Senin, 28 Juli 2014

Sakit Di Dalam Ramadhan 1435H

Sakit Di Dalam Ramadhan 1435H

Di awal Ramadhan yang lalu, ada sedikit gairah berlebih untuk menjalani ibadah tahun ini dengan lebih baik mengingat aku sekarang bukan pekerja. Hari-hariku adalah hari-hari santai. Aku seharusnya bisa lebih berkonsentrasi untuk beribadah, karena tidak ada rutinitas harus berkendaraan pagi-pagi ke tempat kerja, tidak ada kelelahan dan rasa kantuk di sore hari menuju pulang.

Dan gairah itu sempat menyapa, apa tidak sebaiknya menamatkan bacaan al Quran sendiri untuk Ramadhan tahun ini lebih ditingkatkan, misalnya dengan menamatkannya dua kali, atau kalau tidak lebih banyak juga membaca makna ayat-ayat tersebut di kitab tafsirnya. Ternyata ada juga sedikit godaan untuk tidak jadi memilih satu di antara dua itu, yakni bermain-main dengan cucu. 

Kegiatan di malam hari diawali dengan berbuka. Lalu shalat berjamaah maghrib ke mesjid. Sesudah itu pulang untuk makan malam. Berangkat lagi ke mesjid untuk shalat isya dilanjut dengan tarawih. Selesai shalat tarawih dan mendengar ceramah Ramadhan sekitar jam sembilan kami lanjutkan dengan tadarus satu juz sampai jam sepuluh malam. Mengaji sendiri setengah juz dan acara santai sampai masuk tidur jam sebelas - setengah dua belas. Bangun untuk sahur jam empat, kadang-kadang mengaji lagi beberapa lembar sebelum ke mesjid untuk shalat subuh.

Ritme seperti ini sudah berpuluh tahun aku jalankan, terutama sejak pindah ke Jatibening. Di Balikpapan, karena biasanya kami tarawih dari rumah ke rumah, tidak ada tadarusan. 

Tahun ini, sampai malam ke sembilan belas semua berjalan lancar tanpa gangguan apapun. Bahkan aku sudah mendaftar sebagai peserta i'tikaf di mesjid kami yang akan diawali hari Jum'at malam ke dua puluh satu. Tiba-tiba, di waktu subuh hari ke sembilam belasnya itu badan mulai terasa tidak enak. Shalat taraweh sampai tadarus dan mengaji sendiri di rumah masih aman.  Waktu bangun sahur dan pergi ke mesjid untuk shalat subuh, badan terasa meriang. Waktu zuhur, dan praktis waktu-waktu shalat sesudahnya aku tidak sanggup lagi ke mesjid karena tidak enak badan. Rasanya sedang masuk angin luar biasa. Mual dan bahkan sempat muntah.

Hari Jum'at ke mesjid untuk shalat Jumat dan setelah itu beristirahat. 

Karena merasa yakin badanku itu masuk angin berbagai usaha menolak angin dilakukan seperti membalur badan dengan minyak angin (tidak ada hasil), menggunakan obat gosok/balsem (juga tidak berhasil), menggunakan parem larutan kapur sirih dengan kunyit (dulu berkali-kali berhasil tapi sekarang tidak).  Hari Sabtu malam aku minta tolong dikerok sama istri. Keanehan terjadi di hari Minggu subuh, aku tidak bisa buang air kecil waktu bangun sahur. Malam itu aku bercerita ke istri bahwa aku tidak ada buang air kecil seharian dan tidak pernah merasa ingin melakukakannya. Dia bilang ini berbahaya, kamu bisa keracunan kita harus ke dokter. Aku bilang baik, tapi besok pagi saja. Karena waktu kami membicarakannya sudah tengah malam sementara aku tidak merasa sakit apa-apa (kecuali merasa masuk angin). Tidak ada keluhan apa-apa.  Sebenarnya anakku nomor dua, yang sampai hari Minggu menginap di rumah sudah cukup nyinyir menyuruhku ke dokter. Dia ini akan berangkat ke Pau - Perancis, ikut suaminya dalam penempatan kerja di sana untuk tiga tahun. Hari Minggu mereka pindah ke rumah mertuanya di Tangerang dan akan berangkat dari sana hari Selasa.

Hari Senin siang kami ke RS Harum di jl. Kalimalang arah ke Cawang. Aku mengawali urutan perawatan dengan melapor ke UGD. Oleh dokter UGD dikirim ke dokter bedah dengan dugaan kalau-kalau aku punya masalah prostat. Dokter itu tidak menemukan gejala prostat, tapi menganjurkan agar aku dirawat inap disamping segera melakukan pemeriksaan darah, jantung dan rontgen. Aku menawar tidak langsung dirawat inap hari itu karena anak dan cucuku akan berangkat jauh dan untuk waktu lama besoknya. Dokter itu bisa memahami, tapi tetap mengingatkan agar dirawat inap pada kesempatan pertama.

Hari Selasa pagi anakku di Tangerang melarang aku datang dan menyuruh tuntaskan urusan perawatan di rumah sakit. Kami telah terlanjur membuat rencana akan ke Tangerang, tapi tidak mengantar ke bandara. Kami adalah aku dan istri lalu keluarga si Sulung utuh dan si Bungsu. Delapan orang. 

Itulah yang kami lakukan. Berangkat dari rumah sebelum zuhur, melalui jalan yang lumayan lancar. Jam satu kami sampai di rumah besan di Tangerang. Cucu-cucu memuaskan bermain sampai saat terakhir. 

Jam setengah tiga kami berpamitan dan berangkat dari Tangerang menuju ke RS Harum lagi. Dokter UGD nya bukan yang kemarin lagi. Dengan sedikit penjelasan bahwa aku sudah mengawali pemeriksaan darah dan sebagainya kemarin, kami disuruh menunggu waktu dia mengambil hasil pemeriksaan darah dan mengkonsultasikannya dengan dokter ahli ginjal. Dokternya sendiri sedang tidak berada di rumah sakit dan mereka berkomunikasi per telepon. Hasilnya adalah bahwa aku 'divonis' harus segera menjalani cuci darah. Tapi ada masalah lain, bahwa di RS Harum fasilitas untuk cuci darahnya sudah terpakai penuh. Aku disarankan untuk mencari RS lain.

Kami berhasil mendapatkan tempat di RS Mitra Keluarga Bekasi Timur. Akhirnya setelah berbuka puasa dulu dan kembali ke rumah untuk mengambil kartu asuransi, kami sampai di rumah sakit tersebut jam setengah sembilan malam. Aku langsung dirawat inap. Cuci darahnya sendiri baru akan dilaksanakan besok pagi dan malam itu aku dirawat di bagian yang mereka sebut intermediate untuk memonitor kondisi tubuhku. Anehnya, kecuali tidak bisa BAK, aku tidak merasa adanya gangguan apapun, selain tubuhku tetap seperti masuk angin. Ingin sendawa dan buang angin yang sepertinya akan mengenakkan, tapi tidak bisa. 

Hari Rabu pagi aku lalui proses cuci darah tersebut. Setelah itu ada pemeriksaan oleh dokter ahli ginjal yang mengatakan akan langsung mengambil tindakan jika dalam observasinya menemukan masalah di ginjal. Aku menyerah saja. Hasil cuci darah pertama belum memadai seandainya diperlukan tindakan operasi. Dokter merencanakan untuk melanjutkan cuci darah lagi hari Kamis. Hari Kamis aku cuci darah kedua kali disamping ada pemeriksaan dengan USG.

Hari Jum'at difoto (rongent khusus) dan.... dilanjutkan dengan cuci darah ketiga. Dokter urologi (ahli ginjal) tidak menemukan sesuatu yang nyata untuk melakukan operasi. Mungkin ada batu (tapi tidak yakin). Dalam keadaan tertekan harusnya ginjal membengkak, tapi ini tidak demikian. Kesimpulannya sementara dia belum mau melakukan tindakan apa-apa. Sementara itu sejak hari kedua air seni mulai keluar sedikit melalui kateter. Air seni bercampur darah. Lebih banyak lagi pada hari Jumat. Hari Sabtu aku diijinkan pulang karena sementara tidak ada tindakan apa-apa yang akan mereka lakukan. Tempat dan waktu dicadangkan untukku hari Selasa ini. Dan siang nanti aku melakukan pemeriksaan lagi di RS tersebut.

Alhamdulillah, hari Ahad aku bisa buang air kecil normal. Bahkan seharian itu sampai sepuluh kali dengan kondisi normal. Kemarin juga  normal. Kita lihatlah selanjutnya...... Mudah-mudahan Allah menghindarkan diriku dari sakit yang serius dan menyulitkan......

****
                                   

Selasa, 08 Juli 2014

Sesudah Hari ini (Tanggal 9 Juli) Lalu Apa?

Sesudah Hari Ini (Tanggal 9 Juli) Lalu Apa? 

Untuk bagian barat negeri ini, kira-kira 20 menit lagi sejak aku mulai mengetik tulisan ini  maka acara coblos mencoblos sudah akan selesai. Setelah itu tentu dilanjutkan dengan menghitung hasilnya. Sampai saat ini, hanya Allah saja yang tahu, kepada siapa pimpinan negeri seperempat milyar manusia ini akan diserahkan-Nya. Yang tadi ikut mencoblos, tidak seorangpun yang tahu. Insya Allah di petang hari nanti mulailah akan kelihatan bayang-bayangnya. Roman-romannya. Siapa kira-kira yang akan keluar sebagai 'pemenang'. Padahal seandainya dia tahu betapa beratnya tanggung jawab yang dipikulnya di hadapan Allah, mungkin dia menampik jadi pemenang.

Setelah itu? Negeri ini akan mempunyai pemimpin yang baru. Presiden baru yang akan menggantikan pak SBY. Pergantiannya sendiri baru akan dilaksanakan nanti di bulan Oktober. Akankah ada perubahan mendasar buat kehidupan rakyat banyak dengan hadirnya presiden baru? Wallahu a'lam. Tapi paling tidak tentu begitu harapan kita. Mungkin harapan banyak orang. Bagaimana realisasinya nanti? Biarlah kita sama-sama berdoa, kiranya Allah tetapkan pemenang pemilihan ini 'dia' yang akan membawa perbaikan itu. Siapapun 'dia' di antara kedua calon yang sampai saat ini masih misteri untuk kita. 

Telah hampir selesai acara besar itu. Acara gegap gempita yang menggiring banyak orang kepada dua kubu yang saling berseberangan dengan penuh semangat. Menjunjung dan mengelu-elukan pilihan idolanya sambil menginjak dan menistakan lawan dari idolanya. Inilah pemandangan yang rasa-rasanya baru sekali ini terlihat. Betapa fanatiknya sebagian pendukung dengan pilihannya. Fanatik yang sangat mencengangkan. Kalau ada yang mengeritik atau menunjukkan kekurangan sang idola, maka dibelanya habis-habisan. 

Entah gejala apa pula ini. Sampai kita bertanya-tanya apa gerangan yang akan diperolehnya seandainya sang idolanya yang menang. Atau sebaliknya, resiko apa yang dihadapinya jika pilihan yang lain yang keluar sebagai pemenang.  

Memimpin negeri dengan seperempat milyar manusia ini bukanlah sesuatu yang mudah. Telah berganti-ganti yang tampil. Terlihat saja kekurangannya masing-masing. Induk dari kekurangan-kekurangan itu adalah tipisnya nilai amanah sang pemimpin. Sekali lagi kita berharap. Berdoa kepada Allah, kiranya Allah menetapkan 'pemimpin' berikut ini seorang yang lebih amanah. Yang bisa dipercaya oleh setiap rakyat. Mudah-mudahan masih belum terlambat bagi kita untuk berdoa. Memohon pertolongan Allah.  

Mari kita tunggu dan lihat dengan penuh harap......

****                        

Minggu, 06 Juli 2014

Bilal Bin Rabah (dari Majelis Dzikrullah Pekojan)

Bilal bin Rabah
 
Bilal bin Rabah adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah (sekarang disebut Ethiopia). Bilal dilahirkan di daerah Sarah kira-kira 34 tahun sebelum hijrah dari seorang ayah yang dikenal dengan panggilan Rabah. Sedangkan ibunya dikenal dengan Hamamah. Hamamah ini adalah seorang budak wanita yang berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Oleh karenanya, sebagian orang memanggilnya dengan nama Ibnu Sauda (Anaknya budak hitam).

Masa kecil Bilal dihabisakan di Mekah, sebagai putra dari seorang budak, Bilal melewatkan masa kecilnya dengan bekerja keras dan menjadi budak. Sosok Bilal digambarkan sebagai seorang yang berperawakan khas Afrika yakni tinggi, besar dan hitam. Dia menjadi budak dari keluarga bani Abduddar. Kemudian saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang yang menjadi tokoh penting kaum kafir.

Bilal termasuk orang yang teguh dengan pendiriannya. Ketika Rasulullah Saw mulai menyampaikan risalahnya kepada penduduk Mekah, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.

Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakahir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.

Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Khalaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.

Bilal termasuk golongan orang yang pertama-tama masuk Islam. Masuknya Bilal ke dalam ajaran Islam mengakibatkan penderitaan yang mendalam karena berbagai siksaan yang diterima dari majikannya. Apalagi sang majikan Umayyah bin Khalaf termasuk tokoh penting kaum kafir Quraisy. Siksaan yang diterima Bilal memang cukup berat, hal ini karena Bilal adalah seorang budak yang lemah dan tidak mempunyai kuasa apapun. Berbeda dengan para sahabat Nabi Saw yang lain seperti Abu BakarAli bin Abi Thalib yang mempunyai keluarga dan siap melindungi menghadapi ulah kaum kafir yang senantiasa mengganggu dan menghalangi kaum muslimin dengan berbagai cara.

Penyiksaan kaum kafir Quraisy terhadap para budak yang mustad’afin memang sangat kejam. Hal ini juga dirasakan oleh Bilal bin Rabah yang diperlakukan secara kejam oleh Umayyah bin Khalaf beserta para algojonya. Bilal dicambuk hingga tubuhnya yang hitam tersebut melepuh. Tetapi dengan segala keteguhan hati dan keyakinannya, dia tetap mempertahankan keimanannya meski harus menahan berbagai siksaan tanpa bisa melawan sedikitpun. Setiap kali dia dicambuk, dia hanya bisa mengeluarkan kata-kata: “Ahad, Ahad (Tuhan Yang Esa)”. Tidak hanya sekedar dicambuk, kemudian Umayyah pun menjemur Bilal tanpa pakaian di tengah matahari yang sangat terik dengan menaruh batu yang besar di atas dadanya. Dengan segala kepasrahan, lagi-lagi Bilal pun hanya bisa berkata: “Ahad, Ahad”. Setiap kali menyiksa Bilal, Umayyah selalu mengingatkannya untuk kembali pada ajaran nenek moyang, dan Tuhannya Latta, Uzza, tetapi Bilal tidak pernah menyerah dengan keadaan. Dia tetap kukuh dan terus berkata: “Ahad, Ahad” setiap kali siksaan itu datang kepadanya. Semakin Bilal teguh dan kuat, semakin keras Umayyah menyiksa Bilal. Bahkan dia mengikatkan sebuah tali besar di leher Bilal lalu menyerahkannya kepada orang-orang bodoh dan anak-anak. Umayyah menyuruh mereka untuk membawa keliling Bilal ke seluruh perkampungan Mekah serta menariknya ke seluruh dataran yang ada di kota tersebut.

Akhirnya Allah mengakhiri siksaan demi siksaan yang dialami oleh Bilal melalui Abu Bakar As Shiddiq. Suatu hari, disaat Bilal kembali disiksa oleh majikannya Umayyah, Abu Bakar sedang lewat tidak jauh dari tempat penyiksaannya. Melihat hal tersebut, Abu Bakar bermaksud membeli Bilal dari Umayyah bin Khalaf. Lalu Umayyah pun meninggikan harganya karena ia menduga bahwa Abu Bakar tidak akan mampu untuk membayarnya.

Namun Abu Bakar mampu membayarnya dengan 9 awqiyah dari emas. Umayyah berkata kepada Abu Bakar setelah perjanjian jual-beli ini usai: “Kalau engkau tidak mau mengambil Bilal kecuali dengan 1 awqiyah emas saja, pasti sudah aku jual juga.” Kemudian Abu Bakar menjawab: “Jika engkau tidak mau menjualnya kecuali dengan 100 awqiyah, pasti aku akan tetap membelinya!”

Begitu Abu Bakar As Shiddiq memberitahukan Rasulullah Saw bahwa dia telah membeli Bilal dan menyelamatkannya dari tangan penyiksa, maka Nabi Saw bersabda: “Libatkan aku dalam pembebasannya, wahai Abu Bakar!” As Shidiq lalu menjawab: “Aku telah membebaskannya, ya Rasulullah.”

Begitulah akhirnya Bilalpun menjadi seorang yang merdeka dan selamat dari siksaan sang majikan. Kebebasannya menjadikan Bilal seorang yang semakin taat mengikuti ajaran agama Allah dan Rasul-Nya. Ketika Rasulullah Saw berhijrah ke Madinah. Bilal pun turut serta berhijrah ke Madinah untuk menjauhi siksaan kaum kafir Quraisy Mekah. Dia mengabdikan diri sepanjang hidupnya kepada Rasul yang sangat dicintainya. Dia menjadi pengikut Rasul yang setia dan selalu mengikuti setiap peperangan yang terjadi pada masa itu. Bahkan dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana akhirnya Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf mantan majikannya tewas di tangan pedang kaum muslimin.

Ketika Rasulullah Saw selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal bin Rabah ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muazin) dalam sejarah Islam. Bilal pun menjadi Muadzin tetap pada masa Rasulullah Saw. Suaranya yang begitu merdu sangat menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Rasulullah sangat menyukai suara Bilal. Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Saw seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Saw keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Ketika Rasulullah Saw akan menaklukkan kota Mekah, Bilal berada di samping beliau. Saat Rasulullah Saw memasuki Ka’bah, Beliau hanya didampingi oleh 3 orang saja, mereka adalah: Utsman bin Thalhah sang pemegang kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid orang kesayangan Rasulullah dan anak dari orang kesayangan Beliau Zaid bin Haristah, serta Bilal bin Rabah sang muadzin Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah Saw menyuruh Bilal untuk naik di atas ka’bah dan menyerukan kalimat tauhid. Bilal menyerukan adzan dengan suara yang keras dan menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Ribuan leher manusia melihat ke arah Bilal. Ribuan lisan manusia yang mengikuti ucapan Bilal dengan hati yang khusyuk. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, "Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu.... Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi." Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, "Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini." Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Saw masuk ke kota Mekah.

Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, "Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka'bah."

Al-Hakam bin Abu al-'Ash berkata, "Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka'bah)."

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, "Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah."

Pada suatu hari, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu kemana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Begitulah sosok Bilal, dia selalu berada di belakang Rasulullah dalam kondisi apapun. Kecintaannya terhadap Rasulullah Saw pernah membuatnya terbuai dalam mimpi bertemu dengan Rasul sepeninggal beliau. Dalam mimpinya itu, Rasulullah Saw berkata kepada Bilal: “Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu,” Kemudian Bilal menjawab: “Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum aroma tubuhmu,” kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu. Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal bin Rabah segera memenuhi ruangan kosong dihampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.

Sesaat setelah Rasulullah Saw menghembuskan napas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Saw masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir disana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaah” (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Sehingga kaum muslimin yang mendengarnya ikut larut dalam tangisan pilu. Karena itulah kemudian Bilal memohon kepada Abu Bakar, sang khalifah yang menggantikan posisi Rasulullah Saw sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Kemudian Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”. Mendengar jawaban Abu Bakar, Bilal segera menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Saw wafat.” Akhirnya Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus.

Pada suatu hari, ia bermimpi bertemu Rasulullah saw. Dalam mimpinya itu Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Bilal, apa yang menghalangimu sehingga engkau tidak pernah menjengukku ?” Setelah bangun dari tidurnya, Bilal ra pun segera pergi ke Madinah. Setibanya di Madinah, Hasan dan Husain ra meminta Bilal ra agar mengumandangkan adzan. Ia tidak dapat menolak permintaan orang-orang yang dicintainya itu. Ketika ia mulai mengumandangkan adzan, maka terdengarlah suara adzan seperti ketika zaman Rasulullah saw masih hidup. Hal ini sangat menyentuh hati penduduk Madinah, sehingga kaum wanita pun keluar dari rumah masing-masing sambil menangis untuk mendengarkan suara adzan Bilal ra itu. Setelah beberapa hari lamanya Bilal ra tinggal di Madinah, akhirnya ia meninggalkan kota Madinah dan kembali ke Damaskus dan wafat di sana pada tahun kedua puluh Hijriyah.

Pada waktu kedatangan Umar bin Khatthab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal setelah terpisah cukup lama. Pada saat itu khalifah Umar bin Khattab baru saja menerima kunci kota Yerussalem. Dalam pertemuan tersebut khalifah Umar bin Khattab meminta kepada Bilal untuk mau mengumandangkan adzan dan akhirnya Bilal mau menuruti permintaan sang khalifah. Mendengar Bilal menyuarakan adzan, kaum muslimin merasa sangat terharu, bahkan Umar tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menangis tersedu-sedu. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Saw. BiIal adalah pengumandang seruan langit itu.

Peristiwa tersebut merupakan adzan terakhir yang diperdengarkan oleh suara merdu dan syahdu Bilal bin Rabah dihadapan kaum muslimin. Bilal tetap tinggal di Damaskus hingga akhir hayatnya. Menjelang wafatnya Bilal pada tahun ke duapuluh Hijriyah untuk menghadap sang Khalik, Bilal seringkali mengucapkan kata-kata secara beulang-ulang, kata tersebut adalah:

“Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya
Esok kita bersua dengan orang-orang terkasih…
Muhammad dan sahabat-sahabatnya”

Bilal –semoga Allah meridhainya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’, tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah shalat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan shalat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan shalat”. (Al-Bukhari).

****

Demikianlah kisah seorang Bilal, keteguhan, ketegaran dan keyakinannya akan ajaran kebenaran, telah mengangkat derajadnya dan menjadikannya seorang mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya meskipun dia berasal dari seorang budak hitam yang hina dan fakir. Sebuah kisah teladan bagi kita semua.

Dari berbagai sumber.

Sabtu, 05 Juli 2014

Cicak Di Dinding Dan Keyakinan Utuh (Dari Hidayatullah.com)


Cicak Di Dinding Dan Keyakinan Utuh

Oleh: Salim A. Fillah  

BARANGSIAPA memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia. [Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz]

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!” Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

“Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.

***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.
Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.
Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.

***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!” Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

****

Rabu, 02 Juli 2014

Alhamdulillaah Dengan Yang Dicapai Ma'had Tahfidzul Quran YSAK

Alhamdulillaah Dengan Yang Dicapai Ma'had Tahfidzul Quran YSAK 

Ini cerita lanjutan tentang sekolah SMP Penghafal al Quran di Koto Tuo - Balai Gurah - Ampek Angkek - Bukit Tinggi. Berangsur-angsur, beranjak juga keadaannya ke arah yang lebih baik. Mudah-mudahan Allah izinkan demikian untuk seterusnya. 

Pertama dengan kelulusan santri kelas 3 dalam mengikuti Ujian Nasional. Tahun 2013/2014 ini yang ikut UN sebanyak 16 orang. Alhamdulillaah, semuanya lulus. Dengan nilai rata-rata kelulusan 7. Sebuah prestasi yang sangat pantas disyukuri. Dan sekolah ini semakin dikenal masyarakat insya Allah. 16 orang itu artinya tiga kali lipat dari jumlah yang ikut UN tahun sebelumnya. Bagaimana dengan hafalan al Quran mereka yang lulus tahun ini? Bervariasi dari yang paling rendah hanya 3 juz sampai yang paling baik, 11 juz. Rata-rata yang lain sekitar 7 - 8 juz. Kenapa ada yang cuma mampu 3 juz? Penyebabnya adalah karena waktu mereka diterima di sekolah ini tiga tahun yang lalu, mereka masih belum bisa membaca al Quran. Masih mengaji dengan kitab Iqra. Di samping tentu saja, ada perbedaan kesungguh-sungguhan masing-masing santri. Ada yang serius, ada yang agak santai-santai saja. 

Kemajuan lain adalah semakin 'menarik' nya sekolah ini di mata masyarakat yang perlahan-lahan mulai mengenalnya. Ini berkat usaha, terutama staf pengajarnya, memperkenalkan Ma'had Syekh Ahmad Khatib ke sekitar Sumatera Tengah (Sum-Bar, Riau, Jambi). Kalau tahun lalu kami menerima santri baru 22 orang, tahun ini yang dinyatakan lulus test (tahun ini kami melakukan seleksi penerimaan) mencapai 41 orang. Sekali lagi alhamdulillaah. 

Tahun ini pula insya Allah tingkat pendidikan SMA akan dimulai. Targetnya, dalam tiga tahun mendatang para santri itu akan mampu menghafalkan 20 juz. Bagi yang berminat, boleh tinggal setahun lagi di kelas takhasus untuk menyelesaikan hafalan 30 juz. Begitu niat kami. Mudah-mudahan Allah Ta'ala memberi kemudahan. 10 orang dari 16 orang yang baru lulus UN itu menyatakan niat mereka untuk ikut melanjutkan SMA di sini.

Ada tantangan lain bagi kami untuk menyiapkan tambahan ruangan baik untuk tempat tinggal maupun untuk tempat belajar. Dengan kemampuan yang ada atas izin Allah tantangan ini dihadapi pula. Saat ini kami sedang menambah dua buah lokal (ruang belajar) semi permanen. Dalam hitungan kami, dengan dua lokal tambahan itu mudah-mudahan kegiatan belajar tahun 2014/2015 bisa dijalani dengan baik.  Insya Allah.

****