Jumat, 31 Agustus 2012

Bid'ah

Bid'ah  

Sering kita mendengar kata 'bid'ah'. Bahwa bid'ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat atau diada-adakan. Sesuatu yang dibuat-buat dan diada-adakan itu adalah sesat. Dan yang sesat itu nanti dimasukkan ke dalam neraka. Yang mengatakan seperti itu adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam  sebagaimana sabda beliau berikut:   Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Muslim: 6/242).

Apa saja yang dikatakan bid'ah? Perkara apa saja yang termasuk ke dalam kelompok bid'ah?

Di tengah masyarakat ada dua kelompok yang boleh dikatakan agak berseberangan dalam mendefinisikan 'bid'ah'. Ada sekelompok umat Islam yang sangat 'cepat' menjatuhkan vonis tentang bid'ah atau tidaknya sesuatu. Sebaliknya ada kelompok lain yang sangat 'enteng' membuat variasi amalan dan menolak kalau apa yang diperbuat itu bid'ah.

Siang tadi aku mendengarkan khutbah yang menyinggung sedikit tentang masalah bid'ah secara sepintas. Tersebutlah, kata sang khatib, seorang yang mungkin baru mengaji sedikit, bertanya kepada sang khatib, sambil setengah menghakimi hukum azan dua kali sebelum khutbah Jum'at. Katanya, hal tersebut termasuk bid'ah, tidak diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Padahal sudah dijelaskan bahwa bid'ah itu sesat, dan kesesatan itu nanti hukumannya masuk neraka Allah. Lalu beliau bertanya, tahukah sampeyan sejak kapan dimulai azan dua kali itu? Jawabnya, sejak khalifah Utsman bin 'Affan. Lalu apakah sampeyan mengatakan bahwa 'Utsman bin 'Affan sesat sehingga nanti tempatnya di neraka? Orang itu tidak menjawab. Rasulullah mengatakan bahwa ada sepuluh orang sahabat beliau yang dijamin Allah masuk surga, salah satunya adalah 'Utsman bin 'Affan. 

Lalu beliau terangkan bahwa yang dilakukan oleh 'Utsman itu adalah ijtihaj namanya. Sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, dirasakan keperluannya, ketika orang banyak semakin lalai untuk mendatangi mesjid di hari Jum'at, karena mereka baru beranjak untuk datang sesudah terdengar kumandang azan. Sementara begitu azan selesai, khatib langsung berkhutbah. Maka 'Utsman berijtihaj, dan menyuruh azan dua kali. Azan yang pertama untuk mengingatkan orang dan dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Yang seperti itu tidak bisa dikatakan bid'ah. 

Pada kesempatan lain aku pernah mendapat penjelasan, yang dikatakan bid'ah adalah membuat suatu amalan karena merasa seolah-olah yang sudah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak cukup sempurna lalu ditambah-tambahi. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dengan berziarah sekian kali ke makam orang shalih atau wali Fulan, sudah sama nilainya dengan berhaji, padahal Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengisyaratkan hal yang seperti itu, maka itulah yang disebut bid'ah. Kalau ada orang yang mengerjakan shalat atau menukar bacaan shalat dengan selain dari yang dicontohkan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, maka itu adalah bid'ah. Seandainya ada orang mengatakan berpuasa boleh ditukar waktunya, menjadi mulai jam lima sore sampai jam enam pagi, atau pelaksanaannya diganti dengan bulan lain selain bulan Ramadhan, maka yang seperti itu adalah bid'ah.  

Kebalikannya, ada pula orang yang memudah-mudahkan dalil untuk sesuatu yang perlu dipertanyakan apakah ada tuntunannya atau tidak. Pada suatu kesempatan ceramah di mesjid kami, seorang penceramah membahas juga tentang bid'ah. Tentang orang yang begitu suka membid'ah-bid'ahkan orang lain. Perayaan maulud dikatakan bid'ah kata beliau. Mengerjakan peringatan seminggu kematian, empat puluh hari kematian, seratus hari kematian, dikatakan bid'ah. Waktu ada yang bertanya, bukankah perayaan maulud itu tidak dilakukan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, dan bahwa tanggal yang dipercayai sebagai tanggal kelahiran beliau shalallahu 'alaihi wa sallam itu tidak ada keterangan yang shahih mengatakan bahwa keterangan itu benar, dan bahwa kalaupun itu benar, yang lahir ketika itu belum lagi menjadi rasul, maka beliau menjawab, itukan untuk kebaikan. Untuk memuliakan Rasulullah.... 

Yang agak aneh, ketika beliau mengakui bahwa mengadakan peringatan kematian itu memang bukan dari ajaran Nabi, tetapi itu hanyalah budaya saja. Beliau pun tidak keberatan mengakui bahwa budaya tersebut berasal dari kepercayaan orang-orang Hindu. Lalu apakah memang perlu melakukannya, kalau itu hanya sebuah budaya? Jawab beliau, banyak ritual agama kita, yang dahulunya juga budaya. Semisal thawaf, itu adalah perbuatan orang jahiliyah yang bahkan kemudian dijadikan bahagian dari ibadah. Jadi boleh-boleh saja sesuatu yang tadinya budaya kemudian dijadikan sebuah amalan, kata beliau. Ini  benar-benar sangat mengagetkan. Beliau sepertinya tidak faham bahwa ibadah haji, termasuk thawaf dan sa'i itu diwarisi dari Nabi Ibrahim, yang lalu perlahan-perlahan disimpangkan oleh umat  yang datang kemudian. Jadi kalau ada orang Arab jahiliyah mengerjakan thawaf, bukanlah karena perbuatan itu suatu budaya. 

Memang perlu kita pelajari betul setiap amalan itu sebelum kita menilainya. Sebelum kita ikut mengamalkannya atau tidak mengamalkannya.   

Wallahu a'lam... 

*****

Jumat, 24 Agustus 2012

Pengalaman Berhari Raya

Pengalaman Berhari Raya 

Kali ini tentang pengalaman berhari raya sejak masa kanak-kanak, dari saat yang masih bisa aku ingat. Yang mudah diingat itu adalah yang berhubungan dengan pengalaman puasa,  meski samar-samar masih teringat juga ketika dibawa ayah naik sepeda pergi ke tanah lapang kantin di Bukit Tinggi untuk shalat Id di suatu pagi. Dan umumnya ingatan yang masih agak terang itu adalah pengalaman setelah kami diungsikan ke kampung, sesudah pecah perang PRRI.

Ibuku sibuk luar biasa di hari-hari menjelang hari raya. Sibuk membuat bermacam-macam kue. Ada kue-kue dengan tepung beras, ada yang dari tepung terigu, dan ada yang dari  tepung sagu. Kue-kue itu ada yang dibakar dengan oven kompor minyak tanah, dan ada pula yang digoreng. Dan beliau hampir tidak pernah absen membuat tapai ketan hitam yang sangat kami sukai. Kesibukan itu bahkan diawali sejak menumbuk tepung, di lesung di belakang rumah. Dan semua itu beliau lakukan sendiri. Mudah-mudahan Allah memelihara arwah beliau di tempat yang sebaik-baiknya.

Sebagian besar dari kue-kue yang dibuat ibu, hanya kami, anak-anak beliau saja yang menghabiskan. Yang datang berhari raya umumnya adalah karib kerabat, terutamanya anak pisang (anak saudara laki-laki dari ibu). 

Berkunjung di hari raya biasanya ke rumah sanak famili saja. Mulai dari rumah mak tuo sepersukuan di sebelah menyebelah, ke rumah bako, atau ke rumah istri mamak. Kalau kita berkunjung di hari raya, pasti harus makan dan karenanya tidak banyak makan kue-kue. Di hari raya orang bisa makan sampai delapan kali sehari. Berbeda dengan sepupu-sepupu yang tinggal di Padang, mereka bercerita bahwa di hari raya mereka pergi menambang. Artinya mereka berkunjung ke tetangga-tetangga, dan biasanya setiap tetangga memberi mereka uang receh sebagai hadiah. Di kampung, kami tidak mengenal budaya seperti itu. Yang biasa memberi kami uang di hari raya adalah mak etek-mak etek yang datang dari Padang.

Berhari raya di kampung aku jalani sampai aku berangkat ke Bandung di tahun 1970. Di Bandung suasana hari raya tidak terlalu berkesan. Jauh sekali bedanya dengan di kampung, dekat ibu dan adik-adik. Ada juga aku berkunjung ke saudara, atau ke rumah teman, atau ke rumah tetangga. Pada suatu hari raya, aku tinggal sendirian di rumah kost karena semua penghuninya pulang ke orang tua mereka masing-masing. Sedih rasanya berhari raya sendirian seperti itu.

Setelah aku berkeluarga suasana berhari raya berbeda lagi. Tahun 1980, kami berhari raya untuk pertama kali di Balikpapan. Di sana tidak ada saudara atau orang sekampung. Yang ada hanyalah teman sekantor. Kami saling berkunjung antara teman sekantor. Jadi lumayan sibuk dalam acara saling kunjung mengunjungi itu. Ada yang menjamu dengan makanan berat, lontong atau ketupat (biasanya yang lebih senior), ada yang dengan makan kue-kue saja. Keluargaku menyesuaikan diri dengan cara seperti itu. Pada saat kami sudah jadi senior pula beberapa tahun kemudian, istriku biasa menyediakan sate Padang. Rumah kami jadi warung sate Padang di hari raya.

Menyediakan sate Padang di hari raya pernah kami lakukan di Paris. Semua bumbu untuk  membuat sate dapat dibeli di kedai Cina di sana.

Sejak tahun 1994 kami berhari raya di Jatibening. Warga komplek tempat kami tinggal sangat guyub, sangat akrab dalam kesehari-harian. Keakraban yang dapat kita temukan dalam pertemuan-pertemuan warga atau pesta-pesta perkawinan keluarga warga komplek. Tapi di hari raya, hampir tidak ada yang saling berkunjung. Kalau pun ada satu dua yang  datang, hanya sampai di pintu rumah untuk saling bersalaman saja, tidak mau masuk rumah untuk duduk. Rupanya alasannya adalah karena masing-masing akan sibuk bertamu atau menjamu sanak famili masing-masing. Pertemuan antar warga dilaksanakan dalam acara halal bi halal, beberapa hari kemudian. 

Untuk saling berkunjung ke rumah saudara dan kerabat di Jabodetabek memang bukan perkara ringan. Bayangkan saja kalau yang satu tinggal di Tangerang, yang lain di Depok yang lainnya lagi di Bekasi. Maksimum dalam satu hari hanya dua atau tiga rumah yang dapat dikunjungi. Itulah sebabnya acara halal bi halal menjadi sebuah pemecahan masalah.

Hari pertama, kami biasa dikunjungi oleh adik-adik dan kemenakan-kemenakan. Hari kedua atau ketiga, kami juga harus mengunjungi yang lebih tua. Yang memang harus dikunjungi dan tidak bisa dicukupkan dengan halal bi halal saja. 

Di rumah, istriku masih selalu berusaha mempertahankan tradisinya, mempersiapkan sate Padang. Yang oleh adik-adik dan kemenakan-kemenakan dikatakan lebih enak dari sate mak Syukur. Aku secara jujur juga mengakui. Hanya saja aku agak prihatin melihat waktu untuk menyiapkannya yang lumayan lama. Tapi istriku tidak membuat sendiri kue-kue. Berbeda dengan ibuku yang dulu menyiapkan dan membuat semua kue-kue sendiri, sekarang kebanyakan kue-kue hari raya dibeli jadi. 

Kalau di masa kanak-kanak aku merasakan nikmat berhari raya di kampung dekat ibu dan adik-adik, sekarang nikmatnya bertukar dengan didatangi anak-anak dan cucu-cucu di hari raya. Maklumlah, di hari-hari biasa, kami tinggal berdua saja di rumah. 

*****

Senin, 20 Agustus 2012

Pabukoan Dan Pengalaman Berpuasa

Pabukoan Dan Pengalaman Berpuasa

Ada sebuah kolom di MalaysiaKini tentang perbandingan antara pengalaman bulan puasa   dahulu dan sekarang. Pokok bahasannya adalah tentang makanan untuk berbuka puasa. Tentang pesatnya evolusi penyediaan makanan untuk berbuka puasa. Dahulu itu, di masa berpuluh tahun yang lalu, orang menyiapkan makanan utama atau makanan khusus untuk berbuka (di kampung kami disebut 'pabukoan'), di rumahnya masing-masing. Ketika itu, ketika di kampung-kampung kehidupan masyarakat masih sangat sederhana, variasi makanan khusus berbuka puasa tidaklah banyak. Sekarang dimana-mana bermunculan Pasar Ramadhan, dengan aneka makanan dan minuman dijual orang. Hampir tidak ada lagi orang yang membuat sendiri hidangan khusus berbuka puasanya di rumah. Orang lebih senang membelinya di Pasar Ramadhan karena di sana banyak pilihan dan tidak perlu repot. Begitu bahasan kolom tersebut.

Ingatkah anda pertama kali menjalankan ibadah puasa Ramadhan di kala kanak-kanak? Ketika anda dilatih dan diajar orang tua untuk mencoba berpuasa? Mungkin dengan setengah hari dulu. Mungkin dengan iming-iming ini-itu?

Aku mulai mengerjakan puasa utuh, artinya berpuasa sampai waktu maghrib, sejak berumur delapan tahun di tahun 1959. Tempatnya di kampung. Kampung yang masih berada di jaman kegelapan karena belum ada listrik masuk kampung. Dibangunkan untuk sahur dalam suasana sangat redup disinari lampu semprong dan 'tempat api', begitu kami sebut nama lampu teplok yang berasap hitam berjelaga. Aku menemukan keasyikan tersendiri makan di malam buta seperti itu. Dan aku selalu bersemangat untuk bangun setiap malam. Nasinya dikeluarkan dari bungkusan selimut, nasi yang disiapkan sejak sore dan dibungkus sedemikian rupa agar tidak terlalu dingin. Dengan lauk yang sudah disiapkan sejak senja dan  diletakkan di bawah tudung saji. 

Di awal-awal itu aku melalui puasa itu dengan susah payah. Bertanya tiap sebentar apakah masih lama lagi waktu berbuka. Tapi alhamdulillah, latihan itu cukup berhasil. Aku masih ingat kalau aku batal 'hanya' empat hari pada latihan pertama dan itu tentunya sebuah prestasi. Tidak ada hadiah. Karena memang tidak ada iming-iming. Ibu hanya mengatakan bahwa 'kita' wajib berpuasa. Meski aku mungkin tidak terlalu faham ma'na kata wajib itu. 

Pabukoan kalau pun dibuat ibu, biasanya adalah ketan dan kolak pisang. Seperti itu juga di rumah mak tuo di sebelah menyebelah. Tidak setiap malam ada pabukoan. Kalau tidak ada pun tidak ada masalah. Aku bisa saja mengawali berbuka dengan jambu perawas. Atau potongan tebu. Atau nangka masak yang dikasih mak tuo. Atau bisa juga jajanan yang dibeli di pasar (sekali-sekali, kala ibu kebetulan pergi berbelanja ke pasar).

Puasa di kampung aku lalui sampai usia remaja ketika aku sudah bersekolah di SMA. Dalam kurun waktu itu, pernah  juga sekali-sekali aku diajak kakak sepupu berlibur dan puasa di Padang untuk beberapa hari.  

Berpuasa di perantauan yang pertama kali adalah di tahun 1970, di Bandung. Aku tinggal bersama seorang kakak sepupu yang masih bujangan. Kami berbuka dan makan sahur di warung. Berjalan kaki di waktu sahur dari Coblong Dago ke Pasar Simpang, di saat udara Bandung sangat dingin.  Tahun 1975 aku pernah berada di Sorong - Irian Jaya di awal bulan puasa. 

Antara tahun 1980 dan tahun 1993 aku adalah penduduk Balikpapan. Di Balikpapan kami biasa melakukan tarawih dari rumah ke rumah. Entah bagaimana awalnya, aku biasa dijadikan imam shalat tarawih, kecuali kalau ada penceramah yang diundang khusus, yang langsung menjadi imam shalat.  

Puasa yang paling berat karena lamanya waktu siang aku alami di Paris di tahun 1984. Bulan Ramadhan ketika itu bertepatan dengan bulan Juni. Kami sahur jam 3 pagi dan berbuka jam setengah sebelas malam. Terasa betul beratnya, ketika hari sudah jam enam sore, kami masih harus menunggu empat setengah jam lagi untuk berbuka puasa. Tahun 1988 dan 1989 untuk kedua kalinya aku berada di Paris selama bulan puasa. Meski siang hari masih relatif lebih panjang, tapi tidak seberat di tahun 1984. 

Akhir tahun 1993 kami berhijrah ke Jatibening - Bekasi. Sejak bulan puasa tahun 1994 sampai sekarang aku selalu berada di tempat yang sama. Ikut mengurus sebuah mesjid di komplek perumahan kami.

Bagaimana dengan pabukoan di masing-masing tempat aku melewatkan bulan Ramadhan yang banyak itu? Ketika jadi mahasiswa di Bandung, tidak ada pabukoan. Pabukoan baru ada setelah aku berkeluarga. Setelah aku punya istri. Itu pun tidak wajib-wajib sangat. Pasar Ramadhan? Hampir tidak pernah kami kunjungi.  Sejak bermukim di Jatibening, pabukoan benar-benar untuk mengawali berbuka. Bisa kurma, bisa minuman cincau dingin. Atau es blewah. Atau es timun suri. Atau sekali-sekali kolak pisang. Sesudah berbuka dengan pabukoan, bergegas pergi ke mesjid untuk shalat maghrib. Sesudah shalat maghrib baru makan nasi. Bergegas-gegas pula karena harus segera pula pergi shalat isya dan tarawih. Aku berada di mesjid sampai jam sepuluh malam, sampai kami menyelesaikan tadarus satu juz. Pulang dari mesjid, kalau pabukoan masih ada, bisa diulangi lagi memakannya sedikit. Sebelum mengaji sendiri lagi sebelum tidur. 

*****                 

Minggu, 19 Agustus 2012

Peringatan-peringatan Allah

Peringatan-peringatan Allah

Perhatikanlah! Betapa Allah memberi kita peringatan setiap saat. Agar kita sadar dengan diri kita sendiri sebagai hamba Allah. Allah yang memberi kita kehidupan. Allah yang memberi kita serba fasilitas untuk mengharungi hidup, terlepas dari apakah kita mau dan bijak memanfaatkan fasilitas yang diberikan Allah tersebut. 

Peringatan Allah melalui waktu. Demi waktu. Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman. Yang saling berwasiat atas kebenaran. Yang saling berwasiat atas kesabaran. Seberapa perdulikah kita dengan perjalanan dan merambatnya waktu itu? Seberapa besarkah perhitungan kita untuk diri sendiri dengan perjalanan waktu itu? Yang secara nyata juga meninggalkan bekas yang nyata di sekitar kita. Bahkan di dalam diri kita? Hari demi hari berlalu. Pekan demi pekan. Bulan demi bulan. Tahun demi tahun. Ramadhan demi Ramadhan. Aidil Fitri demi Aidil Fitri. 

Sering kita terkesima. Cepatnya waktu berlalu. Tahu-tahu sudah bulan puasa lagi. Tahu-tahu sudah berhari raya lagi. Tahu-tahu..... sudah bertambah banyak rambut putih di kepala. Tahu-tahu (diperhati-perhatikan), sudah mulai berkerunyut kulit di badan. Sudah mulai bergelambir di sisi dagu. Sudah mulai berkantung di bawah mata. Dibawa berkaca, kadang-kadang pangling kita. Wajah di dalam kaca itu jelas tidak seperti dulu lagi. Sudah kendur ke mana-mana. Sudah kendur di mana-mana. 

Itu semua adalah peringatan Allah. Peringatan Allah di dalam tubuh kita sejalan dengan pergeseran waktu. Adakah kita mengambil pelajaran? Allah peringatkan kita agar kita jangan sampai lupa. Allah peringatkan agar kita sadar dan ingat bahwa kita ada di bawah pengawasan-Nya, dan kita tidak mempunyai daya atau kekuatan apapun kecuali dengan izin-Nya semata. Agar kita jangan berobah menjadi takabur dan sombong. Agar kita jangan melupakan Allah. Karena kalau sampai demikian (sampai kita melupakan Allah), Dia akan menjadikan kita lupa pada diri kita sendiri dan jadilah kita menjadi orang yang fasik.  Wa laa takuunu kalladziina nasulLaaha faansaahum anfusahum...  (Al Hasyr (59) ayat 19). 

Namun. Seandainya kita melalui fasa berkulit berkerinyut. Fasa rambut semakin memutih. Fasa ketuaan mulai semakin menggerogot. Lalu kita sadar. Mudah-mudahan ini pertanda baik. Mudah-mudahan kita masih berkesempatan untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya di sisa-sisa usia kita yang sudah semakin sedikit. Karena ada dan banyak juga mereka yang tidak melalui fasa itu. Masih muda dan kelihatan perkasa tapi ditarik Allah dari peredaran. Bahkan yang masih kanak-kanak sekalipun. Mumbang jatuh - kelapa jatuh.

Marilah kita lebih seksama membaca peringatan demi peringatan Allah. Kadang-kadang Allah bahkan menegor kita lebih keras. Kadang-kadang kita diuji dengan ujian yang berat. Sangatlah penting arti kesadaran kita. Kesadaran tentang siapa kita. Dari mana kita. Dan akan kemana kita. Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan bekal apa yang sudah dipersiapkannya untuk hari esok. Bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan. (Al Hasyr ayat 18). 

Taqabbalallahu minna wa minkum - taqabbal yaa kariim......

*****                 

Sabtu, 11 Agustus 2012

Shalat Tarawih Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam

Shalat Tarawih Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam

Masa-masa kesibukan dengan shalat tarawih kembali hampir berakhir. Hanya tinggal enam hari lagi saja. Kita tahu, bahwa di negeri kita, seperti di negeri Muslim lain ada beberapa versi jumlah rakaat shalat tarawih. Yang delapan ditambah tiga rakaat witir, yang dua puluh ditambah tiga rakaat witir. Bahkan yang empat puluh rakaat ditambah dengan shalat witir. Bahkan lagi, kabarnya ada yang sampai enampuluh rakaat ditutup dengan shalat witir.

Yang mengerjakan delapan rakaat plus tiga rakaat witir mendasarkannya kepada keterangan dari 'Aisyah istri Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang mengatakan bahwa beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam (qiyamul lail) lebih dari sebelas rakaat, yang adalah delapan plus tiga itu. Meski pernah juga beliau mengerjakannya sepuluh plus satu rakaat. 

Tentang shalat tarawih beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, riwayat yang sangat masyhur adalah yang mengatakan bahwa beliau shalat di mesjid (keluar dari rumah beliau) di awal malam di awal Ramadhan selama tiga hari pertama saja. Para sahabat yang bermakmum kepada beliau bertambah di malam kedua dan ketiga, setelah berita bahwa beliau shalat di mesjid pada malam hari diikuti orang banyak, menyebar di tengah umat Muslim di Madinah. Namun di hari keempat, beliau tidak keluar dan shalat di rumah beliau saja. Keesokan harinya beliau menjelaskan kepada para sahabat, bahwa beliau shalallahu 'alaihi wa sallam tidak keluar karena khawatir shalat tarawih itu nanti akan dikira wajib hukumnya.  

Setelah itu, para sahabat shalat sendiri-sendiri, dengan rakaat yang berbeda-beda jumlahnya dan hal itu tidak dilarang Rasulullah.

Pada acara i'tikaf di mesjid kami tadi malam terjadi diskusi dan tela'ahan tentang shalat tarawih bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Keterangan bahwa beliau shalallahu 'alaihi wa sallam hanya shalat tarawih tiga kali saja, di awal Ramadhan, sangat mungkin terbantahkan. Ini berhubungan dengan keterangan tentang i'tikaf Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam di sepertiga bulan terakhir bulan Ramadhan, di mana beliau pada kurun waktu itu berada di mesjid, siang dan malam, tidak keluar-keluar kecuali tentu saja untuk berwudhu dan ke tempat buang hajat. Sampai-sampai, rambut beliau shalallahu 'alaihi wa sallam dibantu menyisirkannya oleh 'Aisyah dari jendela mesjid. 

Artinya, dapat dipastikan bahwa beliau juga menegakkan shalat tarawih di malam-malam sepuluh malam terakhir itu di dalam mesjid dan diikuti oleh kaum Muslimin. Artinya, dengan menyesuaikan dengan keterangan dari 'Aisyah bahwa beliau tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari sebelas rakaat, shalat tarawih beliau di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan itupun tentunya juga tidak lebih dari sebelas rakaat.

*****

Rabu, 08 Agustus 2012

Jilbab

Jilbab

Di tahun 1990, ketika baru kembali dari menunaikan ibadah haji, istriku merobah penampilan berpakaiannya. Dari cara berpakaian ala wanita moderen, yang biasa modis dengan rok dan blouse, menjadi berpakaian yang lebih tertutup, dengan penutup kepala seperti topi, tapi belum memakai kerudung. Artinya, lehernya masih kelihatan ketika itu. Alasannya merobah penampilan seperti itu karena...., ya malu dong, kan sudah kembali dari Makkah. Sebuah alasan yang belum lurus.

Suatu hari kawan-kawan sekantor mengundang seorang ustad dari Dewan Dakwah, dalam sebuah pengajian untuk memperingati salah satu hari besar Islam. Pengajian yang sangat ringkas dan menarik. Kami termangu-mangu mendengar uraiannya tentang berislam. Ustad ini menawarkan pengajian intensif untuk beberapa hari (malam, sesudah isya sampai jam sebelas malam, dan siang di akhir pekan). Kami menyambut ajakannya itu, dan jadilah kami mengikuti uraian lebih panjang yang menyangkut tema yang sama, Menjadi Islam Yang Kaffah.

Untuk mengikuti pengajian, setiap peserta diminta membawa al Quran dan terjemahannya. Beliau menjelaskan tentang aturan atau perintah-perintah Allah, ataupun larangan-larangan-Nya, dengan membacakan ayat-ayat di surat itu, ayat sekian, lalu  kami disuruh membaca terjemahannya.  

Di hari-hari pertama bertemulah kami dengan ayat-ayat Allah tentang perintah Allah untuk menutupi aurat, terutamanya bagi wanita, karena boleh jadi bahasan itu memang merupakan strategi dakwah sang ustad. Lalu tentang perintah Allah melalui hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat berjamaah di mesjid bagi laki-laki. Peserta pengajian mulai bersibak sejak dari awal-awal ini. Ada yang semakin melotot matanya dan ada yang langsung menarik diri karena merasa kaji seperti ini terlalu keras. Yang meneruskan pun berbagi pula. Ada yang berusaha 'sami'na wa atha'na', serta merta mulai memakai kerudung, meski terlihat kaku dan malu-malu, dan ada pula yang memposisikan diri tunggu dan lihat. Di kalangan jamaah laki-laki ada yang mulai menegakkan shalat berjamaah di mushala.

Ringkasnya, itulah batas awal pemakaian jilbab di kalangan ibu-ibu istri karyawan. Entah kebetulan atau tidak, di luar kelompok ibu-ibu pengajian kami itu, semakin banyak saja terlihat wanita berbusana dengan menggunakan jilbab. Seingatku boleh dikatakan awal tahun 1990 itu kecenderungan memakai jilbab di kalangan wanita mulai berkembang pesat. Pelan-pelan tapi pasti, di mana-mana kita lihat jumlah yang berjilbab semakin hari semakin bertambah. Dan alhamdulillah, umumnya mereka istiqamah dengan hal itu, bahkan sampai sekarang. 

Di rumah kami, masalah menggunakan jilbab ini jadi bahan pembicaraan di meja makan, termasuk dengan ketiga puteriku, yang waktu itu berumur 11, 9 dan 5 tahun. Istriku, yang tadinya berbusana muslimah dengan menggunakan topi, mulai merobah penampilannya dengan menggunakan jilbab. Kali ini dengan keyakinan yang lebih mantab, karena begitu perintah Allah, katanya. Sorot mata tercengang atau mencemeeh dari teman-teman sepergaulannya tidak merobah tekadnya. Dia berusaha berlaku biasa-biasa saja dalam pergaulan. 

Puteri sulungku yang baru kelas enam SD, berniat dan bertekad untuk sekolah ke Pondok As Salam di Solo, yang informasinya dia dapat dari ustad dari Dewan Dakwah itu juga. Hal yang mula-mula kami anggap tidak serius, tapi ternyata dia sangat bersungguh-sungguh. Dia akhirnya kami antarkan ke pondok itu di awal tahun 1992. Tentu saja dia sudah berjilbab sebelum masuk kesana. Sayang karena alasan kesehatan dia hanya satu tahun saja bersekolah di sana. Awal tahun 1993 dia kami tarik kembali ke Balikpapan, meneruskan sekolah di SMP biasa.

Si Tengah mulai minta dibelikan jilbab ketika dia masih kelas lima. Ibunya membelikan. Dia satu-satunya murid yang menggunakan jilbab, jadi olok-olok sebahagian teman-temannya, dipandang dengan sinis oleh guru kelasnya, tapi dia tidak bergeming.

Akhir tahun 1993 kami pindah ke Jakarta (ke Bekasi tepatnya). Anak-anak kami pindahkan ke sekolah negeri yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Di sekolah yang baru, si Bungsu yang waktu itu baru berumur 7 tahun kurang, duduk di kelas 2 SD, minta pula untuk mulai memakai jilbab. Baik yang di kelas 2 SMP (yang paling tua) maupun yang di SD kelas enam dan dan kelas 2 adalah the only yang berjilbab di sekolah. 

Suatu hari, si Sulung mengadu bahwa dia dapat tegoran dari wakil kepala sekolah, karena rok birunya terlalu dalam, sampai ke mata kaki. Dia disuruh menukar dengan rok standar seperti murid-murid lain, sedikit di bawah lutut. Aku datang ke sekolah, menemui bapak kepala sekolah itu. Beliau seorang Muslim, beralasan bahwa di antara lain kita juga harus menjaga agar si Sulung tidak mendapat catatan buruk di mata kepala sekolah yang kebetulan seorang Non Muslim. Aku menjelaskan dengan sebaik mungkin kepadanya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan ukuran rok anakku itu. Apalagi untuk dihubungkan dengan perasaan kepala sekolah yang bukan Muslim. Aku jelaskan bahwa memakai jilbab itu adalah pilihan nurani anak kami, dan kami wajib membantu dan melindunginya. Singkat cerita, pak guru ini bisa menerima dan sejak itu tidak ada masalah lagi.

Anak-anak itu bercerita, bahwa setelah itu mulai saja ada satu-dua teman-teman mereka yang ikut menggunakan busana muslimah.

Begitulah sekedar pengalaman berjilbab di tengah-tengah keluargaku.

*****                    

Sabtu, 04 Agustus 2012

Budaya Baru - Berbuka Besama

Budaya Baru - Berbuka Besama

Mungkin bukan benar-benar baru. Mungkin diawali pada mulanya dengan mengundang teman atau karib kerabat berbuka puasa, ke rumah kita. Karena bukankah memberi ta'jil, pembuka puasa kepada orang yang tengah berpuasa, maka yang memberi itu akan mendapatkan pahala sebesar pahala orang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sendiri sedikitpun? Artinya hal itu merupakan amalan yang sangat baik.

Lalu, ketika kita tinggal di kota besar, bertemunya hanya di tempat kerja alias di kantor, sementara tempat tinggal yang satu di Bekasi, yang satu lagi di Depok. Maka orang berinisiatif untuk mengajak kerabatnya berbuka bersama. Dicari tempat yang netral antara Bekasi dan Depok. Bahkan dicari (lebih afdal lagi) tempat yang ada dekat mesjid atau paling kurang mushalanya, untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah, shalat isya berjamaah sesudah berbuka bersama itu. Insya Allah yang begini masih elok-elok sajalah, sejauh yang menyangkut pemeliharaan ibadah di bulan Ramadhan. Kalau sudah shalat isya berjamaah, shalat tarawih bisalah dilakukan sendiri nanti di rumah.

Kebiasaan berbuka bersama ini ternyata semakin marak. Seperti ada yang kurang kalau antara teman sejawat sekantor, sesama kuliah atau siapa saja tidak membuat acara buka berasama. Tempatnya bisa dimana saja. Kalau kantor cukup besar, ada ruangan pertemuannya, biasanya acara dilakukan di kantor. Kalau tidak, berbuka bersama bisa dialihkan tempatnya ke restoran terkenal. Bisa juga ke hotel terkenal yang punya restoran terkenal.

Lebih hebat lagi, acara berbuka bersama ini rupa-rupanya telah menjadi acara lintas agama. Seorang pimpinan kantor yang bukan Islam menyelenggarakan acara berbuka puasa bersama untuk bawahannya  yang beragama Islam. Hal seperti ini bahkan bisa terjadi di tingkat Kementerian, Undangan Berbuka Bersama dari pak Menteri Fulan yang padahal adalah seorang bukan Muslim. 

Apa saja acaranya? Yang paling banyak, ada yang dilengkapi dengan shalat maghrib berjamaah kalau tempatnya tersedia. Sesudah itu makan / berbuka bersama. Sambil bercengkerama, berbincang-bincang ke hilir ke mudik. Sesudah itu, sesudah selesai makan minum dan kekenyangan, biasanya acara itu selesai. Pesertanya boleh pulang ke rumah masing-masing. Di mana shalat isya? Uruslah masing-masing. Kebanyakan nanti saja di rumah. Begitu pula shalat tarawih, kalau masih termasuk yang rajin mengerjakannya. Karena banyak juga yang tidak terlalu perduli dengan shalat tarawih karena menganggapnya kan sunah saja.

Tentu saja ada yang lebih buruk. Yang ternyata di dekat tempat acara itu tidak ada mushala. Jadi? Ya sudah, shalat maghribnya nanti saja, dijamak. Masya Allah.... Padahal, jika mereka memahami sabda Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam yang mengingatkan bahwa; 'Barangsiapa yang menegakkan shalat di bulan Ramadhan dengan dasar iman dan penuh keberhati-hatian, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.' 

Seandainya kita tahu keutamaan bulan Ramadhan ini. Dan seandainya kita termasuk yang dipanggil oleh Allah sebagai orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan. Mudah-mudahan kita lebih berhati-hati.....

*****