Minggu, 27 Desember 2009

Pulang Kampung Lagi (1)

Bukit Tinggi 17 - 21 Desember 2009

(1)

Ada lagi kesempatan pulang kampung. 'Keharusan' karena ada ipar mau mantu, menikahkan puterinya. Dan karena ada rapat di Ma'had Tahfizhul Quran Syekh Ahmad Khatib di kampung. Aku dan istriku berangkat hari Kamis 17 Desember dengan pesawat Batavia. Sampai di Minangkabau International Airport jam 12.30 siang. Sangat on time. Langsung menyewa taxi untuk menuju Bukit Tinggi. Di bawah guyuran hujan rinai-rinai.

Sampai di Bukit Tinggi, di mess PLN di Jalan Luruih sekitar jam tiga sore lebih. Sengaja tidak mampir di jalan untuk makan siang, karena hari hujan dan karena aku cinan, ingin makan di restoran Selamat di Kampung Cino. Tapi hari hujan. Dan pilek istriku sedang menjadi-jadi. Aku lalu meminjam payung dan berjalan kaki ke Selamat yang hanya sekitar dua ratus langkah dari mess PLN. Dan kamipun makan nasi ramas Selamat.

Di malam hari yang lambok karena hujan tidak kunjung berhenti, kami tidak kemana-mana. Adik ipar yang datang mengunjungi kami.

Hari Jumat subuh aku terbangun saat azan pertama. Di luar hujan sudah berhenti. Begitu azan kedua (azan subuh yang sebenarnya berkumandang) aku keluar sendirian. Istri masih flu berat. Aku berjalan kaki melintasi jalan, mendaki jenjang dan menuju Masjid Raya. Ini hari Jumat. Dan benar, di subuh hari Jumat ini imam membaca surat Sajadah di rakaat pertama. Berbeda dengan kesempatan terdahulu yang mungkin sekitar dua tahun yang lalu, ketika aku juga shalat subuh di masjid ini, maka pagi ini jamaahnya lebih dari dua puluhan orang. Artinya cukup banyak. Harus diingat bahwa lokasi masjid tidaklah di persekitaran rumah tinggal.

Hari mulai agak cerah di sebelah pagi. Tadinya kami mengira bahwa ipar yang dari Sawahlunto akan datang pagi ini. Soalnya nanti sore kami akan ke Limbanang, ke tempat ipar yang akan menikahkan puterinya itu. Jam sebelas seperempat, ipar yang di Sawahlunto memberi tahu bahwa mereka (suami istri) akan datang sekitar waktu ashar. Kok penting betul ini ditulis? Karena tadinya kami menunggu mereka untuk pergi makan nasi Kapau uni Lis. Jadi, kami pergi berdua saja. Melintasi jalan, mendaki jenjang. Padahal sudah hampir jam setengah dua belas, waktu untuk pergi ke masjid untuk shalat Jumat. Kami sempatkan juga pergi mengunjungi uni Lis. Nasi Kapau jo gulai tunjang. Melepas taragak. Jam dua belas kurang lima ketika aku memasuki Masjid Raya. Tentu saja hanya kebagian saf di belakang.

Sore harinya, kami berempat berangkat menuju Payakumbuh untuk terus ke Limbanang. Di perjalanan, menjelang Baso, terlepas ucapan pambayan (suami dari ipar) bahwa mereka sudah mencicipi minuman kawa di Tabek Patah. Dua bulan yang lalu, kami berempat lewat di Tabek Patah dalam perjalanan ke Sawahlunto dan berbincang tentang minum kawa di galuak. Sayang waktu itu lepaunya sudah tutup (ketika kami melintasi jalan waktu itu sudah jam sembilan malam). Dan akhirnya, sore ini, kami berbelok ke Tabek Patah. Alek di Limbanang itu nanti sesudah maghrib dan kami masih punya waktu.

Kami minum kawa di lepau di pinggir jalan. Minum air rebusan daun kopi dari galuak (tempurung kelapa). Daun kawa yang disangai mengeringkannya. Dengan rasa kalek-kalek tanggung. Memang begini rasanya dulu..... lebih lima puluh tahun yang lalu. Bedanya sedikit, dibandingkan jaman entah berantah dulu itu, kali ini pemanisnya bukanlah gula enau tetapi gula biasa. Mungkin maksudnya untuk lebih praktis saja. Kami hirup kawa hangat ditemani goreng pisang raja.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar