Lahir Sebagai Yahudi, Hidayah Membawanya Kepada Islam
Rubrik: Hidayah |
Oleh: Saiful Bahri - 30/04/14 | 17:59 | 01 Rajab 1435 H
dakwatuna.com – Musa
Caplan lahir dan besar dalam tradisi Yahudi. Ia dan keluarganya rutin
mengunjungi sinagog. Ia pun bersekolah di sebuah sekolah Yahudi
Ortodoks.
“Saya hidup dengan keberagaman yang terbatas,” kenang dia seperti dilansir onislam.net, Rabu (30/4).
Meski
berada dalam lingkaran tradisi Yudaisme, Musa menaruh minat mempelajari
agama-agama lain. Ini yang selanjutnya mendorong Musa berinteraksi
dengan umat agama lain, salah satunya penganut Islam.
“Saya percaya, semua agama itu sama, karena pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama yakni Allah,” kata dia.
Dari
interaksi tersebut, ia mulai tahu banyak tentang Islam. Ia percaya
Islam adalah agama yang mengedepankan perdamaian. Memang, Musa tidak
bisa menghindari stereotip negatif tentang Islam. Beruntung baginya,
interaksi dengan Muslim membuatnya memiliki perspektif baru.
“Disinilah, Allah mulai menaruh rencana pada hidup saya,” kata dia.
Musa
sulit mempercayai mengapa Islam sebagai agama damai bisa melahirkan
terorisme. Padahal agama ini belum tentu mengajarkan umatnya untuk
membunuh orang tak bersalah.
“Rasulullah adalah pejuang, ia tidak
membunuh orang tidak berdosa, ia taruh rasa hormat, perdamaian dan
toleransi,” kata dia.
Menyadari Islam bukanlah agama yang
mengajari umatnya sikap kebencian, Musa mulai tertarik untuk lebih dalam
mempelajarinya. Salah satu sumber yang menjadi acuannya adalah kitab
Perjanjian Lama dan Alquran. Saat membandingkan keduanya, Musa melihat
Alquran memiliki sumber informasi akurat tentang asal mula kehidupan,
hal yang bisa dikonfirmasi melalui ilmu pengetahuan.
“Sementara,
perjanjian lama telah berubah selama bertahun-tahun,” kata dia. Ambil
satu contoh, ucapnya, Al Quran memaparkan bagaimana gunung-gunung
terbentuk hingga tercipta lapisan atmosfer. Informasi ini sudah ada di
Al Quran, jauh sebelum ilmu pengetahuan memahami itu.
Semakin
mendalami Alquran, Musa kian kagum. Mulailah ia pada satu persimpangan
dimana akal dan pikirannya mengerucut pada satu keinginan, yakni menjadi
Muslim. Musa menyadari keputusan itu tidaklah mudah. Orang tua dan
kerabatnya tentu tidak akan menerima keputusannya itu.
“Untuk saat
itu, saya tidak menjalani kehidupan yang Islami sepenuhnya. Namun,
berkat Allah, saya bisa melaksanakan shalat lima waktu, saya bisa
mempelajari Islam secara online, dan setidaknya saya bisa secara terbuka
mengakui keesaan Allah,” kata dia.
Memang tidak mudah bagi Musa
menjalankan imannya itu. Ambil contoh saja, ia merasa prihatin dengan
nasib bangsa Palestina. Secara pribadi, ia sangat mendukung kemerdekaan
Palestina dari penjajahan Israel, namun keluarganya justru melihat
Palestina adalah tanah milik bangsa Yahudi.
“Jujur saya mudah tersinggung soal itu,” kata dia.
Di
luar kesulitannya, Musa meyakini keterbatasan yang dimilikinya saat ini
tidak menghalangi niatnya mengakui Islam sebagai agama yang dipilih
Allah untuknya. Memang, ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk
bersyahadat dihadapan umat Islam, tapi ia sudah melakukannya dihadapan
Allah..
“Insya Allah, yang penting dari hal ini adalah, saya sudah
berniat untuk mengunjungi masjid, tidak terlibat narkoba, mengkonsumsi
alkohol dan mencuri. Tidak mudah memang, tapi Insya Allah,” kata dia.
(ROL/sbb/dakwatuna)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar