Rabu, 08 Agustus 2012

Jilbab

Jilbab

Di tahun 1990, ketika baru kembali dari menunaikan ibadah haji, istriku merobah penampilan berpakaiannya. Dari cara berpakaian ala wanita moderen, yang biasa modis dengan rok dan blouse, menjadi berpakaian yang lebih tertutup, dengan penutup kepala seperti topi, tapi belum memakai kerudung. Artinya, lehernya masih kelihatan ketika itu. Alasannya merobah penampilan seperti itu karena...., ya malu dong, kan sudah kembali dari Makkah. Sebuah alasan yang belum lurus.

Suatu hari kawan-kawan sekantor mengundang seorang ustad dari Dewan Dakwah, dalam sebuah pengajian untuk memperingati salah satu hari besar Islam. Pengajian yang sangat ringkas dan menarik. Kami termangu-mangu mendengar uraiannya tentang berislam. Ustad ini menawarkan pengajian intensif untuk beberapa hari (malam, sesudah isya sampai jam sebelas malam, dan siang di akhir pekan). Kami menyambut ajakannya itu, dan jadilah kami mengikuti uraian lebih panjang yang menyangkut tema yang sama, Menjadi Islam Yang Kaffah.

Untuk mengikuti pengajian, setiap peserta diminta membawa al Quran dan terjemahannya. Beliau menjelaskan tentang aturan atau perintah-perintah Allah, ataupun larangan-larangan-Nya, dengan membacakan ayat-ayat di surat itu, ayat sekian, lalu  kami disuruh membaca terjemahannya.  

Di hari-hari pertama bertemulah kami dengan ayat-ayat Allah tentang perintah Allah untuk menutupi aurat, terutamanya bagi wanita, karena boleh jadi bahasan itu memang merupakan strategi dakwah sang ustad. Lalu tentang perintah Allah melalui hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tentang shalat berjamaah di mesjid bagi laki-laki. Peserta pengajian mulai bersibak sejak dari awal-awal ini. Ada yang semakin melotot matanya dan ada yang langsung menarik diri karena merasa kaji seperti ini terlalu keras. Yang meneruskan pun berbagi pula. Ada yang berusaha 'sami'na wa atha'na', serta merta mulai memakai kerudung, meski terlihat kaku dan malu-malu, dan ada pula yang memposisikan diri tunggu dan lihat. Di kalangan jamaah laki-laki ada yang mulai menegakkan shalat berjamaah di mushala.

Ringkasnya, itulah batas awal pemakaian jilbab di kalangan ibu-ibu istri karyawan. Entah kebetulan atau tidak, di luar kelompok ibu-ibu pengajian kami itu, semakin banyak saja terlihat wanita berbusana dengan menggunakan jilbab. Seingatku boleh dikatakan awal tahun 1990 itu kecenderungan memakai jilbab di kalangan wanita mulai berkembang pesat. Pelan-pelan tapi pasti, di mana-mana kita lihat jumlah yang berjilbab semakin hari semakin bertambah. Dan alhamdulillah, umumnya mereka istiqamah dengan hal itu, bahkan sampai sekarang. 

Di rumah kami, masalah menggunakan jilbab ini jadi bahan pembicaraan di meja makan, termasuk dengan ketiga puteriku, yang waktu itu berumur 11, 9 dan 5 tahun. Istriku, yang tadinya berbusana muslimah dengan menggunakan topi, mulai merobah penampilannya dengan menggunakan jilbab. Kali ini dengan keyakinan yang lebih mantab, karena begitu perintah Allah, katanya. Sorot mata tercengang atau mencemeeh dari teman-teman sepergaulannya tidak merobah tekadnya. Dia berusaha berlaku biasa-biasa saja dalam pergaulan. 

Puteri sulungku yang baru kelas enam SD, berniat dan bertekad untuk sekolah ke Pondok As Salam di Solo, yang informasinya dia dapat dari ustad dari Dewan Dakwah itu juga. Hal yang mula-mula kami anggap tidak serius, tapi ternyata dia sangat bersungguh-sungguh. Dia akhirnya kami antarkan ke pondok itu di awal tahun 1992. Tentu saja dia sudah berjilbab sebelum masuk kesana. Sayang karena alasan kesehatan dia hanya satu tahun saja bersekolah di sana. Awal tahun 1993 dia kami tarik kembali ke Balikpapan, meneruskan sekolah di SMP biasa.

Si Tengah mulai minta dibelikan jilbab ketika dia masih kelas lima. Ibunya membelikan. Dia satu-satunya murid yang menggunakan jilbab, jadi olok-olok sebahagian teman-temannya, dipandang dengan sinis oleh guru kelasnya, tapi dia tidak bergeming.

Akhir tahun 1993 kami pindah ke Jakarta (ke Bekasi tepatnya). Anak-anak kami pindahkan ke sekolah negeri yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Di sekolah yang baru, si Bungsu yang waktu itu baru berumur 7 tahun kurang, duduk di kelas 2 SD, minta pula untuk mulai memakai jilbab. Baik yang di kelas 2 SMP (yang paling tua) maupun yang di SD kelas enam dan dan kelas 2 adalah the only yang berjilbab di sekolah. 

Suatu hari, si Sulung mengadu bahwa dia dapat tegoran dari wakil kepala sekolah, karena rok birunya terlalu dalam, sampai ke mata kaki. Dia disuruh menukar dengan rok standar seperti murid-murid lain, sedikit di bawah lutut. Aku datang ke sekolah, menemui bapak kepala sekolah itu. Beliau seorang Muslim, beralasan bahwa di antara lain kita juga harus menjaga agar si Sulung tidak mendapat catatan buruk di mata kepala sekolah yang kebetulan seorang Non Muslim. Aku menjelaskan dengan sebaik mungkin kepadanya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan ukuran rok anakku itu. Apalagi untuk dihubungkan dengan perasaan kepala sekolah yang bukan Muslim. Aku jelaskan bahwa memakai jilbab itu adalah pilihan nurani anak kami, dan kami wajib membantu dan melindunginya. Singkat cerita, pak guru ini bisa menerima dan sejak itu tidak ada masalah lagi.

Anak-anak itu bercerita, bahwa setelah itu mulai saja ada satu-dua teman-teman mereka yang ikut menggunakan busana muslimah.

Begitulah sekedar pengalaman berjilbab di tengah-tengah keluargaku.

*****                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar