Minggu, 08 Desember 2013

Riba......

Riba......

Tahukah kita apa yang dimaksudkan dengan riba? Yang umat Islam diingatkan agar tidak memakannya? 'Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa ta'kulurribaa adh'aafan mudha'afah...... (Surah Ai Imran ayat 130) yang artinya, 'Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda.....'. Riba adalah mengambil lebih dari pengembalian pinjaman dan diikrarkan atau disetujui seperti itu. Maksudnya, saya pinjamkan  uang sejuta, kamu kembalikan setelah satu bulan sejuta seratus ribu. Kalau kamu terlambat mengembalikannya, bulan kedua kamu harus mengembalikan sejuta seratus ribu ditambah seratus sepuluh ribu. Begitu seterusnya. Terlambat membayarnya maka harus membayar bunga serta bunga dari bunga yang terlambat itu.  

Allah melarang orang-orang yang beriman memakan riba. Pada ayat lain, di surah al Baqarah ayat 275 Allah mengingatkan bahwa orang yang memakan riba itu tidak sanggup berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan... Na'uudzubillaah... Riba adalah kezhaliman yang bersangatan. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: ' Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya dari  melakukan perzinaan sebanyak 36 kali,' (Hadits riwayat Imam Ahmad).  

Bagaimana dengan bunga bank? tanya seorang kemenakan. Aku menjelaskan bahwa aku tidak memakan bunga bank konvensional. Apakah mamak tidak menggunakan jasa bank? tanyanya pula. Ambo menggunakan bank syariah, jawabku. Apakah bunga bank konvensional itu riba? Dan kalau bunga bank konvensional itu riba, apa yang dari bank syariah tidak riba? tanyanya lebih jauh.

Ini memang pertanyaan banyak orang. Dan banyak pula bahasan tak kunjung selesai mengenai bunga bank ini antara yang mengatakan mutlak haram, yang mengatakan tergantung kondisi, yang mengatakan boleh-boleh saja. Yang mengatakan tergantung kondisi misalnya beralasan bahwa nilai uang kertas selalu saja merosot. Selalu saja digerogoti inflasi. Yang mengatakan boleh, membuat argumentasi bahwa mereka menyimpan uang di bank sebagai usaha pengamanan saja dari kecurian. Lalu kalau ada keuntungannya, ya diterima saja. Tergantung niat sajalah, begitu kata mereka.

Aku sendiri menghindar karena takut akibatnya di akhirat. Kalau memang bunga uang itu ada yang menganggap riba, aku khawatir kalau-kalau anggapan itu yang benar, sedangkan aku sudah mendengar adanya pendapat seperti itu. 

Bank syariah kan membagikan kelebihan juga, yang mereka sebut sebagai berbagi hasil, yang padahal hampir sama saja? tanya kemenakan lagi. Tidak sama, jawabku. Pertama karena dari awal perjanjiannya adalah berbagi hasil keuntungan. Jumlahnya disesuaikan dengan keuntungan yang diperoleh oleh bank syariah dan tidak sama untuk tiap bulan. Yang kedua, uang itu diputar oleh bank syariah untuk menangani usaha-usaha yang halal saja. 

Sang kemenakan termangu-mangu. 

Apakah mamak menggunakan kartu kredit? Atau tidak pernahkah mamak membeli dengan mencicil? lanjutnya lagi. Ambo menggunakan kartu kredit tapi selalu membayar tunai ketika tagihannya datang. Perusahaan kartu kredit itu memberi kita kemudahan, berharap kita akan mencicil pembayaran dengan membayar bunga. Ambo ambil kemudahannya saja, tapi tidak mau mencicil-cicil bayaran dengan membayar lebih. Pernah membeli dengan mencicil asal sejak awal disepakati tidak ada bunga. 0% bunga. 

Tapi oleh si pedagang kan harga sudah dinaikkannya terlebih dahulu? Meski mereka mengatakan 0% bunga? Tidak mengapa, jawabku. Kalau kita sudah setuju dengan harga sekian, lalu dibayar sekian kali pembayaran dengan tidak ada tambahan dari harga yang disepakati, yang seperti itu jelas bukan membayar bunga. Bukan riba.

Dia mengangguk-angguk. Aku berharap dia benar-benar faham dengan pendapatku.

****
.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar