Selasa, 31 Mei 2016

Datangnya Zaman Yang Didominasi Penjahat Dan Tersingkirkannya Orang Shalih (Dari Hidayatullah,com)

Datangnya Zaman Yang Didominasi Penjahat Dan Tersingkirkannya Orang Shalih

(Dari Hidayatullah.com)

oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
 
Dari Ibnu Umar rhadiallahu 'anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:“Ketahuilah, di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah orang-orang jahat dan kejam diangkat menjadi pemimpin, sedangkan orang-orang pilihan dihinakan." 

Dalam perintah shalat berjama’ah, banyak ibrah dan pelajaran tentang kepemimpinan yang bisa diambil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar seorang imam itu dipilih yang paling baik bacaannya, paling paham terhadap sunnah nabi, paling dahulu masuk Islam dan paling tua usianya. Jika itu merupakan standar dalam imamatus shughra (kepemimpinan kecil), lalu bagaimana dengan imamatul udzma (kepemiminan besar)?
 
Lihatlah bagaimana seorang imam itu harus yang paling baik akhlak dan ilmunya, paling tua (dewasa secara psikologis dan spiritualnya) dan paling dahulu dalam kebajikan. Dalam shalat Imam harus merapikan barisan jamaahnya, yang berarti seorang pemimpin harus punya kemampuan untuk menata masyarakatnya. Imam harus ditaati makmum, dimana makmum tidak boleh menyamai apalagi mendahului imam. Meski demikian imam juga harus tahu diri, tidak boleh lama berdiri dalam shalatnya hingga memberatkan makmum yang mengikutinya. Jika imam salah maka makmum harus menegurnya, tentu saja dengan cara yang sopan, bukan dengan kalimat kasar. Hal lain yang juga sangat penting diperhatikan oleh imam adalah bahwa orang-orang di shaf pertama, yaitu jamaah yang ada di belakangnya adalah mereka yang punya kapasitas mirip dengan imam. Dimana bila suatu saat imam udzur atau batal, merekalah yang paling pantas menggantikannya.

Dalam kontek kepemimpinan masyarakat, maka seorang pemimpin harus memilih orang-orang terdekat yang punya kapasitas layak; ilmu, akhlak, usia dan kontribusi perjuangan yang jelas. Demikianlah gambaran sederhana tentang kepemimpinan dalam Islam yang bisa diambil dari konsep shalat berjamaah.

Berubahnya pola kepemimpinan di akhir zaman

Sekian tahun lamanya para sahabat dibina oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kepemimpinan yang salah satunya dengan pembinaan shalat berjamaah. Sehingga jadilah mereka para pemimpin handal yang bisa memakmurkan dunia.

Di era khilafah rasyidah, langit dan bumi mengalirkan keberkahan yang tiada henti, keadilan dan kesejahteraan bisa dirasakan banyak rakyat. Semua bersumber dari keberadaan orang-orang shalih yang memimpin umat.

Namun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan kepada umatnya akan datangnya suatu masa dimana semua sumber keberkahan dan kebahagiaan hidup itu akan berakhir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan akan datangnya suatu zaman yang umat manusia justru menyingkirkan manusia-manusia shalih dan memilih para penjahat dan perusak agama sebagai pemimpin mereka. Siapapun tahu bahwa para pemangku kekuasaan itu lebih didominasi oleh orang-orang yang gila jabatan dan kedudukan, pemburu popularitas dan kekuasaan. Kita tidak melihat tanda-tanda keshalihan yang nyata, baik individual apalagi sosial. Jikapun terlihat, maka fenomena yang sesungguhnya adalah upaya pencitraan yang penuh dengan manipulasi dan rekayasa. Tentu saja kita tidak mengabaikan adanya segelintir dari mereka yang boleh jadi hatinya masih ‘bersih’, ikhlas bekerja dan punya niat untuk memperbaiki umat.

Namun, lihatlah fakta yang terjadi; jumlah orang-orang ‘baik’ itu tidak sebanding dengan para penguasa yang rusak moral dan iradahnya. Ketika ada di antara mereka hendak menegakkan keadilan dan perbaikan moral, maka para penjegalnya adalah kelompok mayoritas yang tidak rela kesenangan mereka dirampas. Karena negeri ini menggunakan sistem demokrasi yang berpihak kepada suara terbanyak, maka suara kebenaran itu terdengar lirih bahkan nyaris tak berdampak.

Lihatlah upaya penegakkan undang-undang anti minuman keras (Miras), anti prostitusi dan anti pornografi, para penguasa yang amoral selalu menjadi batu penghalang yang mementahkan keinginan orang-orang ‘baik’ itu. Jikapun akhirnya undang-undang itu disetujui, maka para penguasa bejat itu akan menggunakan kekuatan tangan besinya untuk bermain licik melalui jaringannya. Hingga akhirnya undang-undang itu hanya menjadi macan kertas yang tidak berdampak untuk perbaikan masyarakat.

Melihat fenomena pemilu dan pilpres di negeri ini, nampaknya fenomena semakin menguatkan kebenaran nubuwat di atas. Lihatlah orang-orang yang terpilih sebagai anggota legislatif maupun eksekutif. Mereka didominasi oleh para kapitalis berkantong tebal yang membeli kekuasaan untuk kemudian mereka jadikan sebagai tambang emas untuk mengeruk kekayaan. Tak heran jika pasca terpilihnya bukan kemudian berbenah memperbaiki kehidupan rakyat, namun segera menjalankan mesin kekuasaannya untuk mendulang rupiah untuk menebus mahalnya harga demokrasi yang terlanjur dibelinya dengan cara hutang. Dr. Ahmad Al-Mubayyadh menjelaskan bahwa fenomena terpilihnya para penjahat dan tersingkirnya orang-orang shalih menggambarkan bahwa kondisi masyarakat saat itu memang sudah rusak dan parah.

Kerusakan masyarakat sacara moral dan spiritual membuat mereka juga menolak jika orang-orang baik memimpin mereka, sebab masyarakat yang telah rusak juga sangat keberatan jika berbagai kesenangan dan syahwat yang selama ini telah menjadi kebiasaan mereka tiba-tiba dihapuskan.

Lalu, apa yang dapat kita perbuat?

Berat sekali fitnah yang harus dihadapi oleh kaum muslimin di akhir zaman, terutama bila sudah berhadapan dengan kekuasaan yang berada di tangan orang-orang zalim. Fenomena rakyat dan pemimpin yang zalim adalah lingkaran setan yang terus berputar tanpa diketahui jalan untuk memutusnya. Semua saling ketergantungan. Mungkin tidak banyak yang dapat kita lakukan, namun mudah-mudahan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bisa diperhatikan oleh setiap Muslim: ”Benar-benar akan datang kepada kalian suatu zaman yang para penguasanya menjadikan orang-orang jahat sebagai orang-orang kepercayaan mereka dan mereka menunda-nunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya. Barangsiapa mendapati masa mereka, janganlah sekali-kali ia menjadi seorang penasehat, polisi, penarik pajak, atau bendahara bagi mereka.” 

Ya, menghindar sekuat mungkin untuk tidak berdekat-dekatan dengan mereka adalah solusi yang harus ditempuh oleh setiap Muslim. Setidaknya, cara itu sedikit meringankan fitnah yang menimpanya.

Wallahu a’lam bish shawab.

****

Senin, 30 Mei 2016

Sesungguhnya Orang Yang Paling Mulia.........

Sesungguhnya Orang Yang Paling Mulia.........       

Seorang rekan bercerita tentang kekagumannya kepada seorang adik kelasnya di Sekolah Dasar dulu, yang sekarang sudah pensiun dari jabatannya sebagai seorang direktur sebuah perusahaan besar. Orang yang diceritakannya itu tinggal di sebuah rumah besar yang sangat mewah. Dia terlihat sangat bahagia. Hari-harinya setelah pensiun diisi dengan kegiatan-kegiatan sosial termasuk melanjutkan hobinya bermain golf dengan rekan-rekan sekerjanya dulu. Sungguh hidupnya sangat mulia sekarang ini, padahal dulu di kampung dia itu sama seperti orang kampung lainnya adalah orang biasa-biasa saja. Dengan kesungguh-sungguhannya belajar, dia menjadi sarjana dari sebuah universitas ternama bahkan sampai meraih gelar kesarjanaan S3 dari Australia. Dan dengan bekal pengetahuannya itu dia berhasil menduduki jabatan tinggi di tempatnya bekerja.

Ada lagi seorang teman lain yang dengan kegigihannya, berhasil menjadi pengusaha garmen besar. Padahal sekolahnya hanya sampai SD saja, lalu kemudian dia langsung terjun ke dunia perdagangan dari kelas pedagang kaki lima. Di usia kurang setengah abad dia sudah kaya raya. Diapun mendapat tempat terhormat dalam pandangan masyarakat berkat kekayaannya yang melimpah ruah. 

Kebanyakan manusia menilai orang yang berhasil dalam pencapaian di dunia adalah orang-orang yang mulia. Orang-orang yang kelasnya berada di tingkat atas. Yaitu orang bangsawan, orang berpangkat, orang kaya. Begitulah pandangan kebanyakan kita. Tapi menurut ketetapan Allah bukan demikian itu yang benar.   

Allah Ta'ala mengingatkan kita bahwa pada penilaian Allah, orang yang paling takwa adalah orang yang paling mulia seperti dijelaskan dalam firman-Nya di dalam surah Al Hujuraat (49) ayat 13, '...... Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa........' Orang yang bertakwa adalah orang yang menjalani kehidupan dengan penuh keberhati-hatian agar tidak keluar dari ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dia taat dan patuh terhadap perintah-perintah Allah dan menghindar atau menjauhkan dirinya dari apa-apa yang dilarang-Nya. Jadi kekayaan ataupun kedudukan dan pangkat bukanlah menjadi tolak ukur.

Kita mendengar kisah tentang Bilal, muatzin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang terkenal. Beliau ini tadinya adalah seorang budak. Seorang yang nyaris tidak ada nilainya di sisi manusia karena dia sangat hina. Waktu Bilal masuk Islam, dia disiksa majikannya dengan siksaan luar biasa, dijemur di atas batu padang pasir di siang hari yang panas dan ditindih dengan batu. Seperti itu siksaan yang dilakukan ke atas tubuhnya untuk memaksanya keluar dari Islam. Dia tetap kukuh dalam keyakinannya sebagai seorang Muslim. Akhirnya dia dibebaskan oleh Abu Bakar. Bilal yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau mendengar bunyi terompahnya di surga. Artinya Allah Ta'ala telah memuliakan Bilal sebagai seorang calon penghuni surga. Sementara mantan pemiliknya yang adalah seorang musyrikin Makkah, seorang bangsawan menurut pandangan manusia, dihinakan Allah dengan kematiannya dalam kemusyrikan di perang Badar.  

Oleh karena itu marilah kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi hamba Allah yang bertakwa.

****              

Rabu, 25 Mei 2016

Apa Sebenarnya Yang Kita Cari?

Apa Sebenarnya Yang Kita Cari?    

Seorang bapak-bapak berusia sekitar 70 tahunan, tiba-tiba, dengan ketetapan Allah, jatuh sakit. Dia kena stroke. Padahal, dia adalah seorang yang sangat aktif dalam  mengurus sebuah usaha ekspedisi. Dia menyukai pekerjaannya dan sangat bangga dengan pencapaian usahanya tersebut. Karena penyakitnya, separuh tubuhnya lemah, dan dia terpaksa dirawat di rumah sakit. Dalam sakitnya itu, dia mengeluh bahwa masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kami tanyakan, bukankah ada anaknya yang  mewakilinya di kantor untuk melanjutkan pekerjaan? Dia bilang, dia tidak seratus persen mempercayai kemampuan anaknya itu. 

Dengan sangat hati-hati kami coba mengingatkan, bahwa ini adalah kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Di usia yang sudah lebih tujuh puluh tahun, mungkin lebih baik baginya untuk memperbanyak ibadah. Dalam keadaan sakit sekarang ini agar dia berusaha banyak-banyak berzikir, mengingat Allah, dan banyak beristighfar. Jawabnya, bahwa selama ini dia tidak pernah lupa menjalankan perintah agama. Mungkin benar demikian, walau barangkali ibadahnya tidak maksimal. Katakanlah misalnya dalam mengerjakan shalat, apakah dia mampu melaksanakannya di awal waktu dan berjamaah di mesjid? Dengan jujur diakuinya bahwa itu tidak terpikirkan olehnya selama ini. 

Ada saja orang yang sedemikian rupa getolnya mencari harta. Sepertinya, apa yang sudah diperolehnya, meskipun terlihat sudah jauh lebih dari cukup, masih saja belum memuaskannya. Apalagi ketika dia tahu bagaimana cara mengalirkan rezeki itu ke pundi-pundinya. Usahanya, atau perdagangannya sedemikian mengasyikkan dan keuntungan selalu datang. Akibatnya, dia semakin mencintai usahanya itu lebih dari yang lain. Bahkan lebih dari mencintai dan memelihara dirinya sendiri. Dia menjadi pecandu 'kerja'. Workaholic kata orang sana. Akibat sampingan dari cara hidupnya, maka kesehatannya terganggu. Seperti contoh kita di atas.

Pernahkah kita bertanya kepada diri kita, apa sebenarnya yang kita cari dalam hidup ini? Ketika kita bersusah payah mencari nafkah. Mencari rezeki, dengan berbagai macam cara. Ada yang jadi pedagang, jadi petani, jadi pegawai dan sebagainya. Ada yang tidak henti-hentinya mengumpulkan uang. Mencari, mendapatkan, mengumpulkan, mencari lagi, mengumpulkan lagi yang lebih banyak. Sebagian digunakan untuk kenyamanan nafsu di dunia. Kenyamanan nafsu, karena banyak juga kejadian, fisiknya tidak sempat menikmatinya. Uang yang berhasil dikumpulkannya tidak terhingga banyaknya, tetapi untuk makan dia harus berpantang banyak sekali. Salah-salah makan, berbagai macam penyakit segera menderanya. Rumahnya bak istana besar dan mewah, tapi dia hampir tidak pernah mampu mendapatkan nikmatnya tidur. Untuk tidur dia harus menelan obat-obat tertentu.

Maka, kenapa kita tidak menjadi 'orang pertengahan' saja. Mencari rezeki secukupnya dan mensyukuri setiap rezeki yang diperoleh itu dengan sebaik-baiknya. Memahami kapan kita harus berhenti bekerja dan kapan kita harus lebih baik dalam beribadah. Karena usia kita sangat terbatas. Bukankah ketika kita mati, kita tidak akan membawa kekayaan yang selama ini kita kumpulkan, ke dalam kubur.  

****                                   

Senin, 23 Mei 2016

Berpandai-pandai Menjaga Hubungan Di Tengah Keluarga

Berpandai-pandai Menjaga Hubungan Di Tengah Keluarga  

Sebuah keluarga bisa hancur berantakan, suami isteri bercerai karena suatu sebab sederhana, buruknya komunikasi di tengah-tengah keluarga. Salah satu atau bahkan mungkin kedua anggota pasangan itu sama-sama ego, sama-sama tidak mau mengalah, dan terlalu banyak disibukkan oleh urusan pribadi. Mereka sering terlibat dalam percekcokan. Akhirnya mereka terpaksa bubar jalan alias berpisah alias bercerai. Penyebabnya apalagi kalau bukan ketidak-harmonisan dalam hubungan kekeluargaan. 

Sebuah rumah tangga seyogianya dibangun di atas dasar kasih sayang dan saling menghargai. Suami mencintai istri, dan menghormati status istri sebagai orang yang berada di bawah tanggung-jawabnya lahir dan batin. Begitu pula sang istri harusnya mencintai dan menghormati suaminya sebagai pemimpin di dalam rumah tangga. Masing-masing seharusnya saling percaya mempercayai. Saling amanah. Dan memahami posisi dan tanggung jawab masing-masing. Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk dinikmati bersama semua anggota keluarga. Istri bertanggung jawab memelihara keserasian dan kedamaian rumah tangga serta melayani suami dengan sabar dan bijak.

Jika suami tidak amanah, dia lebih banyak menikmati kehidupan pribadinya sendiri dan melalaikan urusan rumah tangganya, mengabaikan perhatian terhadap anggota keluarganya, maka ini boleh jadi merupakan awal dari malapetaka sebuah rumah tangga. Ada suami yang seperti itu. Hari-harinya disibukkan dengan pekerjaan rutin di kantor, di sambung dengan acara bersantai-santai dengan teman-teman di tempat-tempat hiburan. Hari libur diisi dengan olah raga berjamaah dengan teman-teman pula yang dilanjutkan pula dengan acara hura-hura lain. Kepulangannya ke rumah, kadang-kadang hanya sekedar untuk ganti pakaian. Dia hampir-hampir tidak perduli dengan urusan anak-anak dan istrinya. 

Begitu pula ada istri yang tidak amanah. Hari-harinya diisi dengan aneka kegiatan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan rumah tangga. Dia sibuk dengan arisan, reunian, kumpul bareng teman-teman satu kelompok. Dia selalu hadir di tengah kegiatan berkumpul-kumpul dengan teman-temannya yang aneka macam judulnya. Sebagian sepertinya merupakan kegiatan sosial. Berkunjung ke panti Anu, ke rumah sakit Itu, ke rumah Yatim, bahkan ke acara pengajian dan sebagainya. Tapi urusan pengaturan rumah diserahkan bulat-bulat kepada si pembantu. 

Jika ada suami atau istri atau kedua-duanya berprilaku seperti contoh di atas, maka meranalah hubungan kekeluargaan. Kalaupun masih terlihat hubungan baik antara suami dengan istri, boleh jadi hal itu hanya sekedar basa-basi saja lagi. Karena pada dasarnya masing-masing tidak perduli dengan pasangannya. Dan dalam kondisi seperti ini yang paling menderita biasanya adalah anak-anak. 

Oleh karena itu, kenalilah diri anda sendiri. Berprilakulah seperti diri anda sebagaimana mestinya. Jika anda seorang suami, jadilah suami yang bertanggung jawab dan amanah. Begitupun, jika anda seorang istri, jadilah istri yang bertanggung jawab dan amanah pula. Dengan demikian mudah-mudahan akan terbina hubungan keluarga yang harmonis. Yang sakinah. 

****                               

Kamis, 19 Mei 2016

Dijerumuskan Oleh Mata Dan Nafsu Berbelanja

Dijerumuskan Oleh Mata Dan Nafsu Berbelanja      

Pernah mendengar istilah window shopping? Artinya berjalan-jalan di mall atau super market sekedar melihat-lihat barang dagangan yang dipajang. Sekedar untuk cuci mata katanya. Mereka (yang berduit, atau paling tidak yang mengantongi kartu kredit) seringkali tidak hanya sekedar melihat-lihat, tapi akhirnya mampir untuk berbelanja. Karena tergoda. 

Pedagang besar di supermarket atau di mall-mall itu sangat pintar merayu calon pembeli. Dengan iming-iming, dengan bujukan bahkan kadang-kadang dengan sedikit tipu-tipu. Dengan penataan barang dagangan serapi dan seindah mungkin di etalase. Padahal banyak juga dari barang yang dijual itu ternyata kehebatannya tidak seindah yang digembar-gemborkan. Selalu ada saja orang yang luluh oleh rayuan. Apalagi kalau melihat pedagang sedang memberikan potongan harga besar-besaran. Inilah rayuan yang paling susah dielakkan terutama oleh kelompok ibu-ibu.  

Orang yang berhasil dirayu itu adalah mereka yang tidak bisa mengendalikan nafsunya untuk berbelanja. Dia membeli bukan karena memerlukan sesuatu tetapi karena barang tersebut dijual dengan potongan harga. Diskon itu ada yang sampai di atas 50% bahkan lebih. Apakah barang-barang itu diperlukan? Belum tentu dan bahkan seringkali sebenarnya tidak sama sekali. Jadi benar-benar dengan alasan karena harganya sedang murah. 

Padahal sebenarnya, bagi yang berhati-hati, kesempatan ketika supermarket memberikan potongan harga itu bisa dimanfaatkan untuk membeli yang benar-benar diperlukan dengan harga murah. Bagaimana caranya untuk berhati-hati? Dengan menyiapkan rencana belanja yang sudah disusun serapi mungkin sebelum mendatangi toko besar itu. Buat daftar yang rinci, barang-barang apa saja yang perlu dibeli. Dan berkonsentrasi hanya pada daftar tersebut. Tidak perlu tergoda untuk mematut-matut barang lain yang tidak ada dalam rencana. 

Tanpa perencanaan, belanja di supermarket seringkali berakhir dengan keborosan. Troli tempat barang dipenuhi dengan barang-barang yang terlihat oleh mata sangat menarik dan nafsu memerintahkan tangan untuk mencomotnya dan memasukkan ke dalam keranjang belanjaan. Apalagi kalau membayarnya tidak dengan uang kontan tapi cukup dengan kartu kredit. Seolah-olah tidak terasa berapa banyaknya uang yang telah dibelanjakan

Hendaknya senantiasa diingat bahwa membeli barang yang tidak perlu adalah perbuatan mubazir. Dan orang yang mubazir itu adalah kawannya setan, seperti firman Allah dalam surah Al Israa ayat 26 - 27. 

****                                 

Kamis, 12 Mei 2016

Riya Adalah Syirik Kecil

Riya Adalah Syirik Kecil     

Apa itu riya? Riya adalah membanggakan diri sendiri. Menyebut atau mengisyaratkan bahwa kita adalah orang yang mempunyai kelebihan dalam kebaikan. Dan yang menilai kelebihan dalam kebaikan itu adalah kita sendiri. Baik dilakukan atau dikatakan secara berterus terang ataupun diisyaratkan. Seorang khatib pernah menyampaikan dalam khutbahnya contoh yang termasuk riya. Ada pengumuman tentang sumbangan jamaah untuk pembangunan mesjid. Ada seorang penyumbang memberikan infaqnya agak besar dari kebanyakan infaq lainnya dan didaftarkan atas nama hamba Allah. Lalu, pada saat hal itu diumumkan, ada seorang  yang menepuk jamaah lain di sebelahnya lalu menunjuk kepada yang menyampaikan pengumuman seterusnya dengan tersenyum dan mengangguk-angguk menunjuk kepada dirinya sendiri. Apa maksudnya? Entahlah. Tapi seolah-olah dia mengisyaratkan bahwa penyumbang istimewa yang baru saja diumumkan itu adalah dirinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesuatu yang paling aku khawatirkan terhadap kalian adalah syirik kecil.” Ketika ditanya tentang (syirik kecil) itu, beliau menjawab, “Riya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy)

Banyak saja orang yang melakukan riya seperti ini. Seorang pemimpin yang berkurban dengan sapi yang paling besar lalu disorot dan ditayangkan oleh televisi yang sengaja diundang untuk mengabadikan kurbannya. Seorang penjabat yang tidak henti-hentinya membanggakan jasa-jasanya dalam membangun negeri. Seorang dokter yang mengiklankan keberhasilannya dalam mengobati pasien gawat. Seorang sarjana yang membanggakan prestasi keilmuannya bahkan dengan nilai kelulusannya yang sangat baik. Bahkan seorang bapak yang senantiasa memberitakan pencapaian anak-anaknya yang sudah selesai pendidikannya dan sudah hidup mapan. Seorang ibu yang membangga-banggakan suaminya atau anak-anaknya yang serba baik-baik semua. Apa yang disampaikan mereka itu barangkali memang benar begitu adanya. Sama benarnya dengan si bapak yang menyumbang di mesjid dan menyembunyikan namanya dengan hamba Allah, tapi kemudian mempertontonkannya dengan isyarat agar orang lain tahu. Mungkin dia membantah kalau dia ingin dipuji, tapi dari apa yang dilakukannya  orang awam akan langsung faham bahwa dia menginginkan pengakuan orang lain atas kebanggaannya.

Banyak cara dan kesempatan untuk tampil exist, apalagi sekarang-sekarang ini. Ada orang yang sengaja mengirim pesan melalui WA jam 2 pagi setiap pagi. Ada yang terang-terangan menimpali dengan mengucapkan selamat menjalankan shalat tahajud. Shalat tahajud pastilah amalan yang sangat terpuji. Tapi perlu pulakah diumumkan? Dipertontonkan? Oh tidak, kita maksudnya mengingatkan anggota grup yang lain. Apa benar demikian? Alangkah akan lebih baik kalau ibadah shalat itu dilakukan diam-diam saja, biarlah Allah dan malaikat saja yang menyaksikan. Karena kalau terbetik di dalam hati kita secercah keinginan untuk pamer, maka itu adalah riya. Itu adalah syirik kecil.

Marilah kita menjaga diri dari sifat dan sikap riya.

****
        

Selasa, 10 Mei 2016

Masyarakat Manja Yang Rapuh

Masyarakat Manja Yang Rapuh    

Tanpa kita sadari sebahagian besar dari kita telah menjadi anggota masyarakat manja yang rapuh. Sebahagian besar, meski ada sebahagian yang lain masih berkutat dengan serba kesederhanaan dan karenanya mereka lebih tegar. Semakin moderen kehidupan, semakin canggih teknologi, semakin manja manusia yang terlibat di dalamnya dan semakin rapuh mereka. Kita adalah bahagian dari masyarakat seperti itu, ketika kita tinggal dan hidup di kota-kota besar, lalu dimanjakan oleh kemajuan teknologi. Kita menjadi pemalas, egois, ingin mendapatkan segala sesuatu secara instan dan mudah, maunya segala sesuatu serba otomatis. 

Lima puluh tahun yang lalu, aku dan kawan-kawan berjalan kaki 3.5 km untuk pergi ke sekolah. Jarak 3.5 km itu masih pertengahan karena ada yang harus berjalan kaki 2 kali itu untuk pergi ke sekolah yang sama. Anak-anak sekarang untuk jarak satu kilometer saja maunya naik angkot, selama angkot memang lalu lalang antara tempat tinggal mereka dengan sekolah. 

Dulu sekali, di jaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, atau bahkan sampai seratus dua ratus tahun yang lalu, orang-orang melintasi padang pasir beribu kilometer dengan berjalan kaki atau paling-paling menunggang unta. Sekarang tidak ada lagi orang yang mampu melakukan hal yang sama.

Dulu kita cepat pergi tidur malam karena penerangan di rumah hanya mengandalkan lampu togok yang berjelaga menghitamkan hidung. Atau kalaupun ada yang tinggal di rumah berlampu listrik, cahayanya remang-remang saja dan di awal malam memang sudah tidak banyak yang dapat dilakukan. Sekarang orang terlambat pergi tidur karena kebanyakan nongkrong di depan tv atau di depan laptop. Atau bila perlu bahkan pergi nonton bareng ke sebuah cafe di tengah kota.

Waktu perangkat penopang kehidupan masih sederhana, masyarakatnya lebih tegar, tahan uji dan punya semangat kegotong-royongan yang tinggi. Waktu itu manusia sangat bersahabat dengan alam. Mereka hemat dan pandai menggunakan segala sesuatu yang dihasilkan alam, tanpa keserakahan. Orang kampung dapat hidup dengan tenang, cukup dengan mengandalkan hasil sawah ladang serta kebun di sekitar rumah.

Sekarang banyak orang tinggal di rumah dengan penerangan listrik. Dengan air PAM. Dengan kompor gas. Bahkan ada yang tinggal di bangunan bertingkat yang untuk turun naik harus menggunakan lift. Tanpa menafikan bahwa masih ada yang tinggal di gubuk reyot atau di kolong jembatan. Nah, mereka yang tinggal di rumah-rumah nyaman itulah yang terlanjur menjadi orang manja dan rapuh. Mereka segera berkeluh kesah ketika listrik mati. Atau air PAM macet. Atau gas untuk memasak hilang di pasaran. Coba bayangkan seseorang yang tinggal di tingkat 20 di sebuah apartemen ketika listrik mati dan lift tidak jalan. Bagaimana caranya dia untuk turun atau naik? Dan air juga tidak mengalir. Bertambah repot dia.

Teknologi memang telah memanjakan kita dengan aneka kemudahan dan fasilitas. Pada saat bersamaan kemajuan teknologi itu ternyata menjadikan kita lemah menghadapi tantangan.

****                             

Senin, 02 Mei 2016

Astaghfirullah…Astaghfirullah…Wa atuubu IlaiK Ya Allah….!!! Ampuni hamba Ya Allah..

Astaghfirullah…Astaghfirullah…Wa atuubu IlaiK Ya Allah….!!! Ampuni hamba Ya Allah..

(Sebuah Tulisan Bagus Di Tomindo)

Suatu hari saya bersenggolan dengan seseorang yang tidak saya kenal. “Oh, maafkan saya,” reaksi spontan saya. Ia juga berkata: “Maafkan saya juga.” Orang itu dan saya berlaku sangat sopan. Kami pun berpisah dan mengucapkan salam.

Namun cerita jadi lain, begitu sampai di rumah. Pada hari itu juga, saat saya sedang menelepon salah satu kolega terbaik saya, dengan bahasa sangat lembut dan santun untuk meraih simpati kolega saya itu, tiba2 anak lelaki saya berdiri diam-diam di belakang saya. Saat saya berbalik, hampir saja membuatnya jatuh. “Minggir!!! Main sana, ganggu saja!!!” teriak saya dengan marah. Ia pun pergi dengan hati hancur dan merajuk.

Saat saya berbaring di tempat tidur malam itu, dengan halus, Tuhan berbisik, “Akan kusuruh malaikat menyabut nyawamu dan mengambil hidupmu sekarang, namun sebelumnya, aku akan izinkan kau melihat lorong waktu sesudah kematianmu. Sewaktu kamu berurusan dengan orang yang tidak kau kenal, etika kesopanan kamu gunakan. Tetapi dengan anak yang engkau kasihi, engkau perlakukan dengan sewenang-wenang, akan kuberi lihat setelah kematianmu hari ini, bagaimana keadaan atasanmu, kolegamu, sahabat dunia mayamu, serta keadaan keluargamu”

Lalu aku pun melihat, hari itu saat jenazahku masih diletakkan di ruang keluarga, hanya satu orang sahabat dunia mayaku yang datang, selebihnya hanya mendoakan lewat grup, bahkan juga ada yang tidak komentar apapun atas kepergianku, dan ada yang hanya menulis 3 huruf singkat, ‘RIP’.

Lalu teman-temanku sekantor, hampir semua datang, sekejap melihat jenazahku, lalu mereka asik foto-foto dan mengobrol, bahkan ada yang asik membicarakan aibku sambil tersenyum-senyum. Bos yang aku hormati, hanya datang sebentar, melihat jenazahku dalam hitungan menit langsung pulang. Dan kolegaku, tidak ada satupun dari mereka yang aku lihat.

Lalu kulihat anak-anakku menangis di pangkuan istriku, yang kecil berusaha menggapai2 jenazahku meminta aku bangun, namun istriku menghalaunya. istriku pingsan berkali-kali, aku tidak pernah melihat dia sekacau itu. Lalu aku teringat betapa sering aku acuhkan panggilannya yang mengajakku mengobrol, aku selalu sibuk dengan hpku, dengan kolega2 dan teman2 dunia mayaku. Lalu aku lihat anak2ku.. Sering kuhardik dan kubentak mereka saat aku sedang asik dengan ponselku, saat mereka ribut meminta aku temani. Oh Ya Allah.. Maafkan aku.

Lalu aku melihat tujuh hari sejak kematianku, teman-teman sudah melupakanku, sampai detik itu aku tidak mendengar mendapatkan doa mereka untukku. Perusahaan telah menggantiku dengan karyawan lain, teman-teman dunia maya masih sibuk dengan lelucon2 di grup, tanpa ada yang membahasku ataupun bersedih terhadap ketiadaanku di grup mereka.

Namun, aku melihat istriku masih pucat dan menangis, airmatanya selalu menetes saat anak2ku bertanya dimana papah mereka. Aku melihat dia begitu lunglai dan pucat, kemana gairahmu, istriku?

Ya Allah Maafkan aku..Teman FB ku lenyap secara drastis, semua memutuskan pertemanan denganku, seolah tidak ingin lagi melihat kenanganku semasa hidup, bosku, teman2 kerja, tidak ada satupun yang mengunjungiku kekuburan ataupun sekedar mengirimkan doa. Lalu kulihat keluargaku, istriku sudah bisa tersenyum, tapi tatapannya masih kosong, anak2 masih ribut menanyakan kapan papahnya pulang, yang paling kecil yang paling kusayang, masih selalu menungguku dijendela, menantikan aku datang.

Lalu 15 tahun berlalu.

Kulihat istriku menyiapkan makanan untuk anak2ku, sudah mulai keliatan guratan tua dan lelah di wajahnya, dia tidak pernah lupa mengingatkan anak2 bahwa ini hari Jumat, jangan lupa kekuburan papah, jangan lupa berdoa setiap habis shalat. Lalu aku membaca tulisan di secarik kertas milik putriku malam itu, dia menulis.. “Seandainya saja aku punya papah, pasti tidak akan ada laki2 yang berani tidak sopan denganku, tidak akan aku lihat mamah sakit2an mencari nafkah seorang diri buat kami, oh Ya Allah.. Kenapa Kau ambil papahku, aku butuh papahku Ya Allah..” kertas itu basah, pasti karena airmatanya. Ya Allah maafkanlah aku. Sampai bertahun2 anak2 dan istriku pun masih terus mendoakanku setelah shalat, agar aku selalu berbahagia di akhirat sana.

Lalu seketika, aku terbangun.. Dan terjatuh dari dipan.. Oh Ya Allah Alhamdulillah.. Ternyata aku cuma bermimpi.

Pelan-pelan aku pergi ke kamar anakku dan berlutut di dekat tempat tidurnya, masih aku lihat airmata disudut matanya, kasihan sekali, terlalu kencang aku menghardik mereka..

“Anakku, papah sangat menyesal karena telah berlaku kasar padamu.“Si kecilku pun terbangun dan berkata, “Oh papah, tidak apa-apa. Aku tetap mencintaimu.”

“Anakku, aku mencintaimu juga. Aku benar-benar mencintaimu, maafkan aku anakku.” Dan kupeluk anakku. Kuciumi pipi dan keningnya.

Lalu kulihat istriku tertidur, istriku yang sapaannya sering kuacuhkan, ajakannya bicara sering kali aku sengaja ber-pura2 tidak mendengarnya, bahkan pesan2 darinya sering aku anggap tak bermakna, maafkan aku istriku, maafkan aku.

Air mataku tak bisaku bendung lagi.

Apakah kita menyadari bahwa jika kita mati besok pagi, perusahaan di mana kita bekerja akan dengan mudahnya mencari pengganti kita dalam hitungan hari? Teman2 akan melupakan kita sebagai cerita yang sudah berakhir, beberapa masih menceritakan aib2 yang tidak sengaja kita lakukan. Teman2 dunia maya pun tak pernah membahas lagi seolah, aku tidak pernah mengisi hari2 mereka sebagai badut di grup.

Lalu aku rebahkan diri di samping istriku, ponselku masih terus bergetar, berpuluh puluh notifikasi masuk menyapaku, menggelitik untuk aku buka, tapi tidak.. tidak. Aku matikan ponselku dan aku pejamkan mata, maaf.. Bukan kalian yang akan membawaku ke surga, bukan kalian yang akan menolongku dari api neraka, tapi ini dia.. Keluargaku, keluarga yang jika kita tinggalkan akan merasakan kehilangan sekali.

****