Kenapa Ada Orang-orang (Minang) Yang Mengingkari Islam?
Baru-baru ini ada suatu kejadian mengejutkan di Ranah Minang. Ada
seorang pegawai negeri urang awak menyatakan dirinya sebagai atheis.
Lebih dahsyat lagi dia mengatakan bahwa dia adalah anggota organisasi
Atheis Minang. Ada kelompok orang Minang yang atheis? Yang tidak percaya
dengan Allah? Siapa yang tidak akan terkejut? Atau (kebanyakan) orang
Minang mana yang tidak akan terkejut? Bukankah orang Minang itu adalah
orang-orang yang taat beragama. Yang beridiom Adat Bersendi Syara',
Syara' Bersendi Kitabullah? Kok tiba-tiba ada berita seperti ini? Tapi,
benarkah semua orang kaget? Terkejut? Mungkin tidak semua. Karena pasti
ada yang tidak kaget, sekurang-kurangnya anggota kelompok mereka itu
sendiri.
Saya termasuk yang tidak terlalu terkejut. Tidak ada suatu kelompok
(suku) bangsa yang terdiri dari berjuta-juta orang jumlahnya, serba
seragam belaka. Serba sama tingkat keimanan dan keyakinannya. Suku
bangsa manapun mereka. Begitu juga dengan orang Minang. Bahwa
mayoritas orang Minang terdaftar beragama Islam, boleh-boleh jadi saja.
Apakah semuanya penganut Islam yang taat? Apakah semuanya menjalankan
perintah agama Islam secara seksama? Secara kaffah? Tidak sulit
menjawabnya. Tidak mungkin yang demikian itu. Ada yang mereknya saja
beragama Islam, tapi dia tidak menjalankan perintah agama Islam. Dia
tidak shalat, tidak puasa, apalagi membayar zakat. Apalagi pergi
berhaji. Adakah kelompok yang seperti itu? Pasti ada dan tidak susah
mengamatinya. Cobalah amati orang-orang yang kita kenal, di sekeliling
kita. Bahkan mungkin di lingkungan sanak famili kita sendiri. Ada yang
shalih, ada yang tidak shalih. Ada yang taat dan ada yang acuh tak acuh
saja.
Di lingkungan tempat tinggal saya, di sebuah komplek 200 an buah rumah, ada 12 an keluarga urang awak.
Ada yang suami istri orang Minang dan ada pula yang campuran. Yang
laki-lakinya Minang, istrinya Jawa atau Betawi. Dan sebaliknya yang
wanitanya Minang sedangkan suaminya Jawa atau Bugis atau Madura. Yang
menarik adalah fakta bahwa hanya enam atau tujuh orang bapak-bapak urang awak
itu yang taat datang ke mesjid untuk shalat berjamaah. Saya katakan
enam atau tujuh karena ada yang masih setengah-setengah, kadang-kadang
hadir, kadang-kadang tidak. Ada yang hadirnya hanya di hari Jumat saja.
Shalat tarawih di bulan puasa pun ada yang tidak pernah datang. Dan ada
satu orang yang tidak pernah sekalipun hadir ke mesjid. Tidak hadir
shalat Id ke lapangan. Masya Allah..... Yang satu ini pernah diajak oleh
warga, jawabannya hanya senyum sinis saja.
Di kampung saya, shalat subuh paling banyak dihadiri oleh sekitar dua
puluh orang jamaah laki-laki dan sejumlah itu pula jamaah perempuan.
Penduduk kampung itu adalah sekitar 200 orang dewasa. Yang lain mungkin
shalat di rumah sendiri-sendiri. Mungkin...... Adakah orang kampung
yang tidak shalat? Ah, entahlah.....
Di mesjid Raya Bukit Tinggi shalat subuh juga dihadiri sekitar dua
puluhan orang jamaah laki-laki dan belasan orang jamaah perempuan. Tapi,
kan mesjid ini bukan di tengah pemukiman letaknya. Mesjid Baitul Haq di
ujung jalan Lurus di Kampung Cino agak sedikit lebih banyak jamaah
subuhnya. Adalah sekitar tiga puluhan orang laki-laki dan dua puluhan
jamaah wanita. Ada pula sebuah mushala dekat tempat tinggal ipar saya
di sebuah komplek perumahan pula di Garegeh - Bukit Tinggi. Kompleknya
cukup besar, yang hadir shalat subuh kurang dari sepuluh orang saja. Di
sebuah tempat lagi di pinggir kota Sawahlunto, tempat ipar saya yang
lain. Saya perlu berjalan dua ratus meter ke mesjid terdekat untuk
shalat subuh. Melalui deretan rumah-rumah. Jamaah shalat subuh hanya
satu shaf kurang dari dua puluh orang. Beberapa contoh ini barangkali
cukup untuk mewakili keadaan umum di Ranah Minang.
Coba pulalah perhatikan ketika dikumandangkan azan yang mana saja di
tengah kota Bukit Tinggi atau Padang. Cobalah perhatikan berapa banyak
yang datang memenuhi panggilan azan tersebut? Bahkan yang memenuhi
panggilan azan di hari Jum’at? Ada yang acuh tak acuh saja. Dan
jumlahnya cukup banyak.
Itu kalau kita lihat dari ibadah shalat. Di bulan puasa ada saja
orang yang terang-terangan tidak menjalankan ibadah puasa. Tidak
terkecuali di kampung kita. Di Bukit Tinggi ada lepau berkelambu di
bulan Ramadhan tempat orang makan minum di siang hari. Pernah saya
bertanya, kenapa tidak puasa? Jawabnya, sakit maag. Benarkah? Wallahu
a’lam.
Kenapa demikan tingkat keberagamaan urang awak? Yang ber ABS-SBK itu? Saya memahami, inilah ma'na dari yang difirmankan Allah, Fa alhamaha fujuuraha wataqwaaha. Ada yang ditaqdirkan Allah untuk fujuur, untuk fasik dan ada yang ditaqdirkan untuk bertaqwa. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah tiada siapapun yang akan dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tiada siapapun yang dapat menunjukinya. Dan Allah memberlakukannya secara sangat umum. Sebagaimana di kalangan orang Arab ada yang fujuur ada yang taqwa, begitu pula di tengah masyarakat Minang.
Sekedar perbandingan saja, kami pernah punya pembantu yang pernah
bekerja beberapa tahun di Arab Saudi. Dan dia bercerita, majikan Arabnya
seringkali shalat subuh di waktu dhuha. Katanya karena
tertidur. Tapi masak tiap hari tertidur? Jadi di kalangan orang Arab di
sana ada yang sekedarnya saja tingkat ketaqwaannya.
Sekarang kita terkejut mendengar ada yang memproklamirkan dirinya
sebagai anggota kelompok Atheis Minang. Padahal bukan hanya sekarang ada
orang atheis di negeri awak. Di jaman masih ada PKI dulu, cukup banyak
anggota PKI yang notabene tidak mengakui adanya Tuhan di sana. Yang jadi
anggota PKI itu dari berbagai macam lapisan anggota masyarakat. Ada
yang dari lingkungan orang beragama, bahkan sudah haji. Ada dari
lingkungan penghulu bergelar Datuk. Ada dari kalangan terpelajar, dari
kalangan guru-guru.
Kenapa mereka jadi komunis? Jadi atheis?
Kita alih sedikit kaji. Ada pula yang menghebohkan bahwa ternyata ada
pula orang Minang yang murtad, yang masuk agama Kristen. Bahkan dari
kalangan keluarga ulama. Lalu mau diapakan? Kalau Allah akan membiarkan
mereka fujuur? Menjadi fasiq dan meninggalkan aqidah?
Jangankan anak ulama, anak Nabi kalau akan dibiarkan sesat oleh Allah,
ya tersesat saja. Itulah Kan’an putera Nabi Nuh. Ada seorang di antara rombongan
sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mula-mula, yang
ikut berhijrah ke Habasyah, ternyata di sana kemudian murtad. Masuk
agama Nashrani. Tidak ada yang dapat menunjuki mereka. Nabi Nuh tidak
berhasil memperingatkan puteranya untuk bertaqwa kepada Allah.
Terlintas pula pertanyaan di hati kita. Tanggung jawab siapa
sebenarnya menjaga aqidah umat? Termasuk umat Islam di Minangkabau?
Tanggung jawab ulamakah? Atau penguasakah? Atau ninik mamakkah? Atau
diri mereka sendiri-sendirikah? Pada hemat saya, tanggung jawab utama
itu terletak di pundak masing-masing individu. Di pundak kepala setiap
keluarga. Di pundak seorang ayah. Di pundak seorang suami. Sesuai dengan
perintah Allah agar setiap orang yang beriman menjaga diri mereka dan
ahli keluarga mereka dari siksaan api neraka. Quu anfusakum wa ahlikum naara.
Tugas
ulama adalah untuk senantiasa mengingatkan setiap individu muslim,
setiap umat Islam agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah
Allah. Tapi tugas ulama hanya sebatas mendakwahkan. Sebatas mengingatkan
tanpa bosan-bosan. Memberi peringatan dan penjelasan kepada umat
tentang akibat dan resiko jika seseorang melanggar perintah Allah.
Penguasa bertanggung jawab memfasilitasi keberagamaan masyarakat dan
berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah dalam mengurus kemashlahatan
masyarakat. Penguasa yang seperti ini yang dalam Islam disebut sebagai
Ulil Amri. Seandainya mereka, para penguasa tidak melakukannya sesuai
dengan yang diperintahkan Allah, itu adalah tanggung jawab mereka kelak
di hadapan Allah dan biarlah mereka menanggung segala resikonya. Tapi
ketika kita lalai untuk urusan ibadah kita sehari-hari, maka itu adalah
tanggung jawab kita masing-masing pula.
Terakhir sekali, apa yang harus kita lakukan ketika mendengar ada di
kalangan saudara-saudara kita yang atheis? Yang murtad? Kalau mungkin
cobalah dakwahi. Kalau tidak, cobalah doakan agar kiranya mereka diberi
hidayah oleh Allah, kembali ke jalan yang diridhai Allah. Kalau tidak
berhasil juga, sadarlah bahwa mereka memang orang-orang yang dibiarkan
oleh Allah untuk tersesat dan itu adalah hak dan kekuasaan Allah. Mari
kita senantiasa berusaha dan berdoa agar kita dan anak keturunan kita
diberi petunjuk oleh Allah dan terhindar dari siksaan api neraka.
*****
dari 100.000 penduduk bkt, hanya sedikit yg shlat d surau . :'(
BalasHapusaku takut allah memberi kita adzab gempa bumi lagi :'(