Sabtu, 05 Juli 2014

Cicak Di Dinding Dan Keyakinan Utuh (Dari Hidayatullah.com)


Cicak Di Dinding Dan Keyakinan Utuh

Oleh: Salim A. Fillah  

BARANGSIAPA memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia. [Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz]

Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!” Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

“Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.

***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.
Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.
Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.

***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.

Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!” Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar