Jumat, 18 April 2014

Habis Main Tinggallah Hutang

Habis Main Tinggallah Hutang 

Beberapa bulan yang lalu, atau bahkan mungkin lebih awal dari itu, yang ada hanya optimisme. Rasa percaya diri yang luar biasa. Rasa-rasa akan menang. Bagaimana tidak, berkat pintarnya tukang anjung, yang sangat pintar mengopok dan menghambung-hambung. Menaikkan diri ke atas puncak pohon. Yang terutama sekali sebenarnya datang dari dalam diri sendiri. Keinginan untuk menang. Untuk menjadi orang terpilih. Agar nanti diri berbeda dengan orang kebanyakan. Berbeda dalam cara hidup, berbeda dalam penampilan, berbeda pula tentu saja dalam kenyamanan. Selama proses berbulan-bulan itu, dipatut-patut diri, dipandang-pandang di cermin, lalu semakin yakin bahwa diri awak memang pantas untuk ikut jadi anggota legislatif. Jadi anggota dewan. Tidak ada yang kurang. Awak gagah, untuk mengawalinya. Bertitel, dari manapun datangnya titel. Bergelar penghulu. Apa juga lagi? Sudah rasa di bibir tepi cawan.

Dan sadar pula awak, bahwa untuk lebih dikenal masyarakat perlu berkampanye. Perlu ditonjolkan diri. Maka dibuatlah macam-macam prasarana untuk memperkenalkan diri. Mulai dari pamflet-pamflet. Sampai baleho-baleho. Sampai kaos oblong beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu. Semua itu jelas perlu biaya yang bahkan tidak sedikit. Memang harus begitu. Berugi dahulu untuk menantang laba. Laba????

Tidak kayu jenjangpun dikeping. Tidak emas bungkalpun diasah. Tidak ada diada-adakan, hatta harus berhutang ke kiri dan ke kanan. Tukang anjung tadi, di sini tempat dia bermain. Disemangatinya juga terus. Ditiup-tiupnya dengan angin surga. Yang perlu dibayangkan hanyalah kemenangan. Terpilih menjadi aleg. Digejobohkannya terus bahwa dibandingkan dengan si Fulan yang juga ikut mencalonkan diri maka awak jauh di atas angin. Ya di atas angin surga tadi itu.  

Dijalani pula kampanye langsung menemui kerumunan orang banyak. Sebenarnya kalau mau jujur di sini terlihat kepincangan diri. Apa yang diceritakan kepada orang banyak tidak berujung dan berpangkal. Tidak jelas entah apa yang akan dikerjakan nanti seandainya terpilih jadi anggota dewan. Terlihat bahwa awak hanya bermodal nekad saja. Sementara orang lain yang lebih nekad, ada yang berani berturun lebih habis-habisan. Walaupun tanpa jaminan, ada yang mempraktekkan serangan subuh, yakni membagi-bagikan amplop berisi uang di hari pencoblosan. 

Lalu, hari coblos mencoblos itupun datang. Beramai-ramai khalayak mendatangi Tempat Pemungutan Suara. Siang harinya dimulai menghitung suara. Disaksikan orang banyak pula. Apa yang terjadi? Di tempat awak ikut memilih saja, suara untuk awak sangatlah kecil. Hanya berbilang jari tangan saja. 

Dinantikan berhari-hari hasil perhitungan suara. Dikejar ke kantor camat. Di sana lebih parah lagi. Diteruskan pula ke KPU kabupaten. Begitu pula. Barulah timbul kesadaran. Ternyata permainan awak kalah. Ternyata awak tidak dipilih orang. Padahal awak sudah ikut berhabis minyak. Berhabis arang. Apa daya, hasilnya arang habis besi binasa. Habis main yang tinggal hanyalah hutang di seputar badan.

Apa kata tukang anjung berkilah? Memang begitu, adat bertanding harus kalah atau menang. Kali ini kalah, mungkin lima tahun lagi menang? Akankah lantas pula angan mengulanginya kembali lima tahun yang akan datang?

*****                                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar