Minggu, 28 Oktober 2012

Hari Raya Aidil Adha

Hari Raya Aidil Adha

Hari Raya Aidil Adha adalah hari istimewa. Hari Raya haji, Hari Raya kurban. Yang terakhir ini adalah yang dikaitkan dengan pengorbanan yang ikhlas dua orang ayah dan anak, Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan  Nabi Ismail 'alaihissalam. Yang kemudian diabadikan dalam syariat Islam dengan memotong hewan kurban, dalam usaha mendekatkan diri serta menunjukkan kepatuhan kapada Allah Ta'ala.

Berkurban dengan menyembelih hewan (sapi atau kambing) adalah ibadah yang semakin banyak pengikutnya. Perdagangan hewan kurban selalu ramai di hari-hari menjelang Hari Raya kurban. Harga binatang kurban tidak luput dari permainan para pedagang dan para spekulan. Seekor kambing untuk aqiqah yang dihari-hari biasa berharga satu juta, sudah matang jadi gulai dan sate, diantar pula lagi ke rumah, sebelum Aidil Adha bisa naik sampai dua kali lipat. Masalah harga ini menjadi tambahan ujian bagi yang ingin berkurban. Seberapa ikhlas mereka beramal.

Di mesjid komplek perumahan kami, alhamdulillaah semangat berkurban ini cukup stabil dari tahun ke tahun. Ada sedikit penurunan, tapi tidak signifikan. Dua tahun berturut-turut, jumlah sapi yang kami potong berkurang dari 15, lalu 14 tahun yang lalu. Tahun ini kami menyembelih 13 ekor sapi dan 17 ekor kambing. Tahun lalu ada titipan dari urang rantau di Canada, seekor sapi. Yang lainnya adalah kurban warga komplek.

Karena tahun ini hari raya jatuh pada hari Jum'at, kami memotong kurban hari Sabtu. Pekerjaan itu dimulai jam tujuh pagi. Diawali dengan sedikit pemberitahuan dan peringatan agar setiap yang akan bekerja, berniat dengan ikhlas dan bekerja dengan hati-hati. Maklumlah kita akan bekerja dengan benda tajam. Aka memakuk dan mencincang. Dan tentu saja perlu berdoa, agar rangkaian pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan selamat. 

Alhamdulillaah pula, bahwa semangat gotong royong para jamaah tetap terpelihara. Kami jamaah mesjid, sebagian besar para pengurban ikut bekerja keras memotong dan mencacah daging kurban. Seluruh bagian daging itu habis dibagikan. Tidak ada yang dimasak untuk dimakan panitia tidak bagian khusus untuk tukang potong. Semua, bahkan otak, lidah, buntut hewan itu kami masukkan ke dalam tumpukan untuk dibagikan. Untuk makan siang kami memesan nasi kotak.  


Pekerjaan sampai membagikan bungkusan daging kurban selesai jam lima sore. Lebih dari seribu lima ratus kantong daging kurban dibagikan.

Kami bersyukur karena pekerjaan itu selesai dengan selamat.

*****

Kamis, 25 Oktober 2012

Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at | Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat | Rumaysho.Com

zakat-maal

AddThis Social Bookmark Button
Cetak PDF
hari_ied_dan_hari_jumatDi antara keistimewaan Idul Adha tahun ini (2012) akan bertepatan dengan hari Jum'at. Ini menunjukkan bertemunya dua hari utama, yang sama-sama hari 'ied. Banyak yang menanyakan bagaimana jika Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied?
Mudah-mudahan penjelasan berikut dapat menjawab hal ini.[1]
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur karena telah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk masalah ini para ulama memiliki dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
Inilah pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras seperti ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Shalat Jum’at merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.[3]
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied adalah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama berpendapat bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak bisa menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keringanan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang telah melaksanakan shalat ‘ied adalah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden seperti suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa beliau pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut adalah hari Jum’at. Kemudian beliau shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu beliau berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini adalah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan.”[4]
Pendapat Kedua: Bagi orang yang telah menghadiri shalat 'Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum'at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at agar orang-orang yang punya keinginan menunaikan shalat Jum’at bisa hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied bisa turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, jawab Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, jawab Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304)  mengatakan bahwa hadits ini memiliki syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) mengatakan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini bisa digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di awal siang. Kemudian ketika tiba waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, beliau hanya shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia adalah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sahabat mengatakan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan bahwa siapa yang telah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
Kesimpulan:
  • Boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum'at sebagaimana berbagai riwayat pendukung dari para sahabat dan tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
  • Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang telah mengerjakan shalat 'ied tidak menghadiri shalat Jum'at, ini bisa dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) karena dikatakan “ashobas sunnah (ia telah mengikuti ajaran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
  • Mengatakan bahwa riwayat yang menjelaskan pemberian keringanan tidak shalat jum’at adalah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini adalah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan telah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keringanan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melakukan hal yang sama.
  • Dianjurkan bagi imam masjid agar tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied bisa menghadirinya. Dalil dari hal ini adalah anjuran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jika hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir mengatakan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, beliau membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
  • Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan telah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut menjelaskan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.  Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.

Rabu, 24 Oktober 2012

Semarang

Semarang

Kali ini ada keperluan berkunjung ke Semarang. Ya, dengan sedikit tiba-tiba memang. Sebelum ini aku baru pernah melintas beberapa kali di kota itu dalam perjalanan darat ke Jogya dan pernah pula sekali ke Magelang. Belum pernah berhenti untuk sekedar melihat-lihat ke dalam kotanya.

Kesempatan untuk berkunjung ke sana datang hari Sabtu yang lalu. Keperluannya adalah untuk melamar, meminang calon istri seorang kemenakan. Kami berangkat hari Sabtu pagi dari rumah menuju Bandara Soeta. Jalan raya ternyata lancar pagi itu. Berangkat dari rumah jam delapan lebih untuk mendapatkan pesawat jam 11.45 terasa jadi agak boros waktu. Belum jam setengah sepuluh kami sudah sampai di bandara. Tapi memang begitulah. Perjalanan ke bandara itu lebih baik diawalkan kalau tidak ingin ketinggalan pesawat. Aku pernah punya pengalaman pahit, terlambat check in (padahal masih 40 menit sebelum pesawat berangkat), dan tiketku dianggap setengah hangus. Tidak boleh naik pesawat yang dimaksudkan dan harus membeli tiket baru untuk penerbangan berikutnya.

Rupanya penerbangan ke Semarang ini memakan waktu sekitar satu jam. Tadinya aku pikir tidak sampai selama itu. Begitu sampai, kami sudah dapat arahan agar mengambil taksi bandara untuk menuju ke hotel Grand Candi. Taksi resmi, khusus untuk mengantar penumpang pesawat dari bandara. Tanpa argometer. Tarifnya sudah ditentukan di counter khusus, tempat kita membeli karcis dan memberi tahu tujuan kita. Padahal di bandara itu berseliweran juga taksi beragometer.   

Baru aku sadar bahwa Semarang yang kota pantai, ternyata mempunyai bagian kota yang berbukit-bukit. Mirip dengan Balikpapan. Di hotel Grand Candi sudah menunggu adikku (yang akan mantu, yang berangkat lebih pagi di hari yang sama). Kami pergi makan siang. Apa boleh buat, setelah berunding sana-berunding sini, bahkan melibatkan saran sopir taksi, jatuhnya ke restoran Sederhana lagi. Satu catatan penting dari kunjungan kami ke restoran ini, air minumnya sangat kentara rasa kaporit. Bahkan pada jeruk panasnya masih juga terasa. Sayang. Berarti kualitas air minum tidak begitu bagus di sini.

Siang sesudah makan kami beristirahat saja. Malamnya kami diajak makan oleh kemenakan, calon marapulai yang dulu kuliah di Semarang, makan malam di sebuah restoran yang aku lupa namanya. Sebuah restoran sea food. Kami berdelapan orang sekarang, dengan seorang kakak yang datang dengan anak + menantunya serta si calon marapulai, dari Jogya. Restoran itu terletak di lereng sebuah bukit. Ada ruangan-ruangan kecil disekat, tempat pengunjung bisa duduk lesehan. Waktu kami datang semua tempat sedang penuh terisi. Jadi harus menunggu untuk beberapa menit yang lumayan panjang.

Kami akhirnya dapat tempat sebuah kabin lesehan. Baru saja kami duduk, hujan mulai turun. Pelayan yang membawa pesanan kami beberapa belas menit kemudian harus setengah berakrobat, dipayungi, mengantar makanan.

Hujan semakin lebat saja ketika kami makan. Hidangan sea food itu bagi lidahku yang cerewet terasa biasa-biasa saja. Ketika kami sudah selesai makan, hujan belum juga berhenti. Kami duduk-duduk saja menunggu sampai suatu saat, air yang entah dari mana datangnya mulai merembes di lantai tempat kami duduk. Terpaksa semua berdiri. Lebih repot lagi karena kami datang menggunakan taksi, dan restoran itu terletak agak masuk dari jalan raya. Tidak bisa menyetop taksi langsung. Untunglah servis pelayan restoran termasuk mencarikan taksi. Tidak terlalu lama, dua buah taksi sudah datang menjemput kami. 

Acara lamarannya sendiri dilakukan hari Ahad siang. Acara yang cukup khidmat, dihadiri lumayan banyak rombongan tuan rumah. Semua berjalan sangat lancar dan memuaskan. Insya Allah pesta si kemenakan akan dilangsungkan di minggu terakhir bulan Desember nanti di kota Semarang ini. Insya Allah aku tentu akan kembali lagi berkunjung ke sini.

Sore harinya kami kembali ke Jakarta. Alhamdulillah, pesawatnya tepat waktu. Pada saat azan isya kami sudah sampai kembali di Jatibening..... 

*****

       

Minggu, 14 Oktober 2012

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (4)

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (4) 

Ini adalah bagian terakhir dari rangkaian cerita menjejak negeri-negeri ini. Perjalanan ini dibuat di hari ke delapan liburan kemarin, sesudah kami sempat pula sebelumnya ke Pekan Baru, berangkat hari Rabu pulang hari Kamis. Selama dalam perjalanan Pekan Baru pp itulah dibuat rencana lain untuk pergi ke utara, melewati Lubuk Sikaping. Sampai kemana? Kami tidak terlalu pasti. Tapi sekurang-kurangnya sampai ke Rimbo Panti.

Ada route yang lebih menantang yang ditawarkan oleh adik yang di Garegeh, yaitu terus ke utara melalui Tapuih dan Talu, berbelok ke Simpang Ampek lalu turun ke selatan ke Manggopoh lalu bisa memilih antara terus ke Pariaman dan / atau memintas ke Maninjau. Diperkirakan jaraknya sekitar 400 kilometer. Ide yang sangat cemerlang dan sangat menarik. Aku baru satu kali ke Lubuk Sikaping, dan  belum pernah lebih ke utara lagi. Pernah juga satu kali ke Simpang Ampek melalui Manggopoh tapi dari Simpang Ampek tidak diteruskan kemana-mana lagi. 

Hanya sayangnya, waktu yang tinggal untuk perjalanan itu adalah hari Sabtu, hari terakhir liburan sebelum kembali ke Jatibening di hari Ahad pagi. Untuk menempuh jalan sejauh itu, idealnya berangkat sehabis subuh dari Bukit Tinggi dan bersiap-siap untuk sampai kembali ke pangkalan sekitar jam sepuluh malam. Yang jadi masalah sesudah itu adalah waktu untuk berkemas mengepak barang bawaan. Terlalu besar resikonya kalau rencana itu direalisasikan sekarang. Jadi sementara ini biarlah disimpan untuk program berikutnya, suatu hari nanti insya Allah.

Kami berangkat dengan santai di hari Sabtu pagi itu, setelah terlebih dahulu sarapan di Jambu Ayia. Sebuah tempat sarapan yang baru  kami (aku dan istriku) ketahui. Hebatnya, hidangan sarapan pagi di sini termasuk sup daging panas dihidangkan dengan nasi dan pergedel. Satu mangkok sup itu berisi banyak potongan daging dan tulang rawan, dengan harum bau daun sup. Maknyus kalau kata om Bondan.... Ini bukan lagi sekedar sarapan. Pengunjungnya? Masya Allah.... Ramai luar biasa di pagi hari ini. Lepau ini jauh lebih besar dari lepau di Garegeh. Bisa memuat sekitar empat puluh orang. Waktu kami datang, kami bisa duduk setelah satu rombongan berangkat sesudah mereka selesai makan pagi. 

Kami berenam (tiga pasang) dengan dua mobil. Berangkat dari Bukit Tinggi sudah lewat jam sembilan. Jalan ke Lubuk Sikaping cukup bagus dan licin aspalnya. Kami lalui kelok demi kelok. Melintas di Lurah Barangin, yang dahulu, ketika jalan masih sempit dikenal cukup angker karena lurah tersebut sangat dalam. Kalau sampai terperosok ke dalam alangkah mengerikan. Begitu konon kabarnya. Lurah itu masih tetap di sana, tapi jalan sudah lumayan lebar dengan menarah batu di tebing bukit di sisi lain jalan.

Bagiku inilah kesempatan kedua kali melintasi jalan ini. Sepuluh tahun yang lalu aku ikut mengantar marapulai, seorang sepupu yang menikah dengan orang Lubuk Sikaping. Waktu itu sebagai penumpang, kali ini meyetir sendiri. Aku sangat menikmati menyetir, yang alhamdulillah sejak keluhan asam urat jauh berkurang dapat aku lakukan dengan leluasa. Sekali lagi alhamdulillah.

Jam sebelas kami sampai di Lubuk Sikaping. Rupanya istriku dengan kakak dan  adiknya ingin bernostalgia di kota ini. Karena mereka pernah tinggal di sini ketika masih duduk di bangku SD, sekitar empat puluh lima tahun yang lalu, di saat ayah mereka jadi kepala kantor PLN di kota ini. Kami datangi rumah tempat mereka tinggal dulu, yang masih seperti itu juga. Kami beristirahat di sebuah toko kecil di hadapan rumah dinas PLN itu. Pemilik toko ini kenal baik dengan adik ipar, yang juga pernah dinas di Lubuk Sikaping sebelum ini. Istriku bercerita (entah iya entah tidak) bahwa di tempat toko kecil ini berdiri, dulu ada pohon durian, dan inyiak balang biasa mampir mengambil durian jatuh ke sini. Sesuatu yang mungkin-mungkin saja terjadi setengah abad yang lalu.

Setelah acara nostalgia itu, kami melanjutkan perjalanan lebih ke utara. Masih belum punya target yang jelas, entah akan sampai ke Tapuih atau cukup sampai ke Rimbo Panti saja. Jalan tetap bagus. Ini adalah bagian dari jalan lintas Sumatera ke arah Medan. Ada sedikit informasi kurang tepat. Mungkin karena salah hitung saja atau mungkin juga lupa. Bahwa jarak Lubuk Sikaping - Tapuih hanya sekitar empat puluh kilometer. Kami sudah melampaui kilometer 60 dari Lubuk Sikaping, belum ada tanda-tanda akan memasuki Tapuih. Payahnya lagi di batu penunjuk jalan, tertulis kota berikutnya sesudah Lubuk Sikaping adalah Kota Nopan. 

Kami sampai di Rimbo Panti. Kilometer delapan puluhan dari Lubuk Sikaping. Kami berhenti dekat sebuah taman dengan kolam air hangat. Di pinggir hutan perawan. Jalan diteduhi rindangnya pohon-pohon tinggi di kiri kanan jalan. Memasuki taman itu harus membayar, ada loket dan petugasnya. Di belakang loket itu ada sebuah warung. Ada jembatan kayu ke arah sungai yang airnya panas dan terlihat berasap dan menggelegak. Kalau telur direndamkan ke dalam air itu akan matang dalam tempo lima menit. Telur mentah dijual di warung itu. Kami membeli beberapa butir, dan merendamkan di sebuah bak kecil yang airnya juga terlihat bergejolak kecil. Lima menit kemudian telur itu benar-benar matang. 

Kami bersantai-santai di tempat itu kira-kira setengah jam. Di suasana sunyi 'tengah' hutan. Dan memutuskan untuk kembali saja sesudah itu. Tidak jadi ke Tapuih. Alasannya, di Tapuih tidak ada tempat makan yang enak. Padahal sudah hampir jam dua siang, dan kami sudah mulai lapar. Aku mencoba mengingat-ingat apakah sepanjang jalan sampai ke Rimbo Panti ini tadi ada rumah makan? Rasanya tidak ada kelihatan.   

Tapi teryata ada sebuah rumah makan di sebelah kiri jalan. Namanya Ampang Gadang. Terletak di tepi sungai batang Sumpu. Harus menunggu ikan dibakar. Sementara itu kami shalat. Ikan bakar itu ternyata biasa-biasa saja rasanya. Tapi karena perut lapar makan jadi lumayan enak. 

Perjalanan pulang dilanjutkan lagi. Akhirnya kami sampai di Bukit Tinggi menjelang maghrib. Lumayan jauh pula perjalanan hari itu.

*****                    

Sabtu, 13 Oktober 2012

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (3)

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (3)

Dalam perjalanan menuju Sawahlunto aku sempat berkomunikasi dengan sanak Azmen Chaniago Datuak Patiah nan Paruik, seorang anggota mailing list RantauNet yang banyak berkiprah untuk memajukan nagari-nagari di Ranah Minang. Dia membantu membangun website nagari-nagari dan mengadakan pelatihan pengoperasiannya. Itu yang aku ketahui tentang dia dari komunikasi di mailing list. Aku belum pernah bertemu muka dengannya. Waktu itu dia sedang memberikan pelatihan di nagari Sumpur Kudus. Di nagari ini, di samping pelatihan website dia juga melatih pemeliharaan sapi simmental yang dimodali beberapa orang anggota mailing list RantauNet.  Pengelolaan sapi itu dilakukan dengan sistim bagi hasil antara pemilik (anggota RantauNet) dan pemelihara yang adalah warga setempat.

Aku adalah salah seorang pemilik dari sembilan ekor sapi yang dipelihara pada tahap permulaan ini (rencananya akan dikembangkan terus, sepuluh-sepuluh untuk setiap kelompok yang akan di pencar di berbagai jorong di kanagarian Sumpur Kudus; kelompok kedua sudah siap untuk mulai). Aku ingin menyaksikan cara perawatan sapi-sapi tersebut, pengaturan kandang dan kebersihannya, makanannya. Dan berangan-angan akan menerapkannya pula nanti di Ma'had Syech Ahmad Khatib di Koto Tuo Balai Gurah.

Ketika berkomunikasi dengan sanak Armen aku sampaikan keinginanku untuk berkunjung ke Sumpur Kudus itu. Dia sendiri kebetulan sedang berada di Paya Kumbuh dan akan kembali ke sana besok sore. Karena aku ingin kesana dia merubah rencana keberangkatannya jadi hari Senin pagi. Kami berjanji akan bertemu di sebuah kampung dekat Sumani hari Senin siang. 

Dari informasi sementara ada dua kemungkinan bagiku mencapai kampung Sumani. Yang pertama melalui Muaro Kalaban, berbelok ke kiri mengarah ke Sijunjung lalu berbelok lagi ke kiri di Padang Sibusuk melalui Tanjung Ampalu. Kemungkinan kedua, melalui Talawi, berbalik ke arah Batu Sangkar dan menuju Sitangkai. Menurut keterangan sanak Armen, jalan melalui Talawi lebih baik. Tapi hal ini dibantah suami kakak ipar di Sawahlunto. Jalan melalui Muaro Kalaban via Tanjung Ampalu bahkan baru saja diperbaiki dan dipakai untuk Tour d'Singkarak.

Kami berangkat dari Sawahlunto sudah lewat jam sebelas. Melalui Muaro Kalaban dan Tanjung Ampalu. Jalan ini pernah aku tempuh dulu di tahun 1978, untuk pergi ke Sijunjung. Ada simpang tiga di kampung ini. Ke kanan ke Sijunjung dan ke kiri  menuju Sumani, jalan yang belum aku kenal. Setelah menempuh jalan itu beberapa kilometer dan tidak kunjung mencapai sasaran, kami jadi agak ragu-ragu. Tidak ada petunjuk bahwa kami mendekati kampung Sumani. Kami bertanya beberapa kali untuk memastikan bahwa kami tidak salah arah. Aku menelpon Armen yang ternyata masih dalam perjalanan antara Paya Kumbuh dan Sitangkai. Kami berjanji lagi untuk bertemu di Sitangkai. Kampung ini adalah simpang tiga ke  Paya Kumbuh, Batu Sangkar dan  Sijunjung.  Ternyata kami lebih dahulu sampai dari sanak Armen. Kami menunggu tepat di simpang tiga Sitangkai.

Terpaut sekitar lima menit, sanak Armen sampai pula. Rupanya dia naik ojek dari Lintau. Entah berapa jauh jaraknya dari situ. Kami bersalam-salaman. Armen menawarkan diri untuk menyetir menuju Sumpur Kudus, karena jalan ke sana kecil, mendaki dan menurun,  berliku-liku di pinggir jurang. Aku justru ingin menyetir sendiri melalui jalan seperti yang dia sebutkan. Jadi kemudi tetap di tanganku. 

Kami berputar menuju ke arah Tanjung Ampalu lagi. Kira-kira dua kilometer ada simpang ke kiri. Itulah gerbang menuju Sumpur Kudus. Jalan itu memang lebih kecil tapi diaspal licin. Sumani yang tadi kami cari-cari ternyata terletak lebih kurang tiga kilometer ke dalam di jalan yang kami tempuh saat ini. Sumani adalah kota kecamatan. Kami melanjutkan perjalanan. Betul sekali bahwa jalan itu sempit dan berliku-liku. Kendaraan mobil tidak banyak, tapi sepeda motor harus benar-benar diwaspadai. Pengendara motor cenderung untuk memacu motornya di jalan yang sepi itu. 

Jalan yang akan di tempuh sejak dari simpang jalan Sitangkai - Tanjung Ampalu tadi sekitar 30 kilometer. Lebih separuhnya merupakan pesawangan di dalam hutan rimba. Sumpur Kudus merupakan sebuah nagari yang terisolir dari kampung-kampung lain. Perjalanan ini merupakan pengalaman yang cukup menarik bagiku yang baru sekali ini menjejak negeri ini.

Setelah melalui pesawangan yang berliku dan naik turun, setelah sempat pula beristirahat sebentar di puncak pendakian mengamati pemandangan seribu gunung, akhirnya kami sampai di nagari Sumpur Kudus, nagari Rajo Ibadat Ranah Minangkabau. Kami shalat zuhur di mesjid besar di kampung itu. Di belakang mesjid ada pusara Rajo Ibadat.

Masih kami lanjutkan perjalanan ke Calau, sekitar tiga kilometer lagi dari Sumpur Kudus. Mengunjungi kandang bantiang, acara pokok kunjungan ini. Beramah tamah dengan sekretaris nagari yang juga ikut berpartisipasi dalam menyemangati masyarakat dalam usaha memelihara sapi ini. Sayang kami tidak berjumpa dengan nyiak wali nagari karena beliau sedang pergi rapat.

Untuk perjalanan pulang ke Bukit Tinggi, tadinya kami berencana akan melalui Lintau, melalui bukit Pato yang konon sangat indah pemandangannya. Acara itu terpaksa dibatalkan karena waktu kami sampai kembali di Sitangkai hari sudah menjelang maghrib. Kami bergegas menuju Batu Sangkar melalui Padang Gantiang.

Rupanya masih banyak tempat yang belum aku kunjungi di Ranah Minangkabau. Dan inilah kesempatan mengunjunginya sedikit-sedikit.

*****

Minggu, 07 Oktober 2012

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (2)

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (2)

Jalan menuju ke selatan ini sama bagusnya. Sumatera Barat bolehlah bangga bahwa kualitas jalan raya di seluruh pelosok negeri di atas rata-rata. Kecuali barangkali jalan di Sitinjau Lauik yang memang terletak di atas punggungan bukit yang tidak stabil dan berpatahan. Sudah bermacam cara dilakukan dinas pekerjaan umum untuk memperbaiki ruas jalan itu, sampai sekarang masih saja rawan rusak. Rawan longsor. 

Jalan ke Painan mulus dan lebar. Jalan itu mendaki sejak dari Bungus. Dan tentu saja berkelok-kelok. Pemandangan di sepanjang jalan ini bagiku biasa-biasa saja. Kadang-kadang serasa aku sedang berjalan di daerah Paya Kumbuh. Kadang-kadang serasa sedang di Kamang. Cantik berbukit-bukit dan hamparan sawah. Tapi ya itu, ada mirip-miripnya dengan yang sudah pernah aku kenal. 

Jarak Padang - Painan lebih kurang 70an kilo meter, hampir sama dengan jarak Padang - Padang Panjang. Jalan mendaki mungkin sekitar setengah perjalanan ke Painan. Sesudah pendakian, kita mulai memasuki daerah Pesisir Selatan. Hampir tidak ada pesawangan sepanjang jalan ini. Kampung yang satu sambung menyambung dengan kampung yang lain. Kami lalui sebuah kota (satelit) sebelum Painan. Tampak kantor-kantor pemerintah dengan atap bergonjong. Aku langsung teringat dengan seorang anggota mailing list RantauNet sepuluh tahun lebih yang lalu, berasal dari Pesisir, dan sangat anti bahkan protes keras dengan menggonjongkan atap kantor pemerintah di daerah Pesisir. Karena, katanya, tidak ada satupun rumah penduduk yang bergonjong di daerah itu. Dengan kata lain dia (hendak) menyangkal bahwa orang Pesisir itu sama dengan orang Minang.

Enam kilometer sebelum kota Painan, kami berbelok ke kiri, menuju kampung istri adik ipar. Nama kampung itu Koto Berapak. Pagi tadi ada acara lamaran di rumah itu. Anak laki-laki yang punya rumah dipinang untuk anak dara dari Sijunjung. Nah, ini kan cara atau adat istiadat Minang? Orang laki-laki yang dipinang? Bahasa orang sini pun bahasa Minang. Tak ada ubahnya kecuali dengan dialek yang sedikit berbeda sebagaimana berbedanya dialek orang Lima Puluh Kota dengan orang Agam. Bahkan sebagaimana berbedanya dialek orang Bukit Tinggi dengan orang Tiku. 

Sempat pula aku bertanya tentang keminangan orang tempatan sekedar ingin tahu. Dan aku diberitahu bahwa orang Painan berbalahan dengan orang di Alahan Panjang dan Muaro Labuah. Orang-orang dari sana yang 'turun' ke rantau Painan. Samalah dengan orang Solok yang turun ke rantau Padang. Agaknya si pemerotes di RantauNet itu tidak faham saja. 

Kami tidak berlama-lama di rumah di Koto Berapak itu. Seharusnya, ada objek wisata dekat kampung itu, masih harus terus beberapa kilometer lagi, yakni jembatan akar. Akar pohon beringin yang dijalin bersambungan di atas sungai dan dijadikan titian penyeberangan. Harus memilih satu diantara dua. Ke jembatan akar atau ke tepi pantai. Tidak mungkin kedua-duanya dikunjungi karena hari sudah sore. Akhirnya disepakati bahwa tujuan berikutnya adalah kota Painan dan Pantai Cerocok. Kami kembali ke jalan raya Padang - Painan lalu berbelok ke kiri. Kemudi aku serahkan kepada kemenakan yang jadi sopir cadangan. Painan enam kilometer lagi dari simpang jalan tersebut. Dan Pantai Cerocok terletak di dalam kota itu.

Pantai yang landai dan memanjang sedikit melengkung. Di hadapan ada pulau-pulau kecil. Agak sedikit ke tengah, katanya ada pulau Cingkuak. Mendengar nama pulau Cingkuak aku teringat pelajaran sejarah, bahwa pulau itu adalah tempat Belanda pertama kali menapak, membuat loji alias benteng di pantai barat Sumatera Barat sekarang. Itu terjadi di awal abad ke tujuh belas.

Pantai Cerocok adalah tempat rekreasi. Cukup ramai pengunjung sore hari itu. Bahkan ada juga turis asing kulit putih. Sayang penataan pantainya kurang dirapikan. Lautnya sedang surut. Terlihat banyak onggokan batu dengan cangkang kerang. Ada sebuah jembatan kayu ke pulau kecil beberapa puluh meter ke tengah. Anak-anak pergi menyeberang ke pulau itu. Dari sana mereka bisa pula menyewa perahu untuk ke pulau berikutnya. Aku tidak ikut menyeberang. Kami duduk-duduk saja di bangku-bangku kayu milik pedagang minuman di sana.  

Matahari berada di hadapan kami, tapi sayang ditutupi awan. Jadi tidak bisa melihat matahari terbenam. Sekitar maghrib kami meninggalkan tempat itu. Adik ipar menjamu kami makan di rumah makan, masih di tepi pantai dekat tempat parkir kendaraan. Hidangan laut yang dimasak asam padeh. Lumayan enak. Setelah makan baru kami mencari mesjid.

Sehabis shalat kami mulai perjalanan pulang. Pertama-tama mengarah ke Padang. Untuk mampir sebentar di tempat kemenakan yang ikut rombongan dari Padang tadi. Jam sepuluh malam kami tinggalkan pula Padang menuju Sawahlunto, melalui Sitinjau Lauik, melalui jalan mendaki, beriringan dengan berpuluh-puluh truk besar-besar. Si kemenakan pengemudi cadangan cukup berpengalaman dan sangat hati-hati.

Jam setengah dua malam kami sampai di Sawahlunto, untuk beristirahat, sesudah melewatkan waktu yang panjang dalam perjalanan cukup jauh sehari itu.

*****               

Jumat, 05 Oktober 2012

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (1)

Berlibur Dan Menjejak Negeri-negeri (1)

Aku bukannya haus benar akan liburan. Tapi memang terasa sedikit kerinduan untuk pulang ke kampung akhir-akhir ini. Dalam nuansa yang sedikit berbeda. Kali ini  hanya aku dan istri saja, tanpa disertai anak-anak dan cucu-cucu. Karena mereka punya kesibukan masing-masing. Bayangannya mula-mula mau bersantai-santai saja di Bukit Tinggi. Kalaupun pergi, ya di sekitar Bukit Tinggi itu saja. Katakanlah sejauh Paya Kumbuh. Sejauh Batu Sangkar. Sejauh Maninjau. Begitu rencana awal.

Ada satu acara yang memang agak diniatkan. Pergi memancing di sungai. Di sungai mana saja. Entah di Batang Agam di Padang Tarok. Atau di Batang Sinamar di dekat Suliki. Atau di aliran Batang Ombilin. Ini angan-angan lama. Dan bertambah menjadi-jadi setelah pada kesempatan ke Pakan Baru bulan Juni yang lalu salah seorang ipar berjanji akan menemani acara pergi memancing itu. Tapi apa boleh buat. Cita-cita ini tidak kesampaian. Alasan utamanya, karena sang ipar sedang melanglang buana ke negeri Jiran.

Hari Jumat siang tanggal 21 September kami berangkat menuju Padang. Hari elok, cuaca cerah. Lebih sedikit dari jam lima sore kami sampai di bandara Minangkabau di Padang. Perlu sekitar setengah jam sampai bagasi kami lengkap terkumpul. Kami segera keluar. Di sana sudah menunggu dunsanak Okki, pemilik mobil sewa yang sudah dihubungi sebelumnya. Mobil sewaan itu diserahterimakan secara kilat, karena kami sudah saling kenal. Aku sudah pernah menyewa mobilnya sebelum ini. Tidak ada surat menyurat. Benar-benar sebuah transaksi sewa menyewa berdasarkan saling percaya. 

Kami langsung menuju Bukit Tinggi.

Hari Sabtu pagi mampir ke tempat adik ipar di Garegeh. Yang ini bukan ipar yang berjanji menemani pergi memancing. Dia mengajak pergi meraun ke kampung istrinya di Painan. Dia sendiri akan berangkat ke sana hari Sabtu sore itu. Kami tertarik. Belum pernah aku mengunjungi negeri itu. Tapi tidak untuk berangkat sore itu juga, karena ada keperluan rapat di kampung. Akhirnya kami rencanakan berangkat keesokan harinya.

Kakak istriku yang tinggal di Sawahlunto ingin pula ikut dan minta dijemput. Hari Minggu pagi-pagi sekali kami berangkat dari Bukit Tinggi. Ditemani anak dari adik yang tinggal di Garegeh itu. Sekaligus dia akan jadi sopir cadangan, kalau-kalau aku tidak kuat lagi menyetir. Bukit Tinggi - Sawahlunto melalui Batu Sangkar. Jalan bagus meski agak sempit. Dan kendaraan hampir tidak ada. Kami dapat berjalan dengan mulus. Rencananya mau sarapan di sebarang lepau di mana saja. Sambil terus melaju kami amati kalau-kalau ada warung kopi yang baik sejak dari Baso. Sampai di Batu Sangkar, tidak ada yang terlihat. Akhirnya di Talawi, beberapa belas kilometer sebelum Sawahlunto kami menemukan lepau ketupat sayur. 

Setelah sarapan kami teruskan perjalanan ke Sawahlunto. Pasangan suami istri di sini sudah siap. Ada sedikit kekhawatiran sebenarnya. Sang suami baru saja menjalani operasi sepekan yang lalu. Aku menanyakan apakah dia benar-benar merasa sehat untuk pergi meraun? Tapi dia sangat yakin tidak akan apa-apa. 

Kami segera berangkat, dengan bismillah. Sawahlunto - Solok. Lalu Solok - Padang melalui Sitinjau Lauik. Di bagian pendakian Sitinjau Lauik itu, jalan sedang diperbaiki. Sedang di cor dengan semen tebal. Untuk itu separo jalan harus ditutup. Kendaraan yang melintas harus bergantian, yang naik dan yang turun. Baik rombongan naik maupun rombongan turun bisa berkilometer panjangnya. Alhamdulillah, ketika kami akan melintas, persis sedang giliran terbuka, sehingga tidak perlu stand by menunggu.

Setelah melalui jalan berkelok-kelok Sitinjau Lauik kami sampai di Indarung dan langsung berbelok ke arah selatan melalui Teluk Bayur. Anak-anak dari pasangan sawahlunto ini, dua pasang suami istri, sedang berada di Padang, akan bergabung. Kami sepakat untuk bertemu di rumah makan di Bungus. 

Rumah makan dengan gulai kepala ikan di Bungus ini sudah lama aku dengan ceritanya tapi belum pernah mencobanya. Tapi yang mana? Di sini berjejer banyak lepau atau rumah makan. Kami merapat ke sebuah yang ramai pengunjungnya. Mengambil tempat di palanta untuk duduk bersila. Hidangan pun segera datang, termasuk satu piring kepala ikan yang masih panas, baru diangkat dari kuali. Semua segera menyibukkan diri dengan makan.

Sayang rasa gulai kepala ikan itu biasa-biasa saja. Tapi karena sedang lapar-laparnya, lumayan jugalah. Sehabis makan kami berpindah ke mesjid untuk shalat zhuhur. Sekitar jam setengah dua siang perjalanan dilanjutkan menuju Painan.

*****