Senin, 28 Desember 2015

Kebersamaan Sementara Itupun Berakhir

Kebersamaan Sementara Itupun Berakhir     


Tadi malam Hamizan, Fathimah bersama ayah dan uminya dijemput sama uti dan akung untuk dibawa ke Tangerang. Di sana mereka akan menginap dua malam terakhir. Hari Rabu malam mereka akan terbang kembali ke Pau, rantau mereka di Perancis sana. Saat-saat bersama itu sangat menyenangkan. Tapi sayang sekarang harus berpisah lagi. Inilah di antara foto-foto kebersamaan para cucu-cucu.








                             

Minggu, 27 Desember 2015

Hari-hari Terakhir Masa Liburan Hamizan Dan Fathimah

Hari-hari Terakhir Masa Liburan Hamizan Dan Fathimah          

Setelah hampir dua minggu bersama-sama di Jatibening, masa liburan Hamizan, Fathimah beserta ayah dan umi mereka akan segera berakhir. Mereka akan kembali lagi ke Pau. Hari Senin besok mereka akan pindah ke rumah uti di Tangerang dan hari Rabu malam terbang ke Paris melalui Doha. Sangat sebentar berakhirnya waktu dua minggu.

Hari-hari bersama mereka adalah hari-hari yang sibuk dan menyenangkan. Dan heboh, karena kelima cucu berkumpul dalam kebersamaan. Hamizan selalu sibuk dengan abang-abang dan Rayyan. Berebutan mainan. Bercanda dan tertawa terkekeh-kekeh. Mereka berempat sudah sehat dari khitanan pada hari keempat. 

Cuma ada yang agak aneh. Fathimah tidak mau digendong siapapun kecuali ayah dan uminya saja. Padahal waktu inyiak dan nenek di Pau, dia sangat lengket dengan inyiak. Setiap kali uminya ada keperluan pergi keluar, kalau tidak ada Nounou (si pengasuh jam-jaman), Fathimah ditinggal dengan inyiak tanpa masalah. Nah, sekarang sama sekali tidak mau. Maunya hanya diajak main dan dirayu-rayu saja. Meski demikian, hari-hari terakhir ada sedikit kemajuan. Kemarin mau digendong nenek sekitar 2 - 3 menit. Dan tadi siang mau pula digendong onti bahkan sedikit lebih lama. Namun dengan inyiak tetap belum berhasil.

Izan ditanya apakah dia senang karena segera akan kembali ke sekolah di Pau. Jawabnya spontan, tidak. Lebih senang di sini main dengan abang-abang dan Rayyan. Kalau begitu bagaimana kalau Izan gantian saja dengan Rayyan. Izan tinggal di Jatibening dan Rayyan menggantikan Izan. Kalau itu dia juga tidak mau. 

Selama kebersamaan ini kami sempat pergi ke Bandung dan menginap dua malam. Kalau istilah abang Afi, menemani umi berwisata kuliner. Dan memang begitu adanya. Setelah hampir satu setengah tahun tidak mencicipi jajanan dan makan khas negeri kita, banyak yang ingin dicoba umi. 

Kebersamaan ini akan segera berakhir. Biasanya akan terasa berat. Buat Izan, buat abang-abang, buat inyiak dan nenek. Bahkan buat semua. Entah kapan bisa berkumpul lagi. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mudah-mudahan kita semua senantiasa dilindungi dan dirahmati Allah.

****                              

Jumat, 18 Desember 2015

Ketika Empat Cucu Dikhitan

Ketika Empat Cucu Dikhitan  

Kita lebih mengenalnya dengan dikhitan. Bahasa lainnya disunat. Bahkan ada yang menyebutnya disunat rasul. Anak laki-laki biasanya disunat ketika mereka berumur sembilan sepuluh tahun. Itu dulu, ketika aku disunat. Cerita tentang sunat bisa macam-macam. Yang lebih tua sesuai dengan pengalaman mereka biasa menakut-nakuti yang belum disunat. Lagi-lagi itu dulu, ketika aku belum disunat, setengah abad lebih yang lalu. Tapi sekarang tidak ada lagi anak-anak yang ditakut-takuti. 

Rafi dan Rasyid memang direncanakan akan disunat sekarang-sekarang ini. Setelah melalui penjelasan yang panjang dan memadai. Sehingga mereka faham tentang sunat. Ketika mereka bertanya apakah disunat itu sakit, dijawab apa adanya. Memang sakit (sedikit) tapi sekarang sudah banyak obat untuk menghilangkan rasa sakit. Dan bersunat itu yang jelas wajib dijalani. Akhirnya mereka siap secara mental. Hamizan yang jauh-jauh datang dari Pau juga sudah disiapkan mentalnya. Begitu juga yang paling kecil, Rayyan. Meskipun dua yang terakhir ini mungkin tidak seutuhnya faham. Buktinya Rayyan, protes keras dan berontak waktu berada di ruangan operasional dan melihat jarum suntik. Terjadi sedikit heboh, walau akhirnya terlaksana juga.

Keempat-empatnya disunat hari Kamis kemarin. Alhamdulillaah. Sampai di rumah, masing-masing dengan wajah yang berbeda. Ada yang sedikit meringis dan ada yang santai. Urusan jadi agak rumit tatkala pengaruh obat bius pelan-pelan berakhir dan mereka merasa sakit dan perih. Syukurlah bahwa yang kesakitan masih bisa dibujuk. Diajak banyak-banyak berzikir mengingat Allah. 

Disunat sekarang rupanya memang lebih sederhana cara perawatannya. Mereka dipakaikan celana dalam dengan pelindung khusus. Ada obat penahan rasa sakit. Di antara mereka berempat, abang Rasyid terlihat yang paling santai. Ditanya apakah dia tidak merasa sakit, dijawabnya, sakit juga tapi Asyid tahan. Hamizan lebih banyak mengeluh dan menangis, tapi ketika diingatkan untuk mengulang-ulang hafalan surah-surah pendek masih mau mengerjakannya. Rayyan yang paling kecil juga berusaha menahan rasa sakit dengan caranya sendiri, dengan tidak banyak mengeluh tapi wajahnya terlihat tegang.
  
Tidak ada pesta khitanan karena kedua pasang orang tua mereka tidak mau membuat pesta seperti itu. Tapi ada hadiyah uang dari inyiak dan nenek, dari uti dan akung Izan, dari inyiak Dedi. 

Sekarang di hari ketiga semua sudah terlihat cerah dan tidak terlihat lagi kemurungan karena menahan sakit. Mudah-mudahan mereka semua semakin faham tentang Islam dan menjadi hamba-hamba Allah yang shalih dalam kehidupan mereka.

****

(Photo-photo diambil di rumah inyiak sebelum berangkat ke tempat sunat)            

Rabu, 16 Desember 2015

Ketika Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung

Ketika Hamizan Dan Fathimah Pulang Kampung   

Mereka datang sudah beberapa hari yang lalu sebenarnya. Tepatnya hari Senin tanggal 7 Desember yang lalu. Dan waktu itu langsung ke tempat akung - uti di Tangerang. Inyiak, nenek, onti, bunda dan abang-abang dari Jatibening hadir ke Tangerang waktu itu. Tentu saja pertemuan yang heboh, antara Izan dengan abang-abang plus Rayyan. Pertemuan yang memukau bagi yang baru pertama kali bertemu Fathimah. Si Gadis Kecil ini tersenyum mengamek ke semua orang tapi tidak mau dipangku siapapun selain ayah dan umi. Tidak juga dengan inyiak, yang padahal beberapa bulan yang lalu sangat lengket ketika di Pau.

Ya, kepulangan ini juga sehubungan dengan rencana pernikahan adiknya ayah mereka, yang in sya Allah akan dilangsungkan tanggal 19 Desember. Mereka di rumah akung - uti sampai hari Selasa kemarin. Sejak itu pindah ke Jatibening. Rumah kamipun jadi ramai dan semarak. Di saat kelima cucu berkumpul.

Fathimah tentu saja jadi bintang dan yang paling cantik. Satu-satunya anak perempuan. Ngomongnya masih sangat terbatas meski bisa menyebut inyiak dan nenek cukup sempurna.

Yang lucu adalah Rayyan. Sebelumnya, setiap kali kami skype dan wajah Fathimah terlihat, Rayyan sangat cemburu. Kadang-kadang bahkan menjentik wajah Fathimah yang di layar kaca komputer. Tapi begitu bertemu semuanya berobah. Dia sangat menyukai dan sayang sama Fathimah, begitupun sebaliknya. 

Izan selalu sibuk dengan kedua abang dengan berbagai macam mainan. Tapi yang paling menarik tetap saja Ipad atau laptop inyiak untuk diplototin ramai-ramai. Ketika kedua abang sekolah barulah main dengan Rayyan. Mereka berdua ini terlihat seperti kembar pula. Dan cukup kompak. Kalau ngobrol saling atas mengatasi dan obrolan mereka nyambung.

Sesuai dengan yang telah direncanakan orang-orang tua mereka, hari ini keempat Muhammad ini akan dikhitan. Semula hanya Rafi dan Rasyid saja karena memang sudah waktunya. Umur mereka sudah hampir sepuluh tahun. Tapi keputusan akhir, keempat-empatnya sekaligus. Dan itu adalah pagi hari Kamis ini. Mudah-mudahan semua dilancarkan Allah dan semoga mereka sehat dan selamat.

Yang agak aneh, Fathimah masih tetap belum bisa digendong siapapun. Mau dirayu dan diajak bercanda, tapi tidak untuk digendong. Sudah hari ketiga nginap di Jatibening, dia masih tetap seperti itu. Jinak merpati dengan senyumannya yang khas. Tapi tetap jual mahal kalau urusan digendong.

Fathimah menyukai binatang dan mampu menirukan suara bermacam hewan seperti kucing, anjing, sapi dan sebagainya. Di rumah kami ada kucing, kura-kura kecil, ayam dan ikan di kolam. Pagi ini Fathimah dan Hamizan menonton kucing onti sedang makan.

Sungguh membahagiakan ketika berkumpul dengan anak, menantu dan cucu-cucu seperti ini. Mudah-mudahan Allah senantiasa memelihara kita dalam kesehatan dan keteguhan iman. Aamiin. 


                   

Rabu, 09 Desember 2015

Subhanallah, Di Dunia Semut ‘Pendusta’ di Hukum Mati (Kisah Nyata) (Dari Akhwat Muslimah)

Subhanallah, Di Dunia Semut ‘Pendusta’ di Hukum Mati (Kisah Nyata)


Akhwatmuslimah.com 

Seorang Mufti Masjidil Haram, mengisahkan kisah nyatanya sendiri, dia berkata :

Pada suatu kesempatan, aku duduk di sebuah tempat, Kupalingkan pandanganku kesana kemari melihat makhluk-makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akupun terkagum-kagum dengan ciptaan ar-Rahman Subhanahu Wa Ta’ala. Seekor semut menarik perhatianku. Dia berkeliaran di sekitarku untuk mencari sesuatu, mencari, dan mencari. Tidak merasa terbebani, juga tidak bosan.

Di tengah-tengah pencariannya, dia menemukan sisa-sisa bangkai belalang, tepatnya adalah kaki belalang. Diapun menyeretnya, dan menyeretnya, dan berusaha untuk membawanya ke tempat tertentu yang telah ditentukan oleh hukum mereka di dunia semut. Dia sudah banyak berusaha dalam usahanya tersebut. Setelah beberapa waktu, dan kesungguhan, dia merasa tidak bisa membawa kaki belalang tersebut. Lalu dia tinggalkan buruan berharga tersebut, kemudian pergi ke suatu tempat yang tidak kuketahui, dan diapun menghilang.
Selang beberapa waktu, dia kembali bersama dengan sejumlah besar semut. Di saat aku melihat kemana mereka menuju, aku tahu bahwa semut yang tadi telah mengajak mereka semua untuk membantunya mengangkat apa yang tidak mampu dia angkat. Akupun ingin hiburan sedikit, kuambil kaki belalang tersebut, lalu kusembunyikan.

Ilustrasi. (Foto: pestguardex.com)

Ilustrasi. (Foto: pestguardex.com)

Maka dia dan semut-semut lain yang bersamanya mencari kaki tersebut, mereka mencarinya kesana kemari tanpa ada hasil, hingga mereka putus asa akan keberadaannya, lalu merekapun pergi meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, semut yang pertama datang kembali sendirian menuju tempat tadi. Sebelum dia sampai pada tempat tadi, kukembalikan kaki belalang di hadapannya.

Maka mulailah dia mengitari dan melihat di sekelilingnya. Lalu dia berusaha untuk menyeretnya lagi, berusaha dan berusaha, hingga dia merasa lemah. Kemudian dia pergi meninggalkan tempat itu sekali lagi. Akupun yakin bahwa dia pergi untuk memanggil kabilah semutnya guna membantunya untuk mengangkat kaki belalang yang ditemukannya tersebut.

Setelah itu, datanglah sekumpulan semut bersama semut tadi, dan kukira itu adalah kelompok semut yang sama seperti tadi!! Mereka pun datang, dan saat aku melihat mereka berjalan di belakang semut pertama menuju tempat tadi, akupun banyak tertawa, lalu kuambil kaki belalang dan kusembunyikan dari mereka sekali lagi. Merekapun mencari kesana kemari, mereka mencari dengan penuh keikhlasan.

Demikian pula semut tadi mencari dengan sepenuh semangat dan keyakinannya, berputar kesana kemari, melihat ke kanan dan ke kiri, agar melihat sesuatu, akan tetapi tidak ada sesuatupun. Pada saat seperti ini, terjadilah sesuatu yang aneh. Sekumpulan semut itu berkumpul bersama yang lain setelah mereka bosan mencari, dan diantara mereka terdapat semut yang pertama. Kemudian tiba-tiba mereka menyerangnya, lalu memotong-motongnya secara ganas di hadapanku. Dan demi Allah, aku melihat kepada mereka, sementara aku ada pada keterkejutan yang besar.
Apa yang terjadi membuatku takut… mereka membunuhnya… mereka memotong-motongnya di hadapanku. Astaghfirullah! Ya, mereka memotong-motongnya di hadapanku… dia terbunuh karena aku… mereka membunuhnya karena mereka menyangka bahwa dia telah berdusta kepada mereka!!! SubhanAllah, hingga bangsa semut memandang dusta sebagai aib, dan kekurangan, bahkan dosa besar yang pelakunya dihukum bunuh!! Semut menganggap dusta adalah sebuah kejahatan, dan memberikan hukuman atasnya!!

Maka bagaimana jika dusta itu membawa keburukan, atau keragu-raguan yang di belakangnya akan timbul fitnah, peperangan, dan kehancuran rumah tangga?! Serta penderitaan rakyat banyak karena para wakil rakyat yang dipilih ternyata mendustai rakyatnya dengan korupsi, nepotisme, dll. serta pemimpin negara ini mendustai dan mendurhakai hukum Allah yang wajib diterapkan… Maka dimanakah orang yang bisa mengambil pelajaran dari semut kecil ini ? Subhanallah…
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya (dusta) dan pencurian (korup). Hati mereka lebih busuk dari bangkai.” (HR. Ath- Thabrani)
****
Sumber: Sofii

Minggu, 06 Desember 2015

Menhir Di Mahek


Menhir Di Mahek  

Aku pernah membaca dan mendengar cerita tentang keberadaan benda purbakala yang disebut menhir di sebuah kampung di pedalaman Sumatera Barat. Tepatnya di kampung Mahek di Kabupaten Limo Puluah Koto. Sudah sejak lama aku tertarik untuk pergi melihat aslinya, tapi belum pernah kesampaian. Hal ini disebabkan juga oleh sarana jalan menuju lokasi itu menurut berita yang aku dengar kurang baik. 

Akhirnya pada kesempatan pulang kampung kemarin ini rencana itu dapat terlaksana. Jalan ke lokasi itu melalui kota Payakumbuh lalu berbelok ke baratlaut arah ke Suliki. Di Limbanang berbelok ke utara menuju kampung Mahek. Jalan dari Payakumbuh ke Limbanang sejauh 21 km adalah jalan propinsi sementara dari Limbanang ke Mahek  (23km) adalah jalan kabupaten yang lebih kecil tapi kondisi aspalnya lumayan baik. Sebagian besar melalui hutan rimba yang sepi. Tidak banyak kendaraan yang melintas di sepanjang jalan ini. Pada separuh terakhir menjelang Mahek sedang ada perbaikan dan pelebaran jalan.  Pada bagian yang sedang diperbaiki ini ada sebuah belokan tajam dan mendaki cukup terjal. Beruntung kami melaluinya bukan sedang hujan karena bisa dibayangkan belokan ini akan sangat licin karena belum diaspal.                     

Kami sampai di kampung Balai Batu dan bertanya kepada seorang bapak tentang lokasi Menhir. Rupanya kami sudah melewatinya kira-kira 500 meter. Bapak tersebut mengantar kami ke lokasi yang dimaksud. Ada plang petunjuk bertuliskan Megalit Balai Batu di pinggir jalan dan di sampingnya ada jalan kecil menuju ke lokasi yang hanya beberapa meter saja dari jalan. Tempat itu merupakan hamparan / lapangan yang ditumbuhi rumput dengan beberapa buah batu ukuran besar (menhir itu) bertebaran . Ada beberapa buah yang masih berdiri di tanah. 
Ada yang diukir seperti pada foto di bawah

Kami dikenalkan kepada seorang bapak petugas kepurbakalaan di lokasi itu (sayang aku lupa nama beliau). Beliau bercerita bahwa menhir di lokasi ini terlanjur sudah banyak yang dirusak penduduk untuk dijadikan pondasi rumah. Sampai dikeluarkannya peraturan pemerintah pada tahun 1980 yang melarang masyarakat merusaknya. Tapi masih ada dua lokasi lagi di sebelah utara yang masih terpelihara. Di sana masih berdiri tegak puluhan menhir. Kami tidak pergi ke lokasi itu. 
Bapak itu menjelaskan bahwa pernah ditemukan kerangka manusia dalam posisi duduk di bawah menhir. Beliau menduga bahwa sebagian dari menhir itu mungkin berfungsi sebagai batu kuburan.                  

Berikut ini adalah ikhtisar tentang budaya megalith yang diambil dari Wikipedia;

Kebudayaan Megalith
Antara zaman neolitikum dan zaman logam telah berkembang kebudayaan megalith, yaitu kebudayaan yang menggunakan media batu-batu besar sebagai alatnya, bahkan puncak kebudayaan megalith justru pada zaman logam. Hasil kebudayaan Megalith, antara lain:
  1. Menhir: tugu batu yang dibangun untuk pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang.
  2. Dolmen: meja batu tempat meletakkan sesaji untuk upacara pemujaan roh nenek moyang
  3. Sarchopagus/keranda atau peti mati (berbentuk lesung bertutup)
  4. Punden berundak: tempat pemujaan bertingkat
  5. Kubur batu: peti mati yang terbuat dari batu besar yang dapat dibuka-tutup
  6. Arca/patung batu: simbol untuk mengungkapkan kepercayaan mereka
****                  

Jumat, 04 Desember 2015

Kampung Siapa?

Kampung Siapa? 

Ada sesuatu yang agak rumit bagi anak-anak pada awalnya ketika berbicara tentang kampung. Ketika kepada mereka dijelaskan bahwa Koto Tuo - Balai Gurah itu adalah 'kampung papa'. Mereka agak bingung mendengarnya.  'Berarti kampung kita juga, kan?' celetuk mereka. Lalu dijawab, bukan. Itu bukan kampung kalian, tapi itu adalah kampung / rumah bako kalian.  'Lho, kampung kita dimana?' tanya mereka lagi setengah tak percaya. Cerita atau obrolan berlanjut tentang sistim kekeluargaan matriakhat yang dipraktekkan oleh orang Minang. Kampung mereka (anak-anakku itu) adalah kampung mamanya, yang adalah kampung nenek (ibu dari mamanya). Sementara rumah saudara-saudara perempuan ayah disebut rumah bako.

'Di mana itu? Kok kita tidak pernah pergi ke sana?' desak mereka. 'Kampung asal kalian di Simawang, di tepi Danau Singkarak. Hanya masalahnya, nenekmu tidak pernah tinggal dan menetap di sana, meskipun saudara-saudara sepersukuannya masih ada di kampung itu. Sesuatu yang sekarang sangat lazim, di mana keturunan orang Minang lahir dan besar di rantau dan tidak mengenal kampung halamannya, tapi tidak begitu biasa beberapa puluh tahun yang lalu,' aku mencoba menjelaskan.

Si Bungsu penasaran dengan  keterangan ini. Dia sangat ingin melihat dan mengunjungi kampung asal neneknya. Kampungnya sendiri sebagai orang Minang. Dan kamipun pergi mengunjungi kampung itu. 

Batulimbak namanya di kanagarian Simawang. Melalui jalan mendaki cukup terjal dari Ombilin di pinggir danau Singkarak. Yang bahkan istriku sendiri sepertinya baru sekali itu mengunjunginya. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan siapa-siapa, karena tidak mengetahui tempat yang jelas dari rumah pusaka (tapak perumahan) nenek mereka, meski sudah sempat berkonsultasi dengan seorang saudara yang tinggal di Jakarta melalui telepon. Mungkin usaha kami kurang maksimal, tidak bertanya kepada penduduk kampung itu. Dan kami tidak pula tahu apakah masih ada saudara sepersukuan yang masih tinggal di sana saat ini. 

Kampung yang ditinggalkan oleh warganya memang sangat lumrah. Di kampungku, dari tujuh buah rumah sepersukuan kami hampir keseluruhannya kosong. Hanya satu rumah yang ditempati oleh seorang saudara laki-laki. Kami mengupah seseorang untuk sekedar menjaga dan membersihkan, menyalakan dan mematikan lampu setiap harinya. Rumah ibuku tempat kami menginap selama kunjungan ini, sehari-hari terkunci. Kadang-kadang saja rumah itu kami datangi bergantian.   

Tentang kampung di Simawang itu, sementara ini kami baru berhasil melihat lokasinya secara umum, tapi belum berhasil menemukan tumpaknya secara jelas. Kata si Bungsu, biarlah sementara ini kita 'menompang' saja dulu di kampung bako.  

****        

Minggu, 29 November 2015

Menyusuri Kelok 44

Menyusuri Kelok 44 

Perjalanan kemarin itu adalah untuk lebih memperkenalkan sebagian dari keindahan alam Minangkabau kepada si Bungsu. Sudah cukup lama dia tidak pulang kampung. Terakhir sekali tahun 2000 yang lalu, waktu itu kami juga berkendaraan darat, sehubungan dengan pernikahan seorang kemenakan di kampung. Saking sudah lamanya, si Bungsu tidak begitu ingat tempat apa saja yang kami kunjungi ketika itu.  

Hari Ahad tanggal 15 November kami berangkat dari rumah di kampung jam sepuluh pagi. Tujuan pertama adalah Puncak Lawang. Udara pagi itu cerah. Perjalanan melalui Bukit Tinggi terus ke Padang Lua dan berbelok ke kanan ke arah Ampek Koto lancar-lancar saja. Kami lalui Matua dan berbelok ke kanan ke arah Lawang. Mendaki menuju ke puncaknya. Sebelum memasuki area Puncak Lawang kami dihentikan petugas (ada beberapa orang, berpakaian preman) untuk membayar biaya masuk. Diantara yang harus dibayar adalah biaya parkir. Tapi tidak ada karcis. Aku menanyakan apakah nanti di atas aku akan harus membayar ongkos parkir lagi dan dijawabnya tidak. 

Banyak pengunjung saat itu. Ada rombongan pengendara sepeda motor bernomor polisi BM sekitar dua puluhan motor. Tempat parkir dipenuhi oleh banyak mobil dan motor. Ada yang mengatur parkir di sini. Setelah memarkir mobil di jalan keluar, kami segera naik ke puncak melalui tangga. Pemandangan cukup cerah. Di bawah terlihat hamparan danau Maninjau. Walau sudah berkali-kali mengunjungi tempat ini, tetap saja hati berdecak kagum memandang keindahan ciptaan Allah. Si Bungsu terkesima melihat pemandangan ini. 

Setelah kira-kira setengah jam kami tinggalkan Puncak Lawang. Si petugas tadi benar, kami tidak dipungut lagi biaya parkir. Rupanya memang ada koordinasi petugas-petugas tidak berseragam ini. Hanya sayangnya, kenapa mereka tidak menyediakan karcis tanda masuk dan ongkos parkir.

Selanjutnya kami menuju Maninjau, melalui kelok ampek puluah ampek. Beberapa bulan yang lalu aku melintasi kelok ini dari bawah ke atas. Kali ini kebalikannya. Di setiap kelok patah, ketika ada kendaraan lain dari bawah, kita harus menunggu. Prioritas diberikan untuk kendaraan yang mendaki. Di beberapa buah tikungan masih ada cermin bulat untuk memantau kendaraan dari arah berlawanan. Dulu rasanya hampir di setiap tikungan tajam ada cermin seperti ini. Tapi banyak di antaranya dirusak tangan-tangan jahil.  Si Bungsu menikmati lintasan yang berkelok-kelok tajam ini dengan mata tak berkedip. Aku mengingatkan bahwa nanti di kelok nomor 15 an akan ada rombongan kera di pinggir jalan. Dan tentu saja benar.  

Kami sampai di Maninjau. Sempat mampir di sebuah kedai yang menjual aneka rinuak yang terkenal itu. Palai rinuak Maninjau. Lalu berhenti untuk shalat zuhur di mesjid Bayur. Sebuah mesjid besar, megah dan indah.  

Terus meluncur ke arah Lubuk Basung. Sayangnya sejak dari sini perjalanan ini harus melalui hujan lebat. Kami lalui Tiku dan terus ke Pariaman. Rencananya kami ingin makan siang (terlambat) di Pariaman di kedai nasi yang menyediakan gulai kepala ikan. Sempat berkomunikasi dengan beberapa orang teman menanyakan di mana kami dapat menemukan rumah makan yang khas dengan hidangan tersebut di Pariaman. Ada yang mengatakan di rumah makan Pauah dan ada pula yang mengatakan di kedai nasi di pinggir pantai. Walaupun tidak terlalu yakin bahwa di siang hari begini gulai itu masih ada.   

Rumah makan Pauah tidak kami temukan, meski sudah bertanya-tanya dan sedikit hilir mudik di Pariaman di bawah guyuran hujan. Hampir kami meninggalkan saja kota ini dalam keadaan perut lapar karena tidak sembarang kedai nasipun yang ditemui. Sampai akhirnya terdampar ke kedai nasi di pinggir pantai yang tadi direkomendasikan seorang teman. Aku lupa nama kedai ini, tapi satu-satunya yang berjualan nasi sek (sekepal nasi dibungkus daun pisang). Si Uniang pemiliknya mengatakan kepala ikan hanya tersedia sampai jam sepuluh pagi saja. Kami akhirnya makan dengan gulai ikan. Di saat kami sedang makan terdengar azan asar.

Dari Pariaman kami menuju pulang melalui Sicincin. Hujan gerimis masih turun. Beruntung bahwa lalulintas cukup lancar. Kami sampai di kampung Koto Tuo menjelang waktu isya.

****       

Sabtu, 28 November 2015

Sebuah Perjalanan Safari

Sebuah Perjalanan Safari    

Perjalanan darat ke kampung itu berakhir tadi malam. Alhamdulillaah kami telah sampai kembali dengan selamat, berkat pertolongan Allah, di rumah di Jatibening. Tentu cukup banyak pengalaman dan cerita sebenarnya selama melakukan perjalanan ini. Sebahagian sudah ditulis beberapa waktu yang lalu. Cerita-cerita itu terputus penulisannya ketika kami mendapat musibah, berpulangnya saudara kami WW dengan sangat mendadak di Rumbai - Pekanbaru.

Ringkasan dari perjalanan panjang itu, terutamanya perjalanan kembali ke Jatibening, aku ceritakan sebagai berikut. 

Kami berangkat dari kampung Koto Tuo Balai Gurah, hari Kamis tanggal 19 November yang lalu, jam setengah dua siang. Tujuan kami adalah Pekanbaru. Perjalanan yang lumayan lancar. Berhenti untuk makan siang di Lubuk Bangku sesuai dengan rencana. Makan di Lubuk Bangku ini memang jadi favorit sekaligus nostalgia. Untukku pribadi, cerita nostalgianya kembali ke hampir setengah abad yang lalu, ketika pertama kali aku meninggalkan kampung, ikut dengan kakak sepupu yang membawaku melanjutkan sekolah SMA di Rumbai. Waktu itu setiap kali pergi dan pulang ke kampung, bus yang aku tompangi selalu singgah di sini. 

Perjalanan kami teruskan melalui jalan berliku, melalui jembatan kelok sembilan yang baru. Kondisi fisik jalan umumnya bagus. Lalu lintas boleh dikatakan sepi. Kami dapat melaju cukup kencang. Mampir shalat maghrib sebelum Danau Bingkuang. Lanjut lagi ke Rumbai dan sampai di sana jam setengah delapan malam. Enam jam di perjalanan, termasuk waktu untuk istirahat makan dan shalat, masih terhitung sangat normal dalam menempuh jarak sekitar 220 km ini. 

Tadinya ada rencana untuk berkeliling pula sedikit di Riau ini. Misalnya pergi melancong ke Siak, atau ke Bagan Siapi-api yang agak jauh. Tapi rencana itu batal.

Setelah melewati hari-hari bertakziah (selama tiga malam), kami tinggalkan Rumbai - Pekanbaru pada hari Rabu 25 November untuk kembali ke Jatibening. Berangkat dari Pekanbaru jam setengah tujuh pagi. Atas saran seorang sahabat kami mengambil jalan lintas timur. Jalan ini mulai dari Pekanbaru melalui Rengat dan terus ke Jambi sepanjang lebih dari 450 km. Kondisi jalan cukup bagus. Kita bisa memacu kendaraan dengan kecepatan rata-rata 60 km per jam. Ternyata pemukiman di sepanjang jalan ini cukup rapat. Ada kota-kota kabupaten baru yang belum pernah aku kenal seperti Pangkalan Kerinci. Dan sudah menjadi kota yang lumayan rapi dan ramai penduduknya. Kami melaju melalui Rengat tanpa masuk kota dan berbelok ke kanan di jalan lingkarnya untuk terus ke Jambi. 

Jam empat sore kami sampai di Jambi. Perjalanan diteruskan ke jurusan Palembang. Menurut perkiraan seandainya kami teruskan ke Palembang kami akan sampai di sana sekitar jam sepuluh atau sebelas malam. Aku tidak berniat untuk menyelesaikan jarak itu malam ini. Maksimum sampai jam delapan malam, yang artinya setelah 13 jam lebih menyetir, kami akan mencari tempat menginap. 

Kami sampai di Sungai Lilin jam setengah delapan malam, Jaraknya 620 km dari  Pekanbaru. Di sana kami menginap di sebuah hotel sederhana malam itu. Aku bisa tidur nyenyak. Terbangun menjelang subuh ketika terdengar suara orang mengaji cukup dekat. Aku keluar mencari mesjid. Ternyata mesjid itu terletak di belakang hotel.

Mendekati jam tujuh, sesudah dapat sarapan setangkap roti dan secangkir kopi kami lanjutkan perjalanan. Palembang masih 130 km lagi. Kami lalui jalan yang bergelombang naik turun tapi kondisinya cukup bagus. Sampai kira-kira 30 km menjelang masuk Palembang lalulintas mulai tersendat. Banyak truk besar di hadapan. Kita benar-benar harus bersabar untuk mendahului setiap truk besar itu.

Jam sepuluh kami sampai di Palembang tanpa masuk kota. Singgah di sebuah rumah makan. Sesudah makan mampir lagi di sebuah toko pempek karena si Tengah yang akan pulang minggu depan minta dibelikan 'kapal selam' asli dari Palembang. Perjalanan kami teruskan keluar dari Palembang. Lalulintas tersendat. Bahkan di sebuah tempat terhenti total selama 30 menit. Anehnya, setelah kami melewati tempat itu tidak terlihat penyebab macet total itu. Tidak ada kecelakaan, tidak ada penutupan jalan karena perbaikan. Nah, yang terakhir ini segera kami temukan berikutnya. Ada bagian jalan yang dibeton. Pekerjaan itu dilakukan sebagian-sebagian sehingga jalan harus buka tutup. Tersendat lagilah kami hampir setengah jam pula. 

Kami berhenti untuk shalat zuhur di sebuah mesjid di Kayu Agung. Ada himbauan dari pengurus mesjid ditulis besar-besar agar tidak meninggalkan kendaraan tanpa dijaga. Agar tidak meninggalkan barang berharga dalam kendaraan. Pengurus mesjid tentu tidak main-main dengan himbauan seperti itu. Maka kami tidak mau mengambil resiko. Kami shalat bergantian.

Perjalanan dilanjutkan. Masih dengan masalah yang sama. Harus mendahului iring-iringan truk besar. Pekerjaan ini memerlukan konsentrasi dan cukup melelahkan. Jam setengah tujuh kami sampai di Menggala. Saat itu sedang turun hujan. Aku putuskan untuk beristirahat di kota ini malam itu. Sehari itu kami hanya menempuh jarak 370 km selama 12 jam berkendaraan. 

Hotel di Menggala jauh lebih baik dari yang di Sungai Lilin malam sebelumnya. 

Hari Jumat pagi kami tinggalkan kota Menggala menuju Bakauheni melalui Bandar Lampung. Kami lebih santai. Pagi-pagi ini tidak terlalu banyak truk di jalan. Kami mampir di sebuah rumah makan di jalan lingkar Bandar Lampung. Dan seterusnya berhenti di sebuah kampung sekitar 20 km di luar Bandar Lampung untuk shalat Jumat. Sesudah shalat Jum'at perjalanan diteruskan. Kami sampai di Bakauheni jam setengah dua dan langsung naik ke kapal ferri. Jam dua kapal tersebut berangkat menuju Merak. Perlu waktu 3 jam untuk sampai di pelabuhan di ujung pulau Jawa ini. 

Kami mampir lagi untuk makan di Merak sebelum meneruskan perjalanan pulang. Jam setengah enam kami tingalkan Merak. Aku serahkan stir ke si Bungsu untuk menyelesaikan etape terakhir ini. Alhamdulillaah, kami sampai dengan selamat di rumah di Jatibening jam setengah sembilan malam. Kendaraan kami telah menempuh jarak 3960 km selama pengembaran 18 hari. Kecuali 120 km terakhir, aku yang selalu duduk di belakang kemudi selama perjalanan safari ini.

****                         

Minggu, 22 November 2015

Dari Allah Kita Datang, Dan Kepada-Nya Kita Kembali

Dari Allah Kita Datang, Dan Kepada-Nya Kita Kembali    

Namanya William Wawoh. Dia adalah suami dari adik istriku. Banyak orang yang menanyakan ketika kami berjalan berdua, apakah kami kakak beradik, karena menurut pengamatan orang-orang itu tampang wajah kami mirip. WW asli keturunan Manado, masuk Islam sebelum dia menikahi adik iparku lebih tiga puluh tahun yang lalu. Dia membuat kemajuan demi kemajuan untuk dirinya dalam berislam. Kami sama-sama pergi menunaikan ibadah haji di tahun 2004. Sejak beberapa waktu yang cukup lama dia juga sudah terbiasa melaksanakan shalat fardhu berjamaah di mesjid, dekat tempat tinggalnya di Umban Sari, Rumbai.

Dia mempunyai kegemaran mengendarai mobil jarak jauh. Sudah berkali-kali dia melakukan perjalanan Pekanbaru - Jakarta - Jogya pulang pergi dengan mobil. Lebih kurang dua bulan yang lalu dia melakukan perjalanan yang sama dengan istri dan anak bungsunya untuk route yang sama, setelah mereka gagal bepergian dengan  pesawat udara karena bencana asap tidak memungkinkan pesawat mendarat di Pekanbaru. Rencananya kami akan beriringn dari Jakarta ke Bukit Tinggi dan Pekanbaru di awal bulan November.  Ternyata batal karena kami masih ada masalah yang harus diselesaikan. WW sekeluarga (mereka bertiga) berangkat duluan. 

Kami berangkat sepuluh hari kemudian, melalui Bukit Tinggi dan beristirahat seminggu di kampung. Hari Kamis tanggal 19 November kemarin kami sampai di Pekanbaru. Tepatnya di Umban Sari Rumbai di rumah keluarga WW. Kami berencana akan tinggal di Rumbai sebelum kembali ke Jatibening, yang dijadwalkan mula-mula hari Senin 23 November. 

Sekembali dari perjalanan panjang terakhir, WW agak kurang sehat. Penyakit asmanya agak mengganggu. Meski harus banyak beristirahat, penampilannya sejauh yang terlihat olehku tidaklah serius amat. Kami bisa ngobrol santai. Ada gangguan lain, kakinya agak bengkak. Dia tidak bisa pergi shalat berjamaah ke mesjid. 

Hari Sabtu pagi kami shalat subuh berjamaah di rumah. Aku melihat dia biasa-biasa saja, meski istriku yang shalat di belakangnya melihat dia bernafas agak susah ketika duduk berzikir sesudah shalat. Sesudah shalat subuh, dia beristirahat / tidur kembali. Sebelumnya dia berpesan menyuruh istrinya pergi membeli sarapan ketupat opor ke Pekanbaru. Istrinya pergi ditemani istriku dan anak bungsu mereka. Jam setengah sembilan mereka kembali dan kami mulai sarapan berenam. Aku menanyakan apakah ketupat opor itu tidak terlalu pedas baginya yang dijawabnya, tidak apa-apa. 

Tiba-tiba aku dikagetkan oleh bunyi piring jatuh dan isi piring tumpah. Sesudah suapan kedua, WW tiba-tiba kejang dalam duduknya setelah sebelumnya memanggil istrinya yang duduk persis di sebelahnya. Kami semua kaget dan berusaha mengurut badannya. Dia sudah tidak sadar. Kami berusaha menggotongnya untuk dinaikkan ke mobil untuk melarikannya ke rumah sakit terdekat. Kami berlima tidak kuat dan hanya bisa memindahkannya ke ruang tamu. Aku berlari ke luar rumah mencari bantuan tetangga dan mendapatkan seorang bapak-bapak. Berenam kami mengangkatnya ke mobil. Aku segera melarikan mobil itu ke RS PT CPI di Rumbai. 

Dokter rumah sakit itu bekerja keras mencoba memberi pertolongan. Dokter bersama empat orang pembantunya telah berusaha dengan sungguh-sungguh selama 80 menit. Kami ikut menyaksikan. Akhirnya dokter itu menyerah dan memberi tahu bahwa WW sudah tidak tertolong. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun....    

Begitu cepatnya proses kepergiannya. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya dan menerima iman islamnya.....

****

Rabu, 18 November 2015

Meraun

Meraun    

Sebelum menyetujui untuk ikut si Bungsu menanyakan apa saja program perjalanan ini. Kemana saja akan pergi, tempat-tempat apa saja yang akan dikunjungi. Akupun membuat rencana yang agak rinci. Kita akan mengunjungi Harau, Pagaruyung, Puncak Lawang, Maninjau terus ke Tiku dan Pariaman. Ke Singkarak, mengunjungi kampung Simawang, kampung asal nenek 'mereka'. Tentu saja disertai wisata kulinernya. Dia setuju dan bahkan sangat antusias. 

Kami berangkat dari Sawahlunto jam sembilan pagi hari Jum'at. Aku berniat untuk shalat Jum'at di mesjid Darussalam di Koto Tuo, kampungku. Kami lalui Talawi kampung dan tempat dimakamkan Mr. Muhammad Yamin salah seorang penting dan menteri di jaman pemerintahan presiden Soekarno. Kami lalui jalan berliku dengan pemandangan yang menyejukkan menuju Batusangkar. Lalu melalui Tabekpatah, terus ke Baso dan akhirnya sampai di kampung jam sebelas lebih. 

Sesudah shalat Jum'at kami keluar untuk makan siang. Pilihannya adalah restoran Pondok Baselo di Batang Ayia Katiak, sekitar 3 km dari rumah di kampung. Restoran ini relatif masih baru. Kami agak surprise ketika ditawari apakah mau memilih menu masakan Minang atau Sunda. Pilihan kami tentu saja masakan urang awak. Restoran ini bersih, rapi, dengan rasa masakan yang sesuai dengan selera. Dan dengan harga yang wajar, tidak mahal. 

Berikutnya kami kembali ke kampung, mengunjungi Ma'had Syekh Ahmad Khatib. Berbincang-bincang dengan ustadz Afdil pimpinan Ma'had dan melihat pembangunan asrama santri yang sedang berjalan. Para santri terlihat sibuk dengan aneka macam olah raga seperti sepak takraw, pingpong (dengan meja seadanya), futsal. Terlihat ramai sekali mereka itu.

Malamnya kami ke bofet nasi goreng di Simpang Bukik. Makanan khas disini adalah nasi goreng, mie goreng, mie rebus dan sebangsanya. Tempatnya sebenarnya agak terpencil dan jauh dari kota Bukit Tinggi, tapi usaha ini sudah bertahan bertahun-tahun sebagai bukti bahwa keberadaannya diakui pelanggannya. Si Bungsu tertawa mendengar istilah bofet yang artinya rumah makan yang tidak menyediakan nasi dengan aneka lauk pauk. Kalau yang terakhir ini di sebut lepau nasi atau rumah makan. 

Hari Sabtu kami mulai pergi meraun. Sudah agak siang kami berangkat. Berhenti dulu untuk shalat zuhur di sebuah mesjid di Payakumbuh. Mula-mula ke Lembah Harau. Lembah dengan dinding batu tegak lurus dan air terjun ini selalu indah untuk dilihat. Si Bungsu terkagum-kagum. Tidak banyak pengunjung siang itu dan kamipun tidak berlama-lama di sana. 

Perut sudah terasa lapar. Kami kembali ke arah Payakumbuh dan terus ke Situjuah. Ke sebuah rumah makan yang katanya terkenal dengan pongek Situjuah dan gulai kambingnya. Aku menilai hidangan di rumah makan ini lumayan enak, tapi istriku kecewa ketika mendapatkan pongek Situjuah ternyata hanya pangek nangka muda tanpa dicampur daging atau ikan. 

Dari Situjuah kami melanjutkan perjalanan ke Pagaruyung, mengunjungi istano basa. Istriku yang bermasalah dengan lututnya tidak berminat ikut masuk ke dalam istano itu, karena beberapa bulan yang lalu kami juga sudah berkunjung ke sini. Dia menunggu di tempat parkir mobil sementara aku dan si Bungsu memasuki rumah gadang. Si Bungsu cukup antusias. Kami melihat-lihat bagian belakang (dapur) dan setelah itu naik ke lantai dua. Banyak pengunjung berfoto-foto dalam pakaian marapulai anak daro.  Setelah kira-kira setengah jam berada di dalam istano basa itu kamipun keluar. 

Dari Pagaruyung kami kembali ke arah Batusangkar dan terus ke arah Padang Panjang. Kami mengelilingi gunung Marapi. Kenapa lewat jalan itu? Karena kami akan makan malam di rumah makan Aie Badarun yang terletak di luar kota Padang Panjang arah ke Bukit Tinggi.

Meraun hari itu berakhir jam sembilan malam.

****

Senin, 16 November 2015

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (3)

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (3)   

Salah satu usaha untuk bisa bertahan segar dalam melakukan perjalan seperti yang sedang kami lakukan (lebih khusus untukku yang memegang kemudi), adalah segera mandi saat terbangun pagi. Alhamdulillah, metoda ini cukup terbukti untukku. Pagi itu aku terbangun sebelum jam empat. Sesudah mandi, ketika aku sedang shalat terdengar suara orang mengaji yang diputar dari kaset, sangat dekat sekali. Aku putuskan untuk mendatangi mesjid itu untuk shalat subuh. Aku turun ke lantai dasar dan bertanya kepada petugas hotel di mana letak mesjid yang terdekat. Petugas itu menunjuk ke arah belakang. Setengah tak percaya aku melangkah ke bagian belakang hotel tersebut. Ternyata benar, ada sebuah mesjid tidak terlalu besar tapi megah dan indah, masih di pekarangan hotel. Tidak percuma hotel ini berlabel 'syariah'. Sayang jamaah shalat subuh pagi itu tidak sampai sepuluh orang.

Setelah sarapan, sebelum jam tujuh kami berangkat meninggalkan hotel. Bagian yang akan kami lalui hari ini harusnya lebih mudah. Jalan antara Lubuk Linggau sampai ke Sawah Tambang dekat Sawahlunto, sepanjang lebih dari 500 km ini, dibangun oleh kontraktor Korea dan Taiwan di tahun tujuhpuluhan. Jalannya relatif lurus (sedikit sekali belokan). 

Ternyata jalan yang sudah berumur hampir setengah abad ini masih bagus. Tentu saja karena dipelihara dengan baik pula. Kami bisa melaju dengan kecepatan 100 km perjam, karena jalan ini relatif sepi. Berturut-turut kami lalui kota Sarolangun (169 km dari Lubuk Linggau), Bangko (76 km dari Sarolangun) dan Muaro Bungo (79 km dari Bangko). Jam setengah dua belas kurang kami sampai di Muaro Bungo.

Beberapa kali berkendaraan mobil lewat jalan darat ini, kami selalu mampir di restotan Simpang Raya di Muaro Bungo. Masakannya sangat sesuai dengan selera, terutama ayam popnya. Karena konon, penemu ayam pop itu adalah restoran Simpang Raya. Siang itu rencanya kami akan singgah di restoran yang sama. Aku agak lupa lokasinya. Kami berhenti di pinggir jalan, dan bertanya kepada seorang bapak yang sedang lewat. Rupanya restoran tersebut sudah tidak ada. Sayang sekali. Kami mencari restoran Padang lain.

Sesudah makan dan shalat zuhur kami lanjutkan perjalanan. Hari jam setengah satu siang. Target berikutnya adalah Sawahlunto. Jarak ke Sawahlunto sekitar 240 km. Kalau perjalanan sama lancar seperti dari Lubuk Linggau, in sya Allah kami akan sampai sekitar jam empat sore di sana. 

Ternyata agak meleset. Pertama karena ada perbaikan jalan begitu keluar dari Sungai Dareh. Satu ruas kecil jalan sedang dibeton. Hanya separo jalan yang digunakan sehingga lalu lintas diatur dengan sistim 'buka tutup'. Di depan kami ada antrian berbagai macam mobil, terutama truk-truk besar. Beruntung bahwa kami tidak terlalu lama tertahan. Rintangan berikutnya adalah hujan lebat. Di bawah guyuran hujan aku harus lebih berhati-hati sekali. Lalu-lintaspun terlihat semakin ramai baik yang searah maupun yang berlawanan arah. 

Jam setengah enam kami sampai di Santua, Sawahlunto, di rumah kakak istriku. 

**** 

Minggu, 15 November 2015

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (2)

Pulang Kampung Melalui Jalan Darat (2) 

Aku terbangun jam empat kurang seperempat. Langsung mandi dan bersiap-siap untuk shalat subuh. Aku memperkirakan waktu subuh di sini sekitar jam setengah lima kurang. Karena tidak ada petunjuk arah kiblat di kamar aku keluar ke mushala hotel yang sangat sederhana untuk shalat witir sambil menunggu waktu subuh. Tidak ada terdengar suara kesibukan mesjid di dekat hotel ini. Jam setengah lima aku kembali ke kamar dan shalat berjamaah bertiga. Setelah itu kami harus menunggu jam enam untuk sarapan.

Kami berangkat meninggalkan hotel jam tujuh kurang. Mampir mengisi bensin sebelum melanjutkan perjalanan. Mulanya target berikut adalah kota Bangko. Tapi sepertinya aku salah hitung. Bangko hampir 700 km jaraknya dari Kotabumi, sementara kami hanya akan jalan di siang hari. Jadi mustahil untuk sampai di Bangko sore ini. 

Mungkin karena masih pagi, jalan lumayan sepi. Aku bisa memacu mobil kami sampai masimum 80 km perjam. Kami lalui Bukit Kemuning, Martapura, Baturaja. Di Baturaja kami terhalang hampir seperempat jam di pintu kereta api menunggu kereta api pengangkut batubara lewat. Kereta api itu sangat pelan sekali jalannya dan sangat banyak gerbong batubara yang ditariknya. 

Yang agak mengesalkan bagiku adalah hampir tidak ada tanda / batu petunjuk jarak di pinggir jalan di sepanjang perjalanan ini. Kita selalu berada 'at the middle of no where'. Kita mencoba mengetahui keberadaan kami dengan bantuan GPS hapenya si Bungsu, yang sayangnya sering kehabisan baterai.  Sebelum masuk waktu zuhur kami berhenti di sebuah mesjid sebelum Muara Enim. Mesjid yang bersih dengan air yang banyak. Setelah shalat kami makan siang dulu di sini. Rupanya ada yang terlupa menceritakan. Kami membawa bekal nasi dan lauk pauk dari rumah. Ini meniru cara kami melancong di Perancis. Nasi disiapkan untuk dua hari di jalan.

Sebelum dan sesudah Muara Enim ada perbaikan jalan. Setelah Muara Enim ada bagian jalan yang sudah dikeruk aspalnya di bagian yang rusak tapi belum dirapikan dengan aspal baru. Bagian yang dikeruk itu berbentuk persegi panjang dan cukup banyak. Di jalan seperti ini kita terpaksa berjalan perlahan-lahan.   

Setelah Muara Enim kami lalui Lahat. Di sini kami mengisi bensin lagi. Seterusnya Tebing Tinggi. 15 tahun yang lalu aku ingat betul kota ini masih sebuah kampung atau mungkin kota kecamatan yang sangat sepi. Tahun 2000 yang lalu kami pernah ingin berhenti dan istirahat di sini karena sudah jam tujuh malam, tapi tidak ada penginapan. Akhirnya kami terpaksa melanjutkan perjalanan ke Lubuk Linggau. Tapi Tebing Tinggi sekarang rupanya sudah diperluas sebagai ibukota kabupaten baru, meski sebagian besar masih hutan. Ada jalan lingkar yang harus dilalui.Dan ada pemukiman-pemukiman yang kelihatan masih baru. Keluar dari Tebing Tinggi mengarah ke Lubuk Linggau ada beberapa bagian jalan yang rusak tapi tidak banyak. Kami berhenti di kampung Aer Beso, untuk shalat maghrib. 

Hampir jam setengah delapan kami sampai di hotel Hakmaz Taba di Lubuk Linggau. Sebuah hotel dengan label 'syariah'. Sebuah hotel yang lumayanlah untuk beristirahat malam itu, sesudah menyetir selama 12 jam.

****