Senin, 30 Mei 2011

Ketika Penyogok Dan Tersogok Berbantah-bantahan

Ketika Penyogok Dan Tersogok......

Macam-macam jenis tontonan di televisi. Meski sebenarnya aku tidak begitu suka menonton acara tv itu. Nah, barusan ada tayangan dua orang berbantah-bantahan di sebuah pemancar tv.  Masing-masing adalah si penyogok dan si tersogok. Si pemberi uang dan si penerima uang. Si penerima bercerita bahwa dia disogok? Si pemberi membantah dan mengancam akan memperkarakan karena lawan bicaranya dia tuduh telah mencemarkan nama baiknya. Tidaklah terlalu faham aku ceritanya meski kononnya berita tentang hal tersebut sedang ramai. Aku malas sebenarnya mengikuti acara atau berita seperti itu.

Mereka berbantah-bantah. Yang satu mengatakan yang lain berbohong. Yang lain membantah dengan cerita berbeda. Yang satu mengatakan dia diberi uang itu pada tanggal sekian bulan sekian di tempat anu. Yang lain membantah dengan mengatakan itu bohong karena dia merasa tidak ingat kejadian itu. Dia menganggap itu bohong tapi dia tidak ingat. He...he...he... Dari cara berbantah-bantahan itu aku langsung bisa menyimpulkan salah satu kalau bukan kedua-duanya benar-benar sudah berbohong. Sementara yang satu di antara mereka berdua, ehem, sudah berkirab ke Singapura. Akankah dia mau segera kembali? Entahlah, biar waktu saja yang membuktikan.

Padahal, di Singapura ada pula seorang yang sedang diperkarakan karena kasus sogok menyogok juga dan tidak berani pulang ke Indonesia. Beliau ini 'menyakitkan' dirinya berlama-lama di Singapura dengan jenis penyakit lupa. Dia sudah tidak ingat apa-apa, begitu kabarnya. Dan kelihatannya juga lupa untuk pulang ke Jakarta.

Sungguh enak uang. Sungguh enak pangkat dan jabatan yang membawa orang gelap mata. Lupa dengan nilai-nilai kebenaran. Sungguh sangat enak uang sogokan. 

Aku tidak pandai mengomentari cerita seperti ini. Cerita yang bagiku sangat tidak masuk akal. Ketika orang kehilangan harga dirinya di saat rahasianya terbongkar. 

*****     

Minggu, 29 Mei 2011

Bertaruh

Bertaruh

Bertaruh atau dengan kata lain berjudi. Dianya adalah perbuatan terlarang dalam Islam. 'Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang khamar (arak atau minuman alkohol) dan berjudi. Katakanlah! Pada keduanya ada dosa besar dan manfaat bagi manusia. Dan dosanya lebih besar dari manfaatnya.....' (Al Baqarah ayat 219). Berjudi dan minum khamar itu haram hukumnya, berdosa jika dilakukan......

Tadi pagi aku pergi ke bengkel mobil untuk melakukan sedikit perbaikan (lampu mobil kami mati sebelah). Sambil menunggu montir bengkel mengganti lampu tersebut aku membaca koran Pos Kota milik yang punya bengkel. Yang paling menyita perhatianku di antara berita-berita di koran itu adalah omzet perjudian pertandingan bola antara Barcelona melawan MU tadi malam yang jumlahnya mencapai triliyun rupiah. Masya Allah.... Betapa hebatnya pecandu judi di negeri (yang resminya perjudian dilarang) ini. Di antara berita itu aku baca bahwa ada yang mempertaruhkan rumah dan mobilnya untuk tebakan hasil pertandingan tersebut. Bukan main. Entah bagaimana kejadian akhirnya. Raib rumah dan mobil karena kalah atau jadi dua kali lipat nilainya karena menang, belum lagi jadi berita.

Betapa dahsyatnya semangat judi. Dan betapa gila-gilaannya akibat yang ditimbulkannya. Bayangkanlah kerugian si kalah judi dalam sekejap, sesaat peluit panjang ditiup wasit di sebuah lapangan di Eropah sana, rumah dan mobil yang nilainya mungkin ratus juta atau bahkan milyar rupiah bertukar pemilik. Transaksi seperti itu yang dilarang oleh Allah.

Semangat dan kesempatan berjudi, meski dilarang pemerintah memang tidak pernah surut. Ada saja kesempatan orang untuk bertaruh. Konon permainan golf, olah raga kelas elit itu biasanya tidak ramai kalau tidak disertai dengan taruhan. Konon ada orang yang bertaruh untuk pemenang pilkada. 

Memang begitulah kecenderungan kebanyakan manusia. Ingin bertaruh dan berjudi dalam hidupnya. Kadang-kadang dengan nilai taruhan yang tidak masuk di akal orang-orang biasa.

*****

Jumat, 27 Mei 2011

Beramal Dengan Menggunakan Akal

Beramal Dengan Menggunakan Akal 

Seorang sahabat kami (jamaah mesjid) bercerita bahwa beliau diberi tahu kalau waktu yang kita gunakan yang mengambil patokan waktu GMT sebagai pembanding, adalah salah. Peraturan waktu berujukan waktu GMT itu secara 'semena-mena' menetapkan sebuah garis pemisah hari di lautan pasifik. Ini adalah sebuah kezaliman karena di belakang garis pemisah hari itu, hari menjadi tidak jelas. Apakah mereka yang shalat Jumat di negeri dekat garis pemisah itu masih benar-benar melakukan shalat Jumat atau (salah satunya) keliru shalat di hari Sabtu? Oleh karenanya, 'kita' harus menetapkan patokan waktu kita sendiri yang diawali di Makkah, begitu pendapat ini mengatakan.

Aku agak terbingung-bingung sambil tidak mengerti mendengarkannya. Apakah kesepakatan dunia menetapkan garis pemisah hari itu zalim? Aku coba berbodoh-bodoh mengamati waktu dan hari di kota-kota di sekeliling dunia dengan mengasumsikan tidak ada garis pembatas atau pemisah hari. Seperti ini.......

Pada saat ini, saat jam tujuh di Jakarta hari Sabtu pagi. Di Jayapura yang waktunya dua jam lebih awal dari Jakarta, saat ini adalah jam sembilan pagi hari Sabtu. Di Hawai ke sebelah timurnya lagi jam sembilan ditambah lima jam adalah jam dua siang hari Sabtu (sengaja  aku ulang menyebut nama harinya untuk menghilangkan garis pemisah hari). Di Los Angeles ditambah lagi dua jam, berarti jam empat sore (Sabtu). Di New York, ditambah empat jam berarti jam delapan malam (Sabtu). Menyeberang ke London, ditambah empat jam, berarti jam  dua belas tengah malam (hari Sabtu atau Minggu? Tentu terpaksa hari Minggu). Di Makkah tambah tiga jam lagi, jam tiga pagi (hari Minggu). Terakhir kembali ke Jakarta, ditambah pula empat jam lagi maka sekarang adalah hari Minggu jam tujuh pagi.

Kacau kan kalau begitu? Coba pula mengamati bertahap ke arah barat dengan cara yang sama, maka tanpa garis pemisah hari kita akan kembali di Jakarta pada hari Jumat jam tujuh pagi untuk waktu saat ini. Sekali lagi, jelas sangat kacau. Adanya kesepakatan dunia menetapkan garis pemisah hari adalah untuk menghindari kekacauan tersebut. Lalu ditetapkan suatu area yang  minimum resiko 'kebingungan' beda hari itu di daerah Pasifik sana. Di dekat garis pemisah waktu itu, silahkanlah mengikuti keyakinan bersama, mana yang hari Jumat, mana yang hari Sabtu. Dan laksanakan shalat Jumat di hari yang disepakati itu. Allah pasti tidak akan menyulitkan hamba Nya. 

Meskipun kota rujukan waktu dipindahkan ke Makkah, tetap saja di suatu tempat yang berjarak 180 derajat busur bumi dari Makkah, harus ada garis pemisah hari, kalau tidak ingin kejadian seperti contoh bodoh-bodoh di atas terjadi.

Jadi beramal, beribadah memang perlu pula kita menggunakan akal dan kesepakatan / kaidah yang diterima secara bersama-sama. Kalau tidak kita akan sulit sendiri. Wallahu A'lam.......

****

Sabtu, 21 Mei 2011

Ai Pi Ei

I P A 

Ini adalah singkatan dari Indonesian Petroleum Association, sebuah organisasi yang didirikan 40 tahun yang lalu, ketika usaha eksplorasi minyak oleh perusahaan-perusahaan asing sedang-sedang mulai marak di negeri ini. Nah, para penanam modal asing itu, membentuk organisasi ini yang bekerja sama dengan badan pengelola bisnis minyak di Indonesia (Pertamina, Lemigas dan sebagainya) dan termasuk dengan badan-badan pemerintah sejak dari kementerian sampai direktorat-direktorat di bawahnya. Organisasi ini biasa melakukan pertemuan tahunan (annual convention) yang selalu mengambil tempat di Jakarta Convention Center. Tidak tanggung-tanggung, di jaman babeh Harto dulu, selalu beliau sendirilah yang membuka pertemuan tahunan tersebut secara resmi.

Pertemuan tahunan itu biasanya berlangsung tiga hari. Pada kesempatan itu diadakan pameran oleh masing-masing perusahaan minyak berikut perusahaan-perusahaan pendukung usaha eksplorasi minyak, presentasi ilmiah yang berhubungan dengan pekerjaan eksplorasi dan pengembangan (development) industri minyak serta panel diskusi yang dihadiri petinggi-petinggi sampai setingkat menteri yang memberikan sumbang saran, komentar, kritik dalam kelangsungan usaha perminyakan di Indonesia. Peserta yang datang pada setiap pertemuan ilmiah tahunan itu beribu-ribu orang dari berpuluh-puluh perusahaan bahkan ada yang datang dari luar negeri. Mereka hadir tumpleg-bleg untuk berbagi pengalaman, berdiskusi, berbagi informasi di samping tentu saja untuk sekedar bertemu kangen. Maklumlah, ada mantan teman sekolah yang sekarang bekerja di Medan, di Pakan Baru, di Singapura, di Kuala Lumpur, di Balikpapan, di Sorong dan sebagainya. Pada waktu itulah saling bertemu.

Selama tiga hari sejak tanggal 18 Mai yang lalu digelar pertemuan tahunan yang ke 35 (ada beberapa tahun kegiatan itu tidak bisa dilaksanakan). Aku yang sudah absen dari menghadirinya sejak tahun 2007 kemarin ikut lagi. Suasananya masih seperti dulu-dulu itu. Ramai sekali. Bahkan pada acara penutupan, ketua panitia melaporkan bahwa jumlah peserta tahun ini memecah rekor yakni mencapai 9000 orang. Selama tiga hari berturut-turut aku menghadiri diskusi panel yang dihadiri oleh petinggi-petinggi dunia minyak Indonesia. Ada direktur Pertamina, direktur BPMIgas, direktur-direktur entah apa lagi, anggota DPR serta CEO perusahaan-perusahaan asing. Apa saja yang mereka bahas? Umumnya adalah masalah eksplorasi minyak dan gas di negeri ini. Yang menurut mereka harusnya masih bisa ditingkatkan untuk mencari cadangan baru tapi (seolah-olah) terkendala oleh beberapa hal seperti perizinan dan peraturan daerah akibat otonomi daerah. Ada yang menyarankan agar gas yang diproduksi jangan lagi diekspor (dijual ke luar negeri) karena kebutuhan dalam negeri untuk keperluan industri sedang meningkat pesat. Ada bau-bau beradunya kepentingan antara fihak pemerintah, fihak perusahaan penyedia minyak dan gas dan para pengguna gas. Industri minyak dan gas itu memang masih terhitung industri yang melibatkan banyak sekali modal (uang), oleh karenanya menimbulkan persaingan kepentingan. 

Terlepas dari pembicaraan-pembicaraan ilmiyah bercampur politik dagang itu, bagiku cukup menarik untuk kembali ikut hadir di forum 'ramai-ramai' seperti ini. Kemarin bahkan untuk pertama kalinya aku ikut shalat Jumat di tengah pelaksanaan pertemuan tahunan seperti ini, di sebuah ruangan yang disediakan khusus oleh penyelenggara dan dihadiri oleh ribuan jamaah. Alhamdulillah, kita ini (ternyata) masih orang-orang yang mengingat Allah. Mudah-mudahan usaha perminyakan di negeri ini tidak melulu untuk kepentingan bisnis para pengusaha minyak saja, tapi masih menyisakan sisi-sisi ibadah dan mengingat Allah.  

*****         

Sopir-sopir Taksi

Sopir-sopir Taksi

Untuk kepraktisan dan untuk menjaga stamina agar tidak hancur disedot capek melawan kemacetan lalu-lintas kota Jakarta, maka aku berlangganan taksi. Kok mesti taksi? Kok tidak memakai sopir pribadi saja? Begitu tanya beberapa orang. Aku yakin, dari pengalaman-pengalaman kawan-kawan yang menggunakan jasa sopir, keputusanku untuk menggunakan taksi sepertinya lebih baik. Tidak ada yang perlu dipusingkan.

Aku berlangganan dengan sebuah perusahaan taksi yang mulanya kutelpon tiap malam sebelum tidur agar aku dijemput jam enam pagi. Terakhir ini tanpa ditelponpun sebuah taksi sudah datang menjemput pagi-pagi sekali. Bahkan pernah ketika aku baru kembali dari shalat subuh di mesjid, sebuah taksi sudah stand by di depan rumah. Mereka dengan sabar menunggu sampai jam enam dan argo baru hidup setelah aku duduk di dalam mobilnya. Tidak pernah ada masalah.

Kadang-kadang aku ajak sopir itu berbincang-bincang. Rata-rata menyenangi pekerjaan mereka sebagai sopir di perusahaan tersebut. Mobil yang mereka gunakan setelah ditaksikan selama lima tahun akan jadi milik mereka. Tiap hari mereka membayar setoran yang termasuk untuk tabungan biaya perawatan mobil. Meski setoran itu relatif tinggi, rata-rata di atas 280,000 rupiah perhari, ditambah pula biaya bensin yang sekitar 150,000 rupiah sehari, umumnya sopir-sopir itu mampu memenuhi kewajiban mereka dan bahkan membawa uang lebih untuk keluarga. Kelebihan yang tergantung rezeki pada hari-harinya, kata mereka. Ada yang pernah membawa uang tunai bersih 700,000 rupiah sehari tapi ada juga yang ketika sedang seret hanya membawa beberapa puluh ribu rupiah saja. 

Mereka bekerja dari jam 4 sore sampai jam 12 siang atau dari jam empat subuh sampai jam dua belas malam. Ada yang bekerja dua hari diikuti satu hari libur ada yang bekerja satu hari dan libur satu hari. Ada yang berstatus sebagai 'pemilik' mobil karena dia membayar DP mobil ada yang berstatus sebagai sopir cadangan. Sopir cadangan atau bukan kewajiban setoran mereka sama saja. Dan yang mencari sopir cadangan adalah 'pemilik' mobil dengan janji-janji di antara mereka. Tujuannya agar si sopir cadangan juga berusaha menjaga keawetan mobil dan nanti dia akan diberi bagian pada saat mobil itu jadi miliknya benar-benar lima tahun kemudian.

Seorang sopir yang baru saja melunasi setoran selama lima tahun dan sudah menjadi pemilik mobil ex taksi (yang tidak boleh lagi digunakan sebagai taksi) mengaku sudah ada persetujuan dengan seorang pembeli untuk menjual mobil tersebut 61 juta rupiah tanpa mobil itu diapa-apakan (masih bercat taksi). Waktu itu sopir yang satu ini menjadi cadangan untuk temannya. Sementara menunggu transaksi selesai, pak dan setelah itu saya akan pulang ke Jawa berternak bebek, katanya.  Lho, kenapa, tanyaku. Stress pak, menghadapi macet Jakarta tiap hari, begitu jawabnya.

Sopir yang lain sedang menikmati mobil keduanya baru dua hari ketika aku menaiki taksinya yang masih bau plastik mobil baru. Dia sangat gembira dan bersemangat. Memang perlu semangat tinggi untuk mengayuh hidup di Jakarta ini. Ada pula sopir taksi yang bertanya shalat apa aku di taksinya pada jam tujuh pagi. Pembicaraan kami lalu berubah ke urusan shalat dan agama. Dia bercerita bahwa dia seorang mualaf (sejak lima belas tahun yang lalu padahal). Dia hanya shalat kalau di rumah katanya. Katanya pula dia sempat menduda selama delapan tahun sesudah ditinggal lari oleh istrinya. Baru menikah lagi dengan seorang gadis berumur 22 tahun padahal dia sudah berumur 45 tahun. Dan istrinya yang baru ini lebih taat beragama yang berimbas pula kepadanya, katanya (meski kelihatannya hanya kalau sedang di rumah saja).

Begitulah obrolan dengan sopir-sopir taksi di sela-sela kemacetan lalu lintas. Di sela-sela waktu tidur (tambahan) beberapa menit.

*****         

Selasa, 17 Mei 2011

Jujur.....

Jujur........

Sabda Nabi SAW; Innamaa bu'itstu maqaadimal akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak). Dan Beliau SAW mencontohkan bagaimana akhlak yang prima dan baik itu. Beliau beserta para sahabat beliau yang terdekat menunjukkan bagaimana akhlak yang luhur, sikap jujur, amanah, terpercaya, tidak usil, tidak suka menyakiti orang lain, tidak zhalim dan serentetan panjang lagi sifat-sifat mulia yang berhubungan dengan akhlaqul karimah. Akhlak yang mulia.

Ingin aku membahas satu saja, yakni tentang jujur. Jujur artinya..... apa ya? Sampai-sampai aku silau dengan makna kata-kata jujur. Tapi paling tidak mungkin dapat diartikan...... Lurus, terpercaya tidak khianat, tidak zhalim kepada orang lain, tidak merugikan orang lain baik orang itu sadar atau tidak sadar. Dan ternyata untuk menjadi orang yang jujur ini sekarang tidak mudah. Tidak mudah karena banyak sekali godaan. Banyak sekali alasan yang menjadikan orang tidak lurus. Menjadikan orang berkhianat. Menjadikan orang tidak amanah.

Hari Jumat kemarin aku mendengar khotbah tentang contoh kejujuran yang lebih terpelihara di negeri orang, yang justru bukan negeri orang Islam. Sang khatib bercerita, bahwa dia berkesempatan mengunjungi kota Tokyo, meski dia tidak pandai berbahasa Jepang. Repotnya, hampir mustahil menemukan orang Jepang di jalanan yang pandai berbahasa Inggeris, terlebih-lebih di antara sopir taksi. Beliau ini lalu meminta tolong kepada kenalannya yang faham bahasa Jepang untuk menuliskan permohonan untuk mengantarkan ke suatu tempat, serta menuliskan pula permohonan untuk mengantarkan kembali ke tempat dia menginap. Dengan bermodalkan secarik kertas kecil itu dia tidak perlu repot-repot, cukup menunjukkan kertas itu kepada sopir taksi. Dan diapun diantarkan ke tempat tersebut yang ternyata cukup jauh. Sesampai disana, dibayarnyalah ongkos taksi sesuai dengan jumlah yang tertera di argometer. Si sopir mencoba menjelaskan dengan bahasa tarzan, bahwa jarak yang ditempuh itu seharusnya tidak sejauh itu karena alamat yang dituju itu tadinya meragukannya, dan dikiranya alamat lain yang ternyata adalah nama sebuah bangunan, bukan nama jalan yang dituju. Si beliau ini terbingung-bingung tidak mengerti. Si sopir kembali menggambarkan dua buah garis, yang satu lurus, yang satu berbelok-belok. Untuk garis lurus sopir itu menunjuk kepadanya, dan untuk garis berbelok-belok dia menunjuk ke dirinya sambil membungkuk. Seolah-olah minta maaf. Barulah beliau agak faham maksudnya ketika sopir taksi mengembalikan ongkos taksi separo dari yang tertera di argometer. Inilah sebuah contoh kejujuran, menurut sang khatib.

Aku teringat suatu ketika beberapa tahun yang lalu naik taksi pula dari Bukit Tinggi ke Bandara Tabing. Taksi di Bukit Tinggi tidak mau menggunakan argometer dan harus ditawar-tawar. Adik iparku yang mencarikan taksi itu memberi tahu bahwa sewa taksi yang akan dibayar sampai di Bandara nanti adalah Rp 90,000. Waktu itu ongkos taksi dari Tabing ke Bukit Tinggi Rp 90,000. 

Kamipun berangkatlah menuju Padang dan mampir di sate mak Syukur. Makan sate melepas teragak. Sopir taksi itupun aku ajak makan sate, dan diterimanya meski dia minta duduk di tempat terpisah. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan ke Tabing. Di sana aku serahkan selembar uang kertas Rp 100,000. Apa kata sang sopir? 'Alah pas se komah pak. Tadi awak maleh jo apak di Bukik tu, pakai baago-ago banalo dek nyo.' (Sudah pas sebegini ini pak. Tadi saya malas menjawab bapak di Bukit Tinggi itu yang menawar-nawar). Aku tidak merasa perlu bertengkar dengannya. Hanya mengurut dada saja. Sampai disinilah tingkat kejujuran orang ini, kataku dalam hati.

Begitulah. Ternyata akhlak yang mulia seperti kejujuran itu rupanya bisa menempel pada seseorang meski dia bukan seorang muslim tapi dia bisa luntur bahkan terkikis dari seseorang yang padahal adalah seorang muslim.

*****         

Senin, 16 Mei 2011

Libur Panjang Tergijau......

Libur Panjang  

Ada yang aneh dan agak lucu. Aku menerima sms yang mengatakan bahwa hari Senin tanggal 16 April 2011 adalah hari libur bersama yang akan dipotong nantinya dari hari-hari cuti. Aturannya sih biasa seperti yang selalu terjadi selama ini untuk apa yang disebut sebagai libur bersama. Yang agak lucu adalah karena hal itu diberitahukan hari Sabtu sore via sms. Apakah ini maksudnya menghindari agar masyarakat tidak berbondong-bondong mudik seperti biasanya setiap kali ada long week end? Entahlah. Terasa agak aneh dan sayang karena kalau baru hari Sabtu sore masyarakat pencinta mudik bereaksi untuk menyalurkan hasrat mudiknya, mungkin sudah agak terlambat. 

Agaknya dugaanku tidak terlalu tepat. Berita tv menyebutkan bahwa terjadi kesibukan di stasiun dan di jalan raya (tol) dengan berbondong-bondongnya orang meninggalkan Jakarta. Ternyata masyarakat  negeri ini benar-benar asli penikmat liburan. Dan liburan yang dilewatkan di kampung atau paling tidak di luar kota. 

Dan aku sendiri? Apa pulalah artinya libur panjang yang hanya tiga atau empat hari itu bagiku. Aku baru saja melewatkan libur panjang tiga setengah tahun. Jadi aku tidak kemana-mana. Cukuplah beristirahat di rumah saja.

Hanya, keputusan atau pengumuman libur bersama yang terlambat itu memang terasa agak aneh. Ini bukan komentarku saja. Termasuk komentar mantan wakil presiden Yusuf Kalla. Dia bilang, ya mbok kalau mau libur bersama diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya. Agar masyarakat bisa membuat rencana yang tidak dadakan. Mungkin benar juga apa yang beliau katakan. Tapi, meski diumumkan secara tergijau (=terburu-buru) yang menikmatinya untuk bepergian tetap saja banyak.

Iyalah..... Bon long week-end.....


****

Sabtu, 07 Mei 2011

Begini, Begini..... Apa Namanya Ini Kalau Bukan.....????

Begini........

Ada sebuah keperluan untuk pergi keluar kota yang jauh. Yang perginya harus naik pesawat, meski pulang hari. Tiket pesawatpun dipesan melalui agen perjalanan yang biasa tempat memesan tiket. Dan karena sistim tiketing yang semakin canggih, informasi pembelian atau kode buking tiket pesawat itu cukup dikirim melalui sms. Sms ini bisa dipakai sebagai pass masuk ke ruangan check in atau kalau mau lebih nyaman dapat dimintakan print-annya di tempat penjualan tiket. Hebat kan? Apa juga lagi?

Ternyata ada sedikit kesalahan manusia yang akibatnya cukup fatal. Kode buking per sms yang juga memberitahukan jam keberangkatan pesawat ternyata keliru satu jam. Jam keberangkatan yang seharusnya jam tujuh empat lima ditulis jam delapan empat lima. Begitu.

Untuk antisipasi kalau-kalau jalanan macet lalu kami (aku dan si Bungsu) berangkat dari rumah jam setengah tujuh. Ternyata jalan lancar sekali hari Sabtu pagi kemarin itu. Empat puluh lima menit sudah sampai di Bandara. Merasa waktu lebih dari cukup, maka sms itu ditukarkan dengan print out pemesanan di counter Lion Air. Mulailah perkara datang. Di sana baru diberitahu bahwa pesawat dimaksud adalah untuk jam delapan kurang seperempat. Maka bergegaslah kami masuk keruangan check-in, yang apa boleh buat harus antri pula. Sampai di sembarang (free) counter untuk check in tanpa bagasi, kami disuruh melapor di counter khusus nomor 24. Bergegas pula ke sana. Tapi di sini vonis jatuh. 'Bapak sudah terlambat, check in sudah ditutup empat puluh lima menit sebelum jadwal take off.' 'Tapi ini masih setengah jam lagi sebelum take off,' desakku. Tidak bisa dengan permintaan  hormat dan halus, tidak juga dengan desakan dan sedikit marah, si penjaga counter itu keukeuh mengatakan ini sudah terlambat. 'Jadi tiket saya ini maksudnya sudah tidak berlaku? Sudah hangus?' desakku lagi. 'Masih, pak. Tapi bapak tidak bisa lagi ikut dengan pesawat jam tujuh empat lima,' katanya tegas menjengkelkan. Mana supervisor kamu, saya ingin bicara,' kataku. Seorang laki-laki muda muncul dan mengajakku ke loket lain di bagian belakang. Aku pikir tadinya ini adalah bantuan memecahkan masalah. Ternyata di loket itu aku kembali diberitahu bahwa tidak ada jalan sedikitpun bagiku untuk ikut pesawat yang dimaksud. Lamat-lamat terdengar pemberitahuan agar penumpang pesawat dengan nomor itu dipersilahkan naik ke pesawat.

Sementara aku? Di loket yang baru ini aku diberitahu bahwa karena terlambat, tiketku itu sudah hangus 75%. Inaa lillahi......... 'Carikan saya tempat di penerbangan berikutnya,' pintaku lunglai karena tidak ada gunanya berdebat dengan manusia robot seperti ini. 'Ada pak, jam sepuluh. Tapi harga tiketnya sembilan ratus....' (yang adalah dua kali lipat tiketku yang dihanguskan mereka yang juga adalah tiket bukan promo). 

Aku gemetar menahan marah. Tapi sekali lagi, ini adalah manusia-manusia robot yang tak ada gunanya diajak berbicara. Akupun membayarlah 1,550,000 untuk mendapatkan dua tempat di pesawat berikutnya jam sepuluh. Nah, apa namanya yang aku bayar ini kalau bukan sebuah 'perampokan'?

Lalu pesawat jam sepuluh itu...... ternyata terlambat 45 menit. Giliran si Bungsu naik pitam. Didatanginya manajer penjualan tiket dan diceritakannya pengalaman kami pagi itu. Dituduh terlambat untuk check in padahal waktu masih ada, dihanguskan 75% harga tiket, dipaksa membayar dua kali lipat untuk penerbangan berikutnya. 'Dan sekarang pesawat sampeyan terlambat 45 menit..... apa tanggung jawab sampeyan?' hardiknya.

Si Bungsu lupa bahwa dia berbicara dengan robot. Tentu saja tidak ada jawaban yang mengenakkan. Kecuali permintaan maaf, karena itu diluar kuasa kami, katanya. Huh.....

*****