Selasa, 17 Mei 2011

Jujur.....

Jujur........

Sabda Nabi SAW; Innamaa bu'itstu maqaadimal akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak). Dan Beliau SAW mencontohkan bagaimana akhlak yang prima dan baik itu. Beliau beserta para sahabat beliau yang terdekat menunjukkan bagaimana akhlak yang luhur, sikap jujur, amanah, terpercaya, tidak usil, tidak suka menyakiti orang lain, tidak zhalim dan serentetan panjang lagi sifat-sifat mulia yang berhubungan dengan akhlaqul karimah. Akhlak yang mulia.

Ingin aku membahas satu saja, yakni tentang jujur. Jujur artinya..... apa ya? Sampai-sampai aku silau dengan makna kata-kata jujur. Tapi paling tidak mungkin dapat diartikan...... Lurus, terpercaya tidak khianat, tidak zhalim kepada orang lain, tidak merugikan orang lain baik orang itu sadar atau tidak sadar. Dan ternyata untuk menjadi orang yang jujur ini sekarang tidak mudah. Tidak mudah karena banyak sekali godaan. Banyak sekali alasan yang menjadikan orang tidak lurus. Menjadikan orang berkhianat. Menjadikan orang tidak amanah.

Hari Jumat kemarin aku mendengar khotbah tentang contoh kejujuran yang lebih terpelihara di negeri orang, yang justru bukan negeri orang Islam. Sang khatib bercerita, bahwa dia berkesempatan mengunjungi kota Tokyo, meski dia tidak pandai berbahasa Jepang. Repotnya, hampir mustahil menemukan orang Jepang di jalanan yang pandai berbahasa Inggeris, terlebih-lebih di antara sopir taksi. Beliau ini lalu meminta tolong kepada kenalannya yang faham bahasa Jepang untuk menuliskan permohonan untuk mengantarkan ke suatu tempat, serta menuliskan pula permohonan untuk mengantarkan kembali ke tempat dia menginap. Dengan bermodalkan secarik kertas kecil itu dia tidak perlu repot-repot, cukup menunjukkan kertas itu kepada sopir taksi. Dan diapun diantarkan ke tempat tersebut yang ternyata cukup jauh. Sesampai disana, dibayarnyalah ongkos taksi sesuai dengan jumlah yang tertera di argometer. Si sopir mencoba menjelaskan dengan bahasa tarzan, bahwa jarak yang ditempuh itu seharusnya tidak sejauh itu karena alamat yang dituju itu tadinya meragukannya, dan dikiranya alamat lain yang ternyata adalah nama sebuah bangunan, bukan nama jalan yang dituju. Si beliau ini terbingung-bingung tidak mengerti. Si sopir kembali menggambarkan dua buah garis, yang satu lurus, yang satu berbelok-belok. Untuk garis lurus sopir itu menunjuk kepadanya, dan untuk garis berbelok-belok dia menunjuk ke dirinya sambil membungkuk. Seolah-olah minta maaf. Barulah beliau agak faham maksudnya ketika sopir taksi mengembalikan ongkos taksi separo dari yang tertera di argometer. Inilah sebuah contoh kejujuran, menurut sang khatib.

Aku teringat suatu ketika beberapa tahun yang lalu naik taksi pula dari Bukit Tinggi ke Bandara Tabing. Taksi di Bukit Tinggi tidak mau menggunakan argometer dan harus ditawar-tawar. Adik iparku yang mencarikan taksi itu memberi tahu bahwa sewa taksi yang akan dibayar sampai di Bandara nanti adalah Rp 90,000. Waktu itu ongkos taksi dari Tabing ke Bukit Tinggi Rp 90,000. 

Kamipun berangkatlah menuju Padang dan mampir di sate mak Syukur. Makan sate melepas teragak. Sopir taksi itupun aku ajak makan sate, dan diterimanya meski dia minta duduk di tempat terpisah. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan ke Tabing. Di sana aku serahkan selembar uang kertas Rp 100,000. Apa kata sang sopir? 'Alah pas se komah pak. Tadi awak maleh jo apak di Bukik tu, pakai baago-ago banalo dek nyo.' (Sudah pas sebegini ini pak. Tadi saya malas menjawab bapak di Bukit Tinggi itu yang menawar-nawar). Aku tidak merasa perlu bertengkar dengannya. Hanya mengurut dada saja. Sampai disinilah tingkat kejujuran orang ini, kataku dalam hati.

Begitulah. Ternyata akhlak yang mulia seperti kejujuran itu rupanya bisa menempel pada seseorang meski dia bukan seorang muslim tapi dia bisa luntur bahkan terkikis dari seseorang yang padahal adalah seorang muslim.

*****         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar