Selasa, 29 April 2014

Rancak Di Labuah

Rancak Di Labuah   

Semakin hari terasa persaingan hidup semakin berat. Kesempatan kerja terbatas sementara yang mencarinya semakin banyak. Ada yang bersungguh-sungguh dalam bersaing ada pula yang bermalas-malas. Namun toh hidup harus juga dijalani. Yang agak mengherankan ada kecenderungan sebagian orang yang santai-santai saja. Tapi ingin juga terlihat hebat. Ingin juga berpenampilan gagah.

Orang Minang punya sindiran khusus kepada laki-laki yang pandainya hanya melagak di tempat ramai, tapi modalnya kosong. Kalaupun dia kadang-kadang punya uang, itu bukan hasil pencahariannya sendiri, tetapi dari pemberian orang lain, mungkin orang tuanya atau saudaranya. Dia tidak pernah berusaha untuk memperoleh penghasilan sendiri, tapi tetap nekad untuk jual tampang kemana-mana. Orang seperti ini dijuluki rancak di labuah. Kadang-kadang dia terpaksa harus meminjam pakaian orang lain, dan hal itu tidak masalah baginya. Yang penting hanyalah penampilan, bagaimana agar terlihat keren.   

Kalau anak-anak muda mulai berperangai rancak di labuah, itu berarti dia sudah mulai memasuki masa pancaroba. Sudah mulai akil baligh. Dia ingin mempertontonkan jati dirinya, dan  biasanya hal itu dilakukan di tempat ramai. Di lapangan pertandingan, di jalan alias di labuah. Karena dia mulai mengenal lawan jenisnya dan ingin diperhatikan oleh mereka. Gejala suka pamer, atau yang disebut orang sekarang sebagai 'narsis', bisa dipahami jika menimpa anak muda yang baru gede itu.

Tapi kalau sifat seperti ini dibawa berterusan, oleh orang-orang yang sudah berumur, tandanya ada sesuatu yang tidak beres. Orang-orang berumur yang rancak di labuah adalah orang yang tidak punya cita-cita. Tidak punya harapan. Dia hanya mati karancak-an, istilah lain dari menyombongkan diri dalam kehidupan penuh khayal. Orang seperti ini biasanya pemalas.   

Berpenampilan klimis, rapi, gagah bak bintang sinetron, tapi tak berduit. Dan tidak punya akal untuk mendapatkan duit. Kalau untuk urusan mencari nafkah ini, mati angin dia. Baginya yang mau diangkat semua terasa berat, yang mau dipegang semua terasa licin. Namun anehnya, selera makannya, selama bisa didapatkan dengan gratis, cenderung besar. Dalam bahasa asli Minang di kampungku mereka disindir sebagai orang yang, dikiyak sagalo barek, dikacak sagalo alia, namun salero amuah-amuah.  Artinya seperti yang ditulis di atas itu.

Sifat rancak di labuah seringkali hasil dari salah asuhan. Karena terbiasa dimanja-manja di waktu kecil. Apa yang dimintanya selalu diberikan. Akibatnya jadi keterusan malas dalam menggunakan akal.

Marilah mendidik generasi penerus kita untuk menjadi manusia yang giat dan mau bertanggung jawab. 

****                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar