Rabu, 27 Februari 2013

Demokrasi Kita.....

Demokrasi Kita.... 

Kalau diukur dengan jumlah penduduk, republik kita ini adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Sesudah India dan Amerika Serikat. Dan banyak orang Indonesia yang bangga dengan hal itu (seberapa banyak pastinya, aku tidaklah tahu). Negeri kita adalah sebuah negeri demokratis. Sebuah negeri yang pemimpin-pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat. Sejak dari presidennya. Gubernurnya. Walikota atau bupatinya. Terus sampai ke wali nagarinya. Hebat kan?

Dan kita jadi sangat terbiasa dengan setiap pil-pil itu. Pilpres, pilgub dan pilbup alias pilkada. Rasa-rasanya ke belakangan ini kita semakin akrab dengan semua pil-pil yang datang silih berganti itu. Tahu-tahu, kita sudah punya gubernur baru atau walikota baru. Tahu-tahu walikota kita sudah ditangkap KPK. Lho?

Nah, itulah masalahnya. Betapa mengherankan dan mengagumkan biaya demokrasi di negeri kita ini. Biaya untuk mencalonkan diri lalu ikut proses pemilihan walikota konon kabarnya di kisaran puluh sampai ratus M. Hitung sajalah berapa biaya untuk mencalonkan diri jadi gubernur. Kepadaku pernah dijelaskan sepintas oleh seorang teman yang kelihatan memang lebih faham, untuk apa saja kegunaan uang ber M-M itu. Dan aku langsung bisa memahaminya. Ternyata perjalanan kampanye, membuat beribu-ribu spanduk, membagikan beribu-ribu kaos, biaya untuk tim sukses dan entah biaya-biaya apalagi, jelas sangat memerlukan dana yang sangat besar.

Pertanyaan pertama yang muncul di benakku adalah, siapa yang membiayai semua itu? Katanya lagi, bisa dari kantong sendiri (subhanallah.... alangkah kaya-rayanya beliau-beliau ini), bisa disumbang oleh partai (tentu saja nanti kalau ternyata jadi, harus balas jasa kepada partai) dan bisa juga 'dermawan-dermawan' yang pastinya jika si calon menang akan ikut kecipratan kemenangan tersebut. Harus pandai-pandailah membalas jasanya.

Terserahlah dari mana biaya itu datangnya. Yang jadi pertanyaan di benakku, seandainya ternyata kalah.....  Tidak terpilih jadi pak Gub, atau jadi bu Bup atau jadi wak Walkot, padahal sudah berhabis-habis untuk biaya pencalonan. Tidakkah akan terperangah jadinya? Ber M-M hanyut entah kemana? Di pemilihan gubenur sebuah propinsi ada lima pasang calon. Yang empat pasang kalah. Masing-masing sudah menghabiskan sekian M. 

Dan kalau ternyata menang, tentu harus dianggap wajar jika si pejabat baru ini berusaha mengembalikan modal entah dengan cara bagaimanapun. Belum lagi untuk membayar hutang budi baik kepada partai atau kepada sponsor. Maka bertumpuk-tumpuklah keperluan. Dan jadi tidak heran pula kita bahwa sudah cukup banyak para penjabat setingkat gub dan walkot itu yang dicokok KPK.

Bagaimana dengan tugas utama mengurus kepentingan rakyat? Sepertinya banyak yang kedodoran. Yang paling mudah untuk dilihat adalah mutu jalan raya. Jalan yang jadi urat nadi kehidupan orang banyak di kota-kota besar, banyak yang tidak terurus. Begitu pula dengan tumpukan sampah. Begitu pula dengan masalah banjir. 

Akhir sekali timbul pertanyaan lain. Apakah memang seperti ini tujuan demokrasi yang kita banggakan itu?

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar