Selasa, 27 September 2011

Imajinasi Kanak-kanak

Imajinasi Kanak-kanak 

Aku punya sebuah tas setengah koper tua, persegi dan kaku bentuknya. Tas yang dulu, tiga puluh tahun yang lalu (disebut pilot case, karena mirip seperti tas para pilot pesawat, kala itu),  biasanya digunakan ketika bertugas ke menara pengeboran. Tas antik itu sekarang berfungsi sebagai tempat menyimpan surat-surat dan diletakkan di bagian atas lemari. Surat apa saja, sejak dari ijazah-ijazah, akte kelahiran, surat nikah, surat tanah dan sebagainya. Sangat jarang diturunkan.

Karena ada keperluan, beberapa hari yang lalu tas antik itu diturunkan dan dibiarkan berada di bawah selama dua hari. Hari kedua, cucuku Rafi dan Rasyid yang tinggal di rumah sebelah, seperti biasa main ke rumah belakang, begitu mereka menyebutnya. Rafi yang mula-mula melihat tas antik itu, langsung lari memanggil saudara kembarnya. 'Syid, di kamar inyiak ada harta karun,' teriaknya. Keduanya kembali masuk kamar untuk mengamat-amati tas itu dan  bertanya.  

'Inyiak dapat harta karun di mana?'

'Mana harta karun?' tanyaku berpura-pura.

'Ini, inikan harta karun, nyiak. Inyiak dapat di mana?'

'Oo...... ini bukan harta karun. Ini tas inyiak...... Isinya surat-surat.'

'Benaran, nyiak? Rafi lihat dong?!'

Setelah aku perlihatkan isinya, Rafi dan Rasyid masih berkomentar.

'Wah, kirain harta karun....... Tapi ini mirip tas harta karun lho, nyiak?'

'Tahu dari mana tas harta karun seperti ini?' tanyaku.

'Dari filem kartun,' jawab Rasyid.

'Memang kalau tas harta karun itu isinya apa, sih?' tanyaku pula.

'Ya harta karun lah, nyiak,' jawab Rafi.

'Harta karun itu apa?'
'Harta karun......... Ya harta karun..... Pokoknya harta karun. Masak inyiak nggak tahu?'

'Ooo ya sudah..... Rafi dan Rasyid sudah pernah lihat, memangnya?'

'Lihat di filem kartun sudah. Tapi yang benarannya belum. Makanya tadi Asyid kirain ini harta karun benaran....'

Begitulah perbincangan kami sore kemarin......

*****


                                   

Sabtu, 24 September 2011

Ujub

Ujub

Ujub artinya sombong. Atau yang oleh anak-anak sekarang dikatakan terlalu pede dan narsis. Terlalu percaya diri sehingga nyaris jadi pemuji diri sendiri. Merasa bahwa diri sendiri adalah yang   ter. Hanya awak sajalah yang pintar, awak sajalah yang elok, awak sajalah yang berkelebihan sementara orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan diri awak. Sifat seperti ini mewarisi sifat iblis ketika dihadapkan dengan kehadiran Adam. Iblis merasa kelintasan. Timbul ujubnya. Timbul sombongnya. Aku lebih baik dari dia, begitu biasanya jalan pikiran orang ujub. Orang sombong.

Mungkin dia memang mempunyai sedikit kelebihan. Mungkin dia memang pintar. Atau memang gagah. Atau memang kaya. Tetapi ketika kelebihannya itu diproklamirkannya atau didemonstrasikannya dengan niat atau maksud agar orang mengakui kelebihan yang dimilikinya itu, maka itulah ujub. Allah tidak menyukai orang yang sombong, yang ujub, yang mengagumi diri sendiri.

Tersebutlah kisah tentang Nabi Musa a.s. yang pernah mengatakan bahwa beliaulah yang paling berilmu di jagad raya pada waktu itu. Beliau ditegor Allah dan diberi tahu bahwa ada hamba Allah yang lebih berilmu daripada dirinya. Disebutkan dalam kisah dalam al Quran ketika nabi Musa dipertemukan dengan hamba Allah tersebut (ahli tafsir mengatakan nama beliau adalah Khaidir, atau Nabi Khaidir, tetapi al Quran tidak menjelaskannya seperti itu). Dan Nabi Musa minta ijin untuk berguru kepada orang saleh yang istimewa itu. Dan dijelaskan dalam surah Al Kahfi dari ayat 66 sampai ayat 82 pengalaman Nabi Musa yang seolah-olah diuji dalam tiga perkara, (sampan yang dilobangi sehingga bocor, anak kecil yang dibunuh orang saleh itu dan perlakuan penduduk suatu kampung yang tidak perduli kepada mereka tetapi dibalas dengan memperbaiki sebuah rumah reot di kampung itu). Pada ketiga ujian itu Nabi Musa ternyata tidak sanggup bersabar dari menahan diri untuk bertanya dan akhirnya dinyatakan tidak lulus. Dari kisah ini kita memahami, bahwa seorang nabi pun tidak sepantasnya merasa yang ter, dan ketika perasaan yang ter itu beliau (nabi Musa) utarakan Allah tunjukkan bahwa masih ada lagi di antara hamba Allah yang lebih baik dari beliau. 

Hendaklah kita berhati-hati dari sifat ujub yang mungkin secara tidak sengaja terbetik dalam hati kita, baik disadari atau tidak disadari.  

*****                              

Minggu, 18 September 2011

Dari File Lama Di Cimbuak 'Kenapa Ingkar?"

Kenapa Ingkar PDF Print E-mail
Written by Muhammad Dafiq Saib, St. Lembang Alam   
Friday, 02 May 2008
ImageKenapa manusia ingkar kepada Allah? Kenapa manusia ingkar kepada nabi Muhammad?

Yang ingkar kepada Allah, contohnya seperti bani Israel dijaman nabi
Musa, dikarenakan akal mereka yang pendek. Mereka meminta kepada nabi Musa agar kepada mereka diperlihatkan wujud Allah, barulah mereka mau percaya kepadaNya. "Ya Musa, kami tidak akan percaya denganmu sebelum kami lihat Allah dengan jelas." (Al Quran 2:55). Ini bukan karena ketakaburan saja, tapi lebih dikarenakan kebodohan yang bersangatan. Allah adalah Yang Maha Agung. Yang, 'lam yakullahuu kufuwan ahad'. Tidak barangsuatu apapun yang setara dengan-Nya. Kalau masih bisa kalian lihat, masih bisa kalian ukur besarnya, kalian bandingkan wujudnya dengan yang kalian bayangkan, niscaya itu bukanlah Allah Yang Maha Tunggal, Yang Maha Perkasa. Niscaya tuhan seperti itu adalah benda, adalah ciptaan, entah ciptaan kalian sendiri, entah ciptaan angan-angan kalian. Allah Yang Maha Agung tidak dapat kalian rekayasa bentukNya, tidak dapat kalian rekayasa kekuatanNya, tidak dapat kalian rekayasa kekayaanNya. Karena semua sifat-sifat ke Maha Perkasaan, ke Maha Kuasaan, ke Maha Sucian Allah tidak akan tercapai oleh akal kalian untuk membayangkannya, tidak akan terjangkau oleh panca indera kalian untuk mendeteksinya.

Kalian akan dapat merasakan kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala dari alam raya yang diciptakanNya ini, kalau kalian mau beriman. Perhatikanlah langit dengan segala isinya. Perhatikanlah bumi dengan segala isinya pula. Atau perhatikanlah apa-apa yang kalian makan. 'Falyanzhuril insaanu ilaa tha'aamihi. Annaa shabab nal maa a shabbaa.  Tsumma syaqaqnal ardhaa syaqqaa. Fa anbatnaa fiihaa habbaa.' (Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air hujan. Kemudian Kami renggangkan bumi dengan cukup. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di muka bumi itu.) (al Quran 80: 24-27). Cobalah bantah kalau sanggup!

Makanan yang kalian makan, rezeki yang kalian peroleh, kehidupan yang kalian nikmati, darimana kalian dapat? Dari hasil jerih payah kalian saja, tanpa pertolongan Allah? Sehebat itukah kalian? Kalaulah iya sehebat itu kalian, sanggupkah kalian hidup tanpa masalah di muka bumi Allah ini? Tidak pernahkah kalian merasakan sakit? Merasakan sulit? Atau merasakan perubahan menjadi tua, menjadi lemah sampai akhirnya tidak berdaya? Cobalah jawab!

Kenapa pula ada manusia mengingkari kerasulan Muhammad SAW? Kenapa mereka dustakan kenabiannya? Kenapa mereka cari-cari kelemahannya sesuai dengan kebutuhan hawa nafsu mereka?

Yang mendustakan nabi Muhammad SAW mula-mula adalah orang-orang Quraisy, kaum famili beliau sendiri. Mereka mengingkari ajaran tauhid yang dibawa nabi. Mereka mengingkari ajaran yang mengatakan bahwa manusia itu semua sama di hadapan Allah Sang Maha Pencipta. Yang membedakan mereka hanyalah nilai taqwa mereka masing-masing kepada Allah. Ini adalah sesuatu yang baru bagi tatanan kehidupan kaum Quraisy dan mereka tidak siap menerimanya. Mereka percaya dengan Allah, tapi pada saat bersamaan mereka juga mempercayai Latta dan Uzza. Dan mereka tidak dapat membayangkan bahwa kedudukan mereka sebagai bangsawan Quraisy disetarakan dengan kedudukan budak belian. Buat mereka ini jelas-jelas tidak masuk akal dan tidak boleh diterima. Jadi harus diperangi. Muhammad dan ajarannya harus dilawan, dan itulah yang mereka lakukan.

Golongan berikutnya yang mendustakan kerasulan Muhammad SAW adalah kaum Yahudi. Padahal ketika itu mereka sedang menunggu kedatangan nabi akhir zaman. Mereka mengenali ciri-ciri nabi akhir zaman itu dari kitab suci mereka. Dan mereka berharap bahwa nabi itu akan hadir dari kalangan mereka, kalangan bani Israel. Mereka kecewa ketika mengetahui bahwa nabi itu terlahir dari kalangan Arab. Timbul rasa iri, timbul dengki, timbul nafsu benci. Lalu mereka menolaknya, tidak mengakuinya, mendustakannya dan ikut memeranginya. Karena hawa nafsu mereka.

Lalu golongan Nashrani. Yang ketika itu berkuasa di Imperium Romawi. Sebuah kerajaan besar yang membentang sangat luas dari Eropah sampai ke Asia Barat. Raja-raja mereka adalah penganut agama Nashrani (Kristen). Berbeda dengan Najasi, raja yang juga beragama Nashrani dari kerajaan Habasyah yang menerima kerasulan Muhammad SAW, Heraqlius yang sebenarnya sempat menunjukkan minat dan ketertarikan hatinya terhadap pesan Islam, akhirnya mengalah kepada bujukan pembesar-pembesar dan pemuka-pemuka agama Nashrani untuk tidak menerima tawaran dari nabi orang Arab, golongan yang selama ini dipandang dengan sebelah mata itu. Akhirnya kesombongan juga yang membatasi mereka dari menerima kebenaran agama Islam. Meski akhirnya sejarah menunjukkan bahwa rakyat di daerah kekuasaan Romawi Timur itu sedikit demi sedikit beralih memeluk agama Islam, pemuka-pemuka agama Kristen tetap menganggap ajakan dan dakwah nabi Muhammad SAW tidak pantas diikuti dan mereka berusaha menebar fitnah untuk memusuhi agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW.

Meskipun kaum musyrikin Quraisy, kaum Yahudi di tanah Arab,  dan kerajaan Romawi Timur yang beragama Nashrani dalam waktu singkat dapat dikalahkan oleh kekuatan Islam, namun faham syirik, agama Yahudi yang membenci kerasulan Muhammad SAW serta agama Nashrani yang menebar fitnah tentang Islam tetap berkelanjutan sampai sekarang ini.


                                                                   *****

Jumat, 16 September 2011

Musykil

Musykil

Hari Selasa yang cerah. Pak Broto dan istrinya datang bertamu ke rumah kami. Mereka baru kembali dari mudik lebaran. Dalam suasana ceria di pagi yang cerah itu kami berbincang-bincang santai. Tentang perjalanan mereka pulang kampung. Pak Broto bercerita bahwa perjalanan itu seperti biasanya setiap tahun, tersendat-sendat di tengah kemacetan arus lalu lintas.

‘Lama juga di kampung kali ini,’ aku berkomentar.

‘Lumayan….. Pas seminggu, kami berangkat dari sini hari Ahad dan tadi malam sampai kembali di rumah,’ jawab pak Broto.

‘Aman-aman saja sepanjang perjalanan? Berapa jam di jalan?’ tanyaku lagi bertubi-tubi.

‘Alhamdulillah….. Aman…. Tapi, ya itu….. Jakarta – Solo dua puluh jam lebih. Berangkat dari rumah sehabis subuh, kami sampai di kampung sudah menjelang sahur lagi. Begitu juga waktu pulang. Macet. Di mana-mana macet dan berdesak-desak. Tidak ada perobahan dari tahun ke tahun,’ jawabnya.

‘Mungkin semakin macet barangkali karena saya dengar pemudik bersepeda motor semakin bertambah. Perjalanan yang berat. Tapi….., tetap puasa selama dalam perjalanan pulang waktu itu?’

‘Tinggal ibu Broto saja yang masih bertahan. Saya menyerah. Hari panas luar biasa, dan jalanan macet. Di dekat Cirebon, saya dan anak-anak sudah tidak sanggup lagi meneruskan puasa. Jam dua siang kami terpaksa batal.’

‘Sayang, ya,’ aku berkomentar asal-asalan.

‘Sayang memang…..  Tapi begitulah, resiko mudik……. Eh, ngomong-ngomong, udo hari apa berhari raya?’ tanyanya. Sepertinya mengalihkan pembicaraan.

‘Hari Selasa. Sampeyan hari apa?’ jawabku sekalian bertanya pula.

‘Kami ikut pemerintah…. Hari Rabu. Udo pengikut Muhammadiyah rupanya.’

‘Kebetulan saja bersamaan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

‘Sayang, ya…. Kita, umat Islam selalu saja berbeda hari berhari raya….’

Aku hanya tersenyum, tak menjawab.

‘Sepertinya orang Muhammadiyah terlalu pede dan ngotot. Mereka tidak mau ikut pemerintah,’ pak Broto memancing-macing.

‘Sebenarnya………’ kataku ragu-ragu.

‘Sebenarnya bagaimana, udo?’

‘Sebenarnya……., kalau kita yakin tentang sesuatu hal, kita memang harus pede. Harus berani mempertahankan keyakinan kita tersebut,’ jawabku.

Pak Broto menatap wajahku dengan pandangan penuh tanda tanya.

‘Orang Muhammadiyah begitu yakin dengan hasil perhitungan mereka. Dan mereka tidak mau mundur setapakpun. Padahal……., demi kebersamaan, apa salahnya mundur? Demi keutuhan umat. Apa bukan begitu pendapat udo?’

‘Entahlah. Tapi sayapun, ketika saya yakin bahwa hari raya kemarin itu jatuh pada hari Selasa, saya juga tidak mau mundur. Tidak mau ikut dengan pendapat pemerintah.’

‘Apa alasan udo?’

‘Saya percaya dengan hasil perhitungan. Baik yang dilakukan Muhammadiyah, atau organisasi lainpun. Bahkan dari informasi yang saya dapatkan di internet, dari Google. Ditambah pula kesaksian di bawah sumpah orang yang melihat hilal pada hari Senin sore itu. Saya sangat percaya dan yakin dengan semua itu, lalu saya tidak puasa lagi hari Selasa alias berhari raya pada hari itu.’

‘Jadi bukan karena fanatik sebagai……… orang Muhammadiyah?’

‘Sudah saya katakan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

Sedang kami asyik berbincang-bincang itu terdengar suara salam dari luar. Rupanya ada bapak dan ibu Tahir, tetangga kami yang lain, yang juga baru kembali dari Medan. Kami bersalam-salaman.

‘Rupanya baru sampai juga pak Tahir,’ pak Broto mengawali.

‘Tadi malam pak. Tadi subuh kami sudah bertemu di mesjid. Bukankah begitu udo?’ jawab pak Tahir.

‘Pak Tahir lewat udara ya? Enak dan tidak capek,’ pak Broto menambahkan.

‘Lebih capek sedikit di kantong….he..he..he…’ jawabnya pula.

Ibu Tahir bergabung dengan bu Broto di ruang tengah. Istriku menyuruh kami pindah ke meja makan. Ada mie goreng istimewa yang baru disiapkannya.

‘Wah! Kita masih benar-benar berhari raya rupanya,’ celetuk bu Broto.

‘Ada suatu hal yang musykil di pemikiran saya. Saya ingin menanya pendapat udo,’ kata pak Tahir ketika kami duduk mengelilingi meja makan.

‘Tentang apa itu?’ tanyaku.
‘Sebelumnya…….., hari apa udo berhari raya?’ tanya pak Tahir pula.

‘Hari Selasa,’ jawabku pendek.

‘Nah! Itulah! Kami juga berhari raya hari Selasa. Tapi ada seorang kawan menjelaskan bahwa dengan demikian berarti kita tidak taat kepada pemimpin. Kepada pemerintah. Padahal al Quran memerintahkan agar kita taat kepada pemimpin. Bagaimana itu udo?’

‘Perintah untuk taat kepada pemimpin itu benar. Allah memerintahkan kita tentang yang demikian itu seperti firman-Nya dalam surah An Nisaa’ ayat 59,’ jawabku.  

‘Jadi mungkin maksud udo……. Pemerintah kita sekarang ini bukan ulil amri minkum. Apa demikian udo?’ giliran pak Broto bersuara.

‘Mereka ulil amri kita,’ jawabku tersenyum.

‘Lah….. Bagaimana dong udo. Kata teman saya itu sebetapa tidak setujunyapun kita dengan pemimpin, namun kita wajib taat kepadanya. Bahkan, jika kita mati dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah. Udo pernah mendengar tentang hadits itu?’

‘Pernah. Hadits itu insya Allah sahih,’ jawabku pula.

‘Lho…. Semakin bingung saya. Kalau begitu? Kalau udo tahu ayatnya, tahu haditsnya, kenapa dong udo ikut berhari raya hari Selasa. Menyalahi ketetapan pemerintah?!’

‘Iya, udo. Kok sepertinya udo tidak konsisten?’ pak Broto ikut mendesak.

‘Baiklah! Surah An Nisaa’ ayat 59 itu berbunyi, artinya; ‘Hai orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kalian! Sekiranya ada perbedaan di antaramu tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari akhirat………’

Begitu bunyi ayat itu lebih kurang. Kita diperintah untuk taat kepada Allah. Itu yang pertama. Taat dan patuh atas ketetapan-ketetapan Allah. Lalu yang kedua, kita wajib taat kepada Rasulullah SAW. Terhadap apa saja yang disampaikan oleh beliau baik itu perintah maupun larangan. Dan terakhir kita wajib patuh dan taat kepada pemerintah. Namun urut-urutannya harus seperti itu. Taat dulu kepada Allah, lalu kepada Rasulullah baru kepada pemimpin. Artinya, kalau ada sesuatu ketaatan itu bertabrakan antara taat kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada pemimpin, maka yang didahulukan adalah taat kepada Allah. Sampai di sini apakah bapak-bapak faham dan setuju?’

Semua mengangguk-angguk, meski terlihat masih agak bingung.

‘Taat kepada pemimpin itu lebih banyak untuk urusan dunia. Ketika pemimpin menyuruh kita taat membayar pajak, taat bergotong royong, taat menjaga negeri, maka kita harus patuh. Kalau kita ingkari, di sanalah berlaku hadits tadi itu. Seandainya kita mati, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah.’

‘Tapi….. maaf, udo. Kemarin itu pemerintah menyuruh kita berhari raya di hari Rabu. Apakah pemerintah tidak berhak memerintahkan seperti itu karena itu untuk beribadah kepada Allah?’ pak Broto yang bertanya.

‘Tentu saja Pemerintah boleh menetapkan seperti itu. Tapi seyogianya, pemerintah meniru contoh Rasulullah dan menyimak perintah Allah untuk mempergunakan akal dalam menetapkan ayat-ayat Allah. Di jaman Rasulullah SAW, ketika ada seseorang mengaku telah melihat anak bulan, orang itu disuruh bersumpah dengan bersyahadatain, dan orang itu melakukannya, maka pengakuan orang itu dijadikan landasan hukum. Rasulullah SAW memerintahkan umat untuk mulai berpuasa ketika itu. Rasulullah memerintahkan untuk mengamati munculnya bulan. Di jaman Rasulullah belum ada alat untuk menghitung, untuk mengamati bulan selain dengan mata telanjang. Tapi sekarang? Allah telah mengajarkan ilmu. Peredaran bulan itu bisa dihitung. Dan itu menjadi tanda kepada orang yang berakal, firman Allah. Jadi kita harusnya mempertimbangkan pula hal itu.’

‘Saya masih belum pas dengan perbandingan itu. Menurut saya, pemerintah sebagai Ulil Amri tentu juga bersungguh-sungguh dalam ketetapan mereka.’

‘Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh. Tapi di sini diperlukan pengujian dengan keyakinan kita sendiri. Kalau nanti di pengadilan Allah kita ditanyai, kenapa kamu melakukan sesuatu, lalu kita jawab karena saya taat kepada pemerintah, saya khawatir Allah tidak akan menerimanya. Saya khawatir Allah akan menanyakan apakah kamu tidak memikirkan yang diperintah pemimpinmu itu, karena ini dalam hal beribadah kepada-Ku?’

‘Jadi bagaimana hubungannya dengan keterangan seseorang mati jahiliyah jika dia tidak taat kepada pemimpin tadi, udo?’ tanya pak Tahir.

‘Begini, pak Tahir. Di sebuah negeri, di ujung sebuah benua, yang penduduknya terdaftar hampir seratus persen beragama Islam. Pada suatu ketika, seorang pemimpin negeri, presiden negeri itu, jadi pucuk dari Ulil Amri mereka, berpidato begini. ‘Kita harus bekerja keras membangun negeri kita ini. Tanpa kerja keras kita akan ketinggalan karena negeri kita ini adalah negeri yang tandus. Kita harus bekerja keras. Kita tidak mungkin bekerja keras kalau perut kita lapar. Kita pasti akan kelaparan kalau kita berpuasa. Oleh karena itu, untuk kebaikan negeri kita, untuk membangun negeri kita, saya perintahkan anda semua meninggalkan puasa Ramadhan. Ikutilah saya, Saya tidak berpuasa Ramadhan,’ kata sang presiden sambil mempertunjukkan minum air di hadapan rakyatnya di siang hari di bulan puasa.

Sekarang. Seandainya pak Tahir berada di antara rakyat negeri itu, apakah pak Tahir akan mentaati perintah sang pemimpin tersebut?’

‘Apa iya ada yang seperti itu, udo?’ pak Broto seperti tidak percaya.

‘Itu contoh dari negeri jauh, pak Broto. Di negeri kita ini, di tahun enam puluhan. Ada orang yang tahu tentang agama, orang yang dekat dengan pemerintah, berpetuah agar jangan mengerjakan sembahyang. Jangan shalat, begitu katanya. Orangpun bertanya, kenapa? Karena al Quran mengancam orang yang shalat. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka wail nanti di hari kiamat. ‘Fawaillullil mushalliin….’ Dikutipnya ayat Allah sepotong saja. Neraka wail bagi orang yang shalat. Apakah pak Broto akan mematuhi anjuran seperti ini, apalagi dia menyitir ayat al Quran pula?’

‘Tentu kita tidak harus menelan bulat-bulat saja  Kita wajib menelaah apa yang kita dengar, kalau memang dari yang disampaikan itu tidak pas,’ jawab pak Broto.

‘Persis seperti itulah adanya. Dalam ketaatan kepada pemimpin, kita harus mampu menyaring dan memikirkan. Jadi tidak kita telan bulat-bulat saja apa yang mereka sampaikan, seperti kata pak Broto.’

‘Rumit juga, ya udo,’ pak Tahir mendesah.

‘Harusnya tidak rumit. Di mana rumitnya?’

‘Artinya akan selalu saja umat bertikai dalam penetapan hari raya.’

‘Mudah-mudahan suatu ketika nanti tidak lagi demikian. JIka Allah berkehendak. Wallahu a’lam.’


                                                                *****

Senin, 12 September 2011

Azan

Azan
 
Pinto melangkah bersemangat menuju mesjid di tengah hujan rintik-rintik. Membawa mik sumbangan orang-orang kaya di Padang. Mik portable itu disandangnya di bahunya dan ditutupi kain sarung. Sesampai di mesjid Pinto bergegas membuka jendela di belakang mihrab  Sudah jam satu kurang seperempat. Harusnya waktu zuhur sudah masuk sejak seperempat jam yang lalu. Pinto azan dengan menggunakan mik itu. Suaranya bergetar merambat. Di luar cuaca redup dan hujan rintik-rintik masih terus turun.
 
Pada saat dia mulai melaungkan asyhaduannamuhammadarasulullah, kabel mik yang melingkar-lingkar itu direnggutkan orang dan corong mik portable itu terlepas dari genggamannya.
 
‘Siapa yang menyuruh kau abang?’ tanya Pakih Murad dengan mata melotot.
 
Pinto tidak segera menjawab. Dia terkesima.
 
‘Jawab! Siapa yang menyuruh kau abang?’ bentak Pakih Murad sekali lagi.
 
‘Tidak ada mak Pakih…. Tapi waktu sudah masuk, maka saya azan….’
 
‘Pandai-pandai kau…… Hanya aku yang boleh abang di mesjid ini. Siapa yang menyuruh kau membawa barang setan ini ke mesjid ini? Mengotori mesjid!’
 
‘Ini mik, mak Pakih. Pengeras suara, agar suara orang azan terdengar lebih jauh. Ini sumbangan orang-orang di Padang…’
 
‘Benda setan. Seruling setan. Barang yang kau ada-adakan. Jangan kau sama-samakan pula mesjid ini dengan mesjid lain. Barang itu haram digunakan di sini.’
 
‘O begitu mak Pakih…..  Pada hal barang ini bermanfaat. Dia dapat mengeraskan suara……..’
 
‘Berhentilah kau mengoceh….. Barang ini tidak boleh dipergunakan di sini. Tidak faham juga kau ?’
 
‘Faham mak Pakih.’
 
‘Bawalah barang terkutuk ini keluar dari sini... !’
 
‘Tapi ini sudah masuk waktu zuhur, mak Pakih….’
 
‘Sombong ! Dari mana kau tahu sudah masuk waktu zuhur ?’
 
‘Sudah hampir pukul satu.’
 
‘Tidak ada pukul-pukul di sini. Waktu zuhur itu masuk ketika matahari tergelincir ke puhun.’
 
‘Bagaimana mak Pakih akan melihat matahari? Langit mendung begini?’
 
‘Makanya aku belum abang. Jelas? Tidak faham kau?!’
 
‘Ya Allah, langit akan mendung serupa ini sampai senja nanti. Lalu apakah kita tidak akan shalat?’  
 
‘Takabur! Sombong! Mendahului Tuhan Allah….. Kau pula yang lebih tahu dari Tuhan Allah apa yang akan terjadi sampai senja nanti…..’
 
Pinto terdiam.
 
Haji Saleh datang tergopoh-gopoh.
 
‘Kenapa diputus suara abang?’ tanya Haji Saleh.
 
‘Aku yang menyuruh berhenti,’ jawab Pakih Murad.
 
‘Kenapa ?’
 
‘Barang setan itu..... Seruling setan itu tidak boleh digunakan di mesjid ini,’ jawab Pakih mantap.
 
‘Tapi kenapa kau belum abang ? Belum juga masuk kah waktu ? Sudah dari tadi aku nanti-nantikan.’
 
‘Di mana aku tahu? Matahari tak kelihatan.....’
 
‘Kalau tidak terlihat matahari sampai petang ? Tidak akan sembahyang lohor kah kita ?’
 
‘Aku tidak mau mengada-adakan yang tidak ada….’
 
‘Kacau ampok kalau begini…… Hai anak Tuan Leman! Qamatlah! Kita sembahyang sekarang.’
 
Pinto memandang kedua orang tua itu bergantian. Ragu-ragu. Akhirnya dia qamat juga. Akhirnya mereka shalat berdua. Haji Saleh jadi imam sementara Pakih Murad memperhatikan saja dari sudut belakang mesjid.  
 
 *****

Sabtu, 10 September 2011

Halal Bi Halal

Halal Bi Halal

Ketika kalimat berbahasa Arab ini ditanyakan maknanya kepada orang Arab di Tanah Arab, niscaya mereka akan mengernyitkan kening, tidak tahu apa maksudnya. Kecuali tentu saja kalau ditanyakan kepada orang Arab warga negara Indonesia. Kita di Indonesia memang sangat familiar dengan kata-kata ini.

Halal bi halal adalah acara pertemuan dengan sanak saudara, karib kerabat, handai tolan, untuk menyambung tali silaturahim sesudah selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Acara ini memang sangat praktis bagi masyarakat perkotaan, untuk saling jumpa di hari baik itu. Kita yang biasanya datang berhariraya dari rumah ke rumah ketika di kampung dulu, di mana rumah yang satu dengan yang lain tidaklah terlalu berjauhan jaraknya, maka sekarang di kota besar kebiasaan itu sulit dilaksanakan. Di kota, tempat tinggal kita berjauhan. Bayangkan, kalau punya saudara yang harus dikunjungi, yang satu rumahnya di Bogor, yang lain di Grogol, yang lain lagi di Cilandak, terus di Tangerang, sementara kita tinggal di Bekasi. Dua kunjungan saja sudah menghabiskan waktu seharian. Jadi sangat tidak praktis. 

Di sinilah kebaikan pertemuan halal bi halal. Kita berkumpul di suatu tempat, entah di gedung yang disediakan khusus, entah di rumah orang yang paling dituakan, ataupun di tempat lain yang disepakati bahkan di kantor-kantor. Semua anggota hadir di tempat tersebut pada waktu yang disepakati.

Inilah kekhasan kita di Indonesia. Berhalal bi halal sesudah hari raya. Karena biasanya acara halal bi halal itu adalah acara makan-makan, maka 'semua' biasanya diundang dan diajak ikut serta. Jadi tidak terbatas untuk sesama kelompok Muslim saja, yang bukan Muslimpun diajak. Apa pulalah bedanya dengan acara berbuka bersama. Seringkali yang hadir di acara berbuka bersama tidak hanya orang yang berpuasa. Bahkan penganut agama lainpun bisa saja ikut serta dalam acara itu.

Maka timbul pertanyaan dari mereka yang agak kritis. Apakah hukum berhalal bi halal itu? Karena sunnahnya tidak ada. Saya cenderung untuk berpendapat bahwa hukumnya adalah mubah alias boleh-boleh saja. Nilai positifnya adalah kesempatan menyambung tali silaturahim (bahkan dengan yang non muslim sekalipun). Tentu saja selama acaranya tidak dibuat berlebih-lebihan dan tidak memubazirkan sesuatu.

Selamat berhalal bi halal, karena ini memang waktunya........

*****                                             

Jumat, 09 September 2011

Puasa Syawal

Puasa Syawal 

Diriwayatkan oleh jamaah ahli hadits, kecuali Bukhari dan Nasa'i, dari Abu Ayyub al Anshari bahwa Nabi SAW bersabda; 'Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan enam hari bulan Syawal, maka seolah-olah dia berpuasa sepanjang masa.'

Menurut Imam Ahmad puasa enam hari di bulan Syawal itu dapat dilakukan berturut-turut atau tidak berturut-turut dan tidak ada kelebihan yang satu dari lainnya.

Banyak orang menyebutnya dengan puasa enam. Dan ada yang mengerjakan sejak tanggal 2 Syawal, jadi setelah berbuka satu hari tanggal 1 Syawal, langsung mengerjakan puasa Syawal ini enam hari berturut-turut, setelah itu pada tanggal 8 Syawal berhari raya lagi yang mereka sebut hari raya ketupat. Tapi ada juga yang mengerjakan satu hari demi satu hari secara terpisah, bahkan mengerjakan setiap hari Senin dan Kamis. Lalu ada yang bertanya, bolehkah niatnya disatukan saja antara puasa Syawal dengan puasa Senin Kamis? Jawabnya seperti bolehkah shalat tahyatul masjid disatuniatkan dengan shalat qabliyah? Ustadz yang cukup mumpuni menjawab bahwa hal yang seperti itu tidak diperbolehkan. Sama seperti tidak boleh meniatkan membayar hutang dan sekaligus membayar zakat. 

Begitu pula ada di antara ibu-ibu yang bertanya, bolehkah kita puasa Syawal dahulu baru membayar hutang (pengganti puasa selama masa haidh). Bahkan membayar puasanya pada bulan yang lain? Atau bahkan sekaligus juga membayar hutang dan puasa Syawal? Jawabannya sama. Yang lebih baik itu adalah membayar hutang puasa terlebih dahulu (karena hukumnya wajib) lalu sesudah itu berpuasa Syawal. Membayar hutang sekaligus puasa Syawal tidak dibolehkan. Ibu-ibu muda komplain lagi, kami hanya punya hari 22 hari dalam satu bulan, tujuh hari pembayar hutang, lalu enam hari puasa Syawal, kapan kami berhari raya? Pada hal jawabnya sudah ada. Bukankah 22 dikurangi 7 dikurangi 6 masih bersisa 9. Jadi masih ada waktu luang 9 hari di bulan Syawal sesudah membayar hutang dan mengerjakan puasa enam. Tentu saja kalau ibu-ibu itu memang berniat.                       

Mudah-mudahan hati kita dikuatkan Allah untuk mengerjakan puasa Syawal, dengan niat semata-mata mencari keridhaan Allah SWT.

*****