Jumat, 24 Agustus 2012

Pengalaman Berhari Raya

Pengalaman Berhari Raya 

Kali ini tentang pengalaman berhari raya sejak masa kanak-kanak, dari saat yang masih bisa aku ingat. Yang mudah diingat itu adalah yang berhubungan dengan pengalaman puasa,  meski samar-samar masih teringat juga ketika dibawa ayah naik sepeda pergi ke tanah lapang kantin di Bukit Tinggi untuk shalat Id di suatu pagi. Dan umumnya ingatan yang masih agak terang itu adalah pengalaman setelah kami diungsikan ke kampung, sesudah pecah perang PRRI.

Ibuku sibuk luar biasa di hari-hari menjelang hari raya. Sibuk membuat bermacam-macam kue. Ada kue-kue dengan tepung beras, ada yang dari tepung terigu, dan ada yang dari  tepung sagu. Kue-kue itu ada yang dibakar dengan oven kompor minyak tanah, dan ada pula yang digoreng. Dan beliau hampir tidak pernah absen membuat tapai ketan hitam yang sangat kami sukai. Kesibukan itu bahkan diawali sejak menumbuk tepung, di lesung di belakang rumah. Dan semua itu beliau lakukan sendiri. Mudah-mudahan Allah memelihara arwah beliau di tempat yang sebaik-baiknya.

Sebagian besar dari kue-kue yang dibuat ibu, hanya kami, anak-anak beliau saja yang menghabiskan. Yang datang berhari raya umumnya adalah karib kerabat, terutamanya anak pisang (anak saudara laki-laki dari ibu). 

Berkunjung di hari raya biasanya ke rumah sanak famili saja. Mulai dari rumah mak tuo sepersukuan di sebelah menyebelah, ke rumah bako, atau ke rumah istri mamak. Kalau kita berkunjung di hari raya, pasti harus makan dan karenanya tidak banyak makan kue-kue. Di hari raya orang bisa makan sampai delapan kali sehari. Berbeda dengan sepupu-sepupu yang tinggal di Padang, mereka bercerita bahwa di hari raya mereka pergi menambang. Artinya mereka berkunjung ke tetangga-tetangga, dan biasanya setiap tetangga memberi mereka uang receh sebagai hadiah. Di kampung, kami tidak mengenal budaya seperti itu. Yang biasa memberi kami uang di hari raya adalah mak etek-mak etek yang datang dari Padang.

Berhari raya di kampung aku jalani sampai aku berangkat ke Bandung di tahun 1970. Di Bandung suasana hari raya tidak terlalu berkesan. Jauh sekali bedanya dengan di kampung, dekat ibu dan adik-adik. Ada juga aku berkunjung ke saudara, atau ke rumah teman, atau ke rumah tetangga. Pada suatu hari raya, aku tinggal sendirian di rumah kost karena semua penghuninya pulang ke orang tua mereka masing-masing. Sedih rasanya berhari raya sendirian seperti itu.

Setelah aku berkeluarga suasana berhari raya berbeda lagi. Tahun 1980, kami berhari raya untuk pertama kali di Balikpapan. Di sana tidak ada saudara atau orang sekampung. Yang ada hanyalah teman sekantor. Kami saling berkunjung antara teman sekantor. Jadi lumayan sibuk dalam acara saling kunjung mengunjungi itu. Ada yang menjamu dengan makanan berat, lontong atau ketupat (biasanya yang lebih senior), ada yang dengan makan kue-kue saja. Keluargaku menyesuaikan diri dengan cara seperti itu. Pada saat kami sudah jadi senior pula beberapa tahun kemudian, istriku biasa menyediakan sate Padang. Rumah kami jadi warung sate Padang di hari raya.

Menyediakan sate Padang di hari raya pernah kami lakukan di Paris. Semua bumbu untuk  membuat sate dapat dibeli di kedai Cina di sana.

Sejak tahun 1994 kami berhari raya di Jatibening. Warga komplek tempat kami tinggal sangat guyub, sangat akrab dalam kesehari-harian. Keakraban yang dapat kita temukan dalam pertemuan-pertemuan warga atau pesta-pesta perkawinan keluarga warga komplek. Tapi di hari raya, hampir tidak ada yang saling berkunjung. Kalau pun ada satu dua yang  datang, hanya sampai di pintu rumah untuk saling bersalaman saja, tidak mau masuk rumah untuk duduk. Rupanya alasannya adalah karena masing-masing akan sibuk bertamu atau menjamu sanak famili masing-masing. Pertemuan antar warga dilaksanakan dalam acara halal bi halal, beberapa hari kemudian. 

Untuk saling berkunjung ke rumah saudara dan kerabat di Jabodetabek memang bukan perkara ringan. Bayangkan saja kalau yang satu tinggal di Tangerang, yang lain di Depok yang lainnya lagi di Bekasi. Maksimum dalam satu hari hanya dua atau tiga rumah yang dapat dikunjungi. Itulah sebabnya acara halal bi halal menjadi sebuah pemecahan masalah.

Hari pertama, kami biasa dikunjungi oleh adik-adik dan kemenakan-kemenakan. Hari kedua atau ketiga, kami juga harus mengunjungi yang lebih tua. Yang memang harus dikunjungi dan tidak bisa dicukupkan dengan halal bi halal saja. 

Di rumah, istriku masih selalu berusaha mempertahankan tradisinya, mempersiapkan sate Padang. Yang oleh adik-adik dan kemenakan-kemenakan dikatakan lebih enak dari sate mak Syukur. Aku secara jujur juga mengakui. Hanya saja aku agak prihatin melihat waktu untuk menyiapkannya yang lumayan lama. Tapi istriku tidak membuat sendiri kue-kue. Berbeda dengan ibuku yang dulu menyiapkan dan membuat semua kue-kue sendiri, sekarang kebanyakan kue-kue hari raya dibeli jadi. 

Kalau di masa kanak-kanak aku merasakan nikmat berhari raya di kampung dekat ibu dan adik-adik, sekarang nikmatnya bertukar dengan didatangi anak-anak dan cucu-cucu di hari raya. Maklumlah, di hari-hari biasa, kami tinggal berdua saja di rumah. 

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar