Sabtu, 28 Januari 2012

Anak Ujung Emas

Anak Ujung Emas

Anak dari saudara laki-laki biasa disebut anak ujung emas oleh anggota kaum persukuan  dalam tatanan kekeluargaan Minangkabau. Biasa juga disebut anak pisang. Entah kenapa demikian istilahnya, aku tidak terlalu paham. Maksudnya, seperti, misalnya anak-anakku, oleh saudara sepersukuanku disebut sebagai anak ujung emas atau anak pisang itu. Kaum keluarga sepersukuan ayah, disebut bako oleh anak-anak. Yang artinya lagi, semua anggota kaum sepersukuanku adalah bako bagi anak-anakku. 

Sepuluh hari yang lalu, seorang saudara sepersukuanku menelpon, memberi tahu bahwa anak ujung emas kami yang tinggal dan menetap di Jeddah, datang bersama suami, dua orang puteri dan lima orang cucu-cucunya. Ini mungkin kunjungan ke empat atau ke lima kalinya baginya ke Indonesia. Hubungan kekerabatan kami menjadi semakin akrab dari tahun ke tahun lebih-lebih sejak sepuluh tahun terakhir.  Tahun 2001 yang lalu aku pergi umrah beserta ibu, istri dan anak-anakku, kami mampir di rumah mereka di Jeddah. Dan kami dijamu dengan penuh keakraban ketika itu. Waktu giliran mereka yang datang ke Indonesia, kamipun menjamu mereka dengan baik. Saling berbalas kunjungan ini terjadi berkali-kali.

Waktu sang sepupu memberitahu tentang kedatangan mereka hari Selasa dua minggu yang lalu, aku langsung menetapkan hari Rabu malam untuk mengajak mereka ke rumah. Masalahnya, hari Jum'at aku berencana untuk ke kampung, untuk urusan pondok pendidikan yang kami bina di sana, dan hari Kamis malam aku perlu sedikit persiapan sebelum berangkat ke kampung. Tawaranku langsung diterima tanpa masalah.

Hari Rabu malam itu kami berkumpul di rumahku, disertai adik-adik dan sepupu-sepupu yang lain. Dalam suasana akrab meski komunikasi alias bahasa tidak terlalu lancar (suaminya bisa berbahasa Indonesia terpatah-patah, kedua anak perempuannya bisa berbahasa inggeris juga ala kadarnya, sementara di antara kami, hanya sepupu yang memberi tahu kedatangan mereka itu saja yang bisa berbahasa Arab sedikit-sedikit). 

Ketika mengetahui bahwa aku akan pulang kampung hari Jumat, mereka meminta ikut. Alhamdulillah, dengan gerak cepat, salah satu adikku berhasil mendapatkan tiket untuk mereka sembilan orang untuk hari Jumat. Bukan di pesawat yang sama denganku, karena aku akan berangkat jam 6 sore dari Bandara Soeta. Rombongan itu akan ditemani adikku. Ternyata penginapan di Bukit Tinggi penuh, berhubung karena hari libur panjang berikut hari tahun baru Cina. Kata sepupu yang menjemputnya, kalau penginapan tidak ada, ajak saja tidur di rumah di kampung. Aku agak ketar-ketir, karena rumah asli bakonya itu adalah rumah tinggal, dalam arti kata tidak ada yang mengurus. Ada seorang orang tua, orang kampung kami yang tinggal di bagian belakang rumah itu, sementara bagian utamanya lebih sering terkunci. Aku menelpon adikku yang tinggal di Pakan Baru dan menyuruhnya pulang ke kampung, untuk berusaha membersihkan rumah itu sebisanya. Dia pun pulang tergopoh-gopoh dengan suami, seorang anaknya dan seorang cucunya pula. 

Untunglah, di saat-saat terakhir hari Kamis aku mendapatkan informasi dari adik ipar (yang pegawai PLN Bukit Tinggi), dia berhasil mendapatkan tempat untuk 3 buah kamar di mess PLN di Bukit Tinggi, yang memang biasa disewakan kepada umum.

Hari Jum'at yang ditentukan mereka berangkat lebih awal, sementara aku berangkat sesuai jadwal jam 6 sore. Dan tujuan pertamaku adalah menginap di Padang untuk keperluan berobat, lalu hari Sabtu berikutnya baru ke kampung.

Aku senantiasa memonitor keberadaan rombongan itu melalui adikku yang menemani mereka. Yang mengagetkan, hari Jumat malam itu, mereka memilih untuk menginap di rumah di kampung. Melalui kepala sekolah yang pandai berbahasa Arab, aku mencoba menjelaskan kepada mereka bahwa ada tempat menginap yang lebih baik dan lebih terurus di Bukit Tinggi untuk mereka. Namun, suami dari anak pisang kami itu, memutuskan bahwa dia dan rombongan akan menginap di rumah itu saja, setelah mengetahui bahwa ayah mertuanya (yang adalah mamak kami), pernah menginap di rumah itu. 

Demikianlah, akhirnya mereka menginap di rumah kampung yang sederhana itu selama tiga malam. Berkunjung ke pondok, melihat kegiatan murid pondok dan shalat maghrib berjamaah bersama mereka. Mereka dibawa adikku berkeliling-keliling ke Puncak Lawang, Ke Singkarak, ke Sungai Janiah, ke Harau. Bahkan cucu-cucu mereka ikut memancing di tabek dengan cucu kami (cucu adikku yang dari Pakan Baru). Berkomunikasi alakadarnya, tanpa masalah. 

Dari kampung mereka melanjutkan liburan ke Bali. Tadi malam aku menemui mereka di Taman Bunga Puncak. Mereka menyewa sebuah rumah / bungalow untuk dua malam di sana. Mereka mengajakku untuk menginap di situ yang dengan sangat menyesal aku tolak karena ada keperluan lain pagi ini.

*****

                          

Jumat, 27 Januari 2012

Macetnya (karena) Pemogokan

Macetnya (karena) Pemogokan 

Orang yang tinggal di daerah timur Jakarta dan biasa menggunakan jalan tol Cikampek, ke arah Bekasi dan lebih ke timur lagi, pastilah sangat kesal pada sore hari kemarin. Jalan tol bebas hambatan itu (meski kata-kata bebas hambatan nyaris-nyaris musykil di Jakarta dan sekitarnya) kemarin tersumbat habis. Menjelang waktu maghrib, kendaraan tidak bisa bergerak sama sekali, seperti sedang menghadapi tembok besar dan kukuh. Pasalnya adalah demo buruh di Cikarang, yang konon, para pendemo mula-mula menutup sebagian ruas tol  dan akhirnya seluruh bagian jalan bebas hambatan itu. Tertutup, tak bisa dilewati.

Aku sendiri kemarin itu dua kali pulang pergi melalui jalan tol Cikampek dari dan ke arah pintu tol Jatibening. Berangkat pagi-pagi ke arah Slipi sangat aman dan lancar. Jam tujuh kurang sepuluh sudah sampai di tujuan. Sebuah rekor waktu singkat untuk menempuh jarak 20 kilo itu di pagi hari. Jam sebelas kurang lima aku menaiki taksi dengan tujuan pulang ke Jatibening. Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai ke pintu tol Pondok Gede. 15 menit untuk 15 km. Tapi sayangnya, satu kilometer menjelang keluar di gerbang tol Jatibening, kendaraan itu mulai merayap. Sudah hampir jam setengah dua belas, artinya sudah hampir dua puluh menit, taksi itu belum juga sampai di depan loket pembayaran tol. Di depan kami antrian kendaraan masih beringsut-ingsut. Aku akhirnya terpaksa turun, meneruskan berjalan kaki sampai ke pangkalan ojek di belokan setelah keluar dari jalan tol dan naik ojek ke rumah. Aku harus memenuhi tugas jadi khatib di mesjid komplek.

Sesudah makan siang, jam satu tepat, aku diantar istriku ke pangkalan taksi di dekat pintu masuk tol di Jatibening. Jam satu lebih sepuluh naik taksi untuk kembali ke kantor di Slipi. Jalan tol itu lengang selengang-lengangnya sampai ke pintu tol kota. Bahkan di dalam tol kota. Jam setengah dua lebih sedikit aku sudah kembali berada di kantor. Naik lift bersama-sama kawan-kawan se kantor yang baru kembali dari makan siang sesudah shalat Jum'at. Padahal aku tadi sudah minta ijin untuk kembali terlambat. 

Lalu waktu pulang jam setengah lima. Ada pemberitahuan di kantor untuk menghindari jalan tol Cikampek. Ada pula peringatan di baliho elektronik di Cawang mengingatkan bahwa jalan tol dari Jatibeing - Cikarang macet total. Meski sudah agak tersendat, taksi yang aku tompangi masih mencoba meneruskan memasuki jalan tol Cikampek itu. Masih bergerak meski tersendat-sendat. Istilahnya masih dengan kecepatan 10 - 20 km/jam. Tepat di tempat keluar tol Pondok Gede, antrian kendaraan itu mulai tidak bergerak. Taksi itu kusuruh keluar di Pondok Gede. Tersendat-sendat menuju ke arah jalan Kalimalang. Menyusuri jalan sepanjang kali itu sampai ke pertigaan Radin Inten, harus berbelok ke kiri, karena jalan itu tertutup ke arah Bekasi. Beringsut-ingsut lagi di sepanjang jalan Radin Inten sampai ke putaran balik. Kembali antri dan tersendat-sendat menuju Kalimalang, berbelok ke kiri, kembali menyusuri kali. Jalan Kalimalang yang terkenal kemacetannya, sore kemarin itu sudah dalam kondisi yang mendebarkan itu. Aku suruh sopir taksi berbelok ke kanan di persimpangan Lampiri, melalui jalan kecil memintas. Alhamdulillah aku akhirnya sampai di rumah tepat ketika azan maghrib berkumandang.

Dahsyat juga akibat pemogokan buruh di Cikarang. Aku mendengar berita bahwa demo itu akhirnya dibubarkan secara paksa oleh pasukan Brimob......

*****                              

Kamis, 26 Januari 2012

Cak Un Cai

Cak Un Cai  

Aku yakin, tidak akan ada orang yang tahu makna dari judul ini. 

Ketika baru kembali dari Padang hari Senin yang lalu (hari besar tahun baru Cina), kami (aku dan istri) melihat rombongan barongsai, di Bandara Soeta. Kalau barongsai, aku yakin sebagian besar orang tahu maksudnya, yaitu arak-arakan topeng naga dengan kepala seperti kepala naga (katanya), dengan badan yang panjang, dibawa berjalan dengan meliuk-liuk dan ada kalanya kepala naga itu meloncat tinggi ke udara. Arak-arakan itu diiringi oleh bunyi-bunyian yang terutamanya terdiri dari gembrengan disertai pukulan tambur yang menimbulkan suara cempreng dan heboh.

Tontonan barongsai ini baru saja muncul kembali. Selama kurun waktu yang lama, pertunjukan itu tidak dijinkan pemerintah (Orde Baru). Ketika aku kecil, di kota kelahiranku Bukit Tinggi barongsai ini cukup sering beratraksi. Meskipun warga keturunan Cina mungkin tidak banyak, tapi toh di Bukit Tinggi ada Kampuang Cino. Jadi warga keturunan Cina eksis di kota itu, walau jumlahnya sekali lagi hanya dalam bilangan puluhan. Di Bukit Tinggi juga ada kuburan warga Cina. 

Cak Un Cai adalah nama yang diberikan oleh Allahiyarham  ayahku untuk arak-arakan barongsai. Waktu kecil dulu itu, aku terkagum-kagum melihat ula nago yang bisa meliuk-liuk dan meloncat-loncat. Bunyi gembrengan dan tambur yang dipukul bertalu-talu, disertai gerakan ula nago itu yang sepertinya membuat nada cak un cai

Aku tidak pernah tahu penyebab hilangnya pertunjukan can un cai selama bertahun-tahun, padahal warga keturunan Cina tetap masih ada di Bukit Tinggi. Memang untuk suatu perioda, antara tahun 70an dan 80an jumlah mereka mungkin sedikit berkurang. Karena ketika itu toko-toko di kampuang Cino lebih banyak dikuasai orang Minang. Tapi sekarang, sepertinya jumlah mereka sudah kembali bertambah. Kampuang Cino sudah kembali dihuni lebih banyak orang Cina, dan bahkan sebuah vihara pun sekarang ada di sana. Hari Senin pagi kemarin aku melihat dua orang bikhu Cina dengan pakaian khas mereka berjalan di sepanjang jalan kampuang Cino itu. Tapi aku tidak tahu, apakah di Bukit Tinggi sudah ada lagi pertunjukan cak un cai....   

*****                                                      

Senin, 16 Januari 2012

Dari file tahun 2002 "Dialog Seorang Ustad Dengan Santrinya"


Dialog Seorang Ustad Dengan Santrinya

Seorang santri mohon pamit ketika akan meninggalkan pesantrennya. Sebelum berangkat dia diuji oleh sang Ustad dan terjadilah dialog berikut;
--------------
‘Tahukah engkau apakah engkau nanti akan masuk surga Allah atau tidak?’

‘Saya berharap bahwa saya akan masuk surga, saya berusaha agar saya dimasukkan Allah kedalam surga-Nya. Namun hanya Allah saja Yang Maha Tahu, apakah saya akan dimasukkan-Nya kemana.’

‘Tahukah kamu siapa saja yang akan masuk surga.’

‘Orang-orang yang Allah ridha kepada mereka. Ridha kepada amalan-amalan mereka. Orang-orang yang Allah berkenan dengan amalan-amalan dan ibadah mereka yang mereka lakukan semata-mata hanya karena Allah.’

‘Tahukah kamu siapa saja yang akan dimasukkan Allah kedalam neraka?’

‘Orang-orang yang Allah murka kepada mereka disebabkan mereka ingkar. Disebabkan mereka kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain-lain. Itu menurut keterangan Allah dalam al Quran. ‘Sesungguhnya Allah tiada akan mengampuni dosa jika Dia dipersekutukan dengan yang lain dan Dia mengampuni dosa yang kurang dari syirik itu bagi siapa ya yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa mempersekutukan Allah maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa besar.’ (An Nisaa’ 48).

‘Apakah Firaun akan dimasukkan Allah kedalam surga Allah kalau begitu?’

‘Dari ketentuan-ketentuan yang disampaikan Allah dalam al Quran, Firaun tidak akan masuk kedalam surga Allah. Dia mati dalam kemusyrikannya.’

‘Apakah Suharto akan dimasukkan Allah kedalam surganya?’

‘Allah Yang Maha Tahu. Suharto masih hidup. Masih terbuka kemungkinan baginya untuk bertobat. Dan kalau tobatnya diterima Allah, tentu Allah akan memasukkannya ke dalam surga-Nya.’

‘Apakah Inul akan masuk neraka?’

‘Allah saja Yang Maha Tahu. Kalau Allah ijinkan dia untuk bertobat, dan tobatnya diterima Allah. Allah Yang Maha Menentukan kemana hamba-Nya akan dimasukkanNya.’

‘Apakah Bunda Theresa akan masuk neraka?’

‘Maaf Ustad, apakah bunda Theresa menyekutukan Allah dengan yang lain?’

‘Bunda Theresa dengan Ordo Cinta Kasih nya sudah sangat banyak jasanya kepada umat manusia (segelintir). Apakah dia tidak boleh masuk surga?’

‘Maaf Ustad apakah bunda Theresa menyekutukan Allah dengan tuhan selain Allah?’

‘Bunda Theresa itu manusia sangat baik. Kalau sampai dia tidak dimasukkan ke dalam surga, maka banyak orang yang akan protes. Nah, apakah dia tidak akan dimasukkan kedalam surga?’

‘Begini Ustad. Kalau bunda Theresa itu menyekutukan Allah dengan anak Allah (astaghfirullahil’azhiim), kalau bunda Theresa itu menganggap Tuhan juga malaikat Jibril yang disebut oleh sementara orang roh kudus (astaghfirullahil’azhiim), maka menurut ayat Allah diatas tadi, Allah tidak akan mengampuni dosanya. Dan sesudah itu kemana akan dimasukkan Allah, Allah semata Yang Maha Berkuasa. Dan Allah sudah menyampaikan ayat-ayat-Nya dengan sangat jelas.’

‘Tapi banyak orang yang akan protes. Apakah….apakah…..apakah…..’

‘Apakah apa Ustad?’

‘Apakah Allah akan tega mengabaikan ... kalau saja malaikat-malaikat-Nya …….(astaghfirullahil’azhiim),’

‘Bukankah Ustad yang telah menunjukkan bahwa, ‘Malaikat penjaga neraka itu keras dan kasar dan tidak mendurhakai Allah terhadap yang diperintahkan Nya kepada  mereka dan mereka selalu melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.’ (At Tahrim 6).’

‘Tapi…Tapi ada yang merasa….bahwa bunda Theresa deserves the right to be accommodated di surga Allah, bagaimana menurut kamu?’

‘Bukan saya yang memasukkan seseorang ke surga atau ke neraka Ustad. Kalau saya tidak setuju orang lain dimasukkan kedalam neraka, lalu saya provokasi agar orang itu (seolah-olah) dimasukkan kedalam surga, tidak ada sedikitpun hak saya tentang itu. Nasib saya sajapun belum tentu ustad. Tapi ada orang yang punya ciri-ciri, yang kita bisa menduga-duga kemana alamat akhirnya nanti, tapi tetap bukan kita yang memasukkan siapa-siapapun kemana-mana.’

‘Bagaimana pula menurut kamu orang yang merasa bahwa bunda Theresa berhak masuk surga, berhak berdampingan dengan nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam di surga Allah, apakah dia berhak pula masuk surga?’

‘Saya mohon ampun kepada Allah Ustad. Tidak berani saya mengulangi yang Ustad katakan. Saya doakan semoga orang yang menduga seperti itu ditunjuki Allah kejalan yang benar. Kelihatan betul bahwa orang seperti itu tidak faham sedikitpun tentang apa yang dia ucapkan. Lalu apakah dia akan masuk surga? Dimana pula saya akan tahu Ustad. Kalau saja dia belajar lebih banyak tentang agama Allah ini, lalu diamalkannya baik-baik, tidak direka-rekanya tanpa ilmu, dan yang lebih utama dia mencari ridha Allah sampai Allah nanti ridha kepadanya, tentu saja dia juga berhak masuk surga Allah menurut ketentuan yang dijelaskan Allah.’

‘Menurut kamu saya nanti bisa tidak masuk surga?’

‘Saya doakan ustad. Dan sesudah itu tetap Allah yang memberikan kata akhir.’

‘Baiklah kalau begitu. Jadi surga bukan punya kita. Yang kita bisa memasukkan siapa yang kita suka, benar demikian?’

‘Surga kepunyaan Allah. Dan kita ini hamba-hamba Allah. Allah menunjukkan ciri-ciri orang yang boleh masuk kedalam surga Allah. Allah menunjukkan ciri-ciri orang yang akan dimasukkan Allah kedalam neraka Allah.’

‘Baiklah kalau demikian, kamu sudah lulus dari padepokan ini. Pergilah amalkan ilmu engkau. Ajaklah manusia kepada kebaikan, menegakkan yang hak dan mencegah kemungkaran. Senantiasalah kamu berserah diri kepada Allah Subhanahu wata’ala!’

‘Terima kasih ustad.’

                                                                        *****

Sabtu, 14 Januari 2012

Hati Yang Polos

Pemimpin Berhati Yang Polos 

Hati yang bersih dan polos, yang menggerakkan perbuatan hanya untuk mendapatkan kemuliaan hakiki. Kemuliaan di sisi Allah. Keridhaan Allah semata. Hati yang terbendung dari dorongan nafsu angkara. Hati yang terkendali. Kita tidak tahu apakah ada di kalangan manusia, terutama di kalangan pemimpin umat, yang memiliki hati yang polos saat ini.

Contoh utama tentu saja Rasulullah SAW. Yang dengan sabar menyuapi seorang Yahudi tua renta dan buta, kendati si orang tua itu tiada henti mencaci maki dan menghinakan beliau SAW. Pekerjaan menyuapi orang tua buta dan bawel itu terhenti ketika beliau SAW wafat. Sampai suatu hari dia, si orang buta itu disuapi oleh Abu Bakar, yang segera dikenalinya sebagai orang lain, bukan orang yang seperti biasanya. Lalu Abu Bakar memberitahunya dan berkata, bahwa orang yang biasa menyuapi engkau wahai orang tua, dia sudah tiada. Dia adalah Muhammad Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, yang selama ini engkau cerca tiada hentinya. Terperanjat si Yahudi tua, buta. 

Lalu ada contoh Ali bin Abi Thalib r.a. Yang dalam sebuah duel bermain pedang satu lawan satu berhasil melumpuhkan lawannya sehingga pedang sang lawan terpental. Pada saat super kritis itu, pada saat sang lawan menyadari bahwa dia akan segera tamat, dia masih ingin menunjukkan kebenciannya yang merasuk ke tulang sumsum terhadap pejuang Islam itu. Lalu muka Ali diludahinya. Ternyata, perbuatan tidak senonohnya itu menyelamatkan jiwanya. Ali r.a. yang tinggal menetakkan pedangnya ke leher orang kafir itu, menarik kembali pedangnya dan menyarungkannya sebelum berpaling dari musuhnya itu. Orang bertanya kepada Ali, apa gerangan penyebabnya dia tidak jadi menghabisi musuh itu? Ali r.a. menjawab, ketika dia meludahiku, timbul perasaan marahku. Dalam kemarahan itu hatiku mengingatkan, bahwa aku tidak boleh membunuh orang lantaran hawa nafsu amarah. Aku tidak jadi membunuhnya.

Sebuah contoh lagi. Tersebutlah kisah tentang Salahuddin al Ayyubi pahlawan Islam dalam menghadapi perang yang dikobarkan tentara Nasrani dan mereka namai sebagai perang salib. Telah berpekan-pekan dia mendengar kabar bahwa tentara orang Nasrani yang dipimpin Richard si Hati Singa sudah sampai di Palestina. Tetapi kenapa mereka belum kunjung datang juga menyerang tentara orang Islam. Ini sangatlah aneh. Akhirnya Salahuddin mendapat kabar bahwa Richard Hati Singa dalam keadaan sakit. Salahuddin, yang rupanya mempunyai ilmu pengobatan menyamar menjadi seorang tabib dan datang ke kemah Richard yang sedang terbaring sakit. Dirawatnya musuhnya itu, yang dengan pertolongan Allah dia berangsur-angsur sehat. Setelah benar-benar sehat, dia mengucapkan terima kasih sambil mengatakan, 'berkat pertolongan anda mudah-mudahan saya segera bisa menghadapi pemimpin orang Islam, si Salahuddin keparat itu.' 'Tahukah anda siapa saya?' tanya Salahuddin.  'Anda adalah seorang tabib yang ahli,' jawab Richard. Lalu jawab Salahuddin, 'bukan hanya itu, saya adalah Salahuddin.'

Richard bangkit dan memasang kuda-kuda begitu mendengar pernyataannya. Apa kata Salahuddin selanjutnya? 'Anda tidak perlu memasang kuda-kuda. Di sini bukan tempat kita bertanding. Saya bukanlah datang untuk mencelakakan anda ketika anda sedang tidak berdaya. Saya datang betul-betul ingin merawat anda sampai anda sembuh dan setelah itu saya akan menanti anda di medan perang.' 

Di manakah agaknya sekarang keberadaan pemimpin yang berhati polos?

*****                                                                                         

Sabtu, 07 Januari 2012

Sebuah Pelajaran Telak

Sebuah Pelajaran Telak 

Hari Kamis siang, salah seorang rekan di tempat kerja (orang Amerika beristrikan orang Jawa), mengajak kami sekantor makan siang bareng. Artinya dia traktir. Kami sekantor itu terdiri dari sekitar dua belas orang. Tempat makannya di sebuah resto Sunda, beberapa puluh meter dari bangunan kantor kami. Kami berjalan kaki ke sana.

Di pinggir jalan menuju ke restoran, kami lalui ada beberapa batang pohon yang ditempeli peringatan bertuliskan, bahwa pohon tersebut rawan patah (dahannya) atau bahkan rubuh jika diterjang angin kencang. Aku mematut pohon yang berdiri kekar itu, yang sepertinya cukup kukuh untuk tidak sampai dirubuhkan oleh kekuatan angin. Rasa-rasanya.....

Seselesai acara makan siang, kami kembali beriring-iring melewati jalan yang sama menuju ke kantor. Udara cukup panas. Kami berkeringat menempuh jalan beberapa puluh langkah itu. Mataku kembali mengamati pohon-pohon tadi. Pohon yang diameter batangnya sekitar 80 senti, tingginya hampir sepuluh meter. Terlihat sangat kokoh.

Siang itu, ketika aku sedang asyik bekerja, aku dikagetkan oleh suara titik hujan yang tiba-tiba saja dengan deras jatuh di dinding kaca di belakang tempat dudukku. Aku berdiri dan melihat keluar. Masya Allah, ada segumpalan awan sangat hitam bergerak dari arah barat ke arah bangunan ini. Aku terkesima memandangnya. Beberapa menit kemudian, ketika diluar berubah menjadi (seperti) gelap, aku menoleh lagi mengamati. Ya Allah..... angin berputar dan menderu menghalau curahan hujan yang berwarna gelap itu. Di luar tidak terlihat apa-apa lagi. Kami berkumpul ke sebuah ruangan lain untuk melihat pemandangan yang menakutkan itu. Angin badai dan hujan lebat. Berlalu untuk beberapa menit yang agak panjang.

Menjelang waktu shalat asar, udara sudah kembali terang. Waktu akan pergi ke mushala untuk shalat asar, mataku menangkap pemandangan kemacetan di jalan arah ke Grogol. Beberapa detik yang aku amati, kendaraan yang bertumpuk dalam barisan panjang itu tidak bergerak sama sekali. Kembali dari shalat asar, terlihat lagi suasana di jalan arteri arah ke Grogol itu. Barisan panjang kendaraan tetap tidak bergerak. 

Jam setengah lima aku bersiap untuk pulang dan turun ke lantai bawah. Tidak ada taksi yang menjemput. Hujan rintik-rintik masih turun. Aku mengembangkan payung dan melangkah ke pinggir jalan. Sebuah taksi berhenti dan rupanya ada penumpang yang turun. Orang dari kantor kami juga. Aku dipersilahkannya memakai taksi tersebut. Sopir taksi itu bercerita bahwa mereka terjebak selama tiga setengah jam, untuk menempuh jarak dari Mampang ke Slipi, karena banyak pohon tumbang di sepanjang jalan arah ke Grogol. Alhamdulillah, lalulintas yang mengarah ke Cawang kelihatannya  lancar.  

Taksi itu melintas di depan jalan yang kami lalui tadi siang. Masya Allah wa subhanallah..... Pohon yang aku amati sambil berjalan tadi siang, terguling dengan akar-akarnya tercerabut. Pohon berakar tunggang, berdiri kokoh dan tinggi, dikalahkan Allah dengan tiupan angin. Mahasuci Allah dan Maha Perkasa Dia....... Kita, makhluk-Nya tidak punya daya dan kekuatan kecuali dengan izin-Nya..... Aku menyaksikan sebuah pelajaran yang sangat telak hari itu.
*****

                                        

Jumat, 06 Januari 2012

Hidung Kena Tinju......

Hidung Kena Tinju.....

Hah? Hidung siapa kena tinju? Begitu tanya anakku dengan sangat kaget. Nah, beginilah ceritanya.

Sejak memburuh lagi di akhir bulan Maret yang lalu, aku tidak pernah membawa kendaraan sendiri ke tempat kerja. Alasannya, untuk menghindari kelelahan yang menyesakkan  karena frustrasi menyetir di tengah kemacetan, dan menghindari sakit lutut. Aku berlangganan taksi untuk pergi dan pulang ke rumah. Ya, untuk kenyamanan dan berbagi-bagi rezeki dengan sopir taksi. 

Dan memang nyaman. Tidak perlu berpikir tentang kemacetan, tidak perlu membuat lutut sakit karena keseringan menekan kopling dan tanpa resiko berurusan dengan polisi seandainya salah injak marka jalan. Dan lebih nyaman lagi karena bisa tidur di sepanjang perjalanan yang berdurasi antara satu jam sampai satu jam setengah di pagi hari itu. Lumayan, kan?

Ternyata ada juga tidak nyamannya. Beberapa kali aku dilayani oleh sopir yang sedang mengantuk karena dia tidak tidur semalaman. Jam kerja sopir taksi itu memang menakjubkan. Ada yang bekerja dari jam empat sore sampai jam dua belas siang keesokan harinya. Katanya sih, sempat juga untuk tidur sekedarnya di malam hari. Ada yang dekat pompa bensin, dekat mesjid, atau di mana saja yang cukup aman. Begitu rata-rata cerita mereka. Kalau aku melihat si sopir ada gejala ngantuk, aku ajak dia berbincang-bincang. Dalam hal seperti ini tentu aku tidak jadi tidur. 

Hari Selasa kemarin, terjadilah peristiwa itu. Taksi sudah hadir di depan rumah sejak jam enam kurang seperempat. Ini termasuk sedang-sedang saja, karena pernah ada yang sudah stand by sejak jam lima. Jam enam, seperti biasanya, kami berangkat. Sopirnya memakai jaket di luar baju seragam sopir taksi. Pasti dia bekerja malam atau boleh jadi dia kurang sehat. Seperti biasanya obrolan kami hanya sekedar memberi tahu kemana tujuan, membekali dia dengan uang untuk bayar toll dan sesudah itu aku bisa langsung masuk acara bebas alias berusaha tidur. Biasanya segera pula terlelap. Biasanya pula berkali-kali terbangun, sambil mengecek posisi dan waktu. Sambil melirik pula kondisi sang sopir. 

Mulanya aman-aman saja. Aku tersadar ketika taksi itu melewati gerbang toll kota. Artinya kami sudah setengah jalan dan berikutnya mobil ini akan beringsut-ingsut sampai ke simpangan Kuningan. Aku segera tertidur lagi. Terbangun lagi di depan Carrefour di Cawang. Aku amati sopir, dia kelihatan biasa-biasa saja. Mobil terus berjalan tersendat-sendat di tengah kemacetan. Aku tertidur lagi. Memang sangat mudah sekali aku tertidur dan terbangun. Itulah kenyamanan, tidak perlu menahan-nahan rasa kantuk.

Tiba-tiba, terjadi benturan hebat. Aku terbangun sambil kesakitan. Hidungku seperti kena tinju. Taksi ini rupanya menghantam mobil di depannya, sebuah sedan Vios yang masih baru (dari plat nomornya, aku tahu usia mobil itu baru setahun lebih). Bagian belakang mobil itu penyok. Kami sedang di penurunan sesudah patung Pancoran. Rupanya dalam keadaan tertidur itu aku terhempas ke depan membentur sandaran tempat duduk di samping sopir dengan hidungku. Meski sandaran itu dilapisi agar empuk, tetap saja hidungku seperti kena hantaman tinju pakai sarung tinju. Seperti bonyok rasanya. 

Sopir taksi segera turun. Aku pikir tadinya mau bertengkar. Ternyata tidak. Sementara aku sibuk dengan hidungku yang sangat sakit, yang untungnya tidak berdarah, aku lihat, rupanya sopir taksi itu mau minta maaf. Setelah itu pemilik mobil yang ditabrak itu turun, meminta tanda pengenal sopir berikut KTP-nya. Si sopir taksi menyerahkan semuanya. Orang itu kelihatannya terburu-buru. Dia berpesan kepada sopir taksi untuk berkomunikasi melalui telepon nanti.

Kami meneruskan perjalanan ke tempat aku bekerja. Hidungku terasa sakit berdenyut-denyut. Terpaksa diidapkan saja sendiri. Mau apa lagi? Sopir taksi yang pendiam itu tetap diam tidak berkomentar apa-apa. Aku yakin pasti tadi itu dia tertidur untuk beberapa detik.  

Sampai di kantor, ketika aku membersihkan hidung, aku dapati bahwa bagian dalam hidung itu berdarah. Tapi darahnya tidak mengalir. Itulah pengalaman tambahan hari Selasa kemarin. Sakit nyeri di hidung itu masih terasa sampai sekarang.   

*****