Senin, 27 Juli 2015

Tukang Palak

Tukang Palak         

Ada oleh-oleh yang cukup menyesakkan dibawa oleh pengunjung Bukit Tinggi ketika mereka datang meramaikan kota itu di liburan Hari Raya baru-baru ini. Oleh-oleh kena palak. Atau kena pakuak. Secara harfiyah arti palak adalah kepanasan atau kegerahan. Seseorang yang kena palak merasa panas hati dan tidak nyaman namun tidak pula dapat menghindar. Sementara pakuak arti harfiyahnya adalah memotong dengan golok yang dihayunkan. Arti sesungguhnya dari ungkapan ini adalah disuruh membayar suatu belanjaan dengan harga lebih mahal dan tidak berpatutan.

Menurut cerita yang beredar di media sosial, ongkos parkir mobil di kota Bukit Tinggi ditagih Rp 20,000. Kalau ada yang mempertanyakan ongkos tersebut atau yang keberatan membayar sejumlah itu, diancam bahwa keselamatan mobilnya tidak dijamin. Padahal ongkos parkir yang ditetapkan Pemda Bukit Tinggi adalah Rp 2000 saja. Perlakuan tukang parkir seperti ini, menaikkan biaya parkir sampai 10 kali lipat jelas-jelas memalak. Memanaskan hati. Banyak orang yang membayar saja karena malas (atau takut?) berurusan dengan tukang parkir pemalak tersebut.

Lalu ada cerita tentang rumah makan yang memakuak pengunjung. Seperti biasa, di rumah makan Minang, entah kenapa, harga baru dihitung sesudah makanan terlanjur masuk perut. Ada rombongan lima orang yang disodori bon makanan yang baru disantapnya seharga Rp 800,000. Subhanallah. Makan apa mereka semahal itu?

Ada juga orang yang membela perlakuan memalak atau memakuak ini dengan alasan suasana hari raya. Biarlah sekali-sekali mereka makan pula uang orang rantau. Jadi ikhlaskan sajalah. Pernyataan seperti ini jelas tidak bisa dibenarkan. Berjual beli atau membayar ongkos sesuatu itu haruslah dengan cara yang wajar. Pedagang yang memakuak seperti itu terancam masuk neraka wail. Wailul lil muthaffifin....  Celakalah orang-orang yang curang. Begitu peringatan Allah dalam ayat-ayat awal surah ke 83.   

Pemerintah kota seharusnya jeli dengan perlakuan curang seperti contoh di atas. Tidak bisa berpura-pura tidak tahu saja. Kalau memang sudah ditetapkan biaya parkir Rp 2000, siapkan karcis parkir dan beri tanda pengenal petugas parkir. Kalau ada yang berbuat curang, meminta biaya lebih dari ketetapan petugasnya harus ditertibkan dan diberi sangsi. Dan masyarakat diingatkan agar tidak menerima saja ketika dicurangi. Yang mengancam-ancam bahwa keselamatan mobil tidak dijamin harusnya dilaporkan kepada polisi. 

Di kedai-kedai makan pemerintah kota bisa memerintahkan agar setiap kedai makan mempunyai daftar harga yang dipajang di dinding. Bukan sesuatu yang sulit untuk dilaksanakan kalau memang ada niat baik untuk memperbaiki citra. 

Pengunjung sebaiknya juga jangan mudah menyerah. Tidak perlu takut dengan ancaman. Satu ketika beberapa bulan yang lalu, kami parkir di Atas Ngarai. Waktu datang tidak ada petugas. Ketika akan berangkat, datang seorang berpakaian preman tanpa atribut apa-apa kecuali sempritan. Aku menyerahkan uang tiga ribu rupiah. 'Lima ribu, pak,' kata preman itu. Aku minta karcis parkir. Dia menyerocos bahwa di Bukit Tinggi ini, di mana-mana ongkos parkir lima ribu rupiah tanpa karcis. Kepalang heboh, aku minta tanda pengenalnya sebagai petugas parkir. Dia gelagapan. 'Kalau begitu ndak usah bayar,' katanya sambil berturo-turo.  'Kalau kau mau, ambil ini, kalau tidak ya sudah,' kataku menyodorkan 3000 rupiah. Uang itu diambilnya.

'Ngapain sih orang itu dilawan,' celetuk istriku. 

Ada pengalaman teman yang kena pakuak ketika makan di sebuah kedai nasi. Makan bertiga, masing-masing mengambil dua potong lauk serta minum es teh, lalu mereka ditagih Rp 320,000 rupiah. Angka yang agak aneh tapi jelas sangat mahal. Teman ini sadar bahwa dia kena pakuak, tapi dia tidak bodoh.

'Saya bayar pakai kartu kredit saja ya, kebetulan tidak ada uang kontan sebanyak ini. Tapi sebelumnya minta bon dengan rinciannya, ya,' katanya. 

Orang kedai bingung sebentar. 

'Maksudnya bagaimana pak?' tanyanya.
 
'Buatkan saya bon. Tulis berapa harga sepotong ayam, sepotong rendang, sepotong gulai tunjang. Begitu juga segelas es teh.'

Akhirnya petugas kasirnya datang dengan kertas bon dan menghitung kembali. Sepotong ayam harganya Rp 20,000, rendang Rp 18,000, tunjang 18,000. Nasi dan nasi tambah untuk bertiga Rp 24,000, sayur Rp 10,000. Teh es Rp 10,000 segelas. Jumlah semua Rp 149,000.  Harga-harga itupun sebenarnya sudah lebih mahal dari biasanya. Tapi jumlahnya jelas bukan Rp 320,000 seperti yang disebut petugas mula-mula. 

Kebiasaan memalak atau memakuak ini sememangnya harus ditertibkan. Dan yang paling berwenang menertibkannya adalah pemerintah kota.

****      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar