ke si pendeta. Minta saran lain. Kali ini perumpamaannya adalah sebuah telur. Satu telur. Pada telur ada kulit, putih dan kuning.

Ah, itu kan tidak beda dengan perumpamaan apel tadi. Ga akan kena juga kepada Muhammad. Balik lagi. Lantas menerima perumpamaan satu keluarga: ada bapak, ibu, anak. Tapi satu keluarga. Tak kena juga. Logikanya sama: Bapak kan bukan satu keluarga. Demikian pula ibu, anak. Tak berani pula ia pake perumpamaan itu. Skip tambah bingung.

Karena bingung, alih-alih mendakwahkan Trinitas kepada Muhammad, ia malah bertanya kepadanya:

“Kalau Tuhan anda gimana sih? Ada berapa?”

Muhammad menjawab dengan mengutip ayat al-Qur’an, surah al-ikhlas:

“Katakanlah: Allah itu satu. Allah yang maha mulia. Dia tidak beranak dan bukan anak siapa pun. Dan tidak ada satu pun yang menyerupainya.”

Skip tertegun. Begitu sederhana. Begitu tegas. Begitu jelas. Begitu terang: satu ya satu. Tidak menyerupai segala ciptannya, apa pun itu.

Lagi pula, bukankah  itu yang sebetulnya yang dikhabarkan injil? Tuhan itu satu. Tidak terkena sifat nisbi makhluk: punya anak dan orangtua. Tapi bagaimana ceritanya bisa jadi tiga?

Makin hari, Skip makin tertarik kepada ketegasan dan kejelasan al-Qur’an. Kini posisinya sudah terbalik. Skip bukan mendakwahkan Kristen kepada Muhammad, tapi belajar al-Qur’an dan al-Islam kepadanya.

Dan yang pindah perhatian ini bukan hanya dirinya, tapi juga si pendeta Katolik. Makin sering sang pendeta menemui Muhammad dan pergi bareng.  Muhammad sering pergi ke Mesjid yang ada di kota itu untuk shalat berjama’ah atau I’tikaf, kebetulan saat itu bulan Ramadhan.  Peter sering ikut. Tentu saja ini membuat Skip penasaran. Suatu saat, ia bertanya kepada si pendeta:

“Sembahyang mereka bagaimana?” tanya Skip.

“Biasa saja. Mereka bediri khidmat. Membungkuk, menempelkan dahi ke lantai seperti pendeta Katolik, duduk, lalu menengok  ke kiri dan kekanan. Setelah itu mereka duduk bersila, membaca doa-doa dalam bahasa Arab. Suasananya sangat damai dan tentram,” jawab si Pendeta.

***

Suatu senja, setelah berbincang bertiga, Peter Jacobs dan Muhammad pamit untuk pergi beberapa jam. Setelah larut, mereka belum kembali. Skip mulai khawatir.

Akhirnya Muhammad muncul juga. Di temani seseorang berpeci putih dan bergamis. Dahi Skip mengernyit, menyidik siapa orang itu, ternyata si pendeta.

Skip kaget bukan alang kepalang: “Peter! Kau jadi Muslim?” Skip setengah berteriak.

Peter menjawab: “Asyhadu al-laa ilaahi illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasuulullah

Skip terduduk. Tak tau persis apa yang dirasakan. Ia ingin bertanya banyak kepada Peter, tapi dia sudah tertidur di tempat duduknya.

Dalam perasaan dan pikiran tak menentu, Skip berjalan mondar-mandir,  masuk ke kamar dan bergumam kepada istrinya: “Ini gimana ceritanya, kok pendeta Katolik masuk Islam..”

Dan komentar sang istri sangat menghentakkan jantungnya: “Pa, aku ingin cerai. Setelah semua pembicaraan ini, injil, qur’an, Islam, aku pikir kita harus berpisah.”

Skip terkejut bukan alang kepalang: “Hey?! Ada apa ini? Aku hanya cerita kok pendeta masuk Islam. Bukan aku yang masuk Islam. Tak mungkin itu! Tidak ada masalah dengan kita!” sergah Skip.

“Kita jelas ada masalah,” jawab istrinya. “Muhammad bilang bahwa perempuan Muslim tak bisa menikah dengan pria Kristen. Aku mau masuk Islam.”

Skip terhenyak untuk kesekian kalinya. Terdiam. Cukup lama. Tiba-tiba wajahnya berubah girang dan berkata: “Dengar Ma, berita baiknya adalah, aku pun ingin masuk Islam!”

“Gimana Mama mau percaya? Hanya beberapa detik lalu Papa bilang tak mungkin masuk Islam,” kata istrinya.

***

Skip pun berjalan lunglai ke luar rumah, tak tau mau kemana. Akhirnya ia menemui Muhammad.

“Dengar kawan,” katanya. “Kali ini aku tak akan bicara apa-apa. Aku hanya ingin mendengar. Ceritakanlah padaku segala sesuatu tentang Islam, al-Qur’an, Nabi Muhammad..” pinta Skip.

Mereka pun berjalan berdua, cukup jauh, ‘hanya’ untuk mengisi suntuk. Sampai lewat pagi buta dan fajar muncul, baru keduanya berpisah, karena Muhammad harus bershalat subuh.

Skip tak segera masuk rumah; berjalan mondar-mandir dulu ke halaman depan dan belakang. Semua omongan Muhammad masih tinggal di kepalanya, dan entah dari mana, ada semacam sikap kepasrahan, keterbukaan, kejujuran, terhadap apa yang disampaikan teman Mesirnya itu. Namun jauh lebih dari itu adalah, kepasrahan kepada pencipta dan penguasa segala makhluk, rongga hatinya seolah terus menganga menunggu tumpahan cahaya. Dan kini, cahaya itu mulai tampak mendekat bersama fajar dan kilasan lembayung dini hari.

Ia menemukan sebuah papan di pinggir rumah. Lalu papan itu ia hamparkan di tanah. Kemudian Skip menempelkan dahinya di situ, meniru gerakan sujud orang Islam, mengarah ke kiblat.

Dalam kepenatan pikiran, ia merundukkan nalar dan kalbunya dalam sujud itu. Mulutnya bergumam. Hanya satu kalimat: “Ya Tuhan, bimbinglah aku.” Hanya satu kalimat itu.

***

Setelah beberapa lama ia menumpukan dahinya – bagian jasad yang mewakili kejumawaan manusia – di tanah; sejajar dengan lutut dan telapak kaki; ia pun bangun dan berdiri. Seketika itu juga kehendak nuraninya menyeruak; keputusan yang datang tiba-tiba.

Skip kemudian menemui Muhammad, memintanya bersaksi bahwa Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Muhammad membimbingnya dalam bahasa Arab: “Asyhadu an-laa ilaaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammad ar-rasuulullah.”

Segera istrinya menyusul mengucapkan syahadat.  Tak sampai sepekan, ayahandanya juga masuk Islam. Skip memaklumkan namanya sebagai Yusuf Estes.

Semua para pengkhabar injil itu kini telah jadi Muslim.

Catatan:

Tulisan saya di atas tidak mencakup aspek lain yang sebetulnya penting dalam proses ketertarikan para pengkhabar injil itu kepada Islam.  Ke-tak-mencakup-an itu semata-mata karena kepentingan penulisan saja, supaya lebih terfokus dan efisien.

Catatan ini saya khususkan untuk aspek yang tak sempat tertuliskan itu. Begini:

Memang, pusat kepenasaranan dan ketertarikan para pengkhabar injil itu tertuju kepada kelugasan, kesederhanaan dan kejelasan al-Qur’an. Tapi itu bukan satu-satunya daya tarik. Aspek lainnya adalah: pribadi Muhammad si tamu Mesir itu.

Seperti diceritakan Yusuf Estes [sebelumnya Skip Estes], Muhammad tak suka berdebat. Pengkhabaran Yusuf Estes yang terus menerus dan ‘menantang’ kepadanya, hanya sesekali saja dia tanggapi. Itu pun lebih banyak dalam bentuk pertanyaan.

Suatu saat, Yusuf dan Muhammad sedang melayani para pembeli di toko alat musik Edward Joseph. Setiap memberikan barang kepada pembeli, Muhammad selalu mengambil dari tumpukkan barang di belakang pajangan, yang memang lebih baru dan bagus.

Yusuf menegur: “Kasih barang yang di tumpukkan depan. Jadi barang yang sudah agak lama cepat terjual.”

Muhammad menjawab: “Maaf kawan, kami selalu memberikan barang yang terbaik untuk pembeli.”

Selain itu, Muhammad tak pernah ngomelin pembeli di belakang. Adalah umum di kalangan para penjual, bermuka manis dan berkata ramah kepada pembeli, termasuk pembeli yang cerewet atau nyebelin. Begitu pembeli berlalu, si penjual ngomong kepada temannya: “Pembeli bodoh, sombong, belagu…”

Muhammad tak pernah. Dan ini membuat Yusuf terpesona.

Catatan ini penting untuk menjelaskan bahwa keunggulan Islam sangat terbantu – bahkan dalam beberapa hal ditentukan – oleh pribadi Muslim. Dakwah Islam tak akan efektif bila pribadi para pendakwahnya tak menunjukkan kebersahajaan, kesederhanaan, kerendah-hatian, seperti yang diajarkan Islam melalui nabi Muhammad SAW.

[Berlanjut]

Kepastoran Yusuf Estes sebelum memeluk Islam menjadikannya sosok unik. Di satu sisi ia menguasai injil dan berbagai persoalannya, di sisi lain pemahamannya terhadap al-Qur’an berlangsung sangat cepat karena kitab itu menyediakan jawaban-jawaban yang selama ini ia cari. Ia segera belajar bahasa Arab dan menguasainya secara cepat pula.

Beberapa bulan setelah menjadi Muslim, seorang rekan pendeta mengundangnya ke gereja setempat untuk menjelaskan mengapa ia menjadi Muslim. Yusuf tampil di mimbar dengan penuturan yang sangat jelas, mudah, mengesankan. Penjelasannya tentang injil dan al-Qur’an sangat logis dan memuaskan akal.

Setelah turun mimbar, seorang anggota jama’ah perempuan menghampirinya; bertanya padanya bagaimana cara masuk Islam. Yusuf langsung membimbingnya seketika itu juga; di dalam gereja; perempuan itu mengucapkan dua kalimah syahadat.

“Taukah anda siapa perempuan muda itu?” kata Yusuf suatu saat. “Dia adalah anak pendeta yang mengudang saya. Anda bisa bayangkan perasaan sang ayah. Dia mengundang saya, maksudnya untuk bertobat dan kembali kepada Kristen, malah anaknya ikut saya.”

“Itu pasti karena kehendak Allah. Tapi juga karena saya tidak menyerang, menghakimi Kristen dan injil. Saya hanya menjelaskan,” tambahnya.

Tak lama setelah kejadian itu ia diundang lagi oleh pendeta yang sama. Ke gereja yang sama. Yusuf bercerita lagi tentang injil dan al-Qur’an, Trinitas, Tauhid dan apa itu Islam. Setelah turun mimbar, kali ini bukan perempuan muda yang menghampirinya, tapi orang sebayanya. Siapa? Bapak si perempuan itu. Dia pun menyatakan diri ingin menjadi Muslim.

Singkat cerita, ia menjadi International Speaker of Islam; mendirikan Islamic Missionary Work. Ia menjadi salah satu tokoh dalam United Nations World Peace Conference for Religious Leaders [Konferensi Perdamaian Dunia  untuk Para Pemimpin Agama] di Washington, tahun 2000.


Tahun ini [2012], ia pun menjadi delegasi Dubai International Peace Convention, di mana ia jadi pusat perhatian para delegasi lain karena kisah pribadinya yang menarik, penguasaannya terhadap materi, dan cara penyampaiannya yang khas.

Stasiun radio, teve-nya tetap berjalan, tapi kini isinya tentang Islam. Nama acaranya, ‘The Deen Show’, kian hari kian popular.

Yusuf punya ratusan situs dakwah. Di sini hanya disebut tiga saja: Islamtomorrow.com, Islamyesterday.com, Islamalways.com,  yang menjadi sumber informasi tentang Islam bagi mereka yang ingin tau tentang Islam. Pengaruhnya di kalangan atas sangat kentara, sehingga mereka yang mengikut jejaknya jadi muallaf adalah para pesohor: bintang musik rok, artis film, ilmuwan dan politisi ulung Amerika.

Terakhir, ia mendirikan satu-satunya saluran TV Islam Amerika bernama Guide US TV. Pilihan nama itu benar-benar cerdas, karena artinya bisa dua: ‘bimbinglah kami’ dan ‘bimbinglah Amerika Serikat’. Dua-duanya tak salah.

Hampir setiap pengajian Yusuf Estes ditutup dengan pengucapan syahadat beberapa jama’ah non-Mulsim yang memutuskan memeluk Islam. Makin hari para pengucap syahadat itu makin banyak saja. “Tadinya puluhan orang Amerika masuk Islam setiap bulan. Kamudian ratusan. Sekarang ribuan,” katanya.

Jika hari ini Islam di Amerika Serikat dinyatakan sebagai agama yang paling cepat berkembang, persis di tengah proses itu adalah Yusuf Estes.

By Kafil Yamin

Empat Fenomena Aneh Seputar Hari Natal (Dari Blog Jonru Ginting)





(Dari Blog Jonru Ginting)
December 25, 2013
 
Filed under: Sehari-hari 





Mohon maaf, tulisan ini bukan membahas hal-hal esensial sehubungan dengan Hari Natal. Sebab saya bukan umat Kristen. Insya Allah sampai hari ini masih Muslim. Tentu tidak etis jika saya mengurus keyakinan agama lain.


Tulisan ini hanya membahas sejumlah fenomena seputar Hari Natal yang menurut saya aneh.



Fenomena I:



Hari Natal selalu diidentikkan dengan kerusuhan, perang antaragama, situasi tidak aman. Sampai-sampai perayaan Natal di gereja selalu dikawal ketat oleh pihak keamanan.



Kenapa? Mungkin karena dulu pernah terjadi pengeboman di gereja saat berlangsung perayaan Natal. Siapapun pelakunya, saya secara pribadi mengutuk perbuatan tersebut. Jika pelakunya muslim, pasti dia bukan muslim yang baik. Menghargai, membiarkan dan menghormati keyakinan umat agama lain (termasuk ibadah mereka) merupakan salah satu sikap toleransi yang diajarkan oleh Islam. Pasti Rasulullah pun akan sangat marah jika ada umat Islam yang kejam seperti itu.



Namun apakah peristiwa pengeboman di gereja tersebut bisa kita jadikan alasan untuk menganggap bahwa perayaan Natal identik dengan kerusuhan, perang antaragama, situasi tidak aman? Menurut saya, ini pandangan yang terlalu berlebihan. Sebab pengeboman juga terjadi di sebuah kafe di Bali, di gedung perkantoran megah di Jakarta, di tempat-tempat yang tak ada kaitannya dengan perayaan ibadah agama manapun. Tapi kenapa hanya perayaan Natal yang diidentikkan dengan hal-hal buruk tersebut.



Fenomena II:



Hampir semua ucapan “Selamat Hari Natal” dari umat nonKristen selalu dibarengi kalimat “mari menjaga toleransi”. Tentu saja, toleransi antarumat beragama itu sebuah keharusan di tengah keberagaman. Namun pertanyaannya, kenapa kalimat “mari menjaga toleransi” hanya muncul pada ucapan selamat Natal? Kenapa tidak muncul di ucapan Selamat Hari Waisak, Selamat Hari Nyepi, Selamat Idul Fitri, Selamat Idul Adha dan seterusnya?



Tentu toleransi BUKANLAH salah satu esensi penting dari perayaan Hari Natal. Menurut kepercayaan umat Kristen, hari Natal adalah untuk merayakan kelahiran tuhan mereka. Ini tentu tak ada kaitannya dengan toleransi, bukan?



Tapi kenapa ucapan dan anjuran toleransi hanya ditekankan pada perayaan Natal?



Jika dikaitkan dengan fenomena I di atas, saya kira ini terlalu berlebihan. Karena seperti yang sudah saya sebutkan, insiden pengeboman tidak hanya terjadi di gereja, tidak hanya terjadi di perayaan Natal.



Atau mungkin ada kaitannya dengan fenomena III di bawah ini?



NB: Tentu tidak masalah jika perayaan agama dijaga petugas keamanan, jika memang itu dianggap perlu. Namun jika perayaan agama diidentikkan dengan situasi buruk, peperangan dan sebagainya, itulah yang disebut keliru.



Fenomena III:



Muncul pemikiran salah kaprah bahwa sepertinya mengucapkan Selamat Hari Natal merupakan sebuah KEHARUSAN. Jika kita tidak mengucapkannya, maka dianggap tidak toleran.



Ya, ini adalah salah kaprah yang sangat kronis, sebab:


  1. Ada demikian banyak perayaan umat beragama di dunia ini. Ada Idul Fitri, ada Waisak, ada Nyepi, ada Paskah, ada Imlek, dan sebagainya. Selama ini, tidak pernah ada himbauan atau perintah untuk mengucapkan selamat hari waisak, selamat hari paskah, selamat imlek, selamat idul fitri, dan sebagainya. Kenapa himbauan tersebut hanya ditujukan pada Hari Natal?
  2. Ketika saya tidak mengucapkan selamat hari waisak, tidak mengucapkan selamat hari paskah, tidak mengucapkan selamat hari nyepi, dan sebagainya, maka TAK ADA yang mengatakan saya tidak toleran. Tapi ketika saya tidak mengucapkan selamat hari Natal, tiba-tiba saya disebut tidak toleran.


Hm… ada apakah di balik fenomena aneh ini? Sepertinya ada sebuah pengecualian untuk hari Natal. Sebuah pengecualian yang aneh dan membingungkan.



Mungkin teman-teman kita umat Kristen berargumen, “Hari Natal memang perkecualian, karena ini hari yang sangat istimewa. Ini adalah hari kelahiran tuhan kami.”



Ya, kita bisa memaklumi argumen tersebut, sebab itu bagian dari keyakinan mereka. Kita harus menghormatinya.



Tapi setiap orang tentu punya keyakinan masing-masing. Karena itu: Saat teman-teman Kristen menganggap Natal itu istimewa, tentunya Anda pasti tidak akan memaksakan kepada kami untuk ikut menganggap Hari Natal sebagai hari istimewa, bukan? Sebab Anda pun pasti tidak bersedia jika kami umat Islam menyuruh Anda menganggap Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari istimewa.



Fenomena IV:



Selama ini, sudah biasa diadakan tradisi perayaan Natal Bersama. Para pejabat (presiden, walikota, gubernur dan sebagainya) yang beragama Islam pun ikut hadir merayakan Natal di Gereja.



Banyak orang beranggapan, hal itu wajar-wajar saja, karena para pejabat tersebut adalah milik publik, bukan milik golongan tertentu saja.



Benar. Tapi bagaimanapun, para pejabat tersebut SECARA PRIBADI adalah muslim. Sebagai seorang muslim, mereka tentu masih terikat pada aturan-aturan dalam Islam. Dan dalam Islam, ikut merayakan ibadah agama lain merupakan sesuatu yang sangat tidak diperbolehkan.



Lagipula mari kita simak fakta berikut:

Jika di Indonesia, para pejabat sepertinya diharuskan untuk mengikuti perayaan Natal Bersama, apakah hal ini juga berlaku di negara lain? Apakah di negara-negara di mana umat Islam menjadi minoritas, ada acara Idul Fitri bersama dan dihadiri oleh para pejabat negara yang beragama selain Islam? TAK PERNAH ADA!



Bayangkan bila mayoritas penduduk Indonesia beragama Kristen dan presidennya orang Kristen. Apakah sang presiden akan mau mengikuti acara Idul Fitri Bersama? Saya tidak yakin dia mau. Ini bukan prasangka semata. Tapi pengalaman di tempat-tempat lain membuktikan hal itu.



Jadi, tentu perayaan Natal Bersama merupakan sesuatu yang sangat aneh. Bahkan bila kita melihat sejarahnya, sebenarnya perayaan Natal Bersama merupakan tradisi yang dilestarikan sejak zaman Orde Baru. Sebelum itu sama sekali belum pernah ada.



NB: Ada yang berargumen: Para pejabat tersebut tidak dipaksa datang, tapi hanya diundang.



Nah, di sinilah masalahnya. Kalau umat Kristen memang menghargai keyakinan umat Islam, seharusnya TAK PERLU MENGUNDANG para pejabat Muslim untuk menghadiri perayaan natal. Sebab bagi kami yang muslim, menghadiri seperti itu dosanya sangat besar.



Kami umat Islam juga tak pernah mengundang umat agama lain untuk menghadiri upacara ibadah agama Islam. Jadi untuk urusan agama, sebaiknya masing-masing saja. Yang namanya toleransi dan kerukunan hidup bisa diwujudkan dalam hal-hal lain.

Tentang Toleransi:


“Banyak umat muslim (terutama para karyawan) yang dari tahun ke tahun selalu dipaksa untuk memakai aksesori Natal. Tapi yang selalu dipersalahkan adalah umat Islam yang tak mau mengucapkan selamat natal. Di manakah toleransi?”

Itu bunyi sebuah banner yang saya baca di sebuah website.

Bagaimana jika pegawai Kristen dipaksa berjilbab saat bulan Ramadhan? Pasti langsung ramai diperbincangkan. Pasti Islam akan langsung diserang, disebut sebagai agama yang tidak toleran. Anehnya, ketika umat Islam dipaksa memakai aksesori Natal, semua dianggap biasa-biasa saja. Tak ada yang ribut.

Ya, toleransi kini mengalami kerancuan makna yang sangat luar biasa. Bahkan, dari dua paragraf di atas, terlihat dengan jelas bahwa ada ketidakadilan dan keberpihakan yang tidak fair sehubungan dengan toleransi di negeri ini.

Padahal dalam Islam, toleransi itu sangat jelas. Kita menghormati keyakinan umat agama lain. Kita membiarkan mereka merayakan ibadah agama mereka. Kita tak akan mengganggu mereka. Itulah toleransi, dan itu sudah lebih dari cukup.


Sabtu, 21 Desember 2013

Helat Ba Datuak

Helat Ba Datuak           

Berita bahwa suku Guci akan menegakkan gelar pusaka sudah diperbincangkan sejak beberapa tahun ke belakang. Artinya sudah direncanakan sejak lama. Calon Datuak, seorang sarjana ITB berusia 56 tahun. Rencana yang sudah cukup lama dikunyah-kunyah anggota kaumnya. Perlukah perencanaan cukup panjang itu? Jelas sangat perlu. Helat menegakkan penghulu melibatkan orang sekampung besar, penghulu-penghulu dari nagari-nagari, dan tentu saja memerlukan perizinan dan....... biaya.

Dan persiapan itu sepertinya sudah mereka lakukan dengan baik. Hari Jumat sesudah shalat Jum'at adalah waktu memotong kerbau. Bukan sekedar memotong, tapi harus disaksikan pula oleh niniak mamak nan basamo. Artinya, tentu ada pula acara persembahan dan perundingan secara adat. Aku tidak menyaksikan acara ini karena baru berangkat dari Jakarta hari Jum'at sore.

Waktu kami sampai di kampung hari Sabtu pagi, terlihat merawa adat sudah terpasang di pinggir jalan. Balai adat (yang selama ini kami kenal sebagai lapangan olah raga berukuran sedang, tidak seluas lapangan bola), sudah pula disiapkan. Dipasangi tenda. Balai adat ini istilahnya adalah medan nan bapaneh. Menurut cerita, upacara adat di lapangan ini, dahulu sekali, biasanya dilakukan beratapkan langit, di bawah panas matahari.

Antusias. Seperti apa kira-kira acara ini besok. Waktu kami mau bersiap-siap di tahun 1995, aku menyimak bahwa upacara adat ini bisa berlangsung beberapa hari. Artinya, kampung akan dalam suasana baralek dalam beberapa hari tersebut. Mungkin yang dimaksud sejak dari merebahkan kerbau sudah dihitung sebagai bahagian dari acara.  Atau mungkin lebih awal dari itu. Tapi rencana kami waktu itu tidak kesampaian.

Disini aku menemukan dunsanak-dunsanak dari rantau yang antusias itu. Ketika kami shalat zuhur berjamaah di mesjid Darussalam Koto Tuo, terlihat cukup banyak wajah-wajah mereka yang sama-sama hadir, yang bukan penghuni kampung. 

Hari Sabtu itu tidak ada acara khusus dalam rangka berhelat ini, kecuali bagi ibu-ibu yang sibuk memasak untuk hari berhelat hari Ahad esoknya. 

Ada undangan tertulis rupanya, yang aku baca di Ma'had Syekh Ahmad Khatib ditujukan untuk ustadz di sekolah itu. Dari sana aku tahu bahwa acara akan dimulai jam 8.30 pagi, seperti itu yang tertulis. Hari Ahad pagi itu kami yang menginap di Bukit Tinggi santai-santai saja, memasang target sampai di kampung sebelum jam tersebut. Jam delapan lebih sedikit, ketika kami sudah dalam perjalanan, seorang kakak sepupu (dari persukuan kami) yang datang dari Bandung, menelpon dan menanyakan dimana posisiku. Aku katakan bahwa kami sudah di jalan akan sampai sekitar seperempat jam lagi. 'Acara sudah mau dimulai,' katanya. Rupanya dia berharap agar aku sudah hadir di balai adat. Dengan setengah bergurau aku katakan, kalau begitu silahkan duluan saja, aku segera menyusul.

Ketika kami sampai jam setengah sembilan kurang lima, balai adat itu sudah dipenuhi orang. Ada yang duduk bersila duduk melingkar dan ada yang duduk di kursi di belakang lingkaran itu. Yang duduk bersila mungkin sekitar enam puluhan orang. Tapi semuanya dibawah naungan tenda terpal penahan panas. Kebetulan cuaca memang panas pagi itu. Kami yang datang terlambat mengambil tempat duduk di kursi. Di barisan ketiga. Di depan sekali kelihatannya ada juga para penjabat. 

Pembawa acara membacakan tata tertib acara. Lalu diteruskan dengan sambutan-sambutan, yang entah kenapa pula, ada yang disampaikan dalam bahasa Mindo, Minang dan Indonesia. Dan tentu saja ada persembahan dengan petatah-petitih. Kalau yang ini tentu asli berbahasa Minangkabau.

Aku penikmat acara pasambahan berpetatah-petitih ini. Aku sama sekali bukan yang pandai melakukannya. Tapi mengetahui bahwa yang berpesambahan bukan yang 'jawara-jawara' nya. Waktu muda dulu, aku pernah ikut dalam helat mengantar marapulai dengan jawara pasambahan, yang mahir sekali merangkai kata-kata dan berpantun, sehingga sampiran pantunnya dibuat dari apa saja, tapi terlihat indah dan tepat.

Perlu pula dicatat bahwa yang hadir pagi itu ternyata termasuk wakil bupati Agam dan..... Rajo Alam Minangkabau dari Pagaruyuang. Beliau yang terakhir ini memang 'tiba-tiba' populer beberapa tahun ke belakang ini. Dulu, waktu aku masih lebih muda tidak pernah orang menyebut keberadaan Rajo Alam ini. Atau mungkin ketika itu beliau masih diam-diam saja. Wallahu a'lam. 

Demikianlah acara-acara itu berlalu yang intinya mengukuhkan pemberian gelar adat Datuak Bandaro Panjang. Setelah acara di medan nan bapaneh selesai, para hadirin itu pindah ke tempat yang berlindung, alias ke rumah gadang, untuk acara makan bersama. Ada tiga buah rumah yang disiapkan. Rumah saudara Datuak Bandaro Panjang yang jauh terpisah ke utara dari balai adat dan dua buah rumah persukuan Piliang di samping balai adat. Ke rumah adat bergonjong naik Datuk-datuk (ada satu orang lagi serta Datuk Bandaro Panjang) dan beliau-beliau yang duduk bersila sedangkan sebagian yang duduk di kursi ke rumah yang satunya lagi. Aku lihat rombongan Rajo Alam MInangkabau yang dipayungi dengan payung kuning tidak naik ke salah satu dari dua rumah yang dekat ini.

Aku tidak ikut naik ke rumah gadang. Dan acara selanjutnya adalah acara makan bersama, yang didahului pula dengan pasambahan-pasambahan. Di rumah gadang pastinya pasambahan itu lebih lama, tapi setelah aku menyaksikan yang di medan nan bapaneh, aku tidak terlalu berminat untuk ikut ke rumah gadang. Di rumah yang satunya, pasambahan benar-benar hanya untuk mengawali acara makan bersama, tidak berpanjang-panjang. Menjelang azan zuhur kami sudah selesai dan turun dari rumah. Yang di rumah gadang baru selesai sesudah kami kembali dari shalat berjamaah di mesjid. Aku mengucapkan selamat kepada Datuak yang baru dilantik itu ketika berselisih jalan sepulang dari mesjid.

*****


Jumat, 20 Desember 2013

Perjalanan Ke Perhelatan Itu

Perjalanan Ke Perhelatan Itu 

Rencana helat bertegak penghulu itu berhasil memikat hati perantau kampung kami untuk hadir. Orang ingin menyaksikan upacara adat yang langka ini. Menurut catatan, helat bertegak penghulu terakhir dilaksanakan tahun 1942, sudah tujuh puluh satu tahun yang lalu. Kenapa menunggu sekian lama? Entahlah.

Yang sama-sama berangkat satu pesawat denganku ada kakak sepupu dengan cucunya, adikku dengan istri dan seorang kemenakan dari istrinya, lalu aku dengan istri. Pesawat Lion yang kami tompangi terlambat satu jam dari jadwal semula jam 3.30 sore. Kami baru terbang jam setengah lima dan mendarat di Padang jam enam. Cuaca sore itu cerah. Kijang sewaan yang dipesan sebelumnya sudah siap menunggu kami. Tapi ada kabar kurang mengenakkan yang kami terima sebelum berangkat menuju Bukit Tinggi. Ada jembatan rusak di Anai dan antrian bisa sampai 5 jam. Bagaimana kalau kita lewat jalan baru via Sicincin dan Malalak? Ada yang mengatakan bahwa jalan itu ditutup karena ada yang longsor. Kalau mau lewat Sitinjau Lauik, saran seseorang. Lalu yang lain memberi info kalau jalan itu juga sedang bermasalah longsor sehingga tidak lancar. Oalah.... Masih ada satu pilihan lagi, lewat Pariaman - Tiku - Lubuk Basung - Maninjau - Matur baru ke Bukit Tinggi. Masya Allah, malam-malam melalui lintasan yang beriku-liku itu sungguh tidak nyaman. Tiba-tiba kampung terasa jadi jauh, meski kami sudah sampai di Ketaping.

Akhirnya kami sepakat untuk mencoba saja menghadang antrian di tempat jembatan rusak itu. Menurut berita dari adikku yang sudah lebih dahulu melewati lokasi bermasalah itu beberapa jam sebelumnya, dia memerlukan sekitar dua jam tambahan waktu. Mudah-mudahan saja kondisi antriannya sudah berkurang. 

Info pertama tentang jalan macet ini yang disampaikan Okki si pemilik mobil sewa, ketika dia mengingatkan  agar kami segera mencari restoran untuk makan malam dan jangan memikirkan RM Ayia Badarun di luar kota Padang Panjang menuju Bukit Tinggi. Resto yang satu ini memang favorit kami. Waktu aku tanya kenapa, barulah cerita berkembang tentang suasana jalan macet akibat jembatan rusak.

Sudah hampir jam tujuh ketika kami meninggalkan bandara. Dan kami berhenti di RM Lamun Ombak, beberapa kilometer dari bandara. Makan lalu shalat maghrib dan isya. Jam delapan lebih beberapa menit kami berangkat melanjutkan perjalanan. Lalu lintas sedang-sedang saja, tidak sepi tapi juga tidak ramai. Kendaraan bisa dipacu dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam. Beberapa kali sedikit tersendat ketika harus mendahului iringan truk besar.  Kami lalui Lubuk Alung dengan aman. Lalu Sicincin. Terus Kayu Tanam. Semua lancar-lancar saja. Aku mulai berharap bahwa urusan macet dan antrian sudah tidak ada.

Ternyata salah. Di belokan pertama memasuki lembah Anai kami menemukan antrian itu. Nyaris tak bergerak. Aku baru sadar setelah beberapa saat bahwa dari arah berlawanan juga tidak ada kendaraan. Ternyata antrian itu betul-betul menyesakkan. Bergerak maju beberapa meter kemudian berhenti total untuk beberapa menit yang panjang. Bahkan untuk beberapa menit yang panjang, bukan saja kami tidak bergerak, tapi dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang datang. Aku membayangkan terjadi kebuntuan di titik pertemuan kedua arah ini. Yang membuat lebih kacau, pada saat dari arah berlawanan tidak ada kendaraan yang datang, kendaraan di belakang kami menyerobot mengisi kekosongan di sebelah kanan. Tentu bertambah kacau jadinya.

Begitulah, bukan menit demi menit, jam demi jam berlalu. Kami beringsut-ingsut sedikit sekali. Yang agak mengherankan, pada satu saat ada rombongan dari arah sana bisa berlalu dalam waktu lama, ada sekitar 40 menit tidak berhenti. Kita berharap, sesudah aliran itu berhenti kami pula yang bisa melaju ke arah sana untuk waktu yang sama panjangnya. Tapi disanalah keanehannya. Setelah yang dari atas itu berkurang dan akhirnya berhenti, kami tetap tidak bisa maju. Pada saat itu kembali rombongan dari belakang menerobos ke jalur kanan. Aku, akhirnya berbuat sama, memotong ke kanan. Tapi hanya untuk beberapa ratus meter, tidak sampai satu kilo, kami berhenti di sebuah titik yang hampir sepenuh jalan diisi kendaraan mengarah ke tujuan kami. Lalu macet total. Ya, iyalah. 

Aku matikan mesin mobil. Kakiku terasa pegal karena terlalu lama menginjak kopling. Sambil berdoa saja. Tanpa aku ketahui bagaimana caranya, kemacetan itu tiba-tiba terurai. Kendaraan itu mulai maju pelan-pelan. Masih agak tersendat di beberapa titik lagi, tapi alhamdulillah rombongan ini membuat 'kemajuan'. Dan akhirnya berhasil lepas. Empat jam lebih kami tersekat di lembah Anai.

Jam setengah dua malam kami sampai di tempat menginap di Bukit Tinggi. Akhirnya aku mengalami juga cerita kemacetan jalan Padang - Bukit Tinggi yang kabarnya terjadi setiap libur hari raya Aidil Fitri.

Begitu cerita perjalanan di malam itu.

****