Sabtu, 29 September 2012

Mesjid Raya Bukit Tinggi



Mesjid Raya Bukit Tinggi

Hari Jum'at subuh kemarin aku sengaja pergi shalat subuh ke mesjid Raya. Berjalan kaki menaiki tangga di ujung jalan Lurus di Kampuang Cino ke arah Pasa Ateh dekat gerbang kebun binatang. Karena di mesjid ini imam membaca surah As Sajdah (surah 32) pada shalat subuh. Suatu amalan sunnah yang dicontohkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam setiap shalat subuh di hari Jum'at.

Begitu sampai di dalam mesjid terlihat jumlah jemaah yang lebih banyak dari yang biasa aku lihat sebelum-sebelumnya. Kemarin itu kami shalat dengan makmum lebih dari  40 orang jamaah laki-laki. Imam shalat seorang yang kira-kira seumur denganku. Sudah beberapa kali aku menjadi makmum di belakangnya, terutama pada waktu shalat subuh di hari Jum'at. Bacaannya bagus dan tartil. Suaranya agak sedikit serak. Aku menyimak bacaannya dengan khusyuk. Dulu aku pernah diberi tahu nama imam ini, tapi sekarang sudah lupa.

Seperti yang disunahkan dia membaca surah As Sajdah di rakaat pertama dan surah Al Insan di rakaat kedua. Kami menyimak bacaannya yang sangat elok itu. Kami sujud tilawah di rakaat pertama setelah imam memberi komando dengan takbir setelah dia sampai ke ayat 15. Sajada wajhiya lilladzi khalaqaha wa sam'aha, wa absharaha bi haulihi wa quwwatihi fa tabarakallahu ahsanul khaaliqiin...

Sesudah shalat ada taklim subuh. Biasanya sebagian besar jemaah meninggalkan mesjid sebelum ustad mengawali ceramah. Tapi kali ini tidak. Ustad berceramah tentang orang-orang yang menerima kitabnya dari sebelah kanan kelak. Mereka disuruh membacanya. Dan mereka bergembira karena mereka akan dimasukkan Allah ke dalam surga dan akan mendapat keridhaan Allah. Sedangkan sebaliknya akan ada orang-orang yang akan menerima kitab mereka dari sebelah kiri. Mereka akan meratap menyesali diri. Karena mereka akan dimasukkan ke dalam neraka dan di sana mereka akan disiksa akibat dosa dan kelalaian mereka. Mereka mengingkari perintah Allah sewaktu hidup di dunia.

Pada saat catatan amalan dibagikan di hari perhitungan setiap jiwa sudah mengetahui di mana dia akan ditempatkan. Buku catatan itu disuruh baca. Semua amalan selama hidup di dunia tercatat di sana dan diperlihatkan, yang baik meskipun yang buruk. Setiap kebajikan dan setiap keburukan, walau sebesar biji zarrah akan diperlihatkan. Seseorang yang menerima kitabnya dari sebelah kanan, dia pernah berbuat dosa, maka dosanya itu akan dilihatnya, dan diberitahukan bahwa dosa tersebut sudah diampuni. Begitu pula halnya, seseorang yang menerima kitabnya dari sebelah kiri, dia pernah berbuat kebajikan, maka kebajikannya itu juga dilihatnya. Dia diberi tahu bahwa perbuatan baiknya itu sia-sia, karena tidak diberi imbalan apa-apa.

Demikianlah lebih kurang isi ceramah ba'da subuh itu.

Siangnya, aku kembali ke mesjid Raya untuk shalat Jum'at. Aku mendengar khotbah yang sangat indah, yang mengingatkan agar setiap amal dilakukan dengan mengikuti contoh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, dan tidak melakukan amalan yang kita perkirakan baik, padahal tidak ada contohnya. Diingatkannya pula, bahwa kita jangan mengartikan ayat-ayat al Quran tanpa pengetahuan dan dengan memperturutkan hawa nafsu atau perkiraan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Ayat-ayat al Quran itu ada yang muhkamat, yang jelas maksudnya. Dan ada yang mutasyabihat yang memerlukan penjelasan. Penjelasan itu haruslah berdasarkan keterangan dari al Quran dengan ayat yang lain atau penjelasan dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Penjelasan ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan dengan merekayasa atau mencari-cari takwil atau maksudnya.

Diberikan contoh tentang ayat ke 62 surah al Baqarah, yang artinya, 'Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi, dan orang-orang Nashara, dan orang-orang Shabiin yang beriman dengan Allah dan hari akhirat, dan mereka berbuat kebajikan, maka bagi mereka pahala dari Tuhan mereka. Mereka tidak merasa takut dan tidak pula mereka bersedih hati.' Ayat ini adalah ayat mutasyabihat. Dan ayat ini dijelaskan dengan keterangan bahwa sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam (surah Ali Imran ayat 19). Dan ayat yang lain yang menjelaskan bahwa, barangsiapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka Allah tidak akan menerimanya (surah Ali Imran ayat 85).

Mengartikan ayat-ayat mutasyabihat tanpa ilmu sangat besar risikonya di sisi Allah. Jadi, janganlah kita merekayasa ma'na dari suatu ayat yang tidak kita fahami. Seperti ada yang membuat-buat keterangan tentang arti Alif lam miim adalah demikian-demikian, padahal Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkannya.
 
Sebuah khotbah yang sangat tegas dan menyentuh.

*****

Kamis, 27 September 2012

Berziarah

Berziarah 

Tiba-tiba saja aku ingin berziarah ke makam ayahku. Sesuatu yang sangat jarang aku lakukan. Aku percaya bahwa doa setiap selesai shalat lebih baik bagi arwah beliau. Tapi tentu saja berziarah sekali-sekali perlu juga. Ma'na utama dari berziarah adalah untuk mengingatkan diri kita tentang kematian. Doa yang diajarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, 'Assalamu'alaikum ya ahlid diyaar, minal mukminin wal muslimin wa inna insya Allahu bikum laahiquun'. (Keselamatanlah bagi kalian wahai penghuni kampung kuburan, dari golongan orang beriman dan golongan orang Islam. Sesungguhnya kamipun insya Allah akan bergabung dengan kalian).


Sesudah sarapan pagi di lapau Garegeh hari Selasa kemarin, kami halau oto ketek kami menuju nagari bako, di Koto Panjang Kamang Hilir. Kak Juwin, kemenakan ayahku, terkejut melihat kedatangan kami di pagi buta itu. Kami naik ke rumahnya untuk bersilaturahim dan berbincang-bincang. Aku jelaskan niatku ingin pergi ke makam dan minta tolong dicarikan teman. Teman itu adalah An, kemenakan, anak kakak dari kak Juwin, yang pagi itu masih di tempat ibunya di rumah sebelah.


Bertiga kami menuju makam yang terletak di tengah sawah. Kami berjalan menyusuri pematang sempit, kadang-kadang harus melompati bandar tali air. Istriku hampir-hampir menyerah, tapi alhamdullilah akhirnya kami sampai juga. 


Aku bacakan salam seperti di atas. Aku bacakan doa untuk beliau. Mudah-mudahan Allah menerangi dan melapangkan kubur beliau. Ini adalah kesekian yang sangat sedikit aku datang berziarah ke makam ini. Sejak beliau meninggal lebih setengah abad yang lalu.

Pulang dari makam aku bertemu dengan sepupu lain, si Mas, adik kak Juwin di rumah anaknya. Teman yang dulu sama-sama bermain layang-layang. Pergi berjalan-jalan ke Tarusan. Panjang pula cerita kami. Kami kembali ke rumah dan dijamu kak Juwin. Makan siang yang disiapkannya sementara kami pergi berziarah tadi. Makan di rumah bako. Makan sambil berbincang santai.

****

Selasa, 25 September 2012

Kunjungan Ke Sumpur Kudus

Kunjungan Ke Sumpur Kudus

Hari Senin kemarin aku mengunjungi negeri di atas Awan, di ujung negeri, di tempat yang terpisah jauh melalui pesawangan yang terentang panjang melingkar bukit berliku. Itulah nagari Sumpur Kudus, sebuah kampung yang pernah tercatat sebagai tempat bersejarah Republik Indonesia. Di sana kulihat kemarin tugu PDRI, sebuah monumen pertanda bahwa kampung ini ikut berperan penting ketika awal berdirinya negara kita ini. 


Mulanya tidak terpikir akan mengunjungi negeri yang jauh ini. Tapi sekembali dari Painan, lalu bermalam di Sawahlunto, baru terlintas, kenapa tidak sekalian mampir ke sana. Kami beberapa orang anggota mailing list Palanta Rantaunet punya sebuah proyek kerjasama pemeliharaan sapi dengan sistim bagi hasil di Calau, Sumpur Kudus. Usaha ini baru saja dimulai sejak beberapa minggu yang lalu. Perintis dan penggeraknya adalah sanak Armen Chaniago, anggota Palanta yang sangat bersemangat. Dia bertugas  di sana mengawasi dan memberi pelatihan cara mengurus sapi-sapi tersebut. 


Aku menghubunginya ketika dalam perjalananan dari Painan. Dan rupanya dia sedang berada di Payakumbuh untuk suatu urusan dan akan kembali kesana hari Senin. Jadi sangat berkebetulan. Kami berjanji akan bertemu di Kumani, sebuah kampung di gerbang menuju negeri di atas Awan itu. Aku mendapat informasi bahwa jarak Kumani-Sumpur Kudus lebih 30 km melalui jalan kecil berliku, berbelok-belok dipinggir bukit dan jurang.


Kami akhirnya bertemu di Sitangkai setelah beberapa kali kontak telepon. Pertemuan pertama karena selama ini kami hanya saling kenal di dunia maya saja. Perjalanan panjang itu segera kami mulai sambil mengobrol panjang. Melalui jalan yang sempit  tapi culup mulus. Dan betul sekali bahwa jalan itu berliku, mendaki penuh tantangan. Kami beristirahat sejenak di sebuah bukit di tengah pesawangan, mengamati pamandangan 'seribu gunung' di hadapan, yang terdiri dari bukit-bukit berlapis bergelombang. Armen bercerita tentang lembah di bawah kami adalah bagian dari lintasan jalan setapak antara Kumani dan Sumpur Kudus sebelum jalan sekarang dibuat. Waktu itu orang Sumpur  biasanya memerlukan tiga hari pulang-pergi ke pasar Kumani, berjalan kaki mengiringkan kuda beban. Karena jarak kedua kampung itu memang sangat jauh.


Kami teruskan  perjalanan melalui sisa jalan yang semakin berliku dan turun naik. Jalan yang sempit dan banyak sepeda motor. Kami harus ekstra hati-hati dengan motor yang cenderung melaju kencang di jalan yang banyak belokan tersebut. Akhirnya jam setengah dua siang kami sampai di tempat tujuan. Kami shalat di mesjid 'Raja Ibadat', mesjid yang cukup besar. Setelah itu baru teramati bahwa kampung ini, meskipun terisolasi oleh jarak, cukup maju. Rumah tembok, sepeda motor dan wajah penduduk yang ceria. 


Kandang sapi terletak di Calau, 3 km lagi dari Sumpur Kudus. Kami melanjutkan perjalanan kesana. Calau ini terletak di kanagarian baru hasil peremajaan, dinamai Sumpur Kudus Selatan. Kami temui Sekretaris Nagari, karena Wali Nagari tidak ada di tempat. Beramah-tamah sebentar, lalu kami langsung ke kandang.


Ada delapan ekor sapi di kandang itu, empat jantan dan empat betina induk. Semua terlihat sehat. Sapi jantan yang masih muda (paling muda berumur enam bulan) mulai agak gemuk. Aku berkhayal, cara memelihara sapi ini dapat kami tiru nanti di Yayasan Syekh Ahmad Khatib. Kami  berada di kandang sapi lebih kurang empat puluh lima menit. Bergegas meninggalkan kandang karena hujan tiba-tiba turun. Tadinya Armen mau membawa kami berziarah ke makam Syekh Ibrahim, ulama yang menurut kabarnya membawa agama Islam ke daerah ini. Acara tersebut tidak jadi karena hujan cukup lebat.


Armen kami antarkan ke kantor Wali Nagari Sumpur Kudus yang merupakan base camp-nya. Kami berpisah di sana. Hari masih hujan, jadi kami tidak ikut turun. Perjalanan pulang harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Alhamdulillaah jam 5 kami sampai di simpang tiga Sitangkai. Berbelok ke kiri menuju Batusangkar yang sekitar 35 km jaraknya. Menjelang maghrib kami sampai di Batusangkar. Di sini kami istirat untuk makan dan shalat.

*****

Minggu, 23 September 2012

Berjalan Tanpa Banyak Rencana

Berjalan Tanpa Banyak Rencana

Dimulai dengan rencana untuk beristirahat sedikit. Untuk mengambil cuti agak seminggu. Karena sejak bekerja kembali satu setengah tahun yang lalu, aku boleh dikatakan tidak pernah beristirahat. Tidak pernah cuti. Lalu aku putuskan untuk mengambil hari libur. Hari Jum'at kemarin, lepas tengah hari (paginya masih masuk kantor), aku dan istri berangkat ke bandara Soeta. Jam setengah empat sore berangkat menuju Padang. Dari bandara Minangkabau kami langsung menuju Bukit Tinggi dengan mobil yang sudah aku pesan sebelumnya. Malamnya jam setengah sepuluh malam kami sampai di Bukit Tinggi. 

Pagi Sabtu kemarin mampir di rumah adik ipar. Dia mengajak berjalan-jalan ke Painan, yang adalah kampung istrinya. Kami langsung setuju dan akan berangkat hari Minggu pagi. Adik ipar ini berangkat lebih dahulu, hari Sabtu sore. Istriku menghubungi kakaknya di Sawahlunto, menanyakan apakah mereka berminat ikut. Jawabannya adalah iya, asal disinggahi. 

Tadi pagi kami berangkat jam enam dari Bukit Tinggi menuju Sawahlunto. Jam delapan sampai di sana. Mereka sudah siap. Jam setengah sembilan berangkat dari Sawahlunto, melalui Solok. Melalui Sitinjau Lauik yang sebagian jalannya sedang dicor, sehingga lalu lintas agak tersendat. 

Menyetir di kampung halaman ini menyenangkan. Jalan mulus dan lalu lintas lancar. Mobil sewaan adalah mobil kecil yang lumayan nyaman. Satu-satunya komplain istriku karena kami dibekali hanya dengan sebuah kaset lagu dangdut. Tapi hal itu tidak perlu jadi masalah. Tinggal dimatikan saja kalau tidak suka. 

Ada rombongan kemenakan ikut dari Padang. Dua keluarga kemenakan dengan anak-anak mereka. Jadi sekarang kami ada di dua mobil. Kami meneruskan perjalanan dari Padang, terus menuju Painan melalui Bungus. Di Bungus kami makan siang di sebuah kedai nasi. Ada hidangan gulai kepala ikan. Tampak menyelera. Tapi sayang rasanya kurang istimewa. Lalu kami meneruskan perjalanan ke kampung Koto Barapak, kampung yang dituju. Adik ipar dan istrinya sudah menunggu di sana. Kami beramah tamah sebentar, lalu meneruskan perjalanan ke pantai Cerocok. 

Pantai Cerocok ini cukup rancak. Kemenakan dan cucu-cucu bermain-main dengan gembira. Kami di pantai ini sekitar satu jam. Tidak bersama-lama karena kami akan kembali ke Sawahlunto sore ini juga. 

Hari ini perjalanan ditempuh tanpa banyak rencana.

*****

Jumat, 21 September 2012

Bukit Tinggi Di Kala Subuh

Bukit Tinggi Di Kala Subuh 

Ini untuk memulai cerita. Aku tidur tidak terlalu nyenyak malam ini. Agak susah tidur dan tiap sebentar terbangun. Penyebabnya pastilah kopi manis waktu makan malam di Ayia Badarun. Jam tiga terbangun untuk ke kamar kecil, habis itu berusaha tidur lagi. Lalu terbangun lagi jam setengah lima, sebelum azan pertama. Bergegas bangun dan bersiap-siap untuk pergi shalat ke mesjid. 

Nama mesjid di ujung jalan Luruih itu Nurul Haq (bukan Baitul Haq). Begitu azan kedua berkumandang aku segera menuju kesana. Ternyata yang azan lebih dulu adalah mesjid Raya. Udara subuh ini tidak terlalu dingin. Jalan basah, karena tadi hujan. Jarak ke mesjid dari tempat kami menginap hanya 25 meter. Dekat sekali. Sekitar 20an orang sudah hadir dalam mesjid. Mesjid  Raya lebih jauh dan harus melalui tangga yang cukup tinggi. Tapi jarak garis lurus antara kedua mesjid itu mungkin hanya seratus meter saja.

Pengeras suara kedua mesjid Nurul Haq dan mesjid Raya sama bagusnya dan bertanding-tanding volumenya kalau kita dengar dari luar. Syukurlah di dalam mesjid suara dari mesjid yang lain tidak terlalu mengganggu. Dan pagi ini imam mesjid Raya beberapa puluh detik lebih duluan mengawali shalat.

Shalat di Nurul Haq menyusul kemudian. Ada lebih kurang 25 orang jamaah laki-laki dalam 2 shaf pendek. Bacaan imam shalat subuh pagi ini bagus dan tartil sekali. Di rakaat pertama dibacanya surah Ar Rahman (satu 'ain pertama). Lalu di raka'at kedua surah Al A'la. Dan kekhasan jemaah di sini ada doa qunut meski tidak semua ikut mengangkat tangan mengaminkan. Termasuk aku. Zikir sesudah shalat bersama-sama disertai tahlil. Aku berzikir sendiri, berdoa sendiri dan segera keluar sesudah itu. Ada kuliah subuh di kedua mesjid. Dengan suara yang bertanding-tanding. 

Jam enam, di saat Bukit Tinggi masih diselimuti kabut embun, kami pergi sarapan ke Garegeh. Bubua samba dan teh talua. Setelah itu mampir ke rumah ipar yang tidak jauh dari lepau bubua samba itu. Menghotar-hotar kecil dan merancang acara. Rencana sementara kami akan ke Painan, ke kampung istri adik ipar. Yang pasti siang ini aku akan rapat di Ma'had Syekh Ahmad Khatib di kampungku Koto Tuo.

Begitulah sementara....


*****

Kamis, 20 September 2012

Gaptek (lagi)

Gaptek

Sekali lagi tentang gaptek. Tentang gagap (dengan) teknologi. Bagaimana tidak. Kemamuan otakku menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi menggunakan rumus deret hitung. Maju sekadarnya saja. Sementara kemajuan teknologi saat ini punya kecepatan dengan kurva deret ukur. Pesat sekali. Teknologi berpacu dengan sangat kencang, menghasilkan produk-produk canggih bahkan semakin canggih. Dari sehari ke sehari, seminggu ke seminggu, sebulan ke sebulan. 

Kita lihat lagi perangkat telepon genggam sebagai contoh. Aku menyadari kehadirannya kira-kira 20 tahun yang lalu. Ketika itu modelnya masih sangat sederhana. Tapi kita, aku terutama, terheran-heran melihatnya. Sebuah alat komunikasi yang bisa dibawa kemana saja dan digunakan di mana saja. Hanya orang-orang tertentu yang menggunakan HP ketika itu. Karena alat maupun pulsanya mahal.

Bertahun-tahun kemudian dihitung sejak kemunculannya, aku baru ikut-ikutan punya HP. Bagiku kegunaannya hanya untuk keadaan darurat saja, misalnya jika aku mendapat masalah di jalan lalu harus memberi tahu ke rumah. Dan untuk mengirim sms seperlunya pula. Anak-anak dan istriku sudah lebih dahulu dariku jadi pengguna telepon genggam.

Teknologi HP maju dengan cepat. Dalam perkembangannya itu, muncul variasi yang pakai kamera. Anak bungsuku yang mula-mula memakainya di keluarga kami. Katanya banyak manfaatnya. Tapi menurutku hal itu hanya pintarnya orang berdagang saja. Kalau ingin mengambil foto tetap yang diperlukan adalah sebuah kamera. Jadi aku tetap pengguna setia HP murahan, untuk  keperluan darurat dan mengirim sms ala kadarnya. Sampai suatu hari, tiga tahun yang lalu si Tengah memberi hadiah HP berkamera. Tentu tidak mungkin ditolak.

Awalnya aku menggunakan HP baru itu seperti biasa, seperlunya saja. Tapi akhirnya, meski gaptek, berhasil juga mengutak-atik sedikit. Bisa mengambil foto, membuka email, melihat Facebook dan sebagainya. Meski tetap sekedar saja. Kalau untuk keperluan yang lebih serius aku tetap memilih computer di rumah.

Sementara itu  istri dan anak-anakku sudah pindah jadi pengguna BB, sesuatu yang menurut pendapatku terlalu berlebih-lebihan, berbiaya mahal dan tidak perlu. Pintarnya para inovatornya, setiap edisi baru perangkat HP yang mana saja muncul dengan kelebihan ekstra yang semakin canggih dari yang sebelumnya. Semua produser berpacu-pacu atas mengatasi. Penggunaan HP berubah drastis pula menjadi seperti komputer tangan. Dapat digunakan mengambil data, mengolah data, mengirim data dan sebagainya. Aku menyaksikan semua itu. Tapi tetap belum terlalu tergugah. Tetap fanatik dengan HP sederhana sementara urusan komunikasi data yang biasanya menggunakan komputer (PC) diteruskan dengan menggunakan perangkat yang sama. Aku tidak pernah berada pada posisi harus mengirim email ketika berada dalam perjalanan. Jadi tidak merasa terganggu dengan kesederhanaanku.

Suatu ketika aku meyaksikan seorang kemenakan menggunakan smartphone (Iphone). Dia mendemonstrasikan penggunaan alat kecil itu untuk menyimak dan mebaca al Quran, disamping mengoleksi isi kitab-kitab hadits yang tebal (shahih Bukhari dan Muslim dan sebagainya). Aku mulai tertarik dengan pertunjukannya itu. Dari hasil diskusi dengannya, aku setuju membeli Ipad (atas sarannya). Dan aku beli dua bulan yang lalu. Bisa diisi al Quran dan lain-lainnya itu. Untuk menggunakannya secara lancar ternyata tetap tidak mudah. Tetap saja gaptek. Yang lebih lincah menggunakannya justru cucu-cucuku. Rafi dan Rasyid yang memang sudah lebih besar, sudah lebih enam tahun, jauh lebih menguasai penggunaannya untuk games. Adiknya Rayyan yang baru dua tahun tidak kalah gesit.  Jadi Ipad ini sementara lebih banyak digunakan cucu-cucu saja. Tulisan ini bagian awal aku ketik di Ipad. Sampai akhirnya mentok, dan tidak tahu bagaimana menggesernya. Terpaksa dikirim ke laptop dengan email lalu diteruskan disini.

Begitulah cerita gaptek......

******                                      

Sabtu, 15 September 2012

Orang-orang Yang Mengingkari Islam

Kenapa Ada Orang-orang (Minang) Yang Mengingkari Islam?

Baru-baru ini ada suatu kejadian mengejutkan di Ranah Minang. Ada seorang pegawai negeri urang awak menyatakan dirinya sebagai atheis. Lebih dahsyat lagi dia mengatakan bahwa dia adalah anggota organisasi Atheis Minang. Ada kelompok orang Minang yang atheis? Yang tidak percaya dengan Allah? Siapa yang tidak akan terkejut? Atau (kebanyakan) orang Minang mana yang tidak akan terkejut? Bukankah orang Minang itu adalah orang-orang yang taat beragama. Yang beridiom Adat Bersendi Syara', Syara' Bersendi Kitabullah? Kok tiba-tiba ada berita seperti ini? Tapi, benarkah semua orang kaget? Terkejut? Mungkin tidak semua. Karena pasti ada yang tidak kaget, sekurang-kurangnya anggota kelompok mereka itu sendiri.

Saya termasuk yang tidak terlalu terkejut. Tidak ada suatu kelompok (suku) bangsa yang terdiri dari berjuta-juta orang jumlahnya, serba seragam belaka. Serba sama tingkat keimanan dan keyakinannya. Suku bangsa manapun  mereka.  Begitu juga dengan orang Minang. Bahwa mayoritas orang Minang terdaftar beragama Islam, boleh-boleh jadi saja. Apakah semuanya penganut Islam yang taat? Apakah semuanya menjalankan perintah agama Islam secara seksama? Secara kaffah? Tidak sulit menjawabnya. Tidak mungkin yang demikian itu. Ada yang mereknya saja beragama Islam, tapi dia tidak menjalankan perintah agama Islam. Dia tidak shalat, tidak puasa, apalagi membayar zakat. Apalagi pergi berhaji. Adakah kelompok yang seperti itu? Pasti ada dan tidak susah mengamatinya. Cobalah amati orang-orang yang kita kenal, di sekeliling kita. Bahkan mungkin di lingkungan sanak famili kita sendiri. Ada yang shalih, ada yang tidak shalih. Ada yang taat dan ada yang acuh tak acuh saja. 

Di lingkungan tempat tinggal saya, di sebuah komplek 200 an buah rumah, ada 12 an keluarga urang awak. Ada yang suami istri orang Minang dan ada pula yang campuran. Yang laki-lakinya Minang,  istrinya Jawa atau Betawi. Dan sebaliknya yang wanitanya Minang sedangkan suaminya Jawa atau Bugis atau Madura. Yang menarik adalah fakta bahwa hanya enam atau tujuh orang bapak-bapak urang awak itu yang taat datang ke mesjid untuk shalat berjamaah. Saya katakan enam atau tujuh karena ada yang masih setengah-setengah, kadang-kadang hadir, kadang-kadang tidak. Ada yang hadirnya hanya di hari Jumat saja. Shalat tarawih di bulan puasa pun ada yang tidak pernah datang. Dan ada satu orang yang tidak pernah sekalipun hadir ke mesjid. Tidak hadir shalat Id ke lapangan. Masya Allah..... Yang satu ini pernah diajak oleh warga, jawabannya hanya senyum sinis saja.

Di kampung saya, shalat subuh paling banyak dihadiri oleh sekitar dua puluh orang jamaah laki-laki dan sejumlah itu pula jamaah perempuan. Penduduk kampung itu adalah sekitar 200 orang dewasa. Yang lain mungkin shalat di rumah sendiri-sendiri. Mungkin......  Adakah orang kampung yang tidak shalat? Ah, entahlah.....

Di mesjid Raya Bukit Tinggi shalat subuh juga dihadiri sekitar dua puluhan orang jamaah laki-laki dan belasan orang jamaah perempuan. Tapi, kan mesjid ini bukan di tengah pemukiman letaknya. Mesjid Baitul Haq di ujung jalan Lurus di Kampung Cino agak sedikit lebih banyak jamaah subuhnya. Adalah sekitar tiga puluhan orang laki-laki dan dua puluhan jamaah wanita.  Ada pula sebuah mushala dekat tempat tinggal ipar saya di sebuah komplek perumahan pula di Garegeh - Bukit Tinggi. Kompleknya cukup besar, yang hadir shalat subuh kurang dari sepuluh orang saja. Di sebuah tempat lagi di pinggir kota Sawahlunto, tempat ipar saya yang lain. Saya perlu berjalan dua ratus meter  ke mesjid terdekat untuk shalat subuh. Melalui deretan rumah-rumah. Jamaah shalat subuh  hanya satu shaf kurang dari dua puluh orang. Beberapa contoh ini barangkali cukup untuk mewakili keadaan umum di Ranah Minang.

Coba pulalah perhatikan ketika dikumandangkan azan yang mana saja di tengah kota Bukit Tinggi atau Padang. Cobalah perhatikan berapa banyak yang datang memenuhi panggilan azan tersebut? Bahkan yang memenuhi panggilan azan di hari Jum’at? Ada yang acuh tak acuh saja. Dan jumlahnya cukup banyak.

Itu kalau kita lihat dari ibadah shalat. Di bulan puasa ada saja orang yang terang-terangan tidak menjalankan ibadah puasa. Tidak terkecuali di kampung kita. Di Bukit Tinggi ada lepau berkelambu di bulan Ramadhan tempat orang makan minum di siang hari. Pernah saya bertanya, kenapa tidak puasa? Jawabnya, sakit maag. Benarkah? Wallahu a’lam.

Kenapa demikan tingkat keberagamaan urang awak? Yang ber ABS-SBK itu? Saya memahami, inilah ma'na dari yang difirmankan Allah, Fa alhamaha fujuuraha wataqwaaha. Ada yang ditaqdirkan Allah untuk fujuur, untuk fasik dan ada yang ditaqdirkan untuk bertaqwa. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah tiada siapapun yang akan dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tiada siapapun yang dapat menunjukinya. Dan Allah memberlakukannya secara sangat umum. Sebagaimana di kalangan orang Arab ada yang fujuur ada yang taqwa, begitu pula di tengah masyarakat Minang.

Sekedar perbandingan saja, kami pernah punya pembantu yang pernah bekerja beberapa tahun di Arab Saudi. Dan dia bercerita, majikan Arabnya seringkali shalat subuh di waktu dhuha. Katanya karena tertidur. Tapi masak tiap hari tertidur? Jadi di kalangan orang Arab di sana ada yang sekedarnya saja tingkat ketaqwaannya.

Sekarang kita terkejut mendengar ada yang memproklamirkan dirinya sebagai anggota kelompok Atheis Minang. Padahal bukan hanya sekarang ada orang atheis di negeri awak. Di jaman masih ada PKI dulu, cukup banyak anggota PKI yang notabene  tidak mengakui adanya Tuhan di sana. Yang jadi anggota PKI itu dari berbagai macam lapisan anggota masyarakat. Ada yang dari lingkungan orang beragama, bahkan sudah haji. Ada dari lingkungan penghulu bergelar Datuk. Ada dari kalangan terpelajar, dari kalangan guru-guru.

Kenapa mereka jadi komunis? Jadi atheis?

Kita alih sedikit kaji. Ada pula yang menghebohkan bahwa ternyata ada pula orang Minang yang murtad, yang masuk agama Kristen. Bahkan dari kalangan keluarga ulama. Lalu mau diapakan? Kalau Allah akan membiarkan mereka fujuur? Menjadi fasiq dan meninggalkan  aqidah? Jangankan anak ulama, anak Nabi kalau akan dibiarkan sesat oleh Allah, ya tersesat saja. Itulah Kan’an putera Nabi Nuh. Ada seorang di antara rombongan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mula-mula, yang ikut berhijrah ke Habasyah, ternyata di sana kemudian murtad. Masuk agama Nashrani. Tidak ada yang dapat menunjuki mereka. Nabi Nuh tidak berhasil memperingatkan puteranya untuk bertaqwa kepada Allah.

Terlintas pula pertanyaan di hati kita. Tanggung jawab siapa sebenarnya menjaga aqidah umat? Termasuk umat Islam di Minangkabau? Tanggung jawab ulamakah? Atau penguasakah? Atau ninik mamakkah? Atau diri mereka sendiri-sendirikah? Pada hemat saya, tanggung jawab utama itu terletak di pundak masing-masing individu. Di pundak kepala setiap keluarga. Di pundak seorang ayah. Di pundak seorang suami. Sesuai dengan perintah Allah agar setiap orang yang beriman menjaga diri mereka dan ahli keluarga mereka dari siksaan api neraka. Quu anfusakum wa ahlikum  naara.

Tugas ulama adalah untuk senantiasa mengingatkan setiap individu muslim, setiap umat Islam agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah. Tapi tugas ulama hanya sebatas mendakwahkan. Sebatas mengingatkan tanpa bosan-bosan. Memberi peringatan dan penjelasan kepada umat tentang akibat dan resiko jika seseorang melanggar perintah Allah. Penguasa bertanggung jawab memfasilitasi keberagamaan masyarakat dan  berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah dalam mengurus kemashlahatan masyarakat. Penguasa yang seperti ini yang dalam Islam disebut sebagai Ulil Amri. Seandainya mereka, para penguasa tidak melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan Allah, itu adalah tanggung jawab mereka kelak di hadapan Allah dan biarlah mereka menanggung segala resikonya. Tapi ketika kita lalai untuk urusan ibadah kita sehari-hari, maka itu adalah tanggung jawab kita masing-masing pula.

Terakhir sekali, apa yang harus kita lakukan ketika mendengar ada di kalangan saudara-saudara kita yang atheis? Yang murtad? Kalau mungkin cobalah dakwahi. Kalau tidak, cobalah doakan agar kiranya mereka diberi hidayah oleh Allah, kembali ke jalan yang diridhai Allah. Kalau tidak berhasil juga, sadarlah bahwa mereka memang orang-orang yang dibiarkan oleh Allah untuk tersesat dan itu adalah hak dan kekuasaan Allah. Mari kita senantiasa berusaha dan berdoa agar kita dan anak keturunan kita diberi petunjuk oleh Allah dan terhindar dari siksaan api neraka.  

*****                 
     

Rabu, 12 September 2012

4 HbH Dalam Tiga Hari

4 HbH Dalam  Tiga Hari 

Tanpa disengaja, 4 HbH dijalani berurutan  dalam waktu tiga hari. Tanpa disengaja karena aku bukan panitia di keempat HbH tersebut, tahu-tahu susunannya sudah seperti itu.

Yang pertama adalah HbH anggota mailinglist RantauNet. Waktunya hari Sabtu siang yang lalu bertempat di kediaman seorang sesepuh RantauNet di daerah Pondok Indah. Undangannya disampaikan melalui email sekitar seminggu sebelumnya. Begitu rencana itu diumumkan panitia, bertubi-tubi datang jawaban anggota palanta yang berdomisili di Jabodetabek menyatakan akan ikut hadir. Aku pun jadi tergugah untuk datang dan segera pula memberitahu panitia. 

Alhamdulillah, ternyata HbH tersebut sebuah pertemuan yang sukses. Baik dari jumlah yang hadir (sekitar lima puluh orang) maupun dari hal hidangan yang dibawakan oleh para peserta. Banyak sekali macamnya, termasuk gulai jariang, palai rinuak, dendeng batokok. Kamipun makan lamak bertambuh-tambuh. Diikuti pula dengan mencicipi lamang tapai, katan jo goreang pisang, rakik maco dan banyak lagi, sesudah makan nasi. Pertemuan itu dimanfaatkan pula untuk berdiskusi tentang cita-cita RantauNet. Meski banyak dari cita-cita selama ini tidak terlalu mulus pencapaiannya. Setidak-tidaknya HbH ini berhasil dalam menyambung tali silaturrahim di antara anggota Palanta RantauNet, yang selama ini hanya berkomunikasi di dunia maya.

HbH kedua di hari Ahad siang, adalah pertemuan kecil-kecilan kami keturunan rumah di ujuang. Rumah di ujuang adalah rumah ibuku di kampung. Anak keturunan nenek dari rumah itu sekarang  adalah sampai generasi anak-anak kami, yang sudah berkeluarga pula. Anggotanya bertaburan kemana-mana sampai ke Singapura, sampai ke Inggeris. Tapi sebagian berdomisili di Jabodetabek, dan mereka ini yang berhalal bi halal kemarin itu. HbH yang ini sekedar makan bersama, sambil mengamati cucu-cucu yang heboh berlari-lari ke sana ke mari.

Malam harinya giliran HbH komplek tempat aku tinggal. Ini benar-benar HbH yang sangat perlu. Karena meski kami saling bertemu di mesjid pada waktu shalat (sebagian cukup besar), tapi bermaaf-maafan dan bersalam-salaman belum kami lakukan. Masing-masing sibuk berhari raya dengan sanak saudara dan karib kerabat. Bahkan tidak sedikit pula yang ikut mudik berlebaran. Pertemuan HbH ini kami lakukan di lapangan komplek. Semua warga diundang, termasuk yang bukan Muslim. Dalam urusan makan-makan, acaranya terhitung sederhana. Acaranya pun dibuat ringkas-ringkas saja, mendengar ceramah singkat Hikmah HbH, bersalam-salaman, lalu acara ramah tamah sambil menikmati semangkuk bakso.

Hari Senin siang adalah HbH di tempat kerja. Diawali dengan ceramah Hikmah HbH juga, shalat zhuhur berjamaah, lalu acara makan-makan. Nah, urusan makan-makannya tentu saja agak istimewa. Berlimpah-limpah. Karena tanggungan perusahaan.

Ada juga yang bertanya dengan berbisik. HbH ini dijaman Nabi ada tidak? Jangankan di jaman Nabi, di tempat lain di luar Indonesia juga tidak ada. Ini khusus adanya di negeri kita saja. Lha, apakah itu bukan acara yang dibuat-buat? Ya, dibuat-buat memang, untuk saling bertemu, menyambung tali silaturrahim, dalam suasana ceria, diikuti dengan acara makan-makan. Dan pertanyaannya tidak diteruskannya......

*****

Sabtu, 08 September 2012

Membaca Sastra Hasil Karya Buya Hamka

Membaca Sastra Hasil Karya Buya Hamka

Entah kenapa, belakangan ini tiba-tiba aku jadi sangat ingin membaca novel buah tangan Buya Hamka. Dulu aku hanya pernah membaca beberapa buah buku beliau seperti Merantau Ke Deli, Empat Bulan Di Amerika, Adat Minangkabau Menantang Revolusi. Itu pun karena secara tidak sengaja menemukan buku-buku tersebut, lupa entah punya siapa, lalu membacanya. Aku sudah pernah mendengar tentang karya beliau yang lain seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, tapi belum pernah membaca karena belum pernah menemukannya. 

Sekarang, ketika segala sesuatu bisa di'google', aku berhasil menemukan kontak untuk memesan buku-buku tersebut, yang ternyata masih ada di jual di toko. Betul-betul sebuah karya yang sangat mencengangkan kepopulerannya. Masih dalam proses untuk memesannya. Aku telah menghubungi toko dimaksud dengan email, tapi belum dapat jawaban.

Tanpa sengaja, aku menemukan Di Bawah Lindungan Ka'bah utuh di sebuah web. Dalam ejaan Malaysia, meski bahasa dan alur penuturannya tetap khas Buya Hamka, dengan bahasa Indonesia yang berbau Minang. Baru sekarang inilah aku mengetahui isi cerita tersebut. Sebuah karya sastra yang sudah berumur, ditulis sekembali beliau menunaikan ibadah haji di tahun 1927, pastinya beliau tulis tangan. Aku benar-benar terkagum-kagum. 

Isi cerita Di Bawah Lindungan Ka'bah (bagi yang belum membacanya) adalah cerita 'kasih tak sampai' sepasang anak manusia, dalam hal ini Hamid dan Zainab. Zainab adalah anak kandung seorang kaya (Haji Jaafar), dan Hamid adalah anak asuh orang kaya itu. Keduanya disekolahkan Haji Jaafar bersama-sama sampai ke tingkat menengah pertama (MULO). Tamat dari sekolah menengah, keduanya berpisah. Hamid melanjutkan sekolah ke Padang Panjang, sementara Zainab tidak diizinkan lagi bersekolah karena harus masuk masa pemingitan. Hati kedua anak manusia ini saling merindukan satu sama lain, terutamanya sejak mereka mengijak usia akil baligh, tapi kondisi psikologis yang berbeda menghalangi mereka untuk mengutarakan perasaan tersebut. 

Sepeninggal Haji Jaafar, Hamid mendapat tugas sangat khusus dari ibu Zainab, membujuk Zainab agar mau dinikahkan dengan kemenakan almarhum ayahnya. Hamid melaksanakan tugas itu, menyampaikan dan membujuk Zainab agar mau dinikahkan dengan orang tersebut. Zainab menolak. Hamid, sesudah melaksanakan permintaan itu, pergi meninggalkan kota Padang dengan perasaan yang hancur. Dia mengembara ke Medan, terus ke Singapura, ke Bangkok, ke India sampai akhirnya ke Makkah. Di sanalah dia berjumpa dengan 'aku' (buya Hamka) dan menceritakan derita cintanya tersebut, setelah dibujuk oleh 'aku'.

Cerita itu berakhir dengan tragis, ketika Zainab jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Dan Hamid pun (yang juga sakit-sakitan) meninggal setelah selesai melaksanakan ibadah haji, jatuh pingsan di depan Ka'bah. Keduanya meninggal pada waktu yang hampir bersamaan.

Dalam dua novelnya (yang satunya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk), Hamka menutup cerita dengan akhir yang memilukan. Dengan akhir cerita kasih tak sampai. Di Bawah Lindungan Ka'bah yang baru saja aku baca sampai tamat, terasa sangat menarik, karena alur ceritanya mengalir sangat jelas. 

*****           

Jumat, 07 September 2012

Istiqamah

Istiqamah

Dua hari yang lalu aku mendengar ceramah di tempat kerja. Ceramah seperti ini dilakukan setiap hari Rabu siang, kecuali selama Ramadhan, diganti dengan ceramah setiap hari kerja kecuali hari Jum'at. Inti ceramah kemarin itu adalah tentang istiqamah.

Kita telah berlatih selama sebulan penuh untuk bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Selama sebulan itu kita teratur beribadah. Di samping berpuasa, kita lebih banyak bersedekah, mendengar ceramah, membaca al Quran. Dan kita biasanya menjaga pula shalat kita. Kita berusaha untuk shalat di awal waktu dan berjamaah dan di mesjid. Biasanya mesjid jadi lebih makmur di bulan Ramadhan. 

Sayangnya, pada kebanyakan orang, kesungguh-sungguhan itu dibatasi hanya untuk selama bulan Ramadhan saja. Begitu Ramadhan selesai, mereka kembali seperti dulu. Kembali sekedarnya saja dalam beribadah. Terutamanya dalam memelihara shalat. Tidak terlihat lagi dia datang di awal waktu. Atau bahkan tidak terlihat lagi dia hadir di mushala atau di mesjid untuk shalat berjamaah. 

Akan sangat sayang sekali kalau kita tidak mampu untuk istiqamah. Kalau kita tidak berusaha memelihara kesungguh-sungguhan dan keberhati-hatian dalam beribadah di luar bulan Ramadhan. Pada hal kegiatan di bulan Ramadhan itu seharusnya diibaratkan sebagai sarana latihan. Setelah kita berlatih dengan baik, kita harus mampu tampil lebih baik lagi.

Ustad yang berceramah kemarin itu mengingatkan tentang firman Almlah dalam surah Hud (11) ayat 112 yang artinya; 'Maka tetaplah (istiqamahlah) engkau (Muhammad) pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepada engkau dan begitu juga orang yang telah taubat bersama engkau dan janganlah engkau melanggar batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang engkau kerjakan.'  

KIta tentu tahu bahwa beribadah kepada Allah, termasuk mengerjakan shalat di awal waktu, dengan berjamaah, dilakukan di mesjid adalah diperintahkan oleh Allah. Kita coba melatih diri kita mengerjakannya di bulan Ramadhan. Dan dari ayat di atas, Allah mengingatkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan umat beliau  untuk istiqamah. Untuk konsisten dan berkesinambungan dalam mematuhi perintah-perintah Allah. 

Mudah-mudahan kita mampu mempertahankan keistiqamahan itu dalam hidup kita. Aamiin.... 

*****