Jumat, 20 April 2012

Kampung Nan Jauh Di Mata

Kampung Nan Jauh Di Mata 

Aku terperangah. Sore tadi datang sebuah berita duka. Seorang 'anak pisang' (anak mamak atau anak paman) kami yang tinggal di kampung berpulang ke hadirat Allah. Seorang sepupunya menelponku, menanyakan siapa yang ada di kampung dari pihak bako almarhumah, artinya dari persukuan kami, untuk diberi tahu 'secara adat' tentang berita duka ini. Dan jawabnya, tidak seorang pun. Di sinilah aku terperangah. Memang seperti itu faktanya. Ada tujuh buah rumah pusako kami di kampung. Tidak satu juga yang ditempati warga persukuan kami saat ini. Satu-satunya rumah yang diurus dan diawasi seorang sepupu laki-laki, kebetulan dia sedang berada di Jakarta sejak beberapa hari ini. 

'Karatau madang di hulu - berbuah berbunga belum, merantau dagang dahulu - di kampung berguna belum' yang dahulu biasa didendangkan anak muda Minang terasa sudah tak layak lagi sekarang. Masakan semua tidak atau belum berguna di kampung sehingga semua pergi berlarat-larat ke rantau? Berlarat-larat? Mungkin tidak tepat pula. Karena rantau memang lebih, dibandingkan dengan kampung. Lebih ramai. Lebih berfasilitas. Lebih menyenangkan. Oleh karenanya, jadilah kampung hanya elok untuk dijenguk sekali semusim saja. Bila-bila ada kesempatan. Bila-bila ada kerinduan. Bila-bila timbul teragak. Dan itupun biasanya hanya untuk berbilang hari saja. 

Beberapa belas tahun yang lampau, ketika ibuku masih hidup, pernah aku berangan-angan untuk tinggal di kampung kalau sudah pensiun. Sudah pula aku rundingkan dengan istri. Ketika itu jawabannya mengambang. Tapi setelah ibu berpulang sepuluh tahun yang lalu, keinginan itu semakin tipis kalau tidak bisa dikatakan hilang sama sekali. Bagaimana tidak, ketika cucu-cucu sudah lahir, sudah bertukar pula keinginan. Ingin berdekatan saja dengan mereka. Tinggallah angan-angan dulu itu jadi terkesampingkan.

Kembali ke berita duka. Apa yang dapat ku perbuat? Selain mengirim sms ke sanak famili warga persukuan?  Itulah yang aku lakukan. Alhamdulillah, seorang sepupu di Padang, menelponku. Kami berunding beberapa patah. Aku ingatkan dia untuk berusaha menyempatkan diri ke kampung besok. Dan dia menjawab insya Allah.    

Kampung itu memang jauh di mata. Dia berada di seberang lautan. Padahal kenangan akan kampung tidak akan pernah hilang. Kampung tempat dulu aku belajar besar. Melewatkan masa kanak-kanak sampai masa remaja. Sampai suatu saat aku ikut mendendangkan, 'Karatau madang di hulu - berbuah berbunga belum, merantau dagang dahulu - di kampung berguna belum'. Apakah aku tetap merasa tidak berguna di kampung sampai setua sekarang ini? Entahlah....

*****                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar