Cicak Di Dinding Dan Keyakinan Utuh
Oleh: Salim
A. Fillah
BARANGSIAPA memperbagus hal-hal tersembunyinya,
niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia. [Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz]
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia. [Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz]
Seandainya
kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah,
Kau salah rancang dan keliru cetak!” Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap
meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang
ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana.
Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin
begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban
saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang
di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi
seekor cicak.
Tapi mari
ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita
mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di
Dinding’.
Bahwa tugas
cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah
yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak
yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang.
Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.
“Datang
seekor nyamuk.”
Allah Yang
Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya
tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama
sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui
kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi
makhluqNya amatlah mudah.
“Datang
seekor nyamuk.”
Allah yang
mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap,
perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih
berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah
dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah
bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir
dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati
rizqi selama waktu yang ditentukanNya.
“Dan tiada
dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya.
Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya
tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)
“Daabbah”,
demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili
binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara
bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat
ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk
menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan
berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.
***
“Sesungguhnya
rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal
terhadapnya.”
Ini kisah
sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan
mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta.
Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang
bergolak.
Setelah
terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur,
menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di
Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur
sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan.
Penunaian tugasnya kian dekat.
Tiap kali
terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar
bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang
kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung
dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang
tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut
ladang garam.
Dan dia
terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan.
Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon
mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan
dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa
dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.
Ringkasnya,
setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum
akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota,
baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh
pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang
ditujunya. Kian dekat, makin rapat.
Ketika
seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang
diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia
ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar
suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu,
bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului
doa.
Segala puji
bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah.
Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah
perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa
bagi tunainya tugas yang diembannya.
***
Betapa
jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari
adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap
hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang
kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu
gugat.
Padahal,
hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta
sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui
pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil
upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan
sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah
katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah
batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?
Maka seorang
‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja,
“Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan.
Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!” Dia
mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya
bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim,
“Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”
Akhirnya,
mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana
rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah
engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk
mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk
menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul
untuk menemuimu.”
Di
lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah
Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar