Jumat, 01 Maret 2013

Lanjutan Demokrasi Kita

Lanjutan Demokrasi Kita 

Ada satu ciri yang agak khas dengan demokrasi di negeri ini khususnya dalam menyikapi hasil pil-pil. Jarang yang mau menerima kalah. Ya, tentu saja. Bagaimana mau ikhlas pada waktu dinyatakan kalah pada hal sudah berton-ton mesiu habis. Sudah berlindak-pindak biaya keluar. Lalu awak dinyatakan kalah. Kalah tipis pula. Orang dapat 30 persen awak 28 persen, misalnya. Akan diterima begitu saja? Akan legowo saja? Ya, ndaklah. Dicarilah seribu daya, selaksa helah. Dibuktikan bahwa orang curang. Orang mengecoh. Orang money politic. Orang begini-begitu. 

Padahal awak sendiri? Apakah awak tidak mengecoh pula? Tidak berbuat curang pula? Oh, itu.... biarlah orang lain yang mengatakan. Artinya, sebenarnya awak sendiripun tidaklah jauh dari yang awak tuduhkan kepada orang lain. Dengan segala cara yang mungkin, awak pun tentu ingin menang. Bahkan bersorak-sorak sesudah pertandingan ketambin inipun dalam rangka berusaha juga lagi untuk menang. Siapa tahu nasib awak lagi baik. Disalahkan panitia orang yang sudah dinyatakan menang itu lalu dimenangkannya awak. Atau paling tidak disuruhnya bertanding ulang... Jadi harus dilawan sampai titik keringat penghabisan. Atau sampai tandas gepokan rupiah yang terakhir. 

Lalu setelah itu awak jadi sibuklah. Mengadu ke sana dan ke sini. Syukur-syukur kalau nanti oleh yang berwenang menyatakan hitam putihnya hasil sebuah pil-pil, permohonan itu dikabulkan. Paling tidak disuruh ulang kembali. Kalau begitu kan berarti perlu modal lagi? Tentu perlu diulangi dari awal?  

Kenapa tidak. Karena memang begitu keinginan nafsu. Begitu desakan hati yang dirasuk rasa cemas  sesudah berhabis-habis sebelum ini (tapi dinyatakan kalah). Ah, tidak boleh itu. Tidak bisa  yang demikian itu. Harus diusut. Harus di.......

Dalam beberapa kejadian, di kota ini atau di kota itu, dikabulkan pula keinginan orang kalah seperti ini. Diatur ulang pil-pil. Dibiayai sekali lagi. Ternyata kalah juga. Masih heboh juga setelah itu. Tapi kali ini suara sudah agak lari ke dalam. Apa boleh buat. Ternyata memang awak kalah. Tinggallah menghitung rugi. Dicemooh pula oleh sebuah pantun Melayu. Anak andung ketitiran - Anak merbah empat-empat. Yang dikandung berceceran - Yang dikejar tidak dapat.

Jadi sebenarnya untuk siapa demokrasi kita ini? Apa benar manfaatnya untuk rakyat banyak? Belum tahu kita jawabnya.     

*****               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar