Jumat, 16 September 2011

Musykil

Musykil

Hari Selasa yang cerah. Pak Broto dan istrinya datang bertamu ke rumah kami. Mereka baru kembali dari mudik lebaran. Dalam suasana ceria di pagi yang cerah itu kami berbincang-bincang santai. Tentang perjalanan mereka pulang kampung. Pak Broto bercerita bahwa perjalanan itu seperti biasanya setiap tahun, tersendat-sendat di tengah kemacetan arus lalu lintas.

‘Lama juga di kampung kali ini,’ aku berkomentar.

‘Lumayan….. Pas seminggu, kami berangkat dari sini hari Ahad dan tadi malam sampai kembali di rumah,’ jawab pak Broto.

‘Aman-aman saja sepanjang perjalanan? Berapa jam di jalan?’ tanyaku lagi bertubi-tubi.

‘Alhamdulillah….. Aman…. Tapi, ya itu….. Jakarta – Solo dua puluh jam lebih. Berangkat dari rumah sehabis subuh, kami sampai di kampung sudah menjelang sahur lagi. Begitu juga waktu pulang. Macet. Di mana-mana macet dan berdesak-desak. Tidak ada perobahan dari tahun ke tahun,’ jawabnya.

‘Mungkin semakin macet barangkali karena saya dengar pemudik bersepeda motor semakin bertambah. Perjalanan yang berat. Tapi….., tetap puasa selama dalam perjalanan pulang waktu itu?’

‘Tinggal ibu Broto saja yang masih bertahan. Saya menyerah. Hari panas luar biasa, dan jalanan macet. Di dekat Cirebon, saya dan anak-anak sudah tidak sanggup lagi meneruskan puasa. Jam dua siang kami terpaksa batal.’

‘Sayang, ya,’ aku berkomentar asal-asalan.

‘Sayang memang…..  Tapi begitulah, resiko mudik……. Eh, ngomong-ngomong, udo hari apa berhari raya?’ tanyanya. Sepertinya mengalihkan pembicaraan.

‘Hari Selasa. Sampeyan hari apa?’ jawabku sekalian bertanya pula.

‘Kami ikut pemerintah…. Hari Rabu. Udo pengikut Muhammadiyah rupanya.’

‘Kebetulan saja bersamaan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

‘Sayang, ya…. Kita, umat Islam selalu saja berbeda hari berhari raya….’

Aku hanya tersenyum, tak menjawab.

‘Sepertinya orang Muhammadiyah terlalu pede dan ngotot. Mereka tidak mau ikut pemerintah,’ pak Broto memancing-macing.

‘Sebenarnya………’ kataku ragu-ragu.

‘Sebenarnya bagaimana, udo?’

‘Sebenarnya……., kalau kita yakin tentang sesuatu hal, kita memang harus pede. Harus berani mempertahankan keyakinan kita tersebut,’ jawabku.

Pak Broto menatap wajahku dengan pandangan penuh tanda tanya.

‘Orang Muhammadiyah begitu yakin dengan hasil perhitungan mereka. Dan mereka tidak mau mundur setapakpun. Padahal……., demi kebersamaan, apa salahnya mundur? Demi keutuhan umat. Apa bukan begitu pendapat udo?’

‘Entahlah. Tapi sayapun, ketika saya yakin bahwa hari raya kemarin itu jatuh pada hari Selasa, saya juga tidak mau mundur. Tidak mau ikut dengan pendapat pemerintah.’

‘Apa alasan udo?’

‘Saya percaya dengan hasil perhitungan. Baik yang dilakukan Muhammadiyah, atau organisasi lainpun. Bahkan dari informasi yang saya dapatkan di internet, dari Google. Ditambah pula kesaksian di bawah sumpah orang yang melihat hilal pada hari Senin sore itu. Saya sangat percaya dan yakin dengan semua itu, lalu saya tidak puasa lagi hari Selasa alias berhari raya pada hari itu.’

‘Jadi bukan karena fanatik sebagai……… orang Muhammadiyah?’

‘Sudah saya katakan. Saya bukan anggota Muhammadiyah.’

Sedang kami asyik berbincang-bincang itu terdengar suara salam dari luar. Rupanya ada bapak dan ibu Tahir, tetangga kami yang lain, yang juga baru kembali dari Medan. Kami bersalam-salaman.

‘Rupanya baru sampai juga pak Tahir,’ pak Broto mengawali.

‘Tadi malam pak. Tadi subuh kami sudah bertemu di mesjid. Bukankah begitu udo?’ jawab pak Tahir.

‘Pak Tahir lewat udara ya? Enak dan tidak capek,’ pak Broto menambahkan.

‘Lebih capek sedikit di kantong….he..he..he…’ jawabnya pula.

Ibu Tahir bergabung dengan bu Broto di ruang tengah. Istriku menyuruh kami pindah ke meja makan. Ada mie goreng istimewa yang baru disiapkannya.

‘Wah! Kita masih benar-benar berhari raya rupanya,’ celetuk bu Broto.

‘Ada suatu hal yang musykil di pemikiran saya. Saya ingin menanya pendapat udo,’ kata pak Tahir ketika kami duduk mengelilingi meja makan.

‘Tentang apa itu?’ tanyaku.
‘Sebelumnya…….., hari apa udo berhari raya?’ tanya pak Tahir pula.

‘Hari Selasa,’ jawabku pendek.

‘Nah! Itulah! Kami juga berhari raya hari Selasa. Tapi ada seorang kawan menjelaskan bahwa dengan demikian berarti kita tidak taat kepada pemimpin. Kepada pemerintah. Padahal al Quran memerintahkan agar kita taat kepada pemimpin. Bagaimana itu udo?’

‘Perintah untuk taat kepada pemimpin itu benar. Allah memerintahkan kita tentang yang demikian itu seperti firman-Nya dalam surah An Nisaa’ ayat 59,’ jawabku.  

‘Jadi mungkin maksud udo……. Pemerintah kita sekarang ini bukan ulil amri minkum. Apa demikian udo?’ giliran pak Broto bersuara.

‘Mereka ulil amri kita,’ jawabku tersenyum.

‘Lah….. Bagaimana dong udo. Kata teman saya itu sebetapa tidak setujunyapun kita dengan pemimpin, namun kita wajib taat kepadanya. Bahkan, jika kita mati dalam keadaan tidak taat kepada pemimpin, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah. Udo pernah mendengar tentang hadits itu?’

‘Pernah. Hadits itu insya Allah sahih,’ jawabku pula.

‘Lho…. Semakin bingung saya. Kalau begitu? Kalau udo tahu ayatnya, tahu haditsnya, kenapa dong udo ikut berhari raya hari Selasa. Menyalahi ketetapan pemerintah?!’

‘Iya, udo. Kok sepertinya udo tidak konsisten?’ pak Broto ikut mendesak.

‘Baiklah! Surah An Nisaa’ ayat 59 itu berbunyi, artinya; ‘Hai orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kalian! Sekiranya ada perbedaan di antaramu tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, sekiranya kamu memang beriman kepada Allah dan hari akhirat………’

Begitu bunyi ayat itu lebih kurang. Kita diperintah untuk taat kepada Allah. Itu yang pertama. Taat dan patuh atas ketetapan-ketetapan Allah. Lalu yang kedua, kita wajib taat kepada Rasulullah SAW. Terhadap apa saja yang disampaikan oleh beliau baik itu perintah maupun larangan. Dan terakhir kita wajib patuh dan taat kepada pemerintah. Namun urut-urutannya harus seperti itu. Taat dulu kepada Allah, lalu kepada Rasulullah baru kepada pemimpin. Artinya, kalau ada sesuatu ketaatan itu bertabrakan antara taat kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada pemimpin, maka yang didahulukan adalah taat kepada Allah. Sampai di sini apakah bapak-bapak faham dan setuju?’

Semua mengangguk-angguk, meski terlihat masih agak bingung.

‘Taat kepada pemimpin itu lebih banyak untuk urusan dunia. Ketika pemimpin menyuruh kita taat membayar pajak, taat bergotong royong, taat menjaga negeri, maka kita harus patuh. Kalau kita ingkari, di sanalah berlaku hadits tadi itu. Seandainya kita mati, maka mati kita seperti mati dalam keadaan jahiliyah.’

‘Tapi….. maaf, udo. Kemarin itu pemerintah menyuruh kita berhari raya di hari Rabu. Apakah pemerintah tidak berhak memerintahkan seperti itu karena itu untuk beribadah kepada Allah?’ pak Broto yang bertanya.

‘Tentu saja Pemerintah boleh menetapkan seperti itu. Tapi seyogianya, pemerintah meniru contoh Rasulullah dan menyimak perintah Allah untuk mempergunakan akal dalam menetapkan ayat-ayat Allah. Di jaman Rasulullah SAW, ketika ada seseorang mengaku telah melihat anak bulan, orang itu disuruh bersumpah dengan bersyahadatain, dan orang itu melakukannya, maka pengakuan orang itu dijadikan landasan hukum. Rasulullah SAW memerintahkan umat untuk mulai berpuasa ketika itu. Rasulullah memerintahkan untuk mengamati munculnya bulan. Di jaman Rasulullah belum ada alat untuk menghitung, untuk mengamati bulan selain dengan mata telanjang. Tapi sekarang? Allah telah mengajarkan ilmu. Peredaran bulan itu bisa dihitung. Dan itu menjadi tanda kepada orang yang berakal, firman Allah. Jadi kita harusnya mempertimbangkan pula hal itu.’

‘Saya masih belum pas dengan perbandingan itu. Menurut saya, pemerintah sebagai Ulil Amri tentu juga bersungguh-sungguh dalam ketetapan mereka.’

‘Saya tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh. Tapi di sini diperlukan pengujian dengan keyakinan kita sendiri. Kalau nanti di pengadilan Allah kita ditanyai, kenapa kamu melakukan sesuatu, lalu kita jawab karena saya taat kepada pemerintah, saya khawatir Allah tidak akan menerimanya. Saya khawatir Allah akan menanyakan apakah kamu tidak memikirkan yang diperintah pemimpinmu itu, karena ini dalam hal beribadah kepada-Ku?’

‘Jadi bagaimana hubungannya dengan keterangan seseorang mati jahiliyah jika dia tidak taat kepada pemimpin tadi, udo?’ tanya pak Tahir.

‘Begini, pak Tahir. Di sebuah negeri, di ujung sebuah benua, yang penduduknya terdaftar hampir seratus persen beragama Islam. Pada suatu ketika, seorang pemimpin negeri, presiden negeri itu, jadi pucuk dari Ulil Amri mereka, berpidato begini. ‘Kita harus bekerja keras membangun negeri kita ini. Tanpa kerja keras kita akan ketinggalan karena negeri kita ini adalah negeri yang tandus. Kita harus bekerja keras. Kita tidak mungkin bekerja keras kalau perut kita lapar. Kita pasti akan kelaparan kalau kita berpuasa. Oleh karena itu, untuk kebaikan negeri kita, untuk membangun negeri kita, saya perintahkan anda semua meninggalkan puasa Ramadhan. Ikutilah saya, Saya tidak berpuasa Ramadhan,’ kata sang presiden sambil mempertunjukkan minum air di hadapan rakyatnya di siang hari di bulan puasa.

Sekarang. Seandainya pak Tahir berada di antara rakyat negeri itu, apakah pak Tahir akan mentaati perintah sang pemimpin tersebut?’

‘Apa iya ada yang seperti itu, udo?’ pak Broto seperti tidak percaya.

‘Itu contoh dari negeri jauh, pak Broto. Di negeri kita ini, di tahun enam puluhan. Ada orang yang tahu tentang agama, orang yang dekat dengan pemerintah, berpetuah agar jangan mengerjakan sembahyang. Jangan shalat, begitu katanya. Orangpun bertanya, kenapa? Karena al Quran mengancam orang yang shalat. Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka wail nanti di hari kiamat. ‘Fawaillullil mushalliin….’ Dikutipnya ayat Allah sepotong saja. Neraka wail bagi orang yang shalat. Apakah pak Broto akan mematuhi anjuran seperti ini, apalagi dia menyitir ayat al Quran pula?’

‘Tentu kita tidak harus menelan bulat-bulat saja  Kita wajib menelaah apa yang kita dengar, kalau memang dari yang disampaikan itu tidak pas,’ jawab pak Broto.

‘Persis seperti itulah adanya. Dalam ketaatan kepada pemimpin, kita harus mampu menyaring dan memikirkan. Jadi tidak kita telan bulat-bulat saja apa yang mereka sampaikan, seperti kata pak Broto.’

‘Rumit juga, ya udo,’ pak Tahir mendesah.

‘Harusnya tidak rumit. Di mana rumitnya?’

‘Artinya akan selalu saja umat bertikai dalam penetapan hari raya.’

‘Mudah-mudahan suatu ketika nanti tidak lagi demikian. JIka Allah berkehendak. Wallahu a’lam.’


                                                                *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar