Sabtu, 21 Juli 2012

Shaum Ramadhan

Shaum Ramadhan

Di tempat aku bekerja, ada seorang karyawan wanita, orang Lombok, beragama Hindu. Dia rajin berpuasa. Puasa setiap hari Senin dan setiap bulan purnama lalu setiap bulan mati alias akhir bulan. Puasanya sama seperti puasa kita orang Islam. Artinya selama puasa dia tidak makan dan minum sama sekali. Kapan puasa itu dimulai dan kapan pula diakhiri, aku pernah bertanya. Praktis sejak masuk tidur di waktu malam sebelumnya, sampai saat terbenam matahari. 

Ada juga kawan sekantor dulu yang beragama Katholik. Ada hari-hari tertentu dia juga berpuasa. Tapi puasa mereka hanya tidak makan saja. Minum tidak dilarang.

Berpuasa adalah ibadah 'tua', yang sudah disyariatkan Allah kepada umat-umat terdahulu. Sebagaimana firman Allah bahwa puasa itu 'telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu'.   

Shaum Ramadhan adalah rukun Islam. Tidak sah Islam seseorang kalau dia meninggalkan puasa Ramadhan tanpa uzur. Dan pelaksanaan puasa itu dijelaskan sejelas-jelasnya dalam al Quran. Waktunya di bulan Ramadhan. Jadwalnya setiap hari sejak waktu fajar, sejak bisa dibedakan benang putih dan benang hitam di dalam gelapnya ujung malam. Diakhiri saat awal malam alias saat matahari terbenam. Sesudah matahari terbenam, atau diwaktu malam, kita diperbolehkan makan minum dan bercampur dengan istri. 

Kapan hari shaum itu dimulai? Jika kamu melihat hilal (awal Ramadhan) maka berpuasalah, begitu pula jika kamu telah melihat hilal (awal Syawal) berbuka atau berhari rayalah. Begitu perintah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Pada kesempatan lain beliau menyampaikan bahwa 'kita adalah umat yang ummi, yang tidak pandai menghitung awal dan akhir peredaran bulan.' 

Seharusnya perkataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam yang terakhir ini dijadikan tantangan kepada anggota umat yang datang kemudian, untuk tidak terus-terusan menjadi umat yang ummi. Dan telahpun diamalkan. Sudah sejak lama hadir para ahli ilmu falak di tengah umat Islam. Beliau-beliau yang yang telah mempelajari dan menguasai ilmu hisab. Menghitung saat peredaran matahari dan bulan untuk menentukan waktu-waktu yang mutlak diketahui untuk kepentingan beribadah dalam Islam. Seperti waktu shalat, waktu awal puasa Ramadhan, waktu melaksanakan ibadah haji. Kalau di awal datangnya Islam waktu shalat diukur dengan kenampakan alam, menyingsingnya fajar untuk waktu subuh, tergelincirnya posisi matahari untuk waktu  zhuhur, lebih panjang bayang-bayang dari badan untuk waktu asar dan seterusnya. Sekarang semua itu sudah ditentukan dengan ukuran jam, menit dan detik, setelah waktu-waktu shalat itu dihisab, dihitung oleh ahli falak. Tidak ada lagi orang mengintip terbitnya fajar di waktu subuh. Atau mengukur panjang bayang-bayang di waktu asar.  Dan kita mengerjakan shalat pada waktunya.

Tapi, entah kenapa, sebagian 'kita' masih keukeuh harus melihat posisi hilal di awal bulan untuk menentukan masuknya bulan Ramadhan atau Syawal. Melihat anak bulan di hari pertama yang kehadirannya hanya beberapa menit dan ukurannya lebih halus dari sehelai benang, dengan resiko langit tertutup awan, masih terus dipertahankan. Padahal posisi itu bisa dihitung alias dihisab.  Dan agak lucunya lagi, jika posisi bulan menurut hisab kurang dari 2 derajat bujur langit, maka bulan itu mustahil terlihat dan oleh karenanya dianggap belum ada. Bahasa yang agak terbalik-balik. Diakui secara hisab posisinya masih kurang dari dua derajat. Artinya ilmu hisab diperhitungkan juga. Karena dua derajat itu terlalu kecil lalu dimustahilkan untuk terlihat. Tapi kebalikannya, bukankah dua derajat itu artinya sebenarnya anak bulan itu sudah hadir?

Pertanyaannya selalu saja mbulet seperti itu. Dari tahun ke tahun. Dan akibatnya, umat Islam selalu saja terpecah, berdahulu berkemudian melaksanakan shaum Ramadhan. 

Tapi ya sudahlah. Marilah kita jalani saja Ramadhan tahun ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan di penghujungnya nanti kita berhasil meraih predikat taqwa yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta'aala.

*****          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar