Sabtu, 15 September 2012

Orang-orang Yang Mengingkari Islam

Kenapa Ada Orang-orang (Minang) Yang Mengingkari Islam?

Baru-baru ini ada suatu kejadian mengejutkan di Ranah Minang. Ada seorang pegawai negeri urang awak menyatakan dirinya sebagai atheis. Lebih dahsyat lagi dia mengatakan bahwa dia adalah anggota organisasi Atheis Minang. Ada kelompok orang Minang yang atheis? Yang tidak percaya dengan Allah? Siapa yang tidak akan terkejut? Atau (kebanyakan) orang Minang mana yang tidak akan terkejut? Bukankah orang Minang itu adalah orang-orang yang taat beragama. Yang beridiom Adat Bersendi Syara', Syara' Bersendi Kitabullah? Kok tiba-tiba ada berita seperti ini? Tapi, benarkah semua orang kaget? Terkejut? Mungkin tidak semua. Karena pasti ada yang tidak kaget, sekurang-kurangnya anggota kelompok mereka itu sendiri.

Saya termasuk yang tidak terlalu terkejut. Tidak ada suatu kelompok (suku) bangsa yang terdiri dari berjuta-juta orang jumlahnya, serba seragam belaka. Serba sama tingkat keimanan dan keyakinannya. Suku bangsa manapun  mereka.  Begitu juga dengan orang Minang. Bahwa mayoritas orang Minang terdaftar beragama Islam, boleh-boleh jadi saja. Apakah semuanya penganut Islam yang taat? Apakah semuanya menjalankan perintah agama Islam secara seksama? Secara kaffah? Tidak sulit menjawabnya. Tidak mungkin yang demikian itu. Ada yang mereknya saja beragama Islam, tapi dia tidak menjalankan perintah agama Islam. Dia tidak shalat, tidak puasa, apalagi membayar zakat. Apalagi pergi berhaji. Adakah kelompok yang seperti itu? Pasti ada dan tidak susah mengamatinya. Cobalah amati orang-orang yang kita kenal, di sekeliling kita. Bahkan mungkin di lingkungan sanak famili kita sendiri. Ada yang shalih, ada yang tidak shalih. Ada yang taat dan ada yang acuh tak acuh saja. 

Di lingkungan tempat tinggal saya, di sebuah komplek 200 an buah rumah, ada 12 an keluarga urang awak. Ada yang suami istri orang Minang dan ada pula yang campuran. Yang laki-lakinya Minang,  istrinya Jawa atau Betawi. Dan sebaliknya yang wanitanya Minang sedangkan suaminya Jawa atau Bugis atau Madura. Yang menarik adalah fakta bahwa hanya enam atau tujuh orang bapak-bapak urang awak itu yang taat datang ke mesjid untuk shalat berjamaah. Saya katakan enam atau tujuh karena ada yang masih setengah-setengah, kadang-kadang hadir, kadang-kadang tidak. Ada yang hadirnya hanya di hari Jumat saja. Shalat tarawih di bulan puasa pun ada yang tidak pernah datang. Dan ada satu orang yang tidak pernah sekalipun hadir ke mesjid. Tidak hadir shalat Id ke lapangan. Masya Allah..... Yang satu ini pernah diajak oleh warga, jawabannya hanya senyum sinis saja.

Di kampung saya, shalat subuh paling banyak dihadiri oleh sekitar dua puluh orang jamaah laki-laki dan sejumlah itu pula jamaah perempuan. Penduduk kampung itu adalah sekitar 200 orang dewasa. Yang lain mungkin shalat di rumah sendiri-sendiri. Mungkin......  Adakah orang kampung yang tidak shalat? Ah, entahlah.....

Di mesjid Raya Bukit Tinggi shalat subuh juga dihadiri sekitar dua puluhan orang jamaah laki-laki dan belasan orang jamaah perempuan. Tapi, kan mesjid ini bukan di tengah pemukiman letaknya. Mesjid Baitul Haq di ujung jalan Lurus di Kampung Cino agak sedikit lebih banyak jamaah subuhnya. Adalah sekitar tiga puluhan orang laki-laki dan dua puluhan jamaah wanita.  Ada pula sebuah mushala dekat tempat tinggal ipar saya di sebuah komplek perumahan pula di Garegeh - Bukit Tinggi. Kompleknya cukup besar, yang hadir shalat subuh kurang dari sepuluh orang saja. Di sebuah tempat lagi di pinggir kota Sawahlunto, tempat ipar saya yang lain. Saya perlu berjalan dua ratus meter  ke mesjid terdekat untuk shalat subuh. Melalui deretan rumah-rumah. Jamaah shalat subuh  hanya satu shaf kurang dari dua puluh orang. Beberapa contoh ini barangkali cukup untuk mewakili keadaan umum di Ranah Minang.

Coba pulalah perhatikan ketika dikumandangkan azan yang mana saja di tengah kota Bukit Tinggi atau Padang. Cobalah perhatikan berapa banyak yang datang memenuhi panggilan azan tersebut? Bahkan yang memenuhi panggilan azan di hari Jum’at? Ada yang acuh tak acuh saja. Dan jumlahnya cukup banyak.

Itu kalau kita lihat dari ibadah shalat. Di bulan puasa ada saja orang yang terang-terangan tidak menjalankan ibadah puasa. Tidak terkecuali di kampung kita. Di Bukit Tinggi ada lepau berkelambu di bulan Ramadhan tempat orang makan minum di siang hari. Pernah saya bertanya, kenapa tidak puasa? Jawabnya, sakit maag. Benarkah? Wallahu a’lam.

Kenapa demikan tingkat keberagamaan urang awak? Yang ber ABS-SBK itu? Saya memahami, inilah ma'na dari yang difirmankan Allah, Fa alhamaha fujuuraha wataqwaaha. Ada yang ditaqdirkan Allah untuk fujuur, untuk fasik dan ada yang ditaqdirkan untuk bertaqwa. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah tiada siapapun yang akan dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tiada siapapun yang dapat menunjukinya. Dan Allah memberlakukannya secara sangat umum. Sebagaimana di kalangan orang Arab ada yang fujuur ada yang taqwa, begitu pula di tengah masyarakat Minang.

Sekedar perbandingan saja, kami pernah punya pembantu yang pernah bekerja beberapa tahun di Arab Saudi. Dan dia bercerita, majikan Arabnya seringkali shalat subuh di waktu dhuha. Katanya karena tertidur. Tapi masak tiap hari tertidur? Jadi di kalangan orang Arab di sana ada yang sekedarnya saja tingkat ketaqwaannya.

Sekarang kita terkejut mendengar ada yang memproklamirkan dirinya sebagai anggota kelompok Atheis Minang. Padahal bukan hanya sekarang ada orang atheis di negeri awak. Di jaman masih ada PKI dulu, cukup banyak anggota PKI yang notabene  tidak mengakui adanya Tuhan di sana. Yang jadi anggota PKI itu dari berbagai macam lapisan anggota masyarakat. Ada yang dari lingkungan orang beragama, bahkan sudah haji. Ada dari lingkungan penghulu bergelar Datuk. Ada dari kalangan terpelajar, dari kalangan guru-guru.

Kenapa mereka jadi komunis? Jadi atheis?

Kita alih sedikit kaji. Ada pula yang menghebohkan bahwa ternyata ada pula orang Minang yang murtad, yang masuk agama Kristen. Bahkan dari kalangan keluarga ulama. Lalu mau diapakan? Kalau Allah akan membiarkan mereka fujuur? Menjadi fasiq dan meninggalkan  aqidah? Jangankan anak ulama, anak Nabi kalau akan dibiarkan sesat oleh Allah, ya tersesat saja. Itulah Kan’an putera Nabi Nuh. Ada seorang di antara rombongan sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mula-mula, yang ikut berhijrah ke Habasyah, ternyata di sana kemudian murtad. Masuk agama Nashrani. Tidak ada yang dapat menunjuki mereka. Nabi Nuh tidak berhasil memperingatkan puteranya untuk bertaqwa kepada Allah.

Terlintas pula pertanyaan di hati kita. Tanggung jawab siapa sebenarnya menjaga aqidah umat? Termasuk umat Islam di Minangkabau? Tanggung jawab ulamakah? Atau penguasakah? Atau ninik mamakkah? Atau diri mereka sendiri-sendirikah? Pada hemat saya, tanggung jawab utama itu terletak di pundak masing-masing individu. Di pundak kepala setiap keluarga. Di pundak seorang ayah. Di pundak seorang suami. Sesuai dengan perintah Allah agar setiap orang yang beriman menjaga diri mereka dan ahli keluarga mereka dari siksaan api neraka. Quu anfusakum wa ahlikum  naara.

Tugas ulama adalah untuk senantiasa mengingatkan setiap individu muslim, setiap umat Islam agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah. Tapi tugas ulama hanya sebatas mendakwahkan. Sebatas mengingatkan tanpa bosan-bosan. Memberi peringatan dan penjelasan kepada umat tentang akibat dan resiko jika seseorang melanggar perintah Allah. Penguasa bertanggung jawab memfasilitasi keberagamaan masyarakat dan  berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah dalam mengurus kemashlahatan masyarakat. Penguasa yang seperti ini yang dalam Islam disebut sebagai Ulil Amri. Seandainya mereka, para penguasa tidak melakukannya sesuai dengan yang diperintahkan Allah, itu adalah tanggung jawab mereka kelak di hadapan Allah dan biarlah mereka menanggung segala resikonya. Tapi ketika kita lalai untuk urusan ibadah kita sehari-hari, maka itu adalah tanggung jawab kita masing-masing pula.

Terakhir sekali, apa yang harus kita lakukan ketika mendengar ada di kalangan saudara-saudara kita yang atheis? Yang murtad? Kalau mungkin cobalah dakwahi. Kalau tidak, cobalah doakan agar kiranya mereka diberi hidayah oleh Allah, kembali ke jalan yang diridhai Allah. Kalau tidak berhasil juga, sadarlah bahwa mereka memang orang-orang yang dibiarkan oleh Allah untuk tersesat dan itu adalah hak dan kekuasaan Allah. Mari kita senantiasa berusaha dan berdoa agar kita dan anak keturunan kita diberi petunjuk oleh Allah dan terhindar dari siksaan api neraka.  

*****                 
     

1 komentar:

  1. dari 100.000 penduduk bkt, hanya sedikit yg shlat d surau . :'(
    aku takut allah memberi kita adzab gempa bumi lagi :'(

    BalasHapus