Jumat, 04 September 2020

Hutang Dan Gadai (lanjutan)

Allah memerintahkan di ayat 282 surat Al Baqarah agar proses muamalah, hutang-piutang itu ditulis oleh seorang penulis dengan benar. Penulisnya haruslah seorang yang berilmu. Aturannya harus dibuat dengan teliti dan dipahami oleh kedua belah pihak yang berhutang dan yang menghutangi. Seandainya yang berhutang lemah atau kurang akalnya maka harus ada walinya yang mewakilinya. Dan harus ada dua orang saksi laki-laki, atau kalau tidak ada dua orang laki-laki boleh satu orang laki-laki ditambah dua orang perempuan. Begitu aturannya menurut ayat tersebut.

Apa saja yang harus ditulis? Tentu segala sesuatu yang menyangkut dengan perjanjian berhutang tersebut, termasuk siapa dan bagaimana membayarnya, kapan akan dibayar dan dengan cara apa akan dibayar. Semua persyaratan ini haruslah disetujui bersama oleh kedua belah pihak. Penulisnya harus seorang yang adil dan takut kepada Allah, sehingga perjanjian hutang-piutang itu nantinya terhindar dari merugikan fihak yang manapun. 

Begitu aturan untuk hutang tanpa agunan dan begitu juga untuk hutang dengan agunan alias gadai.

Mengenai gadai, ada hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang ketentuan jika yang digadaikan itu hewan ternak. Selama hewan itu dibawah pemeliharaan yang memagang, maka dia (si pemagang) boleh mengambil manfaat seperti air susu maupun tenaga dari hewan tersebut karena dia juga bertanggung jawab memberinya makan.

Berdasarkan hadits tersebut timbul pemikiran-pemikiran saya sebagai berikut.

Adalah penting bagi penulis perjanjian gadai untuk menyebutkan berapa lama hutang gadai itu diperkirakan akan terselesaikan sesuai dengan harapan si pemilik ternak. Kalau hanya untuk bilangan hari atau pekan mungkin tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau penggadaian itu akan berlangsung dalam bilangan tahun, banyak hal yang harus dirinci untuk disetujui. Bagaimana kalau dalam waktu setahun tersebut hewan itu beranak, siapa pemilik anaknya. Tentu harus ada persetujuan yang adil antara kedua pihak. Begitupun seandainya hewan itu secara alami, bukan karena keteledoran si pemagang, mati, bagaimana pula penyelesaiannya? 

Sekarang kita ambil kasus gadai sawah dengan gadai hewan ternak ini sebagai pembanding. Kita qiyaskan. Pemagang tentunya bertanggung jawab pula memelihara sawah itu agar tidak menjadi terbengkalai. Tidak menjadi 'liek' kata orang Minang. Atau menjadi rimba semak belukar kalau dibiarkan saja, apatah lagi kalau masa gadai bertahun-tahun. Untuk menghindari yang demikian, keadaan sawah itu dipeliharanya, dijadikannya sawah seperti biasa. Lalu apakah serta merta akan dicap saja bahwa dia memakan riba dari hasil sawah itu? Kalau dari hewan ternak, karena pemeliharaannya maka hasil sampingan ternak itu berupa susunya atau tenaganya boleh digunakan si pemagang, kenapa pula hasil sawah tergadai yang diusahakannya agar tetap terpelihara sebagai sawah dia tidak boleh mengambil hasilnya?

Di sini saya melihat bahwa pengaturannya boleh diusulkan secara adil dan bijak oleh penulis perjanjian gadai. Dan penting untuk diketahui berapa lama kira-kira gadai itu akan berlangsung. Dalam praktek, seringkali gadai itu berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Ada yang sampai tidak tertebus lagi oleh pemiliknya. Yang umumnya berlaku pemilik sawah tidak mendapatkan apa-apa dari hasil sawahnya. Hal ini tidak adil baginya karena hutang gadainya mungkin hanya setengah dari harga sawah. Sebaliknya, jika pemberi hutang tidak boleh mengambil hasil sawah yang dipagangnya karena dikatakan riba, yang artinya dia tidak boleh memanfaatkan sawah yang dipagangnya juga tidak adil untuknya. Jadi harusnya ada pemecahan yang adil untuk keduanya, dan terhindar dari mubazir dengan membiarkan sawah tersebut tidak berproduksi selama watu gadai.  


Wallahu a'lam.

****



Rabu, 02 September 2020

Hutang Dan Gadai

Hutang Dan Gadai

Ada pertanyaan tentang hukum menggadaikan sawah yang terjadi di Minangkabau. Ada yang menganggap bahwa tatacara gadai sawah yang berlaku di sana itu sebagi praktek riba. Benarkah demikian?

Gadai sejatinya adalah meminjam uang dengan menyerahkan barang sebagai jaminan kepada yang meminjamkan. Praktek gadai ini sudah ada sejak lama. Bahkan menurut riwayat, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah menggadaikan baju perang beliau.

Islam mengajarkan tatacara bermuamalah yang melibatkan hutang piutang dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 282. Intinya, dalam pelaksanaan hutang piutang tersebut hendaklah dituliskan persyaratan dan ketentuannya yang kemudian disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki. Artinya perjanjian hutang piutang itu ditulis dengan jelas sedemikian rupa agar masing-masing si pemberi pinjaman dan si peminjam tidak dirugikan di kemudian hari di saat hutang itu dikembalikan. Perjanjian yang ditulis itu haruslah halal dan adil. Tidak boleh disyaratkan bahwa si peminjam harus membayar hutangnya dengan tambahan atau bunga, karena yang seperti itu riba namanya. Sebaliknya tidak boleh pula si peminjam membayar hutangnya dengan nilai yang kurang dari yang dipinjamnya.  Contoh yang terakhir ini sangat mungkin terjadi ketika yang dipinjam uang kertas yang nilainya dipengaruhi inflasi. Si A meminjam uang kepada si B sebanyak satu juta rupiah, yang ketika dia menyerahkan uang tersebut nilainya seharga seekor kambing. Si A membayar hutangnya tiga tahun kemudian tetap satu juta rupiah yang nilainya setara dengan setengah ekor kambing.

Gadai artinya meminjam (uang) dengan memberikan barang sebagai jaminan. Jumlah yang dipinjam biasanya kurang dari harga barang jaminan. Dalam melakukan penggadaian ini tetap perlu dituliskan aturan yang tidak berpotensi merugikan kedua belah pihak. Di Minangkabau, yang menggadaikan sawah biasanya menerima pinjaman gadai dalam satuan rupiah emas. Karena nilai rupiah emas itu bebas dari pengaruh inflasi. Kalau dia menebus sawahnya suatu saat nanti dia harus mengembalikan sebanyak rupiah emas yang dipinjamnya di awal perjanjian gadai.  

Lalu bagaimana pengaturan untuk barang jaminan? Inipun harus dijelaskan secara adil. Pada waktu si A menggadaikan sawahnya kepada si B, lalu si B ‘memegang’ (dalam Bahasa Minang disebut ‘mamagang’) bolehkah dia mengambil hasil sawah tersebut? Ini yang sementara orang menganggap sebagai praktek riba, karena seolah-olah, si B memakan bunga dari uang yang dipinjamkannya.

Kalau yang digadaikan itu barang misalnya baju, si pemilik uang akan memegang baju itu tapi mungkin tidak menggunakannya. Si peminjam uang sementara dia masih berhutang juga tidak bisa memakai baju yang digadaikannya itu. Tapi kalau sawah? Apakah selama sawah itu tergadai maka sawah itu tidak boleh diusahakan? Kalau tetap diusahakan oleh si peminjam, berarti yang meminjamkan uang (yang memagang) tidak mendapat jaminan apa-apa dari uang yang dipinjamkannya.  

Seandainya dibandingkan dengan barang, yang hanya disimpan saja sebagai jaminan, tentunya sawah yang tergadai juga dibiarkan saja tapi di bawah pengawasan yang punya uang. Dan ini tentu mubazir karena kalau diusahakan sawah itu bisa memberikan hasil. Sedangkan biasanya hutang gadai ini berlangsung dalam waktu lama. Mungkin jalan tengahnya (tapi sepertinya belum ada yang mempraktekkan) berbagi hasil selama sawah itu tergadai, antara yang punya sawah dengan yang memagangnya. Dengan demikian sawah itu tidak tersia-sia. Seolah-olah selama masa gadai sawah itu jadi milik berdua. Kalau yang punya sawah sudah sanggup membayar pinjaman gadainya, maka sawah itu kembali jadi miliknya seutuhnya.

Ada pula yang menganjurkan dan bahkan mempraktekkan, setelah sekian puluh tahun sawah itu tergadai, dan selama itu hasilnya diambil seutuhnya oleh yang memagang, maka setelah sekian tahun itu tadi si pemagang diminta mengikhlaskan saja uangnya dan mengembalikan sawah itu kembali kepada pemiliknya. Cara seperti ini belum tentu juga benar. Kecuali kalau sejak awal disetujui bahwa hutang gadai itu dicicil membayarnya dengan hasil sawah.

****


Selasa, 07 Juli 2020

Zulqaidah

Zulqaidah 

Almarhumah ibuku dulu, mempunyai kitab tafsir Al Quran Mahmud Yunus. Cover tafsir itu berwarna hijau. Aku suka membaca tafsir itu ketika masih remaja kecil di kampung dulu. Membaca terjemahan surat Yusuf dan surat-surat lainnya. 

Yang istimewa tentang kitab tafsir itu, ibuku mencatat hari kelahiran anak-anak beliau secara rinci di halaman depannya. Maka di sana tertulis tentang aku, bahwa aku dilahirkan hari Selasa jam 02.15 siang Waktu Sumatera Utara tanggal 21 Agustus 1951 atau bertepatan dengan tanggal 17 Zulqaidah 1370 Hijriyah, di RSU Bukit Tinggi.

Di rumah ibuku yang lama (rumah gadang tidak bergonjong) di atas pintu kamar sebelah utara (sabalah ka ilia dalam bahasa kampung kami) ada lukisan pemandangan dengan catatan kelahiran kakak sepupuku (almarhumah uni Im}. Catatan kelahiran seperti itu entah kenapa kami menyebutnya hijrat. Lukisan sejenis terletak di empat pintu kamar, dua di sebelah utara dan dua di sebelah selatan. Tapi yang ada catatan kelahiran hanya yang satu di utara itu saja. Lalu yang lain yang terletak di sebelah selatan, di atas pintu kamar ibu aku tulis dengan hijratku. 

Masih terbayang olehku lukisan-lukisan dengan catatan kelahiran itu, meski rumah gadang itu sudah tidak ada lagi sekarang.

Hari ini adalah tanggal 17 Zulqaidah 1441. Artinya hari ini usiaku tepat 71 tahun menurut kalender Hijriyah. Usiaku sudah delapan tahun lebih banyak dari usia Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

****                    

Selasa, 23 Juni 2020

Dari 75 Ke 57

Dari 75 Ke 57   

Sebelum bulan Maret 2019, sebelum aku jatuh sakit yang sempat dirawat inap selama seminggu, berat badanku adalah 75 kg. Berat yang aku rasakan cukup ideal. Waktu saat-saat terakhir bekerja di Total, di tahun 2007, berat badanku pernah mencapai 82 kg. Berat 82 kg itu terasa agak kegemukan untuk tubuhku dengan tinggi 170. Bagaimana bisa turun dari 82 ke 75? Dengan cara berhenti sarapan nasi plus telor matasapi di pagi hari, sarapan wajib ketika aku masih aktif bekerja.  

Lalu dari 75kg turun ke 57kg? Ya, itulah yang terjadi, hampir-hampir tanpa aku sadari. Sesudah sakit di bulan Maret 2019, aku diwajibkan dokter minum beberapa jenis obat, terutamanya obak untuk mengontrol tekanan darah, yang menurut dokter akan wajib aku konsumsi seumur hidup. Subhanallah. Aku terpaksa patuh.

Setelah beberapa bulan menggunakan obat-obat itu, terjadi sesuatu yang agak aneh. Mulutku atau lebih tepatnya lidahku selalu merasa pahit. Aku hampir tidak bisa merasakan enaknya makanan apapun. Jadi makan apapun harus dipaksakan. Alhamdulillah, bahwa tubuhku secara keseluruhan cukup sehat. Di sekitar bulan September 2019 aku menyadari bahwa berat badanku sekitar 62 kg. Pada awal-awal sesudah kembali dari rumah sakit aku harus shalat sambil duduk di kursi, tapi pelan-pelan bisa aku lakukan dengan cara shalat normal, meski ada bagian-bagian tertentu, seperti duduk di antara dua sujud tidak dapat kulakukan dengan sempurna.

Tidak ada nafsu makan itu berlangsung sampai akhir tahun 2019. Waktu itu berat tubuhku tinggal 57 kg. Meski agak terlambat, aku berkesimpulan bahwa obat-obat yang dianjurkan dokter rumah sakit dulu itulah penyebabnya. Obat pengontrol tekanan darah yang dari rumah sakit itu aku hentikan dan aku ganti dengan obat sejenis yang pernah dianjurkan dokter klinik Total waktu aku masih bekerja dulu. Alhamdulillah obat pengganti ini sama efektif mengontrol tekanan darah. Dan bersyukur sekali, lidah pahit sedikit-sedikit mulai berkurang dan aku bisa merasakan enaknya makanan dengan lebih baik. 

Sekarang, sudah enam bulan di tahun 2020, selera makanku sudah boleh dikatakan normal. Tapi porsi makan jadi relatif lebih sedikit. Dan berat badanku hampir tidak beranjak dari 57 kg. Sebelum bulan puasa pernah sudah agak naik ke 59 kg tapi sesudah puasa kembali turun ke 57. 

Turunnya berat badan dari 75 ke 57 pastinya merubah postur tubuhku menjadi kurus. Tidak ada satupun celanaku yang enak dipakai. Semua longgar dan kedodoran. 

****            

Senin, 08 Juni 2020

Karena Corona 8 (habis)

Karena Corona 8 (habis) 

Ada seorang jamaah mesjid kami, warga komplek yang rajin mengirim postingan tentang agama melalui WA kepadaku. Meski kadang-kadang kiriman yang sama sudah pernah aku terima dari grup lain. Aku agak jarang mengomentari atau membalas postingannya. Selama beberapa bulan terakhir, sebagaimana sebagian besar jamaah warga komplek, beliau inipun absen dari mesjid di komplek. 

Hari Kamis yang lalu beliau mengirim info WA tentang akan dimulainya kembali shalat berjamaah di mesjid X (di lingkungan tempat dahulu beliau pernah tinggal) dan bahwa shalat Jum'at akan diadakan kembali hari Jum'at tanggal 5 Juni. Aku tidak mengomentari info seperti ini. Dalam hati aku berkomentar, syukurlah kalau mesjid X akan kembali difungsikan.

Dua hari kemudian beliau kembali mengirim postingan foto, suasana subuh di mesjid X, di tambah catatan pasca 'libur' Covid 19. Aku tidak tahu kenapa beliau mesti jauh-jauh pergi shalat subuh ke mesjid X. Membaca catatan sesudah 'libur' Covid 19 itu, tanganku gatal ingin sedikit berkomentar. Dan aku tulis, 'Syukurlah sudah kembali dari libur. Kami di mesjid di sini tidak kebagian libur.' Entahlah kalau jawabanku ini dinilai lancang. Yang jelas, sesudah itu beliau membalas agak panjang, mengatakan bahwa beliau bersyukur karena Allah telah memberi kesempatan mengamalkan perintahNya dan sekaligus sunnah NabiNya dan sunnah khalifatur rasyidin yaitu mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri, dengan mengisolasikan diri dari penularan waba yang melanda dunia, mengikuti fatwa seluruh lembaga fatwa ulama resmi  di seluruh dunia dan sesuai faham ahlus sunnah wal jama'ah, serta berlepas diri dari paham jabariyah maupun qadariyah.....

Nah lho.... Mula-mula aku geli membacanya. Kok jauh amat, ya?

Tapi akhirnya aku merasa bahwa aku harus menjelaskan. Karena mungkin banyak juga yang lain yang menyangka bahwa aku penganut paham jabariyah / qadariyah. Itulah awal dari penulisan catatan ini dari nomor satu sampai nomor delapan ini. 

Aku bukannya tidak menerima fatwa para ulama (dalam hal ini MUI). Seperti yang sudah kutulis, salah satu aturan yang disebutkan fatwa itu adalah, kalau anda sehat dan anda berada di lingkungan yang aman, anda tetap harus pergi ke mesjid shalat berjamaah. Itu yang aku patuhi.

Apakah aku mengingkari perintah ulil amri? Tidak, aku mencernanya dengan hati-hati. Buktinya, sebelum bulan puasa walikota memerintahkan (aku memahaminya sebagai menghimbau) agar tidak beraktifitas di mesjid. Ternyata sebulan kemudian, walikota menyatakan bahwa kelurahan kami berada di jalur hijau, silahkan kalau mau melaksanakan shalat Id. 

Wallahu a'lam....

**** 

                  

Karena Corona 7

Karena Corona 7

Alhamdulillah bahwa kami tetap dapat berjamaah di mesjid. Tetap dapat melanjutkan shalat tarawih setiap malam. Meski dengan jumlah jamaah terbatas. Rata-rata hanya sekitar dua puluh lima orang, termasuk sekitar lima orang jamaah ibu-ibu. Ibadah malam bulan Ramadhan ini memang dilakukan dengan sangat sederhana. Tidak ada ceramah Ramadhan. Tidak ada tadarus al Quran. Jam delapan lebih sedikit kami sudah selesai shalat tarawih termasuk witir sebelas rakaat. Agak menyesak juga sebenarnya melalui malam-malam Ramadhan seperti itu. 

Tidak ada acara penggalangan dana untuk berbuka bersama serta santunan anak yatim. Padahal acara ini biasanya selalu dilakukan tiap tahun. Dan tidak ada i'tikaf di sepuluh malam terakhir.

Shalat Jum'at tetap dapat dilaksanakan setiap hari Jum'at. Mendekati akhir Ramadhan, ada yang bertanya bagaimana nanti kita melaksanakan shalat Id. Aku bilang, kita tunggu saja pengumuman dari DKM. Kalau DKM melaksanakan, tentu akan dilakukan di lapangan barat Komplek. Tapi seandainya DKM tidak akan mengurusnya, kita saja melakukan di mesjid in sya Allah.

Dua hari terakhir puasa, ada kejutan yang datang dari kantor walikota Bekasi. Kelurahan kami dinilai berada di jalur hijau jadi boleh melaksanakan shalat Id. Alhamdulillah. Tapi DKM maupun panitia Ramadhan mesjid tidak bereaksi untuk mengkoordinir pelaksanaan shalat Id. Jadi kami para jamaah yang aktif selama Ramadhan saja yang menyiapkan.

Shalat Id akan dilakukan di mesjid, dimulai jam 6.30 hari Ahad, hari Idul Fitri. Khatib adalah dari warga yang biasa menjadi khatib shalat Jum'at. Kepada jamaah yang hadir di mesjid dianjurkan untuk menyampaikan rencana shalat Id itu kepada warga yang lain. Dengan persyaratan agar diingatkan, membawa sajadah masing-masing, harus memakai masker dan menjaga jarak di dalam shaf.

Semuanya dilaksanakan sesuai rencana. Satu-satunya pengumuman yang meski tidak disampaikan melalui mimbar, tapi langsung disampaikan oleh marbot mesjid dengan berteriak berulang-ulang, agar sesudah selesai shalat dan mendengar khotbah, jamaah jangan saling bersalaman. Jamaah ibu-ibu jangan saling berpelukan.

****            

Minggu, 07 Juni 2020

Karena Corona 6

Karena Corona 6 

Jamaah shalat subuh hari Sabtu pagi agak sedikit lebih banyak dari biasanya. Ada pak ketua RW dan bapak-bapak lain yang mungkin memang diajak oleh ketua DKM. Tapi ketua DKM sendiri tidak ikut shalat subuh berjamaah dengan kami. Sesudah shalat dan berzikir kami duduk berlingkar dalam sebuah lingkaran besar dengan jarak sekitar satu meter antara masing-masing. Setelah menunggu beberapa saat, ketua DKM datang sendirian.

Rapatpun segera dimulai. Ketua DKM dipersilahkan menyampaikan maksud pertemuan pagi itu. Beliau menyampaikannya dengan agak terbata-bata. Ketua DKM sempat diinterupsi oleh dua jamaah sambil mengingatkan agar langsung ke pokok masalah. Setelah beliau berbicara yang tetap tidak terlalu jelas maksudnya, aku berbicara. Aku menjelaskan bahwa rencana penutupan mesjid dan bahkan sudah dilaksanakan kemarin sore adalah suatu tindakan yang terburu-buru. Seandainya memang akan dilaksanakan, seyogianya DKM memberikan penjelasan dulu kepada jamaah  untuk mensosialisasikannya. Bukan langsung bertindak seperti kemarin sore. Aku mengatakan bahwa melalui pesan WA aku memang mengatakan, kunci sajak mesjid kalau memang akan melarang kegiatan, sebenarnya harus dibaca sebagai kalimat kekesalan. Seandainyapun dianggap bahwa itu merupakan usulan, adalah lebih bijaksana untuk menjelaskan terlebih dahulu kepada jamaah mesjid.

Sekarang cobalah jelaskan, apa alasannya menutup mesjid, padahal tidak ada kejadian  mengkhawatirkan selama kami tetap hadir secara teratur ke mesjid sejak sebulan yang lalu. Jawabnya, karena surat edaran dari walikota Bekasi itu. Aku jawab, surat edaran walikota itu seharusnya difahami sebagia himbauan. Tidak ada hak walikota melarang siapapun menjalankan ibadah. Dan kita harus menyesuaikan dengan kondisi di lingkungan kita. Apakah di lingkungan kita saat itu memang ada ancaman nyata?

Seorang jamaah menambahkan, agar dipelajari apakah yang disampaikan walikota itu mempunyai kekuatan hukum, karena jangan sampai dikatakan nanti kita melanggar hukum. 

Jamaah lain menyatakan pendapatnya bahwa yang disampaikan walikota memang hanya himbauan. Mungkin saja nanti bisa jadi masalah kalau di lingkungan kita ditemukan kasus yang tertular melalui mesjid. 

Aku jelaskan pula dengan keberhati-hatian kita, dengan setiap jamaah menggunakan masker, menjaga jarak, melarang yang tidak sehat datang ke mesjid, selama sebulan terakhir, alhamdulilah kita aman saja. Kita akan tetap pertahankan agar aturan-aturan itu dipatuhi. Dan semua jamaah yang hadir ke mesjid bertanggung jawab untuk dirinya masing-masing.  

Rapat yang sempat agak panas di subuh yang dingin itu, alhamdulillah akhirnya selesai dengan kesimpulan, DKM menarik kembali peraturan menutup mesjid. Artinya kami tetap bisa melanjutkan beribadah di mesjid. 

(Bersambung...)

Karena Corona 5

Karena Corona 5 

Kami melewatkan hari demi hari dengan tetap berjamaah shalat fardhu di mesjid. Sampai suatu hari, beberapa hari menjelang bulan Ramadhan datang surat dari walikota Bekasi  yang menginstruksikan agar semua kegiatan beribadah di mesjid dihentikan. Mungkin yang benar-benar diarah adalah pelaksanaan shalat tarawih, namun dalam surat itu disebutkan semua kegiatan termasuk shalat fardhu, shalat Jum'at dan pengajian-pengajian. Tujuannya konon untuk memotong rantai penyebaran virus corona. Surat itu diedarkan ketua RW dalam bentuk file PDF melalui WA. 

Ketua DKM ingin melaksanakan 'perintah' tersebut. Dibuatlah draft surat yang akan disebarkan kepada jamaah tentang rencana menghentikan semua kegiatan di mesjid. Draft itu dikirim sekretaris DKM via WA kepadaku, sambil meminta tanggapanku. Aku kebetulan adalah penasehat pengurus DKM. Aku tidak menanggapinya. Pesan yang sama dikirim ulang kepadaku. Akhirnya aku telepon sekeretaris DKM itu dan aku jelaskan aku tidak bisa memberikan tanggapan apa-apa karena aku mengerjakan semua yang dilarang itu. Setelah berbicara dengan sekretaris aku berpikir bahwa seharusnya aku menjawab atau memberi tanggapan atas draft surat yang akan diedarkan itu melalui grup WA pengurus mesjid. 

Dan itulah yang aku lakukan. Namun dengan bahasa yang ternyata kurang tegas. Aku tulis bahwa sudah sekian minggu kami shalat berjamaah di mesjid tanpa masalah, bahkan tadi malam sudah kami awali shalat tarawih dan siang ini kami akan tetap melaksanakan shalat Jum'at. Kenapa sekarang tiba-tiba ada rencana mesjid mau ditutup. Kalau mau ditutup juga, gembok saja sekalian dan jangan kumandangkan azan. Yang aku tulis ini sebenarnya adalah ungkapan merajuk, dan ternyata disanalah salahnya.

Sesudah shalat ashar hari Jum'at, hari pertama puasa, marbot mesjid memberitahuku bahwa mulai maghrib nanti mesjid akan ditutup dan pagar mesjid akan digembok. Aku dikerumuni oleh beberapa orang jamaah, menanyakan apa yang harus dilakukan. Sebenarnya akupun agak emosi mendengar berita dari marbot itu. Kok begitu cara yang ditempuh DKM? Untunglah aku sadar bahwa aku sedang puasa. Aku sarankan salah seorang jamaah yang masih muda untuk mendatangi ketua DKM, meminta datang untuk berdiskusi nanti ba'da maghrib tentang rencananya itu. 

Terjadi komunikasi WA antara anak muda yang aku tugasi dan ketua DKM. Ketua DKM akan berusaha untuk hadir nanti habis maghrib dengan beberapa pengurus. Tapi kemudian diralat, karena waktu sehabis maghrib terlalu singkat, dan kita akan berbuka puasa, jadi dipindahkan ke besok ba'da subuh. Akupun dikirimi pesan WA tentang rencana pertemuan itu oleh ketua DKM.    

Sesudah berbuka, aku seperti biasa bergegas mau shalat maghrib ke mesjid. Apa yang terjadi? Ternyata pagar mesjid digembok dan pintu mesjid tentunya juga dikunci. Aku terperangah. Lalu kembali pulang. Di jalan berpapasan dengan seorang jamaah yang sedang menuju ke mesjid. 

Sesudah shalat maghrib aku telepon anak muda yang tadi sudah berkomunikasi dengan ketua DKM. Katanya dia sudah dapat jaminan dari ketua DKM bahwa penutupan mesjid sementara ditunda. Namun marbot yang tadi diperintah mengunci dan menggembok pagar tidak berani membuka kembali tanpa perintah ketua DKM. Untunglah, ringkas cerita, mesjid dapat dibuka kembali sebelum masuk waktu isya. Dan malam itu kami dapat melaksanakan shalat tarawih hari kedua.

(Bersambung...) 

Sabtu, 06 Juni 2020

Karena Corona 4

Karena Corona 4   

Seseorang menanyakan apakah aku pernah mendengar ceramah ustadz kondang X yang menjelaskan kenapa kita sebaiknya tidak ke mesjid dan cukup shalat di rumah saja. Aku tanyakan ceramah yang mana? Dia menjelaskan, ceramah yang mengingatkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang lari dari wabah seperti kita harus lari ketika melihat singa, katanya.

Aku diam. Dia lanjut bertanya, apakah anda tidak percaya dengan hadits tersebut? Hadits tersebut shahih, diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Saya percaya, jawabku. Nah, kenapa dong? Kok anda masih tetap tidak mau shalat di rumah saja? tambahnya.

'Begini,' kataku mecoba menjelaskan.  

'Aku mengimani hadits itu apa adanya. Jika aku melihat singa aku akan berusaha menghindar.' 

'Lari... perintahnya lari, bukan menghindar. Jangan kau robah...' dia memotong pembicaraan dengan semangat.

'Begini, mas. Bagaimana dan kemana anda akan lari jika anda tidak mengamati keadaan dengan baik. Anda lihat singa. Sebelum lari anda harus tahu beberapa hal. Apakah singa itu sedang mendekat mengincar anda atau hanya sekedar duduk di kejauhan atau mungkin sedang melangkah ke arah berlawanan. Seandainya dia sedang bergerak ke arah anda, anda tetap harus berpikir, kemana anda akan lari. Apakah tidak mungkin dia akan dapat menyusul dan menangkap anda. Jadi perlu pemikiran yang jelas  meski harus diambil dalam waktu singkat.'

Dia terdiam.

'Sekarang virus Corona. Anda harus tahu dimana keberadaannya dan sedang bagaimana dia?'

'Sedang apa dia? Kan anda lihat sendiri dia sedang mengamuk. Sudah banyak korban,' dia kembali memotong pembicaraan.

'Aku tahu dia sedang mengamuk di tempat lain, tapi alhamdulillah di tempatku belum. Mudah-mudahan jangan sampai.'

'Justru karena itu kita berusaha menyelamatkan diri. Kita menghindar. Jadi kita tidak datang ke kerumunan orang. Termasuk ke mesjid. Karena bisa saja ada yang membawanya ke mesjid. Kita berdiam diri di rumah,' katanya pula.

'Seandainya ada yang tidak sengaja membawanya ke dekat kita di mesjid, kan kita sudah berikhtiar melindungi diri. Kita tidak saling bersinggungan. Kita pakai masker. Kita bawa sajadah masing-masing. Kita sering-sering mencuci tangan. Ikhtiar seperti itu in sya Allah sudah cukup.'

'Anda yakin itu sudah cukup?'

'In sya Allah yakin. Seandainya ada orang lain pembawa virus ikut shalat di mesjid, tapi dia memakai masker, seandainya pula dia bersin, in sya Allah virusnya tidak akan berterbangan kemana-mana. Dan seandainya pula ada orang yang shalat dekat anda, sudah memakai masker, kebetulan dia bersin, segera sesudah shalat anda cuci tangan muka anda pakai sabun, lakukan istinsya' menghirup air dengan hidung dan menghembuskannya kembali. Dan yang lebih penting anda berdoa kepada Allah sesudah itu minta perlindungan. Kan cukup...'

Dia terdiam.

(Bersambung...)

Karena Corona 3

Karena Corona 3   

Kepada jamaah yang hadir shalat berjamaah aku ingatkan agar, senantiasa menjaga jarak, tidak saling bersentuhan (tidak bersalaman) dan jika sedang kurang sehat, karena sakit apapun agar tidak hadir ke mesjid. Di lantai mesjid yang sekarang tidak ada karpet dibuat garis hitam penunjuk shaf dan ditandai setiap satu meter. Satu shaf yang dalam keadaan normal diisi 20 jamaah, sekarang hanya untuk maksimum sepuluh orang saja.

Di antara duapuluhan orang yang tadinya setuju untuk tetap melaksanakan shalat berjamaah di mesjid, ada yang berobah pikiran. Salah seorang mengirim pesan WA kepadaku, memberitahu bahwa dia tidak akan ikut lagi berjamaah karena ingin mematuhi pendapat ustadz kondang. Ustadz kondang itu pasti jauh lebih tinggi ilmunya dari kita jadi wajib ditaati. Begitu katanya.  Aku tidak membalas komentarnya melalui WA itu.

Kami sekitar limabelas orang tetap istiqamah shalat fardhu lima waktu ke mesjid. Menjelang hari Jum'at tanggal 4 April aku ingatkan jamaah, insya Allah kita tetap akan melaksanakan shalat Jum'at dengan jamaah yang ada, karena bukankah kita juga hadir setiap kali melaksanakan shalat zhuhur. Padahal DKM tidak lagi mendatangkan khatib dari luar.  Hanya saja di hari Jum'at itu tidak akan diputar kaset murottal Al Quran pada jam setengah sebelas (biasanya sebagai pengingat bahwa hari itu adalah hari Jumat), tidak azan dua kali (azan pertama biasanya untuk mengingatkan orang agar segera hadir ke mesjid, biasanya dilakukan sekitar setengah jam sebelum masuk waktu) dan tidak akan ada pengumuman apapun sebelum khotbah.  

Demikianlah shalat Jum'at itu kami lakukan, dengan khotbah ringkas sekitar sepuluh menit. Ternyata yang hadir shalat Jum'at bukan saja kami yang limabelasan orang. Mesjid dipenuhi jamaah dengan masing-masing menjaga jarak. Mungkin hadir sekitar 70 sampai 80 orang. Untuk perbandingan, dalam keadaan normal jumlah jamaah bisa sampai 200an orang, yang sebagian datang dari luar komplek.

Tapi sementara itu bagaimana perkembangan sang corona? Aku tetap memonitornya. Ada beberapa kelurahan di kota Bekasi yang sudah terdeteksi ada pengidapnya. Tapi di kelurahan kami belum ada kasus. Berita mengenai korban yang meninggal akibat corona, dan proses pemakaman mereka yang harus dilakukan secara khusus berseliweran di media sosial. Membaca atau mendengar berita seperti itu memang sangat mengganggu konsentrasi.  

Tapi alhamdulillah, kami yang sekitar limabelasan orang tetap istiqamah untuk hadir ke mesjid lima kali sehari. Kami tetap melaksanakan shalat Jum'at setiap hari Jum'at. Ada dua orang yang bergantian menjadi khatib. Dan setiap shalat Jum'at dihadiri oleh jamaah yang lebih banyak.

(Bersambung...) 


Karena Corona 2

Karena Corona 2  

Akhir bulan Maret jamaah mesjid menurun cukup kentara. Bahkan ada yang mengusulkan agar shalat Jum'at tanggal 27 Maret ditiadakan saja. Tapi pengurus Mesjid yang bertugas menghubungi khatib sudah melakukan tugasnya dan khatib untuk Jum'at itu sudah menyatakan kesediannya untuk datang. Alhamdulillah, shalat Jum'at hari itu tetap terlaksana. 

Kenapa jamaah mesjid berkurang? Karena ada fatwa MUI dan penjelasan beberapa ustadz kondang yang menyampaikan bahwa shalat berjamaah di mesjid untuk sementara dihentikan termasuk shalat Jum'at tentu saja. Ustadz-ustadz kondang itu bahkan mendeklarasikan bahwa beliau sudah melakukannya, tidak lagi berjamaah ke mesjid, tapi shalat di rumah saja. Sementara khatib Jum'at tanggal 27 Maret itu menjelaskan bahwa fatwa MUI itu tidaklah sedahsyat yang disampaikan oleh ustadz-ustadz kondang di media sosial itu.

Karena penasaran aku berusaha mencari tahu apa isi fatwa MUI itu. Aku menemukan penjelasan dari seorang ustadz kondang yang lain yang membacakan dan menguraikannya. Aku menyimaknya dengan seksama. Intinya adalah, ada tiga kondisi yang harus diperhatikan sebagai berikut; 

1. Jika anda disinyalir pengidap dan pembawa virus maka anda jangan datang ke mesjid.

2. Kalau anda sehat tapi di lingkungan tempat tinggal anda wabah itu sedang berjangkit, maka anda jangan ke luar rumah.

3. Kalau anda sehat dan lingkungan tempat tinggal anda aman, tidak ada yang terjangkit, maka anda tetap harus berjamaah ke mesjid. 

Aku cukup faham meski ada juga pertanyaan, seberapa luas cakupan lingkungan tempat tinggal itu. 

Sementara itu pengurus mesjid (DKM) membuat angket dengan pilihan antara setuju dan tidak setuju kegiatan di mesjid dihentikan dan mesjid ditutup alias dikunci. Untuk mendukung angket itu disampaikan pula informasi tentang beberapa mesjid di persekitaran komplek kami yang sudah ditutup. Angket itu disampaikan melalui pesan WA. Sudah ada 11 orang yang menyatakan agar mesjid ditutup dan tidak satupun yang memilih sebaliknya. 

Pada suatu kesempatan shalat maghrib aku sampaikan berita tentang angket itu. Sebagian besar jamaah yang hadir mengatakan bahwa mereka tidak punya WA. Aku mengusulkan agar mereka menentukan pilihannya yang ditulis di kertas. Hasilnya, 24 orang jamaah menyatakan tidak setuju mesjid ditutup. Hasil itu aku sampaikan ke ketua DKM. Alhamdulillah, kegiatan shalat berjamaah tetap dilaksanakan seperti biasa.

(Bersambung...)

Karena Corona 1

Karena Corona 1  

Sebenarnya agak malas aku menulis cerita ini.... Tapi ya, sudahlah, mungkin ada juga perlunya.....

Di pertengahan bulan Maret yang lalu, kita sama-sama dikagetkan oleh kehadiran virus Corona atau disebut juga Covid 19. Virus yang mula-mula  muncul di negeri Cina di sekitar bulan Oktober tahun lalu, dan kala itu sedang mengamuk di Italia. Virus ganas dan mengerikan itu telah memasuki hampir semua negara. Indonesia yang baru mengumumkan bahwa kehadirannya terdeteksi di awal bulan Maret, meski ada yang berpendapat mungkin sudah lebih awal lagi. Kehadiran virus ini jadi bahasan semua orang termasuk para ustadz. Kita semua ketakutan. Betapa tidak, ada tayangan yang disebarkan melalui media sosial, bagaimana para petugas keamanan di Italia kewalahan mengantar berpuluh-puluh jenazah ke pemakaman setiap hari. Dan menurut berita para penderita itu mengalami sakit luar biasa, kesulitan bernafas dan terpaksa harus menggunakan alat bantu pernafasan, sebelum sebagiannya berakhir dengan kematian. 

Salah satu ustadz yang rutin mengisi pengajian di mesjid kami mengajarkan doa untuk minta perlindungan Allah dari ancaman wabah mengerikan itu. Berdoa adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. Mintalah pertolongan dan perlindungan Allah.

Meski kebanyakan jamaah mesjid sudah mulai resah, beberapa dari kami mencoba memikirkan cara menghindar. Kami fahami bahwa virus itu menyerang saluran pernafasan melalui hidung. Seandainya dia sudah hinggap di hidung seseorang maka dia akan memerlukan waktu empatbelas hari untuk sampai ke paru-paru, berkembang biak di sana dan menutupi saluran-saluran halus paru-paru. Bagaimana dia berpindah atau menular dari satu ke lain orang? 

Seseorang yang sudah dihinggapi virus meski mungkin belum sakit parah, tangannya biasa menyentuh hidungnya lalu tangan itu dipakai bersalaman dengan orang lain, maka niscaya orang lain ini akan mulai berpotensi dihinggapi virus. Di saat dia mengusap mukanya atau hidungnya yang tadi dipakai bersalaman belum dicuci. maka virus akan hinggap di hidungnya pula. 

Atau bila seseorang yang sudah membawa virus, lalu dia bersin, artinya dia memercikkan butir-butir mengandung virus dari hidungnya, lalu butir-butir itu hinggap di tubuh orang lain, maka orang lain ini akan berkecenderungan tertular. Atau dia itu bersin dan butir-butir mengandung virusnya menempel di lantai atau di karpet, lalu orang lain sujud di karpet itu maka orang lain akan dengan mudah tertular.

Jadi kesimpulan sementara, hindari saling bersentuhan. Tinggalkan kebiasaan bersalaman (apa boleh buat). Jaga jarak satu dengan yang lain. Bahkan ada yang menetapkan jarak itu harus sekitar satu setengah meter. Kenapa, karena radius satu setengah meter itu akan tercemar seandainya dia bersin. Lalu karpet mesjid harus dibongkar karena berpotensi menjadi tempat bersemayam virus. Ada yang mengatakan di karpet virus dapat bertahan sekian jam.

Dan itupun dilakukan semua. Menghindari bersentuhan, menjaga jarak dalam shalat (jadi tidak lagi merapatkan shaf), membongkar karpet mesjid. Namun sebagian jamaah mesjid mulai ragu-ragu untuk hadir ke mesjid. 

(Bersambung.....)           

Senin, 03 Februari 2020

Salero Nan Tau Raso

Salero Nan Tau Raso 

Di atas pintu keluar sebuah rumah makan di Bukit Tinggi terpampang tulisan seperti judul ini. Salero nan tau raso... Selera yang tahu rasa, sebegitu sederhana terjemahan ke bahasa Indonesianya. Artinya lebih kurang, rumah makan itu menjamin terpuaskannya rasa enak yang diinginkan selera pengunjung.  

Ketika kita pergi makan ke rumah makan, untuk mengganti selera dari masakan sehari-hari, kita menginginkan sesuatu yang istimewa. Rasa yang berbeda, yang lebih enak dari yang biasa kita jumpai di rumah. Namun sayang sekali, pengalamanku di beberapa rumah makan akhir-akhir ini sering sangat mengecewakan.  Baik di rumah makan Padang ataupun rumah makan bukan Padang, rasa enak masakan itu sering hilang alias tidak ditemukan. 

Aku pencinta makan enak dan sangat sensitif dengan rasa makanan. Masuk ke rumah makan Padang di Jakarta - Bekasi (beberapa, yang punya nama besar seperti Sederhana, Pagi Sore), aku ambil gulai ayam misalnya. Seringkali aku menemukan rasanya tidak seperti gulai ayam yang aku kenal. Ayam pop tidak seperti ayam pop yang aku tahu benar rasanya. Begitu juga dengan lauk lainnya. Entah kenapa demikian.  Kami mampir (yang terakhir beberapa bulan yang lalu) di sate Mak Sy di Padang Panjang. Rasa sate dan kuahnya benar-benar sudah menyimpang sangat jauh. 

Bukan hanya masakan Padang. Dalam waktu belum terlalu lama kami pergi ke rumah makan Sunda di Bekasi dan di Bogor. Rumah makan besar dengan sawung-sawung di pinggir kolam ikan. Yang pertama di malam minggu. Kesan pertama, tempat makan itu tidak ramai pengunjungnya. Yang kedua di hari Minggu siang, agak banyak pengunjungnya yang sepertinya orang-orang seperti kami yang singgah di perjalanan. Dulu, aku kenal dengan masakan Sunda seperti Lembur Kuring. Makan di Lembur Kurang itu dulu cukup menyelera, dengan gurami goreng, gurami bakar, ayam goreng, sayur asam dan karedoknya.  Tapi dua pengalaman terakhir sungguh sangat mengecewakan. Ikan gurami gorengnya hambar. Tidak terasa garam dan asam sama sekali. Gurami bakar hanya terasa tambahan rasa kecap yang juga tawar. Bahkan sayur asamnya tidak jelas rasanya. 

Pengalaman lain adalah di rumah makan ayam goreng Nyonya S. Dulu enak dan gurih benar rasanya. Beberapa waktu yang lalu kami mampir di rumah makan ini di Jogya dan menemukan rasanya juga sudah jauh tergelincir. Tahun 90an ketika aku ada tugas kantor di Jogya, aku bahkan membawa ayam gorengnya pulang ke Balikpapan untuk anak-anak karena mereka juga sangat menyukainya.

Entah kenapa rasa di banyak rumah makan sekarang sudah tidak lagi menyelera padahal harganya relatif mahal.

***(                

Sabtu, 01 Februari 2020

Mati Gaya

Mati Gaya   

Aku ikut (dalam lebih banyak hal diikutkan) di grup WA. Grup WA apa saja, seperti grup orang sekampung, orang sekomplek, sesama jamaah mesjid, sesama organisasi sosial, sesama karyawan di perusahaan, alumni-alumni sejak dari SMP sampai ITB. Di hampir semua grup itu aku hanyalah peserta pasif. Kenapa? Karena aku mati gaya. 

Di umumnya grup itu yang disampaikan anggota adalah hal-hal yang aku tidak tertarik menanggapi atau ikut nimbrung. Ada grup yang anggotanya tak habis-habisnya bernostalgia tentang kehidupan dan pergaulan masa lalu yang sudah ditinggalkan puluhan tahun yang lalu. Ada yang begitu tekunnya menyampaikan ucapan selamat. Segala macam ucapan selamat, mulai dari selamat ulang tahun (yang sekali setahun), sampai selamat pagi atau bahkan selamat mengerjakan shalat tahajud setiap hari. Dan ada pula yang menyampaikan ucapan selamat  hari raya untuk setiap agama.

Aku biasanya ikut menyampaikan ikut berduka cita ketika ada anggota grup atau anggota keluarganya yang meninggal dunia. Ucapan dukacita ini, siapapun yang meninggal, apapun agamanya, biasanya disertai doa agar yang meninggal ditempatkan di tempat yang mulia di sisi Tuhan. Dan yang menyampaikan ucapan dukacita serta doa itu bisa siapa saja pula. 

Ada pula yang saling mengirim taushiyah atau kuliah tentang agama. Yang ini biasanya aku suka juga membacanya. Umumnya postingannya adalah dari tulisan kiyai atau ustadz tertentu. Hanya saja kadang-kadang ada juga yang mengirim hadits-hadits palsu yang bahkan salah waktu. Misalnya ada yang mengatakan sebagai berikut; terhitung jam dua belas malam nanti sudah masuk bulan Rajab. Rasulullah bersabda, barang siapa yang menyampaikan berita tentang masuknya bulan Rajab ini niscaya akan terbebas dari api neraka. Cerita seperti ini diposting mungkin saking inginnya ikut berpartisipasi di grup.

Yang paling tidak aku sukai adalah grup yang sering memuat cerita atau bahkan video porno. Di grup seperti ini aku pernah memberi peringatan untuk tidak berbagi hal-hal yang tidak pantas. Biasanya mereka berhenti sebentar tapi tidak berapa lama kemudian kumat lagi. Akhirnya aku keluar dari grup. 

Karena ikut jadi anggota berbagai grup ini  hp ku biasa menerima ratusan pesan WA setiap harinya. Dan sayangnya sebagian besar adalah tentang hal-hal yang aku tidak tertarik untuk ikut membalasnya.  

****