Jumat, 31 Oktober 2014

Sang Titipan (Dari Hidayatullah.com)

Sang Titipan

 

Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Oleh: Salim A. Fillah  

“Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”

Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban.

“Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.

Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”

Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah. Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.

Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.

Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.

Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.

Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.

Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan.*

****

Kamis, 30 Oktober 2014

Seberapa Bersih Makanan (Jajanan) Kita

Seberapa Bersih Makanan (Jajanan) Kita  

Seorang kenalanku, 'urang awak' mengeritik dengan rasa..... maaf, 'jijik', rumah makan Padang. Apalagi, katanya, dengan disediakannya tusuk gigi di meja makan. Orang-orang yang baru selesai makan, sambil berbincang-bincang, mencongkel gigi sementara di hadapan mereka masih bertabur lauk-pauk yang tidak dimakan, yang nantinya akan dihidangkan lagi kepada pengunjung berikutnya. Bagaimana kalau sesuatu yang menyelip di gigi yang dicongkel itu, terhambur ke piring-piring berisi lauk itu tadi? Begitu katanya.

Kalau mau ikut-ikutan meragukan hidangan di rumah makan itu, memang mungkin pula terjadi yang dikhawatirkan oleh beliau ini. Menurutnya, untuk menghindarkan kekhawatiran itu, seharusnya RM Padang menghidangkan lauk-lauk yang dipesan saja. Sebuah usulan yang seharusnya cukup masuk di akal. Sebenarnya, beberapa puluh tahun yang lalu, ada  restoran, Salero Bagindo namanya, yang mencoba pelayanan seperti ini. Pelayan restoran datang menghampiri tamu dengan sebuah 'gerobak' penuh dengan aneka lauk, dan menanyai tamu, makanan mana saja yang ingin dipesan. Lalu menghidangkan sesuai pesanan tersebut. Entah kenapa restoran tersebut bubar, meski sudah sempat punya beberapa cabang di seantero Jakarta. Cara pelayanan yang sama, menghidangkan hanya yang dipesan, aku temukan di sebuah restoran Padang di Kuala Lumpur beberapa waktu yang lalu.

Cerita lain, kami mampir membeli jajanan di pinggir jalan, martabak. Martabak ini ada yang manis dan ada yang asin. Martabak-martabak itu dibuatkan sesuai pesanan kita. Kita harus menunggu. Apa lagi kalau kebetulan yang memesannya banyak. Aku memperhatikan si tukang martabak itu bekerja. Udara panas dari api tungku martabaknya, menyebabkan keringat si tukang martabak mengalir. Tiap sebentar keringatnya itu dilapnya dengan handuk kecil yang sudah tidak jelas warnanya. Lalu dia melanjutkan pekerjaannya, menyiapkan kulit martabak (asin) dari adonan sebesar tinju anak kecil yang diputar-putarkannya ke udara sampai menjadi sebuah lembaran yang langsung diletakkan di wajan rata sebelum diisi dengan campuran daging, telor dan irisan bawang. Tangannya begitu cekatan mengerjakan semua itu. Sekali-sekali dia juga harus menyeka keringatnya. 

Koki yang berkeringat ketika menyiapkan masakan tidak terbatas pada tukang martabak saja. Hal yang sama bisa dialami oleh mereka yang bekerja dihadapan tungku panas lainnya, seperti koki masakan Cina, seafood, nasi goreng, mie goreng dan sebagainya. 

Pada kesempatan lain, aku melihat seorang penjaja gudeg menyiapkan pesanan pembelinya, di Jogya sana. Beberapa macam sayuran yang sudah dimasak itu diambil dari bakulnya dengan tangan telanjang untuk dibungkus dengan daun pisang dan kertas. Tangan yang sama menerima uang pembayaran serta pengembaliannya, sebelum dia melayani pembeli berikutnya, dengan tangan yang sama tanpa perlu dicuci dulu.

Masih banyak contoh-contoh lain, yang kalau dipikir-pikir akan menjadikan kita tidak berkeinginan lagi untuk jajan atau makan di luar. Jadi, kalau ingin menikmati jajanan atau makanan mana saja, lihat sajalah penampilan akhirnya. Tidak perlu dibayangkan proses pembuatan, atau cara penyajiannya. Karena yang benar-benar bersih mungkin akan sulit kita jumpai.

****

                                             

Senin, 27 Oktober 2014

Kemaksiatan Biang Kehancuran Peradaban (Dari Dakwatuna.com)

Kemaksiatan Biang Kehancuran Peradaban

Rubrik: Tazkiyatun Nufus | Oleh: Abu Ihsan - 24/10/14 | 09:37 | 00 Muharram 1436 H

dakwatuna.com - 

Siapakah orang Islam yang pertama kali berani minum khamr setelah Allah dan Rasul-Nya mengharamkan?
Siapakah orang Islam yang pertama kali memamerkan auratnya setelah Allah dan Rasulnya mengharamkan?
Siapakah orang Islam pertama yang pertama kali memasang tattoo di tubuhnya setelah Allah melalui Rasul-Nya mengharamkan?
Siapakah orang Islam yang pertama kali mempelopori pacaran dan khalwat pria dan wanita bukan muhrim setelah Allah dan Rasul-Nya mengharamkan?
Pernahkah kita membayangkan betapa masyarakat muslim dewasa ini bisa sedemikian permisif dengan perilaku yang melanggar syariat Allah.
Pernahkah kita bertanya bagaimana semua ini dapat terjadi.

Sering kita dengar dari orang tua kita betapa dulu sangat sulit melihat orang berbuat maksiat terang-terangan.

Hari ini bahkan selain melakukan maksiat terang-terangan, banyak juga orang-orang ‘well educated’ bahkan memberi dukungan atas menyebarnya kemaksiatan tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita renungkan sebuah hadits yang cukup panjang dari baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.

حدّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَامِرًا، يَقُولُ: سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَثَلُ القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا، فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا، وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا “

Abu Nu’aim berkata kepada kami, Zakaria berkata kepada kami, ia berkata: “Aku telah mendengar ‘Amir, ia berkata: Aku telah mendengar An-Nu’man bin Basyir r.a. dari Nabi saw beliau bersabda: “Perumpamaan orang yang teguh menjaga larangan-larangan Allah SWT dan orang yang melanggar larangan-larangan-Nya seperti sekelompok orang yang berebut naik ke dalam sebuah perahu. Maka sebagian mereka dapat bagian atas kapal dan sebagian lainnya mendapat bagian bawah. Para penumpang yang berada di bagian bawah kapal jika memerlukan air harus melewati para penumpang yang berada di atas. Kemudian penumpang yang berada di bawah itu berkata: “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di atas”. Apabila penumpang lainnya membiarkan mereka dengan apa yang mereka kehendaki, niscaya hancurlah seluruh penumpang kapal. Dan apabila penumpang lainnya mencegah tangan mereka dari upaya melubangi kapal, niscaya selamatlah seluruh penumpang kapal”.

Takhrij Hadits

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhory dalam “Asy-Syahaadaat” dari ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats dari ayahnya dari Al-A’masy dari Asy-Sya’by. Dan dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam “Al-Fitan” dari ahmad bin Mani’ dari Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy, dan ia berkata: Hadits ini Hasan Shohih.

Bagi sebagian orang hadits tersebut merupakan perintah amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga setiap orang diminta untuk melaksanakannya.

Namun mari kita telaah lebih lanjut maka akan kita dapatkan bagaimana sebuah kemaksiatan menjadi sebuah penyakit sosial dan kemudian bahkan dianggap budaya. Kalimat “Seandainya kami lubangi tempat duduk kami satu luang saja, maka kami tidak usah lagi mengganggu para penumpang yang berada di atas” menggambarkan suatu kondisi awal terjadinya kemaksiatan yaitu:
  • Adanya anggapan baik terhadap suatu wacana kemaksiatan
  • Adanya pembiaran pada tahap wacana kemaksiatan di kalangan terdekat (para penumpang di bagian bawah)
  • Tidak adanya kepekaan pada kemungkinan munculnya kemaksiatan di kalangan yang terkait secara tidak langsung dengan para pelaku kemaksiatan.
Ilustrasi sederhananya sebagai berikut…

Dalam sebuah masyarakat yang taat dan patuh terhadap sebagian besar perintah dan larangan Allah, tidak mustahil muncul informasi betapa nikmatnya minum khamr. Jika informasi ini dibiarkan maka melekatlah dalam persepsi masyarakat. Kemudian seorang, ya hanya seorang pemuda merasa penasaran untuk mencoba minum khamr. Tentu saja dia tidak berani melakukannya di tengah masyarakatnya yang demikian taat dan mengharamkan khamr. Maka dia pun mencobanya di kampung yang membolehkan khamr.
Orang tua sang pemuda karena kelalaiannya tak mengetahui bahwa sang pemuda diam-diam pergi ke kampung seberang untuk mencoba khamr. Dan tatkala pemuda itu sudah dirasuki minuman memabukkan tersebut lambat laun muncul keberaniannya untuk mencoba di rumahnya.

Orang tuanya pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah orang tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya di rumah saja.

Kemudian berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia kemudian meminumnya di halaman rumahnya. Orang tuanya pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah orang tuanya dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya sampai halaman rumah saja.

Kemudian berlalulah masa, pemuda yang sudah dirasuki khamr tersebut semakin berani. Ia kemudian meminumnya di tempat kumpul para pemuda. Warga pun kemudian marah dan menasehatinya. Namun pemuda itu tetap pada pendiriannya. Maka melunaklah para warga dan mengatakan bahwa ia boleh minum tapi hanya untuk dirinya saja.

Jika ini dibiarkan maka perilaku pemuda ini menggugah pemuda lain melakukan hal serupa, dan jika masyarakat membiarkannya maka terjadilah apa yang disebut wabah kemaksiatan.
Demikian halnya dengan merebaknya perzinaan, homoseksualisme, korupsi, tattoo, dan berbagai kemaksiatan lainnya melalui proses yang serupa.

Syekh Muhammad Quthb mengingatkan kita tentang wabah kemaksiatan yang terjadi karena tidak pedulinya masyarakat terhadap kemaksiatan yang dianggap remeh. Dan saat wabah sudah terjadi maka sesungguhnya kerugiannya tidak sekadar kerugian moral melainkan akan berimbas pada kehancuran material. Dan kehancuran peradaban hanya soal waktu.

Betapa banyak peradaban besar yang binasa dikarenakan dekadensi moral sudah menjadi budaya. Kaum Samud, kaum Aad, dan bangsa-bangsa besar lainnya yang harus rela kehilangan kejayaannya disebabkan mereka membiarkan bibit kemaksiatan tumbuh.

Oleh sebab itu, teguhlah kita dalam menjaga larangan-larangan Allah kepada anak-anak kita dan orang-orang yang dalam wewenang kita. Sebagaimana mereka ‘bersabar’ untuk mendapat izin dari kita untuk bermaksiat maka kita pun akan bersabar untuk mencegah mereka agar tidak melanggar larangan-larangan Allah tersebut.

Jika kita enggan bersabar atau tidak peduli, maka sesungguhnya kita sedang menggali kuburan besar. Yaitu kuburan bagi kita dan masyarakat beradab yang kita tinggali hari ini. Surat Al-Anfal ayat 25 patut menjadi bahan renungan kita selanjutnya..

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَتُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2014/10/24/58891/kemaksiatan-biang-kehancuran-peradaban

Jumat, 24 Oktober 2014

Panasnya Bekasi (Dan Jakarta) Akhir-akhir Ini

Panasnya Bekasi (Dan Jakarta) Akhir-akhir Ini  

Sejak beberapa pekan terakhir, aku merasakan cuaca panas yang agak luar biasa di siang hari. Setiap kali melangkah menuju mesjid untuk shalat zuhur, terasa udara begitu menyesak. Panas, bukan main, mirip-mirip dengan panas di Makkah dan Madinah. Ternyata suhu memang di atas rata-rata biasanya. Ada yang mencatat, di Bekasi, suhu di siang hari itu pernah mencapai 41 derajat Celcius. Suhu tinggi seperti itu aku rasakan sekitar dua minggu yang lalu, dan akhir-akhir ini sedikit agak berkurang, meski masih tetap terasa lebih panas dari biasanya.

Banyak alasan sebagai penyebab tingginya suhu udara ini yang diberikan oleh mereka-mereka yang ahli, seperti efek dari rumah kaca, semakin berkurangnya lapisan ozon dan sebagainya. Yang mudah dilihat orang awam adalah semakin berkurangnya pohon-pohon di hutan akibat pembabatan hutan yang tidak terkendali. Ditambah pula dengan pembakaran hutan oleh tangan-tangan jahil, yang menimbulkan asap di kota-kota di Sumatera dan Kalimantan.  

Seorang tetangga yang bekerja di lingkungan yang erat dengan pemeliharaan hutan pernah bercerita tatacara pemeliharaan hutan di Sumatera dan Kalimantan yang sulit dikontrol. 'Tangan-tangan raksasa' begitu perkasanya mengkonversi hutan untuk dijadikan ladang kelapa sawit. Hutan-hutan dibabat, kemudian dibakar sebelum dijadikan perkebunan sawit. Semua dikerjakan seolah-olah tanpa rambu yang jelas. Berkali-kali masyarakat banyak berkeluh-kesah tentang bahaya asap akibat pembakaran hutan, aparat keamanan seperti tidak berdaya mengatasinya. Pembakaran-pembakaran hutan itu tetap saja berkelanjutan. Tidak ada yang perduli dengan rusaknya lingkungan, punahnya satwa-satwa penghuni hutan, terusirnya masyarakat tertinggal yang hidup di hutan. Tidak perduli dengan derita orang banyak yang terpaksa bernafas dalam asap. 

Inilah yang diingatkan Allah di dalam al Quran seperti yang dapat kita simak pada ayat-ayat berikut;

Surah Ar Rum (30) ayat 41 - 42

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar).

Katakanlah (Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”

Seyogianya kita memelihara bumi ciptaan Allah ini dalam keharmonisan, agar kita bersama dapat memetik manfaat darinya. Seperti firman Allah dalam surah Al A'raf (7)  ayat 56 - 58 berikut ini;  

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. 

Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

Yang berbuat kerusakan itu hanya sebagian dari kita, tapi kita semua jadi korban dari perbuatan mereka-mereka itu. 

****
                                                          

Selasa, 21 Oktober 2014

Beristirahatlah Dengan Tenang (RIP)

Beristirahatlah Dengan Tenang (RIP) 

Ketika seseorang meninggal dunia, banyak orang yang memberi komentar untuknya dengan tiga huruf, 'RIP'. Dalam bahasa Inggeris 3 huruf ini adalah singkatan dari Rest In Peace atau dalam bahasa Indonesia, 'Beristirahatlah Dengan Tenang'. Mungin ini merupakan harapan orang yang memberi komentar, meski tidak jelas apakah ungkapan itu berupa doa. Tidak jelas apakah yang mengucapkan itu berpikir tentang Kekuatan Yang Tidak Terlihat pada setiap kematian. Karena memang dia tidak tahu apa-apa di balik kematian itu. Yang dilihatnya hanyalah jasad manusia yang terbujur kaku, tidak mampu bergerak. Sudah tenang dan membisu. Lalu orang yang masih hidup melihatnya, seolah-olah mayat itu sudah atau sedang beristirahat..... dengan tenang pula. 

Islam mempunyai penjelasan yang berbeda tentang kematian. Kematian adalah pintu menuju akhirat, tempat semua umat manusia yang pernah hidup di dunia ini dikumpulkan kembali untuk diadili. Mereka ditanyai dan dihakimi tentang segala perbuatannya selama dia hidup di dunia. Dan akhirnya mereka akan terkelompok kedalam golongan yang mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala dan yang mendapatkan kemurkaan-Nya.

Kematian adalah gerbang akhirat. Setiap jiwa akan mulai mendapatkan pertanyaan dan hukuman sejak dia dimasukkan ke dalam liang lahat. Islam yang mengajarkan umatnya beriman kepada para malaikat, dan di antara malaikat-malaikat Allah itu ada yang bernama Munkar dan Nankir. Kedua malaikat ini yang akan bertugas menanyai jiwa di dalam kubur. Orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari kebenaran yang disampaikan Allah melalui rasul-rasul-Nya akan disiksa di dalam kubur ketika dia tidak mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nankir. Yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu adalah amalannya ketika dia masih hidup di dunia. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kita, umatnya, untuk meminta perlindungan kepada Allah dari siksa kubur, dari siksa di neraka jahanam, dari fitnah hidup dan mati, dan dari fitnah dajjal. Ada beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang dahsyatnya siksaan dalam kubur itu. Siksaan yang bisa terdengar oleh makhluk selain jin dan manusia yang masih hidup. 

Orang-orang yang beriman dan beramal salih, dia akan dilindungi oleh amalan-amalannya selama hidup ketika menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nankir. Sedangkan orang-orang yang banyak dosa lalu dia tidak mampu menjawab pertanyaan malaikat-malaikat tersebut, dia disiksa dengan siksaan yang mengerikan.

Islam tidak mengajarkan ucapan 'Beristirahatlah Dengan Tenang' kepada si mati. Kita hanya diajarkan untuk menyadari bahwa kita ini datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Dengan ucapan Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Semua kita umat manusia yang pernah hadir di dunia ini akan kembali kepada-Nya. Tinggal persoalan, apakah kembalinya kita untuk mendapatkan keridhaan-Nya atau murka-Nya. Yang mendapat keridhaannya akan mendapatkan balasan berupa surga jannatun naim, yang penuh dengan nikmat Allah di dalamnya. Orang-orang ini adalah mereka yang mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya selama hidup mereka. Sementara mereka yang dimurkai-Nya akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Mereka yang dimurkai Allah adalah orang-orang yang melanggar perintah-perintah-Nya dan selalu mengerjakan apa-apa yang dilarang-Nya. Seperti itu janji Allah yang sudah disampaikan-Nya melalui Rasul-rasul-Nya. 

*****
                      

Senin, 13 Oktober 2014

Masalah Akhlak Anak-anak Kita

Masalah Akhlak Anak-anak Kita

Sebuah rekaman video tentang kekerasan anak-anak murid SD terhadap rekan wanitanya di sebuah SD di Bukit Tinggi disebarkan melalui Youtube dan jadi tontonan masyarakat luas. Beritanya bahkan sampai jadi tayangan sebuah stasiun tv di Jakarta dan mendapat sorotan beberapa petinggi negara. Banyak yang terkaget-kaget. Di mana moral? Di mana budi pekerti? Di mana kesantunan dan kelemahlembutan orang Bukit Tinggi?

Di satu sisi kita mendapatkan tayangan seperti ini sebagai produk kemajuan teknologi. Segala kegiatan dapat diabadikan dalam bentuk rekaman video dan dengan mudah dapat disebarkan. Di sisi lain, yang membuat kita terheran-heran, ada saja orang yang sempat atau bahkan sengaja mengabadikan momen-momen aneh seperti itu, bahkan perbuatan-perbuatan porno untuk disebarkan kepada orang banyak. Perbuatan pelaku kekerasannya mengherankan dan pelaku yang mengabadikannya juga mengherankan.

Yang ingin kita soroti adalah masalah akhlak anak-anak yang berbuat zalim terhadap sesama teman sekelas. Dengan kekerasan yang hampir tidak dapat dipercaya. Menyakiti seorang teman wanita beramai-ramai dengan pukulan, terjangan dan sebagainya. Kok begitu teganya anak-anak ini berlaku kejam seperti itu? Dan hal itu dilakukan di dalam kelas sekolah. Di mana guru? Bagaimana kejadian seperti ini bisa luput dari pengawasan guru...

Kekerasan demi kekerasan sepertinya memang sudah merupakan hal yang 'biasa' sekarang ini. Semakin banyak orang yang mampu berbuat anarkis, berbuat zalim, merusak. Semuanya dengan cara-cara yang tidak terbayangkan. Semakin banyak manusia yang beringas. Yang sadis. Dan rupanya keberingasan itu sudah terbentuk dan terlatih sejak usia dini, usia anak SD yang umurnya baru sepuluh sebelas tahun.....

Dari sekian banyak komentar, ada yang menyesalkan karena 'kita' sudah tidak lagi mengamalkan Pancasila. Terus terang, aku tidak tahu persis pengamalan bagian mana dari Pancasila yang dimaksudkan. Dulu kita pernah sangat intensif melatih diri untuk penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ada penataran khusus P4, begitu dulu namanya disebut. Tapi sepertinya tidak terlalu kentara bahwa hasilnya mampu memperbaiki ahlak para peserta penataran. Atau mungkin aku kurang jeli mengamatinya.

Ketika kanak-kanak dulu, nenekku pernah mengingatkan tentang keadilan dan pengadilan Tuhan Allah. Tentang dosa dan pahala. Tentang surga dan neraka. Tentang kenikmatan luar biasa bagi mereka yang diridhai Allah dan siksa luar biasa bagi yang dimurkai dan dihukum Allah. Beliau mengingatkan, hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan antara sesama manusia. Jika kita berdosa kepada Allah, kemudian kita insaf lalu bertobat dan minta ampun, niscaya Allah mengampuni dosa kita. Akan tetapi, jika kita berbuat dosa kepada sesama manusia, semisal kita sakiti dia, atau kita ambil haknya, atau kita berbuang curang kepadanya.... maka selama kejahatan tersebut tidak dimaafkannya, maka nanti di akhirat kita akan mendapat hukuman dari Allah. Allah tidak akan memaafkan dosa yang kita perbuat terhadap orang lain sebelum orang tersebut memaafkan. Jika kita berbuat jahat kepada orang lain, lalu di dunia ini kita tidak mendapat hukuman yang setimpal atas kejahatan tersebut, nanti di akhirat kita akan diadili di pengadilan Allah dan di hukum dengan hukuman akhirat, dimasukkan ke dalam neraka Allah. Yang siksanya, pasti lebih menyakitkan dibandingkan dengan pembalasan di dunia. 

Nasihat nenekku lebih setengah abad yang lalu ini selalu tertanam di kepalaku. Aku takut berbuat zalim kepada orang lain. Nasihat ini kusampaikan pula kepada anak-anakku dan kepada siapa saja yang dapat aku nasihati. 

****                                          

Jumat, 10 Oktober 2014

Ada Kalanya Kita Jadi Malas

Ada Kalanya Kita Jadi Malas 

'Kita' di sini penekanannya yang pertama adalah untuk diriku sendiri. Meski mungkin bagi kebanyakan kita, hal yang sama pernah juga terjadi. Tiba-tiba kita malas mengerjakan sesuatu. Termasuk menulis-nulis 'cerita sehari-hari' di blog ini. Akhir-akhir ini aku agak malas. Padahal kejadian istimewa dalam kehidupan berjalan terus. Dalam dua minggu terakhir ini saja sebagai contoh. Ketika ada perbedaan pendapat sekelompok 'kita' dengan 'kita' yang lain tentang kapan jatuhnya hari Aidil Adha. Ada yang meyakini hari Sabtu tanggal 4 Oktober seperti di Makkah, dan ada pula yang meyakini hari Ahad tanggal 5 Oktober. 

Lalu ada kegiatan memotong hewan kurbannya. Yang tahun ini, seperti tahun-tahun yang lalu cukup banyak peserta berkurban di komplek kami. Di mesjid Al Husna, kami para jemaah, seperti tahun-tahun yang lalu bergotong royong memotong, mengiris, memasukkan ke dalam kantong plastik, membagi-bagikan daging hewan kurban tersebut. Seperti tahun yang lalu juga, tahun ini kami menyembelih 16 ekor sapi ditambah 13 ekor kambing. Semua daging kurban tersebut dimasukkan ke dalam 1600 kantong dan dibagi-bagikan kepada masyarakat di sekitar komplek perumahan kami. Alhamdulillah pekerjaan berat yang dimulai jam sembilan pagi itu dapat diselesaikan jam lima sore. 

Tiga hari kemudian ada pula peristiwa gerhana bulan di saat pergantian siang dan malam. Kami jamaah mesjid melaksanakan shalat khusuf sesudah shalat maghrib, yang berakhir lewat sedikit dari masuknya waktu shalat isya. Hampir setiap terjadi fenomena alam seperti ini kami melaksanakan shalat khusuf atau shalat gerhana. Biasanya diikuti oleh jumlah kecil jamaah karena mungkin beliau-beliau tahu bahwa shalat ini dilaksanakan dalam waktu yang lumayan panjang. Tapi hari Rabu sore kemarin itu kami lebih banyak dari biasanya. Tadinya, ketika dirundingkan di waktu subuh, seorang jamaah mengusulkan agar shalat khusuf itu dilaksanakan sesudah isya saja. Jamaah lain diam saja, seolah-olah setuju. Tapi, sebelum shalat maghrib beberapa jamaah 'ngotot' agar shalat tersebut dilakukan sesudah maghrib, karena pada saat itu masih berada di puncak gerhana. Acara itupun dirobah. Beberapa orang jamaah, yang datang menjelang isya terpaksa kecewa, karena shalat gerhana itu sudah selesai.

Jadi momen-momen penting dalam hidup ini tetap saja ada. Yang biasanya cukup menarik untuk ditulis. Tapi, ya itulah. Saat-saat ini aku tiba-tiba saja agak malas menulisnya. 

****