Jumat, 18 Februari 2011

Terang Bulan

Terang Bulan

Dan bulan Kami tentukan tempat-tempat beredarnya, sehingga ia kembali seperti mayang tua (melengkung seperti bulan sabit). (Surah Yasiin ayat 39). 

Terpukau kita melihat bulan purnama. Bulan penuh di langit seperti malam ini. Memberi penerangan ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cahaya di malam hari. Di kampung dulu, ketika kampung itu belum disentuh cahaya listrik, kami punya tiga pilihan untuk warna malam. Warna terang, ketika bulan menampakkan rupa dan memberi sinarnya, meski tidak mesti di saat bulan purnama sekalipun. Yang kedua, warna tidak gelap tidak terang, ketika langit dihiasi hanya oleh bintang-bintang. Dalam kondisi ini kita masih bisa melihat silhouette orang dari jarak sepuluh meter. Tidak tegas, tapi kelihatan sosoknya. Yang ketiga adalah warna gelap gulita. Kelam pekat. Atau yang dalam bahasa kampung kami kalam piriak. Kita tidak bisa melihat jari kita sendiri.

Waktu kanak-kanak di kampung itu aku familiar dengan ketiga warna malam tersebut, terutama karena pengalaman di bulan puasa. Di awal bulan kami dikawani oleh bulan sabit yang semakin membesar setiap malam. Di malam-malam pertama, ketika pulang sembahyang tarawih ibu-ibu kami harus berbekal pusung atau suluh yang dibuat dari bambu, diisi minyak tanah dan diberi sumbu kain buruk. Asap jelaganya berwarna hitam, terbang ke mana-mana. Sejak minggu pertama selesai sampai malam ke tujuh belas, pusung tidak diperlukan lagi, kecuali kalau langit ditutupi awan sebelum hujan. Sesudah malam ke tujuh belas, pusung jadi mutlak perlu.

Kami sudah mendengar kabar tentang malam seribu bulan baik dari ceramah maupun dari guru agama. Dan kami rajin bertadarus di mesjid, lebih-lebih pada sepuluh malam terakhir bulan puasa. Bertadarus sampai waktu sahur. Waktu parak siang, sekitar jam setengah empat subuh. Pada jam sekian kami baru pulang ke rumah masing-masing. Di malam-malam ke dua puluh tujuh, jam tiga sampai jam setengah empat pagi itu adalah sedang gelap-gelapnya. Apalagi kalau ada mendung pula. Aku masih ingat berjalan dengan jantung berdegup keras, merumbu-rumbu dengan menggunakan perasaan saja, berjalan dari mesjid ke rumah yang jaraknya hanya sekitar seratus lima puluh meter. Tidak jauh, tapi dalam kalam piriak.  Anak laki-laki malu membawa pusung. Sendirian. Sejak sekitar tiga puluh meter dari rumah, berteriak memanggil ibu. Minta tolong dibukakan pintu.

Entah kemana pula kenangan melayang melihat sinar bulan malam ini.....  Bahkan teringat pula pantun lagu saluang.... 

Urang Solok maambiak cengkeh
Tampak nan dari pandakian
Hari elok bulan di ateh
Di sinan mukasuik disampaikan

(Orang Solok memetik cengkeh
Terlihat dari pendakian
Hari elok, bulan di atas
Saatnya maksud disampaikan)

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar