Selasa, 29 Desember 2009

Pulang kampung Lagi (6)

(6)

Mobil melaju dibawah guyuran hujan lebat, melalui Palangki, terus ke simpangan ke Sijunjung. Entah apa nama kampung ini, aku lupa. Padahal aku pernah mengakrabinya tahun 1978 dulu. Menempuhnya masuk sampai ke Sijunjung, ke Muaro Sijunjung di tepi Batang Kuantan. Ketika aku mengerjakan perpetaan geologi untuk thesisku di daerah Sijunjung ini. Merancah sungai Sukam, masuk ke kampung-kampung dan sungai-sungai kecil. Dulu di jalur ini ada tanda rambu lalu lintas bergambar harimau, untuk mengingatkan pengendara mobil bahwa sewaktu-waktu harimau bisa saja melintas. Ya, jalan ini adalah jalan raya contoh yang tidak dicontoh. Jalan raya buatan perusahaan Korea di tahun-tahun terakhir 1970an. Orang Korea yang membuatkan jalan ini sejak dari Muaro Kalaban sampai ke Lubuk Linggau. Sekarang, sesudah lebih dari 30 tahun, jalan itu masih enak dilalui, walau ada kerusakan-kerusakan kecil. Begitu cara orang membuat jalan. Bertahun-tahun maintenance free. Sementara awak membuat jalan kadang-kadang hanya untuk dipakai dalam bilangan bulan, sudah harus diperbaiki lagi. Antahlah maak…. Karena disitu sumber rejeki, kata yang punya proyek.

Hujan mulai agak reda. Kecepatan mobil tidak bisa terlalu dipacu. Kami berpapasan dengan truk tronton besar pembawa batu bara. Berpuluh-puluh banyaknya. Daerah sekitar Pulau Punjung yang sekarang adalah kabupaten tersendiri, kabupaten Damasraya namanya, banyak menghasilkan batubara. Batubara itu dibawa ke Teluk Bayur melalui Solok dan Sitinjau Lauik. Sepertinya truk tronton ini memberi andil kepada cepat rusaknya jalan terutama di daerah Sitinjau Lauik yang labil itu.

Telah kami lalui Sungai Dareh, Pulau Punjung dan entah kota kecil apa lagi. Aku sudah banyak lupa. Terakhir kali aku mengendarai mobil di jalan ini adalah di tahun 2000 yang lalu, pulang pergi Jakarta – Bukit Tinggi. Waktu itu melalui jalur tengah.

Kami sampai di Muaro Bungo di waktu maghrib. Langsung berbelok ke kiri menuju Jambi. Target kami adalah Jambi dan disana nanti kami akan beristirahat. Muaro Bungo – Jambi ini kalau tidak salah jaraknya lebih dari 300 kilometer. Yang aku ingat, dulu ketika aku melintasinya di tahun 1998, sangat sedikit pompa bensin di sepanjang jalur ini.

Jalan ini masih lumayan bagus meski lebih kentara ada lobang-lobang kecil di sana-sini. Hujan rintik-rintik masih turun. Kendaraan yang lalu lalang masih banyak. Paling tidak lebih ramai dari yang aku ingat sepuluh tahun yang lalu. Pambayan (suami adik ipar) menanyakan apakah aku sudah mau digantikan. Aku jawab biarlah sebentar lagi. Mungkin dia ingat bahwa aku pernah berkomentar, seboleh-bolehnya aku menghindari menyetir di malam hari.

Di Muaro Tebo kami berganti. Setir aku serahkan kepadanya. Kami mengisi bensin disini. Kami teruskan perjalanan di kegelapan malam. Kadang-kadang aku coba mengintip batu penunjuk kilometer jalan. Batu yang malang itu hampir tidak ada manfaatnya. Tulisannya kecil-kecil, disingkat pula. Muara Tebo disingkat MTO, Muara Tembesi MTB.

Terasa benar panjangnya jalan menuju Jambi. Rasanya sudah lama kami melintasinya belum juga kunjung sampai. Waktu di Limbanang dua hari lalu, kami mendengar cerita bahwa jalur Tempino – Jambi jalannya rusak, karena digunakan oleh truk-truk besar pembawa logistik alat-alat pengeboran minyak bumi. Kami sepakat tidak akan melalui jalan ini.

Di suatu tempat, di depan sebuah masjid mobil dihentikan suami adik ipar dan dia turun. Aku pikir mungkin dia ingin ke kamar kecil. Ada kira-kira sepuluh menitan dia di luar. Rupanya dia bersenam-senam kecil untuk melemaskan otot. Aku tahu dari istrinya. Kota Jambi masih lebih dari 60 kilometer lagi di hadapan. Aku menawarkan diri kalau-kalau dia ingin digantikan. Tidak usah, bang, katanya.

Kami sampai di Jambi menjelang tengah malam. Segera mencari tempat makan. Dan sesudah itu mencari penginapan. Kami menginap di hotel Matahari untuk setengah malam itu.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar