Jumat, 14 Juni 2013

Kunjungan Ke Malaysia (4)


Kunjungan Ke Malaysia (4)  

Sore itu aku telepon kembali Prakash, minta tolong dicarikan lagi mobil untuk pergi ke Sri Menanti di Negeri Sembilan hari Minggu besok. Dia bilang untuk kesana ongkosnya RM 450. Aku tidak setuju dengan harga itu dan minta dia mencarikan mobil yang sama dengan sewa mobil si Suresh. 'Tidak mungkin bisa pak,' katanya. 'Jaraknya lebih jauh dari ke Genting Highland.' Aku tetap ngotot minta tolong dicarikan mobil dengan sewa tidak lebih dari RM 300. Kalau tidak dapat juga, mungkin kami akan mencoba naik kereta api besok.

Sesudah shalat maghrib ada yang menelepon. Aku sangka si Prakash tapi ternyata bukan dia. Orang ini bertanya apakah benar aku ingin menyewa mobil untuk pergi ke Negeri Sembilan. Aku mengiyakan. Dia bertanya lagi, apakah aku mau naik taksi. Aku agak bingung. Apakah maksudnya taksi dengan argometer dijalankan. Dia jawab, tidak. Bapak bayar RM 300 untuk pergi sampai ke Sri Menanti di Negeri Sembilan, katanya. Dalam hati aku pikir boleh juga usulan ini. Tapi tunggu dulu. Apakah taksinya sebuah mobil tua? Aku membayangkan kalau-kalau taksi itu Proton Saga tua, seperti taksi yang pernah ada di Jakarta tapi sudah tidak beredar lagi itu.  Dia bilang, taksi baru. Baru empat bulan jalan, katanya. Aku berusaha usil dan menawar RM 250. Tidak tahunya, alhamdulillah, setelah tawar menawar sebentar akhirnya dia setuju. Hebatnya lagi, beberapa menit kemudian dia mengirim sms dengan berita konfirmasi bahwa sudah saling disetujui, mobil dengan pengemudi bernama Kamal akan mengantar kami besok sampai ke Sri Menanti, dengan biaya RM 250.

Jam sembilan kurang seperempat hari Minggu pagi aku ditelepon oleh Kamal, mengatakan bahwa dia sudah sampai di hotel. Kami segera turun. Tadinya aku mengira Kamal ini orang Melayu dan bahkan mungkin orang Minang. Ternyata dia seorang India Muslim.


Kami langsung berangkat menuju ke selatan. Cuaca agak mendung di pagi itu. Bahkan sempat turun hujan di jalan yang kami lalui. Kamal seorang yang banyak cerita. Jauh lebih ramai dari sopir kemarin. Kami bercerita tentang politik. Tentang partai di Malaysia, tentang pilihan raya umum yang diadakan beberapa minggu yang lalu.

Dia bercerita bahwa dia belum pernah pergi ke Sri Menanti. Tapi tahu dimana kira-kira letaknya. Aku bilang, ya baguslah. Tentu tidak akan susah mencarinya.

Dalam hati aku mengagumi jalan raya (tol) yang mulus dan tidak macet ini. Pemandangan di kiri kanan jalan bergantian antara hutan dan kelapa sawit. Lebih kurang satu jam berkendaraan kami sampai di Seremban, ibukota negeri Sembilan. Di sebuah penunjuk jalan terbaca olehku  'Makam Tuanku Tambusai 6 km'. Aku minta agar Kamal mencari makam itu. Aku ingin berziarah ke makam pahlawan perang Paderi itu.
Kamal berusaha mencari makam itu, tapi petunjuk kesana hanya satu kali yang tadi itu saja. Kami sempat berputar-putar dan bertanya, tapi makam itu tidak bertemu. Aku bilang sudah saja, kalau tidak ketemu tidak apa-apa.

Kami dibawa singgah ke Komplek Taman Seni Budaya dengan arsitektur Minangkabau seperti gambar di sebelah ini.

Tapi sementara itu terjadi sesuatu keanehan diluar rencana. Kamal tiba-tiba komplain bahwa jalan ke Sri Menanti jauh dan tidak jalan tol. Jalannya sempit. Dia tiba-tiba merasa keberatan untuk mengantar kesana. Padahal, menurut dia pula, jaraknya lebih kurang empat puluh kilometer lagi saja. Kalau harus pergi sampai kesana, harga sewa yang sudah disepakati harus ditambah.

Wah, ini sesuatu yang agak mirip-mirip dengan di suatu tempat di negeri antah berantah. Aku bilang bahwa aku tidak akan menambah apa yang sudah disepakati. Aku perlihatkan sms temannya yang aku terima tadi malam. Dia berbicara dengan temannya tersebut (katanya bernama Salim) dalam bahasa India. Kamal bilang  bahwa Salim ingin berbicara denganku.  Aku menerima telepon itu. Salim minta-minta maaf, dan meminta agar biaya ke Sri Menanti ditambah 'sedikit' lagi. Aku bilang tidak. Kalian yang lebih tahu dariku berapa jauh letak Sri Menanti itu dari KL, aku tidak tahu. Lalu ketika harga sewa sudah disetujui, aku tidak akan mau merobahnya.

Tapi untunglah akhirnya Kamal mau  meneruskan perjalanan. Dia katakan bahwa Salim temannya itu sebenarnya yang salah, karena tidak memeriksa dengan jelas berapa jarak ke tujuan sebelum menetapkan harga. Aku bilang, bukankah dari tadi kamu sudah tahu tujuan kita. Katanya, dia pikir ada jalan tol sampai kesana.

Kami meneruskan perjalanan. Alhamdulillah suasana segera cair, setelah aku dengan sederhana mengatakan bahwa aku sebagai tamu tidak tahu dimana letak Sri Menanti tapi dengan sangat jelas meminta diantarkan kesana, dan disepakati ongkosnya. Aku pegang kesepakatan itu saja.         

Jalan ke Sri Menanti itu ternyata sangat mulus meski bukan jalan tol.  Kadang-kadang jalan itu terletak di antara dua bukit dengan hutan perawan. Tidak sampai satu jam kemudian kami melihat petunjuk jalan menuju istana Sri Menanti. Kami berbelok menuju arah yang ditunjukkan. Jalan itu mendaki, mengecil dan sepi. Tidak ada rumah atau bangunan apa-apa di kiri dan kanan jalan. Kami sampai di ujung jalan yang ditutup oleh pagar berkunci gembok. Di belakang pagar terlihat sebuah bangunan tembok berwarna putih tapi sepi sekali. Tidak ada satu orang pun disana.


Kami kembali ke jalan keluar. Mendekati jalan raya sebelum berbelok tadi. Ada petunjuk ke arah musium dan istana. Kami menuju kesana. Kali ini ternyata salah lagi. Sebuah bangunan yang kami duga sebagai musium ternyata sebuah sekolah. Ada seorang petugas di sekolah itu yang menunjukkan lokasi musium.

Terlihat ada beberapa buah bangunan beratap gonjong di dekat tempat yang ditunjukkan itu. Bangunan itu jelas bukan musium. Dan tidak ada orang.


Di dekatnya ada  mesjid sultan yang sekali lagi, sayang pagarnya ditutup.

Agak terpisah ada jalan lain menuju istana. Kali ini agaknya istana yang sesungguhnya. Tapi jalan itupun ada pagar yang tertutup dan dikunci pula. Di dalam terlihat taman yang tertata rapi di kiri dan kanan jalan jalan menuju istana yang tampak di kejauhan. Kelihatannya istana ini tidak untuk dikunjungi turis atau orang yang datang sekedar melihat-lihat seperti kami saat itu.

Foto di samping ini adalah istana Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan yang sesungguhnya. Ada bangunan lain di latar depan yang tidak diketahui apa kegunaannya.

Ada pengumuman di luar pagar menjelaskan siapa dengan tujuan apa saja yang bisa datang menghadap Yang Dipertuan Besar.

Kami hanya mengambil foto dari luar pagar. Istana ini juga tidak ada penjaga atau pengawalnya untuk tempat bertanya. Jadi kami segera berlalu pula.

Akhirnya kami sampai di istana lama yang sekarang dijadikan musium. Istana kayu yang dibangun di awal abad kedua puluh.

Kami masuk ke dalam istana yang musium ini sesudah mengisi buku tamu. Seorang tua petugas buku tamu itu menyapa kami dengan bahasa Minang. Inilah dia. Akhirnya kami sampai juga di negeri balahan orang Minangkabau ini.

Musium itu ditata seolah-olah masih ditempati oleh raja. Istana yang tidak gemerlap-gemerlap sangat. Ada mahligai, tempat tidur, ruang makan dengan meja makan lengkap dengan piring dan cawan seolah-olah akan digunakan untuk jamuan makan. Sayang di dalam ruangan istana itu dilarang mengambil foto.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar