Rabu, 09 Desember 2009

Timing belt

Sebuah pelajaran

Istriku menelpon dari jalan, baru kira-kira dua puluh lima menit sejak dia berangkat dari rumah. Mobil tiba-tiba mogok, katanya. Padahal sedang berkecepatan tinggi di jalan tol Cikampek menuju Jakarta. Lebih kurang di sekitar Univ. Borobudur. Tapi untunglah (alhamdulillah) dia berhasil meminggirkan mobil itu dengan selamat, dengan sisa tenaga mobil itu sendiri, kendati mesin sudah mati.

Tetap disana dan jangan mau melayani tukang derek, aku akan segera ke sana, kataku. Dugaanku yang ngadat adalah aki mobil. Aku pernah mengalami hal yang sama dua setengah tahun yang lalu, ketika mobil itu tiba-tiba 'mati pucuk'. Beruntung waktu itu aku hanya seratus meter dari sebuah toko yang menjual aki di Pondok Kelapa. Dan sekarang, sesudah dua setengah tahun, tentulah aki itu lagi yang bermasalah, begitu firasatku. Dan dengan yakin (akhirnya terbukti sok tahu) aku ditemani si Sulung disertai dua serdadu kecilnya, menuju ke toko aki itu. Aku ajak seorang montirnya ikut ke tempat istriku menunggu di pinggir jalan tol.

Si montir bekerja dengan sangat sigap. Tanpa mengetes apa-apa lagi dengan mesin mobil. Sekitar sepuluh menit kemudian aki baru sudah terpasang dan aku dimintanya menstart mesin. Eh...... ternyata mesinnya tetap saja ngambeg. Barulah aku terpikir untuk mentest aki yang lama, yang...... subhanallah... ternyata masih OK punya. Tapi mau bagaimana lagi? Mana mungkin pembelian aki baru yang sudah terpasang itu akan dibatalkan. Dia mencoba mengutak-atik ala kadarnya, meski dia sudah mengaku duluan bahwa dia bukan montir mesin. Dugaannya, hanya dugaan saja, ada yang tidak beres dengan pompa bensin. Aku terpaksa diam saja.

Aku menghubungi adikku, yang sedikit lebih pintar dariku tentang mesin mobil yang tinggal di Bekasi Timur. Dia bilang, dia akan segera datang. Aku suruh istri, si Sulung dan staffnya untuk segera pulang saja. Biar aku yang menunggu adikku itu. Merekapun berangkat.

Dalam penantian, dalam cuaca cukup panas sekitar jam setengah sebelas siang, aku...... mengaji dengan Quran kecilku di mobil itu. Sebuah mobil polisi (yang ada tulisan highway patrol , seolah-olah berasal dari negara antah berantah) berjalan pelan-pelan disampingku. Aku cuek saja. Mungkin karena mereka lihat ada orang dalam mobil, mobil itu tidak berhenti dan terus berlalu. Sebuah mobil derek datang berikutnya, dan seseorang turun menghampiriku. Dia bertanya apakah ada yang perlu dibantu, meski dengan bahasa yang agak kasar. Aku jawab tidak ada, karena aku sedang menunggu. Dia bertanya sedang menunggu siapa. Sekalian aku ingin mempermainkannya karena gaya bahasanya yang agak kurang elok itu, bahwa aku sedang menunggu mobil derek langgananku. Dia tambah nafsu. Pakai mobil kita saja. Terserah bapak mau bayar berapa, katanya. Aku bilang tidak, karena aku juga sedang menunggu adikku. Sudahlah, biar kami saja yang menarik mobil ini, mau ditarik kemana. Bayarnya terserah bapak, begitu lagi katanya. Aku sudah banyak mendengar cerita seperti ini, yang seandainya aku ikuti sangat mungkin akan berakhir dengan persoalan lain sesudahnya. Jadi aku keukeuh, tidak mau.

Untunglah dia cepat berlalu.

Masih berpuluh menit sebelum akhirnya adikku dan anaknya datang. Mesin mobil diutak-utiknya sebentar. Kebetulan ada pula petugas DLLAJR yang berhenti pula. Si petugas DLLAJR ini yang pertama memberikan diagnosa bahwa...... timing belt putus.

Ya, sudah. Melalui bantuan bapak DLLAJR (yang ternyata urang awak dari Bonjo), sebuah mobil derek jalan toll dipanggil. Sedikit berunding akhirnya disepakati, biaya dua ratus ribu untuk menarik Kuda yang lumpuh itu ke bengkel langgananku di Jatibening. Artinya, mobil derek itu harus keluar dulu di Cawang dan masuk kembali ke toll Cikampek, ke arah Jatibening. Alhamdulillah, akhirnya sang Kuda sampai di bengkel. Segera didiagnosa. Betul sekali. Timing beltnya putus.

Padahal, aku sudah memprogramkan akan menggantinya karena setelah mengganti pertama kali ketika kilometernya 55,000 sementara saat ini angka itu berada pada 99,500 sekian. Rencananya sih, begitu km 100,000 terlewati aku akan mengganti timing belt itu karena begitu saran buku petunjuk, pergantiannya dilakukan sesudah masa pakai 50,000 km. Si A Song pemilik bengkel menjelaskan begini. 'Pak, 50,000 km itu dalam kondisi mobil melaju di jalan raya. Tapi di Jakarta kan tidak seperti itu. Seandainya bapak, terperangkap macet setengah jam saja sehari, dan setahun dihitung 250 hari sibuk saja, bisa bapak bayangkan, bahwa timing belt itu sudah bekerja lembur sangat banyak sebenarnya.

Aku harus mengakui kebenaran teori si A Song......

Dan biaya Kuda yang seharusnya sekitar sejuta untuk mengganti timing belt berikut ongkos pasang telah membengkak menjadi empat kali lipat. Ke enam belas buah klep piston harus diganti. Ditambah pula belanja aki yang ternyata keliru. Sebuah pelajaran yang cukup mahal.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar