Sabtu, 28 Januari 2012

Anak Ujung Emas

Anak Ujung Emas

Anak dari saudara laki-laki biasa disebut anak ujung emas oleh anggota kaum persukuan  dalam tatanan kekeluargaan Minangkabau. Biasa juga disebut anak pisang. Entah kenapa demikian istilahnya, aku tidak terlalu paham. Maksudnya, seperti, misalnya anak-anakku, oleh saudara sepersukuanku disebut sebagai anak ujung emas atau anak pisang itu. Kaum keluarga sepersukuan ayah, disebut bako oleh anak-anak. Yang artinya lagi, semua anggota kaum sepersukuanku adalah bako bagi anak-anakku. 

Sepuluh hari yang lalu, seorang saudara sepersukuanku menelpon, memberi tahu bahwa anak ujung emas kami yang tinggal dan menetap di Jeddah, datang bersama suami, dua orang puteri dan lima orang cucu-cucunya. Ini mungkin kunjungan ke empat atau ke lima kalinya baginya ke Indonesia. Hubungan kekerabatan kami menjadi semakin akrab dari tahun ke tahun lebih-lebih sejak sepuluh tahun terakhir.  Tahun 2001 yang lalu aku pergi umrah beserta ibu, istri dan anak-anakku, kami mampir di rumah mereka di Jeddah. Dan kami dijamu dengan penuh keakraban ketika itu. Waktu giliran mereka yang datang ke Indonesia, kamipun menjamu mereka dengan baik. Saling berbalas kunjungan ini terjadi berkali-kali.

Waktu sang sepupu memberitahu tentang kedatangan mereka hari Selasa dua minggu yang lalu, aku langsung menetapkan hari Rabu malam untuk mengajak mereka ke rumah. Masalahnya, hari Jum'at aku berencana untuk ke kampung, untuk urusan pondok pendidikan yang kami bina di sana, dan hari Kamis malam aku perlu sedikit persiapan sebelum berangkat ke kampung. Tawaranku langsung diterima tanpa masalah.

Hari Rabu malam itu kami berkumpul di rumahku, disertai adik-adik dan sepupu-sepupu yang lain. Dalam suasana akrab meski komunikasi alias bahasa tidak terlalu lancar (suaminya bisa berbahasa Indonesia terpatah-patah, kedua anak perempuannya bisa berbahasa inggeris juga ala kadarnya, sementara di antara kami, hanya sepupu yang memberi tahu kedatangan mereka itu saja yang bisa berbahasa Arab sedikit-sedikit). 

Ketika mengetahui bahwa aku akan pulang kampung hari Jumat, mereka meminta ikut. Alhamdulillah, dengan gerak cepat, salah satu adikku berhasil mendapatkan tiket untuk mereka sembilan orang untuk hari Jumat. Bukan di pesawat yang sama denganku, karena aku akan berangkat jam 6 sore dari Bandara Soeta. Rombongan itu akan ditemani adikku. Ternyata penginapan di Bukit Tinggi penuh, berhubung karena hari libur panjang berikut hari tahun baru Cina. Kata sepupu yang menjemputnya, kalau penginapan tidak ada, ajak saja tidur di rumah di kampung. Aku agak ketar-ketir, karena rumah asli bakonya itu adalah rumah tinggal, dalam arti kata tidak ada yang mengurus. Ada seorang orang tua, orang kampung kami yang tinggal di bagian belakang rumah itu, sementara bagian utamanya lebih sering terkunci. Aku menelpon adikku yang tinggal di Pakan Baru dan menyuruhnya pulang ke kampung, untuk berusaha membersihkan rumah itu sebisanya. Dia pun pulang tergopoh-gopoh dengan suami, seorang anaknya dan seorang cucunya pula. 

Untunglah, di saat-saat terakhir hari Kamis aku mendapatkan informasi dari adik ipar (yang pegawai PLN Bukit Tinggi), dia berhasil mendapatkan tempat untuk 3 buah kamar di mess PLN di Bukit Tinggi, yang memang biasa disewakan kepada umum.

Hari Jum'at yang ditentukan mereka berangkat lebih awal, sementara aku berangkat sesuai jadwal jam 6 sore. Dan tujuan pertamaku adalah menginap di Padang untuk keperluan berobat, lalu hari Sabtu berikutnya baru ke kampung.

Aku senantiasa memonitor keberadaan rombongan itu melalui adikku yang menemani mereka. Yang mengagetkan, hari Jumat malam itu, mereka memilih untuk menginap di rumah di kampung. Melalui kepala sekolah yang pandai berbahasa Arab, aku mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa ada tempat menginap yang lebih baik dan lebih terurus di Bukit Tinggi untuk mereka. Namun, suami dari anak pisang kami itu, memutuskan bahwa dia dan rombongan akan menginap di rumah itu saja, setelah mengetahui bahwa ayah mertuanya (yang adalah mamak kami), pernah menginap di rumah itu. 

Demikianlah, akhirnya mereka menginap di rumah kampung yang sederhana itu selama tiga malam. Berkunjung ke pondok, melihat kegiatan murid pondok dan shalat maghrib berjamaah bersama mereka. Mereka dibawa adikku berkeliling-keliling ke Puncak Lawang, Ke Singkarak, ke Sungai Janiah, ke Harau. Bahkan cucu-cucu mereka ikut memancing di tabek dengan cucu kami (cucu adikku yang dari Pakan Baru). Berkomunikasi alakadarnya, tanpa masalah. 

Dari kampung mereka melanjutkan liburan ke Bali. Tadi malam aku menemui mereka di Taman Bunga Puncak. Mereka menyewa sebuah rumah / bungalow untuk dua malam di sana. Mereka mengajakku untuk menginap di situ yang dengan sangat menyesal aku tolak karena ada keperluan lain pagi ini.

*****

                          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar