(Dari Blog Jonru Ginting)
December 25,
2013
Filed under: Sehari-hari
Mohon maaf,
tulisan ini bukan membahas hal-hal esensial sehubungan dengan Hari Natal. Sebab
saya bukan umat Kristen. Insya Allah sampai hari ini masih Muslim. Tentu tidak
etis jika saya mengurus keyakinan agama lain.
Tulisan ini
hanya membahas sejumlah fenomena seputar Hari Natal yang menurut saya aneh.
Fenomena I:
Hari Natal
selalu diidentikkan dengan kerusuhan, perang antaragama, situasi tidak aman.
Sampai-sampai perayaan Natal di gereja selalu dikawal ketat oleh pihak
keamanan.
Kenapa?
Mungkin karena dulu pernah terjadi pengeboman di gereja saat berlangsung
perayaan Natal. Siapapun pelakunya, saya secara pribadi mengutuk perbuatan
tersebut. Jika pelakunya muslim, pasti dia bukan muslim yang baik. Menghargai,
membiarkan dan menghormati keyakinan umat agama lain (termasuk ibadah mereka)
merupakan salah satu sikap toleransi yang diajarkan oleh Islam. Pasti
Rasulullah pun akan sangat marah jika ada umat Islam yang kejam seperti itu.
Namun apakah
peristiwa pengeboman di gereja tersebut bisa kita jadikan alasan untuk
menganggap bahwa perayaan Natal identik dengan kerusuhan, perang antaragama,
situasi tidak aman? Menurut saya, ini pandangan yang terlalu berlebihan.
Sebab pengeboman juga terjadi di sebuah kafe di Bali, di gedung perkantoran
megah di Jakarta, di tempat-tempat yang tak ada kaitannya dengan perayaan
ibadah agama manapun. Tapi kenapa hanya perayaan Natal yang diidentikkan dengan
hal-hal buruk tersebut.
Fenomena II:
Hampir semua
ucapan “Selamat Hari Natal” dari umat nonKristen selalu dibarengi kalimat “mari
menjaga toleransi”. Tentu saja, toleransi antarumat beragama itu sebuah
keharusan di tengah keberagaman. Namun pertanyaannya, kenapa kalimat “mari
menjaga toleransi” hanya muncul pada ucapan selamat Natal? Kenapa tidak muncul
di ucapan Selamat Hari Waisak, Selamat Hari Nyepi, Selamat Idul Fitri, Selamat
Idul Adha dan seterusnya?
Tentu
toleransi BUKANLAH salah satu esensi penting dari perayaan Hari Natal. Menurut
kepercayaan umat Kristen, hari Natal adalah untuk merayakan kelahiran tuhan
mereka. Ini tentu tak ada kaitannya dengan toleransi, bukan?
Tapi kenapa
ucapan dan anjuran toleransi hanya ditekankan pada perayaan Natal?
Jika
dikaitkan dengan fenomena I di atas, saya kira ini terlalu berlebihan. Karena
seperti yang sudah saya sebutkan, insiden pengeboman tidak hanya terjadi di
gereja, tidak hanya terjadi di perayaan Natal.
Atau mungkin
ada kaitannya dengan fenomena III di bawah ini?
NB: Tentu
tidak masalah jika perayaan agama dijaga petugas keamanan, jika memang itu
dianggap perlu. Namun jika perayaan agama diidentikkan dengan situasi buruk,
peperangan dan sebagainya, itulah yang disebut keliru.
Fenomena III:
Muncul
pemikiran salah kaprah bahwa sepertinya mengucapkan Selamat Hari Natal
merupakan sebuah KEHARUSAN. Jika kita tidak mengucapkannya, maka dianggap tidak
toleran.
Ya, ini
adalah salah kaprah yang sangat kronis, sebab:
- Ada demikian banyak perayaan umat beragama di dunia ini. Ada Idul Fitri, ada Waisak, ada Nyepi, ada Paskah, ada Imlek, dan sebagainya. Selama ini, tidak pernah ada himbauan atau perintah untuk mengucapkan selamat hari waisak, selamat hari paskah, selamat imlek, selamat idul fitri, dan sebagainya. Kenapa himbauan tersebut hanya ditujukan pada Hari Natal?
- Ketika saya tidak mengucapkan selamat hari waisak, tidak mengucapkan selamat hari paskah, tidak mengucapkan selamat hari nyepi, dan sebagainya, maka TAK ADA yang mengatakan saya tidak toleran. Tapi ketika saya tidak mengucapkan selamat hari Natal, tiba-tiba saya disebut tidak toleran.
Hm… ada
apakah di balik fenomena aneh ini? Sepertinya ada sebuah pengecualian untuk
hari Natal. Sebuah pengecualian yang aneh dan membingungkan.
Mungkin
teman-teman kita umat Kristen berargumen, “Hari Natal memang perkecualian,
karena ini hari yang sangat istimewa. Ini adalah hari kelahiran tuhan kami.”
Ya, kita
bisa memaklumi argumen tersebut, sebab itu bagian dari keyakinan mereka. Kita
harus menghormatinya.
Tapi setiap
orang tentu punya keyakinan masing-masing. Karena itu: Saat teman-teman Kristen
menganggap Natal itu istimewa, tentunya Anda pasti tidak akan memaksakan kepada
kami untuk ikut menganggap Hari Natal sebagai hari istimewa, bukan? Sebab Anda
pun pasti tidak bersedia jika kami umat Islam menyuruh Anda menganggap Idul
Fitri dan Idul Adha sebagai hari istimewa.
Fenomena IV:
Selama ini,
sudah biasa diadakan tradisi perayaan Natal Bersama. Para pejabat (presiden,
walikota, gubernur dan sebagainya) yang beragama Islam pun ikut hadir merayakan
Natal di Gereja.
Banyak orang
beranggapan, hal itu wajar-wajar saja, karena para pejabat tersebut adalah
milik publik, bukan milik golongan tertentu saja.
Benar. Tapi
bagaimanapun, para pejabat tersebut SECARA PRIBADI adalah muslim. Sebagai
seorang muslim, mereka tentu masih terikat pada aturan-aturan dalam Islam. Dan
dalam Islam, ikut merayakan ibadah agama lain merupakan sesuatu yang sangat
tidak diperbolehkan.
Lagipula
mari kita simak fakta berikut:
Jika di Indonesia, para pejabat sepertinya diharuskan untuk mengikuti perayaan Natal Bersama, apakah hal ini juga berlaku di negara lain? Apakah di negara-negara di mana umat Islam menjadi minoritas, ada acara Idul Fitri bersama dan dihadiri oleh para pejabat negara yang beragama selain Islam? TAK PERNAH ADA!
Bayangkan
bila mayoritas penduduk Indonesia beragama Kristen dan presidennya orang
Kristen. Apakah sang presiden akan mau mengikuti acara Idul Fitri Bersama? Saya
tidak yakin dia mau. Ini bukan prasangka semata. Tapi pengalaman di
tempat-tempat lain membuktikan hal itu.
Jadi, tentu
perayaan Natal Bersama merupakan sesuatu yang sangat aneh. Bahkan bila kita
melihat sejarahnya, sebenarnya perayaan Natal Bersama merupakan tradisi yang
dilestarikan sejak zaman Orde Baru. Sebelum itu sama sekali belum pernah ada.
NB: Ada yang
berargumen: Para pejabat tersebut tidak dipaksa datang, tapi hanya diundang.
Nah, di
sinilah masalahnya. Kalau umat Kristen memang menghargai keyakinan umat
Islam, seharusnya TAK PERLU MENGUNDANG para pejabat Muslim untuk menghadiri
perayaan natal. Sebab bagi kami yang muslim, menghadiri seperti itu dosanya
sangat besar.
Kami umat
Islam juga tak pernah mengundang umat agama lain untuk menghadiri upacara
ibadah agama Islam. Jadi untuk urusan agama, sebaiknya masing-masing saja. Yang
namanya toleransi dan kerukunan hidup bisa diwujudkan dalam hal-hal lain.
Tentang Toleransi:
“Banyak umat
muslim (terutama para karyawan) yang dari tahun ke tahun selalu dipaksa untuk
memakai aksesori Natal. Tapi yang selalu dipersalahkan adalah umat Islam yang
tak mau mengucapkan selamat natal. Di manakah toleransi?”
Itu bunyi
sebuah banner yang saya baca di sebuah website.
Bagaimana
jika pegawai Kristen dipaksa berjilbab saat bulan Ramadhan? Pasti langsung
ramai diperbincangkan. Pasti Islam akan langsung diserang, disebut sebagai
agama yang tidak toleran. Anehnya, ketika umat Islam dipaksa memakai aksesori
Natal, semua dianggap biasa-biasa saja. Tak ada yang ribut.
Ya, toleransi
kini mengalami kerancuan makna yang sangat luar biasa. Bahkan, dari dua
paragraf di atas, terlihat dengan jelas bahwa ada ketidakadilan dan
keberpihakan yang tidak fair sehubungan dengan toleransi di negeri ini.
Padahal
dalam Islam, toleransi itu sangat jelas. Kita menghormati keyakinan umat agama
lain. Kita membiarkan mereka merayakan ibadah agama mereka. Kita tak akan
mengganggu mereka. Itulah toleransi, dan itu sudah lebih dari cukup.
Singkat saja
BalasHapusSaya kurang setuju sebab hak dari setiap individu memilih. Dan tanggung jawab adalah yang akan di emban tiap individulah yang melakukan