Rabu, 28 Mei 2014

Lahir Sebagai Yahudi, Hidayah Membawanya Kepada Islam (Dari Dakwatuna)

Lahir Sebagai Yahudi, Hidayah Membawanya Kepada Islam

Rubrik: Hidayah | Oleh: Saiful Bahri - 30/04/14 | 17:59 | 01 Rajab 1435 H

Cahaya Islam (ilustrasi) - (Foto: baltyra.com)
Cahaya Islam (ilustrasi) – (Foto: baltyra.com)

dakwatuna.com – Musa Caplan lahir dan besar dalam tradisi Yahudi. Ia dan keluarganya rutin mengunjungi sinagog. Ia pun bersekolah di sebuah sekolah Yahudi Ortodoks.

“Saya hidup dengan keberagaman yang terbatas,” kenang dia seperti dilansir onislam.net, Rabu (30/4).

Meski berada dalam lingkaran tradisi Yudaisme, Musa menaruh minat mempelajari agama-agama lain. Ini yang selanjutnya mendorong Musa berinteraksi dengan umat agama lain, salah satunya penganut Islam.

“Saya percaya, semua agama itu sama, karena pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama yakni Allah,” kata dia.

Dari interaksi tersebut, ia mulai tahu banyak tentang Islam. Ia percaya Islam adalah agama yang mengedepankan perdamaian. Memang, Musa tidak bisa menghindari stereotip negatif tentang Islam. Beruntung baginya, interaksi dengan Muslim membuatnya memiliki perspektif baru.

“Disinilah, Allah mulai menaruh rencana pada hidup saya,” kata dia.

Musa sulit mempercayai mengapa Islam sebagai agama damai bisa melahirkan terorisme. Padahal agama ini belum tentu mengajarkan umatnya untuk membunuh orang tak bersalah. 

“Rasulullah adalah pejuang, ia tidak membunuh orang tidak berdosa, ia taruh rasa hormat, perdamaian dan toleransi,” kata dia.

Menyadari Islam bukanlah agama yang mengajari umatnya sikap kebencian, Musa mulai tertarik untuk lebih dalam mempelajarinya. Salah satu sumber yang menjadi acuannya adalah kitab Perjanjian Lama dan Alquran. Saat membandingkan keduanya, Musa melihat Alquran memiliki sumber informasi akurat tentang asal mula kehidupan, hal yang bisa dikonfirmasi melalui ilmu pengetahuan.

“Sementara, perjanjian lama telah berubah selama bertahun-tahun,” kata dia. Ambil satu contoh, ucapnya, Al Quran memaparkan bagaimana gunung-gunung terbentuk hingga tercipta lapisan atmosfer. Informasi ini sudah ada di Al Quran, jauh sebelum ilmu pengetahuan memahami itu.

Semakin mendalami Alquran, Musa kian kagum. Mulailah ia pada satu persimpangan dimana akal dan pikirannya mengerucut pada satu keinginan, yakni menjadi Muslim. Musa menyadari keputusan itu tidaklah mudah. Orang tua dan kerabatnya tentu tidak akan menerima keputusannya itu.

“Untuk saat itu, saya tidak menjalani kehidupan yang Islami sepenuhnya. Namun, berkat Allah, saya bisa melaksanakan shalat lima waktu, saya bisa mempelajari Islam secara online, dan setidaknya saya bisa secara terbuka mengakui keesaan Allah,” kata dia.

Memang tidak mudah bagi Musa menjalankan imannya itu. Ambil contoh saja, ia merasa prihatin dengan nasib bangsa Palestina. Secara pribadi, ia sangat mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel, namun keluarganya justru melihat Palestina adalah tanah milik bangsa Yahudi.

“Jujur saya mudah tersinggung soal itu,” kata dia.

Di luar kesulitannya, Musa meyakini keterbatasan yang dimilikinya saat ini tidak menghalangi niatnya mengakui Islam sebagai agama yang dipilih Allah untuknya. Memang, ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bersyahadat dihadapan umat Islam, tapi ia sudah melakukannya dihadapan Allah..

“Insya Allah, yang penting dari hal ini adalah, saya sudah berniat untuk mengunjungi masjid, tidak terlibat narkoba, mengkonsumsi alkohol dan mencuri. Tidak mudah memang, tapi Insya Allah,” kata dia. (ROL/sbb/dakwatuna)

****

Selasa, 27 Mei 2014

Seminggu Merawat Hamizan

Seminggu Merawat Hamizan

Sesuai dengan rencana perjalanan umi Hamizan, maka dia tinggal dengan kami (nenek, inyiak dan onti) sejak dari hari Sabtu 17 Mai sampai umi dan ayah kembali dengan selamat hari Sabtu tanggal 24 Mai. Masih ada bunda, abangs dan adek Rayyan di rumah depan yang wira-wiri antara rumah depan dan rumah belakang (memang begitu biasanya deskripsinya). Kebetulan pula abangs sedang libur pada minggu itu. 

Malam pertama Izan ingat umi persis ketika mau tidur. Dia bilang dia maunya tidur sama umi. Lalu inyiak bercerita bahwa umi sedang pergi ke Pau, jauh sekali, untuk mencari rumah tempat tinggal kalau nanti ayah, umi dan Izan pindah ke sana. Juga mencari sekolah untuk Izan. Dengan sedikit diskusi sebelum tidur, melibatkan inyiak, nenek dan onti, akhirnya karena sudah mengantuk, maka malam pertama itu berjalan dengan aman. 

Izan tidak mau tidur pakai selimut. Kalau diselimuti, tidak lama kemudian pasti ditendang. Kalau tidur sama umi, tergantung faktor kelelahan bermain sepertinya, kadang-kadang Izan ngompol. Waktu inyiak bangun jam empat sebelum subuh, Izan dibangunin dan diajak pipis ke kamar mandi. Dia tidak protes dan bangun dengan enteng. Setelah itu langsung melanjutkan tidur kembali. Hasil akhir, selama seminggu tidur dengan inyiak dan nenek, Izan tidak pernah ngompol.

Bangun tidur, Izan perlu beberapa menit untuk benar-benar pulih. Istilah dia sendiri selama beberapa menit tersebut adalah 'loading'. Kalau digoda, ditanya apa loadingnya sudah selesai, Izan akan bilang belum kalau dia memang belum benar-benar 'in'. Untuk urusan sarapan dan makan Izan agak sedikit sulit. Tapi dengan onti biasanya bisa lebih mudah. Sebenarnya yang jauh lebih mudah kalau berebutan dengan abangs dan adek Rayyan. Pada satu pagi inyiak membuat mi goreng (dari mi telor kering) pakai udang dan jamur. Waktu Izan ditawarin dia tidak mau. Dengan susah payah, akhirnya mau udangnya saja. Tidak lama kemudian rombongan abangs dan adek Rayyan datang. Sama onti mi gorengnya dibagi-bagi buat semua. Dan kali ini Izan juga minta bagiannya dan dia makan. Makan berebutan itu ternyata memang lebih bersemangat.

Kadang-kadang untuk makan siang Izan dibawa ke rumah depan, biar bisa makan bareng disuapin bunda. Di rumah depan acara yang menyenangkan adalah berendam di kolam renang plastik, berempat. Sambil main air tentu saja. Sambil berteriak-teriak dan bernyanyi-nyanyi.

Ternyata hari seminggu berjalan sangat cepat. Dan alhamdulillah aman. Hari Sabtu pagi tanggal 24, inyiak dan nenek pergi ke undangan walimahan anak teman karyawan Total. Izan masih tidur. Waktu inyiak dan nenek pulang Izan sedang main dengan onti. Jam sebelas inyiak dan nenek harus pergi lagi ke pertemuan keluarga. Ayah dan umi akan sampai di Bandara Soeta sekitar jam sepuluh - sebelas dan akan dijemput oleh akung dan uti. Inyiak sebenarnya ingin melihat bagaimana reaksi Izan ketika ayah dan umi datang, tapi sayang harus pergi ke pertemuan keluarga itu. Ternyata menurut cerita, Izan gembira tapi tidak berlebih-lebihan. Lebih cenderung dikatakan biasa-biasa saja. Hanya, ketika malam ditanya apakah masih mau tidur sama inyiak dan nenek, jawabannya sangat mantap. Nggak, Izan mau tidur sama umi.....

****
                            

Rabu, 21 Mei 2014

Lain Dahulu Lain Sekarang

Lain Dahulu Lain Sekarang 

Lain Bengkulu, lain Semarang. Lain dahulu, lain sekarang. Ya, iyalah. Dengan kemajuan teknologi. Kita tidak lagi hidup di jaman pergi ke kota naik delman yang ditarik kuda, duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendalikan kuda supaya bagus jalannya. Meski aku melalui jaman itu. Melalui waktu ketika untuk pergi ke kota dari kampungku di kaki gunung Marapi di Ranah Minang, harus menggunakan bendi alias delman itu. Dan aku waktu itu benar-benar merasa senang duduk di muka di samping pak kusir.

Tapi ini bukan cerita bendi atau delman. Aku terkagum-kagum dengan hasil temuan teknologi sampai saat ini. Yang paling akhir aku kagumi adalah alat komunikasi skype yang kemarin kami gunakan untuk berkomunikasi antara Jatibening dan Pau di Perancis. Perangkat ini bukan baru-baru sangat. Sudah beberapa tahun dia hadir. Dan akupun pernah menggunakannya untuk berkomunikasi ke Bandung, dengan si Bungsu. Ketika kemarin digunakan untuk jarak lebih jauh, waktu itulah aku tersentak. Betapa jarak menjadi semakin tidak berarti dengan alat canggih ini.

Terbayang masa-masa dahulu. Dari dahulu ketika aku masih kanak-kanak, naik delman tadi itu. Sampai dahulu ketika anak-anak masih kanak-kanak. Yang terakhir ini di tahun delapan puluhan awal. Kami tinggal di Balikpapan saat itu. Setiap tahun kami pulang ke kampung ketika aku mengambil cuti tahunan. Sudah naik pesawat jet. Naik taksi dari Bandara Tabing ke kampung atau dari Bandara Simpang Tiga ke rumah mertua di Pekan Baru. Artinya alat transportasi waktu itu mirip dengan sekarang. Hanya saja, untuk memberitahu bahwa kami sudah selamat sampai kembali di Balikpapan sepulang dari cuti, media penyampai berita hanyalah surat. Tidak lazim untuk mengirim telegram untuk berita seperti itu. Dan surat, seandainya begitu sampai langsung ditulis, baru akan sampai di tangan ibuku 3-4 hari kemudian. Balasannya, di mana beliau menyampaikan rasa syukur bahwa kami sudah selamat kembali di perantauan baru akan datang beberapa hari lagi kemudian.

Belum ada telepon di kampung waktu itu. Bahkan di kotapun (di tempat mertua di Pekan Baru) tidak ada telepon. Jauh sekali bedanya dengan sekarang ketika semua orang punya hape, bahkan sampai di kampung-kampung. Lalu kita bisa menghubungi siapa saja di mana saja.

Pengalaman pahit dengan pesawat telepon pernah aku alami tahun 1990, waktu kami pergi melaksanakan ibadah haji. Ketika itu terjadi peristiwa terowongan Mina yang mengambil korban lebih dari 1500 orang jamaah haji Indonesia. Kami ikut-ikutan antri di telepon umum di Mina untuk menghubungi anak-anak di Balikpapan. Aku berhasil menghubungi nomor telepon kantor dan minta disambungkan ke rumah tempat tinggal kami. Men-dial langsung ke nomor rumah dari luar negeri tidak bisa. Apa yang terjadi? Petugas telepon itu, mungkin karena sedang sibuk, tidak berhasil menyambungkan ke rumah. Habis koin 50 riyal, dan tidak ada lagi koin, telepon itu diam saja, tidak tersambung ke rumah. Dengan 15 riyal seharusnya sudah cukup untuk berkomunikasi ke tanah air. Baru dua hari kemudian dari Makkah kami berhasil menghubungi anak-anak dan adikku di Balikpapan. Padahal waktu itu semua orang senewen, menunggu dan mengamati berita TVRI yang menyiarkan nama-nama korban terowongan Mina. Anak kami yang paling tua bahkan diteror temannya yang mengatakan bahwa nama kami terbaca di antara nama-nama korban tersebut.  

Itulah bedanya. Sekarang semua orang bisa berkomunikasi audio visual ke balik bumi sana.

****                                           

Senin, 19 Mei 2014

Ketika Hamizan Ditinggal Umi

Ketika Hamizan Ditinggal Umi 

Ada sebuah rencana cukup besar di keluarga Billy Sunyoto, ayahnya Hamizan Hafidz. Dia akan dipindahkan ke Pau di Perancis dalam sebuah penempatan jangka panjang (beberapa tahun). Istilah di lingkungan Total Indonesie-nya ditugaskan IA (international assignment). Dan itu perlu persiapan tentu saja. Salah satu persiapan itu meliputi wawancara dengan orang yang akan digantikannya di Pau sana dan survai mencari tempat tinggal (rumah atau apartemen). Untuk yang terakhir ini, istri harus ikut. Begitu peraturan perusahaan.

Mereka diberi waktu dua minggu untuk mengerjakan kedua hal di atas. Berarti harus meninggalkan Hamizan selama maksimum dua minggu itu. Tapi umi Hamizan tidak tega berpisah sampai dua minggu. Lalu akhirnya dibuat rencana perjalanan yang berbeda. Ayah berangkat hari Sabtu tanggal 10 Mai. Umi berangkat seminggu kemudian, tanggal 17 Mai. Untuk umi Hamizan, sebenarnya perjalanan ini ekstra berat karena dia sedang hamil. Tapi, ya sudah tetap dijalaninya juga. 

Hamizan tinggal sama nenek dan inyiak plus onti (aunty) Nadya. Dari jauh hari sudah diberitahukan rencana berpisah selama seminggu ini dengan harapan Hamizan akan mengerti. Pada hari Sabtu keberangkatan umi, umi diantar onti ke Bandara Soeta. Hamizan bersama inyiak, nenek, bunda, abang kembar dan adek Rayyan, pergi jalan-jalan ke MM, untuk sedikit mengelabui Hamizan. Soalnya kalau dibawa mengantar umi ke bandara bisa-bisa dua-duanya nanti senewen sebelum berpisah. 

Alhamdulillah cukup aman-aman saja. Ketika kami sampai di rumah Izan bertanya uminya kemana, lalu dijelaskan bahwa umi pergi mencari rumah tempat tinggal di Pau. Dia kelihatan OK saja, mungkin sambil tidak terlalu mengerti. Malam itu aman-aman karena bermain dengan abangs dan adek Rayyan sampai agak larut sekitar jam 9.30. Sedikit masalah mulai timbul waktu diajak tidur. Teringat umi, karena biasanya memang tidur sama umi. Tapi alhamdulillah dengan cerita dan penjelasan bahwa umi sedang berada di pesawat dalam perjalanan jauh, dan ditemani nenek, inyiak dan onti Nadya, suasana bisa jadi cair dan Izan akhirnya tertidur. Tidur di tengah antara inyiak dan nenek.

Bangun pagi juga aman-aman saja meski masih bertanya keberadaan umi dimana. Hari Minggu itu sibuk bermain dengan abangs dan adek. Tidur siang ditemani abangs yang pura-pura ikut tidur, padahal abang kembar itu hampir tidak pernah tidur siang. Malamnya, alhamdulillah berkat teknologi bisa kontak melalui skype dengan umi yang baru saja sampai di Pau dan sudah bergabung dengan ayah. Umi bercerita kalau kakinya bengkak akibat terlalu lama di pesawat. Ditambah pula harus menunggu 6 jam di Bandara CDG Paris sebelum melanjutkan penerbangan ke Pau. Izan ngobrol deh sama umi, ngobrol santai-santai, tanpa nangis. Alhamdulillah.

Kemarin siang main di rumah depan (begitu disebut rumah tempat bunda beserta abangs dan adik tinggal). Begitu pula tadi malam meski masih adalah ingat-ingat umi sedikit sebelum tidur, tapi dengan penjelasan, Hamizan langsung mengerti dan tidak rewel. Diingatkan bahwa in syaa Allah hari Sabtu umi dan ayah akan sampai kembali di Jatibening.

Pagi ini sarapan sereal disuapin inyiak, karena onti ada keperluan keluar. Akung sama uti akan datang rencananya hari ini ingin ketemu Izan. Abangs belum datang (mereka libur), mungkin masih belajar karena minggu depan mereka ujian. 

Begitulah cerita tentang Hamizan Hafidz. Muhammad Hamizan Hafidz.

****                                

Kamis, 15 Mei 2014

Goresan Pedang Umar (Dari Islam Indonesia)


Goresan Pedang Umar 

Penulis : Hendi Jo 



"Sejak kapan kalimat menjadikan manusia sebagai budak, padahal mereka lahir dari rahim ibunya dalam keadaan merdeka?" (Umar ibn Khattab)

Orang tua itu tertunduk lemas. Dengan langkah gontai, ditinggalkannya gerbang istana Amr ibn Ash. Pikirannya bingung, hatinya sedih. Sebetulnya ia merasa keberatan untuk menyerahkan tanah dan gubuknya demi proyek pembangunan masjid yang dicanangkan sendiri oleh Gubernur Amr ibn Ash. Namun apa daya, ia hanya seorang Yahudi yang miskin dan sebatang kara, dan tentunya tak memiliki kekuatan untuk menghadapi seorang gubernur yang tentunya didukung oleh sebagian besar masyarakat Muslim di Mesir.

Sambil berjalan, ia kembali mengigat pembicaraan antara dirinya dengan Gubernur Amr ibn Ash: "Apa sih masalahnya hingga kamu tidak mau melepaskan gubuk dan tanah itu?" tanya sang gubernur.

"Saya tidak bisa, Tuan Gubernur. Puluhan tahun saya tinggal di sana, saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja,"jawabnya.

"Mengapa tidak bisa? Saya menawarkan harga bagus kepadamu. Kalaupun kamu tidak setuju dengan tawaran saya, kamu bisa menyebut harga yang kamu mau dan insyaallah saya akan membayarnya langsung."

"Tapi ini bukan terkait dengan uang,Tuan Gubernur…"

Amr ibn Ash terdiam. Terlihat raut mukanya menahan rasa kesal. Dengan suara perlahan namun terdengar tegas, ia kemudian berkata: "Sebetulnya, tanpa memintanya kepadamu, aku punya hak untuk membangun sebuah masjid di atas tanahmu. Toh ini bukan untuk kepentinganku sendiri, tapi demi kepentingan masyarakat."

Perundingan itu pun berlangsung buntu. Tak ada kesepakatan apapun diantara kedua pihak.

Beberapa hari kemudian, Yahudi tua itu menerima sepucuk surat perintah yang ditandatangani oleh Gubernur Amr ibn Ash. Isinya perintah kepada si Yahudi tersebut untuk secepatnya meninggalkan tanah tersebut karena tim dari kegubernuran akan meratakan gubuknya dan mengadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan sebuah masjid besar. Demi selesai membaca surat itu, bukan main sedihnya si Yahudi. Sambil menangis, ia memikirkan cara yang paling baik untuk keluar dari masalah ini. Tiba-tiba terbetik dalam pikirannya untuk mengadukan soal ini kepada atasan Gubernur Amr ibn Ash yakni Khalifah Umar ibn Khattab. Tapi bukankah sang khalifah tinggalnya jauh di Madinah sana, pikirnya. Ah, aku akan tetap ke sana, berapapun jaraknya dan seperti apapun akhirnya, yang penting aku harus berusaha dulu, pikir si Yahudi kembali.

Maka besoknya, berangkatlah si Yahudi tua itu ke Madinah. Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan panjang hingga berhari-hari, sampailah dia di Madinah. Begitu memasuki kota Madinah, tanpa membuang waktu, ia pun memasuki sebuah bangunan yang mirip Istana. Disapanya seorang Arab yang tengah tidur-tiduran di dalam "istana" tersebut.

"Salam. Sobat, bisakah aku bertemu dengan Khalifah Umar?"

"Salam. Bisa saja.Tapi saat ini, dia tidak sedang ada di sini,"ujar si Arab dengan ramah.

"Bagaimana bisa? Bukankah ini istananya Khalifah Umar?"

Sambil tersenyum, si Arab menjawab: "Bukan Sobat. Ini adalah masjid, tempat ibadah. Amirrul Mukminin tidak memiliki istana. Tapi kalau kamu ingin menemuinya, cobalah kau pergi ke sebuah kebun kurma di perbatasan kota. Biasanya disanalah, ia menghabiskan waktunya."   

Setelah mengucapkan terimakasih si Yahudi tua bergegas ke perbatasan kota. Demi dilihatnya seorang lelaki bersahaja tengah duduk sambil mulutnya berzikir di bawah sebatang pohon kurma, ia langsung berkata: "Salam. Wahai sobat, bisakah kamu mempertemukanku dengan Khalifah Umar?"

Alih-alih langsung menjawab, lelaki Arab itu malah menatap wajah si Yahudi tua. Seraya menghentikan zikirnya, ia lantas menjawab: "Salam. Apa yang bisa aku lakukan wahai Sobat?"

"Aku ingin bertemu dengan Khalifah Umar…"

"Akulah Umar. Apa yang bisa aku lakukan?"

"Wahai Sobat, aku ini sudah tua dan datang dari tempat yang sangat jauh, janganlah kamu permainkan aku…" ujar si Yahudi tua dalam nada memelas.

"Demi Allah, akulah Umar yang kamu cari. Apa yang bisa aku bantu,Sobat?" jawab lelaki yang tak lain adalah Umar ibn Khattab tersebut, sambil tersenyum. 

Kemudian dengan sedikit agak ragu, si Yahudi tua itu menceritakan masalahnya dari A sampai Z. Begitu selesai mendengarkan cerita yang disampaikan lelaki tua di hadapannya, merah padamlah wajah Umar. Setelah terdiam beberapa saat, ia meminta izin untuk pergi sebentar. Sekitar 2 menit kemudian, dia datang membawa sebuah tulang onta. Dengan gerakan cepat, tulang onta itu ia kemudian ia gores memakai pedangnya.

“Berikan tulang ini pada Amr bin Ash di Mesir,” kata Sang Khalifah.

Si Yahudi tua itu menatap bingung. “Tuan, apakah Tuan tidak sedang mempermainkanku…” ujar Yahudi itu dalam nada pelan.

Umar ibn Khattab tersenyum. Dipegangnya pundaknya si Yahudi tua."Percayalah, aku tak pernah mempermainkan seseorang yang tengah terzalimi."

Akhirnya si Yahudi tua pun pulang ke Mesir. Begitu tiba di Mesir, tanpa buang waktu ia lalu melangkah ke Istana Kegubernuran dan memberikan tulang onta itu kepada Amr ibn Ash. Begitu mememegang tulang onta dan mengetahui itu dari atasannya di Madinah, pucat pasilah wajah Sang Gubernur. Ia kemudian memanggil para bawahannya dan memerintahkan saat itu juga untuk menghentikan proyek pembangunan masjid sekaligus membangun kembali tempat tinggal si Yahudi tua tersebut. 

“Aku minta maaf. Silakan kamu menempati kembali tanahmu,”  ujar Amr bin Ash gemetar.

Si Yahudi tua bengong. Antara gembira, takjub dan penasaran memenuhi dadanya.

"Jika Tuan tidak keberatan bisakah Tuan memberitahukan kepadaku apa arti tulang yang diberikan Tuan Khalifah kepada Tuan itu?" tanyanya. 

Amr ibn Ash menghela nafas.

"Dengan tulang yang tergores pedang itu, Amirul Mukminin seolah mengatakan kepadaku: Wahai Amr ibn Ash berlaku adillah! Ingatlah suatu hari kamu akan seperti tulang ini. Jika kamu tidak mau berlaku adil, maka aku sendiri yang akan meluruskanmu dengan pedang yang menggores tulang ini…"

Sumber:Islam Indonesia

Rabu, 14 Mei 2014

Jalan Tol Jakarta Yang Semakin Mengesalkan

Jalan Tol Jakarta Yang Semakin Mengesalkan  

Dalam kondisi ideal dan normal, berapa jarak yang bisa kita tempuh jika kita berkendaraan (mobil) selama 7 jam di jalan tol di negeri kita ini? Kalau misalnya kita menempuh jalan tol Cipularang sejak dari Cawang di Jakarta sampai Cihampelas di Bandung, dalam 7 jam itu kita bisa menyelesaikan Jakarta - Bandung, Bandung - Jakarta dan sekali lagi Jakarta - Bandung. Bukan suatu rekor yang indah sangat, untuk menyelesaikan kurang sedikit dari 400 km dalam 7 jam melalui jalan bebas hambatan.  

Kemarin siang kami pergi ke Bandara Soeta menjemput Hamizan dan uminya. Pesawat mereka diperkirakan akan sampai di Soeta jam 5 sore. Kami (aku, istri dan si Bungsu) setelah berkonsultasi dengan Mat Google untuk menanyakan kondisi lalu lintas, akhirnya berangkat sesudah shalat asar, jam setengah empat kurang. Karena menurut informasi yang kami peroleh, jarak ke Bandara dapat ditempuh kurang dari 2 jam. 

Kami bisa memacu kendaraan di sepanjang jalan tol Cikampek arah ke Jakarta sejak dari Jatibening. Di board pemberitahuan sebelum pintu tol Halim terbaca bahwa jarak antara Halim dan Cawang ditempuh dengan kecepatan 5 - 10 km/jam. Ini pertanda buruk, dan aku mengenal betul bagaimana padatnya kendaraan begitu keluar dari pintu tol Halim kalau dikatakan kecepatan 5 - 10 km/jam itu. 

Ternyata benar. Kendaraan bukan main banyaknya, beringsut-ingsut dengan sangat lambat.  Penyebabnya adalah karena adanya pertemuan kendaraan-kendaraan dari Cikampek dan dari Jagorawi  di Cawang. Aku sudah berpengalaman betul dengan ruas Halim - Cawang ini. Aku masih berharap bahwa sesudah Cawang, sebelum Pancoran kemacetan ini akan terurai pelan-pelan. Dugaanku ternyata salah. Jam lima lebih kami masih berada di depan Rumah Sakit Tebet. 

Jam setengah enam, kami baru lewat sedikit dari patung Pancoran. Kami hubungi uminya Hamizan dan menyuruh mereka untuk menunggu, setelah memberitahu posisi kami dalam jebakan kemacetan. Dan kemacetan itu masih berketerusan melalui Kuningan dan Semanggi, meski kali ini sedikit lebih bernafas. Mungkin 15-20 km/jam. Waktu azan maghrib berkumandang kami masih di Mampang. Kami shalat maghrib sambil terus berkendara beringsut-ingsut. Melalui Semanggi, Slipi dan Tomang. Alhamdulillah, di Tomang barulah selesai kemacetan itu. Biang macet adalah tertumpuknya kendaraan yang mengarah ke Merak melaui tol Kebun Jeruk. 

Masih agak sedikit tersendat di beberapa bagian tol Bandara. Akhirnya jam 7, setelah menyetir 3 1/2 jam kami sampai di terminal 2F Bandara Soeta. Bertemu dengan Hamizan dan uminya, serta teman umi Hamizan dan anaknya pula yang baru sama-sama datang dari Balikpapan. Mereka sedang makan malam di sebuah restoran. Kami bertiga ikut memesan makan malam pula, karena perjalanan pulangpun tampaknya tidak akan lancar. 

Jam 8 kami tinggalkan Bandara Soeta menuju Jatibening. Sedikit lebih lancar, kecuali macet antara Slipi - Cawang dengan kecepatan kendaraan 15-20 km/jam lagi. Dan sampai di rumah di Jatibening jam 10 malam. Hampir 7 jam untuk pulang-pergi Jatibening - Bandara Soeta. Melalui jalan tol yang seharusnya berarti bebas hambatan. Tapi dalam kenyataannya, penuh dengan hambatan dan kemacetan. Namun tetap dikenai biaya tol. Itulah kondisi jalan tol Jakarta yang sangat-sangat memprihatinkan.

****                         

Selasa, 13 Mei 2014

Imam Shalat

Imam Shalat

Suatu ketika beberapa pekan yang lalu, pada shalat isya aku membaca beberapa ayat dari surah An Nissa (sampai ayat 147). Ternyata pada ujung ayat ke 147 itu aku salah membacanya. Bagian akhir ayat itu seharusnya berbunyi: 'Wa kaanallahu syaakiran  'aliimaa.' dan aku membaca 'innallaaha syaakiran 'aliimaa...' Tidak ada yang membetulkan.

Sesudah selesai shalat dan akan beranjak keluar mesjid mau pulang, seseorang (jauh lebih muda dariku) menghampiriku. Dia memberi tahu bahwa aku tadi salah dalam membaca ayat seperti di atas. Kenapa sampeyan tidak membetulkannya tadi dalam shalat? tanyaku. Dia beralasan bahwa dia berdiri agak jauh. Aku berterima kasih kepadanya. Hatiku langsung berdetak bahwa orang (muda) ini pasti lebih menguasai bacaan al Quran.

Beberapa hari kemudian, waktu shalat isya juga, aku melihatnya di barisan jamaah. Mungkin karena agak grogi, aku salah dan lupa lagi dalam membaca ayat. Kali ini terdengar seseorang mengingatkannya dan aku membetulkan bacaan itu serta meneruskan sampai beberapa ayat yang lain. 

Baru ketika itu ada jamaah yang memberi tahu bahwa orang (muda) yang membetulkan bacaanku itu adalah seorang hafidz dan beliau itu imam mesjid Al Azhar Jaka Sampurna. Kalau memang demikian adanya, setiap kali dia hadir, aku akan menyuruhnya mengimami shalat. Tidak pantas aku yang hanya hafal beberapa bagian kecil (sedikit sekali) ayat al Quran jadi imam bagi seorang hafidz, begitu pendapatku.

Dan aku lakukan demikian. Setiap kali dia hadir di mesjid kami, baik waktu shalat isya ataupun subuh, aku mempersilahkannya menjadi imam. Dia menerimanya dan mengimami kami shalat. Bacaannya bagus dengan irama yang bagus pula (irama bacaanku biasanya lurus-lurus dan sederhana saja).  

Pada kesempatan ta'lim hari Ahad subuh dengan seorang ustadz yang rutin mengisi pengajian dua minggu sekali, masalah imam ini didiskusikan dengan ustadz tersebut. Karena rupanya ada di antara jamaah mesjid kami yang kurang puas dengan pergantian imam shalat. Ustadz itu menyarankan agar aku (yang diangkat oleh jamaah menjadi imam rawatib di mesjid kami) tetap menjadi imam dan jangan menyerahkan tugas imam ini begitu saja, karena aku menerima amanah untuk itu. Tapi, kataku, bukankah dia lebih baik dan lebih banyak hafalan bacaannya dariku. Oleh ustadz itu ditambahkan bahwa beliau itu hanya tamu di mesjid ini. Jadi imam mesjid tetaplah sampeyan, katanya kepadaku. Memang biasanya, dengan ustadz inipun, yang hafalannya juga lebih banyak dariku, aku biasa saja mengimami shalat, karena beliau bukan jamaah tetap di mesjid kami.

Itulah yang terjadi sementara ini di mesjid di komplek kami.   

****                           

Minggu, 11 Mei 2014

Nama, Panggilan Dan Cara Orang Memanggilku

Nama, Panggilan Dan Cara Orang Memanggilku  

Pada sebuah acara pertemuan seseorang memanggilku dari jauh dengan setengah berteriak..... M. Dafiq! Aku kaget bercampur heran. Sudah sangat lama aku tidak mendengar panggilan seperti itu.  

Namaku Dafiq. Muhammad Dafiq, nama pemberian ibu dan nenekku. Nama yang panjang itu biasa disingkat dengan M. Dafiq. Di rumah aku dipanggil Daf. Si Daf. Tapi di sekolah tentu saja nama ditulis lengkap. Waktu masih di Sekolah Rakyat, M. Dafiq cukuplah untuk ditulis di buku rapor, sementara sehari-hari aku tetap dipanggil Daf. Karena semua guru-guru adalah orang sekampung yang mengenalku dengan nama panggilan yang singkat itu.

Ketika melanjutkan sekolah ke SMP (SMP 3 di Tanjung Alam, berjarak 3.5 km dari kampungku) nama yang didaftarkan  adalah M. Dafiq dan guru-guru memanggilku seperti itu. Tetapi umumnya teman-teman yang datang dari berbagai kampung tetap menyapa dengan  panggilan Daf, seperti kawan-kawan sekampung memanggilku. Kecuali beberapa murid perempuan yang jarang berinteraksi langsung, mereka meniru panggilan guru-guru, M. Dafiq. Nah yang memanggilku di pertemuan yang kutulis di awal tulisan ini adalah salah seorang teman perempuan itu.

Dari SMP aku melanjutkan ke SMA di Rumbai (ikut dengan kakak sepupu). Nama yang tertulis di ijazah SMP sedikit mengalami perubahan menjadi Mohd. Dafiq S. Di SMA semua orang memanggilku Dafiq, dengan penyingkatan menjadi Fiq. Tidak ada lagi yang menggunakan nama panggilan seperti di rumah. Aku tidak protes ketika dipanggil Fiq..., Fiq..., Dafiq.....

Hal yang sama berlanjut ketika aku kuliah di Bandung. Namaku biasanya aku tulis utuh Muhammad Dafiq Saib. Saib adalah nama ayahku yang sedikit dimodifikasi. Nama beliau Saibi, tapi kami anak-anak beliau menghilangkan huruf terakhir.

Tahun 1975 meskipun belum selesai kuliah, aku bekerja di sebuah perusahaan eksplorasi minyak (Petromer Trend). Atasanku seorang Canada, bertanya tentang nama panggilanku dan aku jawab, panggil aku Dafiq. Tapi dia mengusulkan, bagaimana kalau aku panggil kamu Dave (David), katanya. Mungkin karena lebih mudah baginya mengucapkan seperti itu. Aku tidak keberatan (waktu itu). Jadilah di lingkungan kerja, aku  dikenal sebagai Dave Saib. Sedangkan untuk penulisan nama, meniru-niru orang-orang asing itu, namaku ditulis sebagai Muhammad D. Saib atau M.D. Saib. 

Nama M.D. (Dave) Saib berketerusan ketika aku bekerja di Total Indonesie. Banyak kawan-kawan sekantor yang tidak tahu nama asliku. Mereka hanya kenal Dave Saib. Atau pak Saib. Bahkan dengan ustadz-ustadz yang aku kenal selama di Balikpapan, karena aku cukup aktif di pengajian-pengajian, beliau-beliau itu mengenalku dengan nama ini. 

Sejujurnya, setelah semakin berumur, terutamanya setelah mendengar pengajian ada juga rasa risih dan sesal dengan nama yang bukan asli. Di berbagai kesempatan aku coba menjelaskan bahwa nama asliku bukan Dave Saib. Tapi sepertinya sudah susah bagi mereka merobah panggilanku.

Di tempat tinggalku sekarang di Jatibening, alhamdulillah aku dikenal para tetangga sebagai pak Dafiq. Ada ustadz yang aku kenal sejak di Balikpapan, kami undang ke mesjid di komplek kami. Waktu beliau menyapaku sebagai pak Dave Saib, para jamaah perlu menegaskan, 'maksudnya pak Dafiq?'

****
                                  

Jumat, 09 Mei 2014

Nikmat Fisik Yang Dikurangi Sedikit Demi Sedikit

Nikmat Fisik Yang Dikurangi Sedikit Demi Sedikit 

Rambut putih, mata mulai memerlukan bantuan kacamata, gigi mulai lepas, pendengaran berkurang, tungkai mulai lemas, jari-jari tangan mulai susah ditekuk, kulit mulai keriput..... Semua itu adalah bagian dari nikmat fisik yang pernah diberikan Allah Ta'ala tapi perlahan-lahan mulai dicabut satu persatu. Dan Allah Maha Kuasa untuk mengambilnya kembali. Pertanda apa itu?

Seorang jamaah mengeluhkan bahwa dia tidak mampu lagi datang secara teratur untuk berjamaah ke mesjid karena kakinya sakit dibawa berjalan dan berdiri lama. Dia mengatakan, sekarang terasa betul nikmatnya ketika dulu dia tidak punya masalah dengan kakinya. Tapi sekarang nikmat itu sudah dikurangi. Setiap kita (yang terlahir normal) pasti merasakan berkurangnya nikmat-nikmat tadi sesuai dengan bertambahnya umur. Entah diawali dengan rambut yang memutih, atau dengan penglihatan yang mulai tidak normal, atau gigi yang mulai lepas atau apa saja. Ada yang berusaha menunda datangnya gejala penuaan itu dengan menggunakan obat-obatan atau vitamin tambahan. Tapi tetap saja, katakanlah obat-obat itu mampu sedikit menunda, namun tidak akan mampu membatalkannya.

Tentu saja kita boleh berikhtiar mengobati atau mengganti ketika ada bagian dari tubuh kita yang tidak berfungsi dengan semestinya lagi. Kita boleh menggunakan kacamata. Menggunakan gigi palsu. Memakai alat bantu pendengaran. Tapi biasanya segera kita memahami pula, bahwa alat-alat bantu itu tidak dapat menggantikan ciptaan Allah yang asli. 

Pertanda apa itu? Berkurangnya nikmat dan kemampuan fisik adalah suatu isyarat. Bahkan menurut riwayat, fenomena itu adalah suatu peringatan dari malaikat maut tentang semakin dekatnya waktu kita (setiap kita) akan dijemputnya. Kita yang terlahir dalam keadaan lemah, ditumbuhkan Allah Ta'ala menjadi dewasa. Kekuatan dan kemampuan fisik kita mencapai suatu titik optimal pada saat tertentu lalu kemudian dari titik puncak itu, ia mulai menurun. Mulai berkurang sedikit demi sedikit. Artinya kita secara perlahan-perlahan melangkah menuju akhir. Dan akan berakhir dengan kembali kepada Sang Maha Pencipta. Karena sesungguhnya kita datang dari-Nya dan kepada-Nya kita dikembalikan.  

Tinggal masalahnya, adakah kita menyadari hal itu, ketika setiap nikmat itu dikurangi-Nya secara bertahap dari tubuh kita. 

*****
                                  

Ini Kisah Penjagal Halal Di Pedalaman Australia (Dari Nabawia.com)

Ini Kisah Penjagal Halal di Pedalaman Australia (Dari Nabawia.com)

(Mungkin ini terjemahan dan bahasanya agak berantakan)

Abdul Mohammad Azis telah lebih dari 60 tahun menjadi jagal di rumah potong hewan halal di pedalaman Queensland, Australia. Pria berusia 82 tahun ini mulai menjalankan aktivitasnya itu sejak dia masih sangat muda. Dia menyembelih hewan pertamanya pada usia 16 tahun. Dia hanya mencontoh apa yang dilakukan ayahnya di pejagalan hewan selama bertahun-tahun dan saat Abdul muda sudah cukup umur untuk mengemudi,  tiba waktunya bagi dia untuk menyembelih.
 
"Bagi saya, sama sekali tidak menakutkan lagi. Saat saya mulai melakukannya... Kami hanya komunitas kecil dan ayah hanya menyembelih seekor sapi jantan setiap minggu."
 
"Saya biasa melihat ayah, bagaimana ia melakukannya, kemudian ia menyaksikan beberapa kali saat saya melakukan penyembelihan dan hal itu sama sekali tidak mengganggu saya."
 
"(Menyembelih) merupakan sesuatu yang harus saya lakukan, dan saya melakukannya."
 
Saat ini, Abdul Aziz tetap aktif terlibat dalam pemotongan sapi secara halal, atas nama komunitas Muslim, di pedalaman Queensland Selatan.
 
Setiap 6 hingga 8 minggu, ia berkunjung ke daerah Atherton, di sebelah barat Cairns, untuk memastikan proses pemotongan hewan sesuai dengan hukum Islam.
 
Shalat merupan ritual sehari-hari imam berusia 82 tahun ini.
 
Namun, pada kesempatan kali ini, ia bangun lebih awal, supaya bisa shalat subuh dan tiba tepat waktu di pejagalan.
 
"Sebenarnya kita meminta izin kepada Tuhan untuk menyembelih hewan milk-Nya. Ini hanya doa sederhana, yang artinya dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar. Itu saja," katanya.
 
'Sebelum kita memotong lehernya, kita harus mengucapkanya kata-kata itu," tambahnya.
 
Menurut keyakinan Muslim, sebelum hewan bisa dimakan, penyembelihannya harus sesuai dengan tatacara tertentu.
 
Abdul Aziz dan karib lamanya, Abdul 'Roy' Raheem Ali sedang bersiap-siap untuk penyembelihan ini.
 
"Kita punya kewajiban untuk berbuat yang baik," Roy menyejelaskan. "Bahkan pada hari saat kita akan menyembelih. Halal tidak semata-mata berarti memotong leher".
 
"Halal itu juga berarti saat menangani hewan-hewan, anda harus penuh kasih sayang kepada mereka dan pastikan menyembelihnya dibuat semudah mungkin bagi mereka," tambahnya.
 
Jalan menuju pejagalan Rocky Creek sudah familiar bagi sang imam, yang sudah mengawasi proses dan mendoakan hewan-hewan sebelum disembelih selama 66 tahun.
 
Di tempat penyembelihan, 16 sapi mengantri dengan tenang, seperti tidak sadar dengan nasibnya, dan sang Imam percaya diri dengan proses yang harus ia
 
"Sapi-sapi tidak terlalu kesakitan selama proses yang halal. Mereka bebas jalan-jalan di talang, setiap sapi jantan kemudian terhimpit (di talang) tersebut , dipukul dengan pukulan yang membuatnya tidak sadar, perlu waktu sekitar 20 menit untuk memotong lehernya... dan membiarkan seluruh darahnya keluar," jelas Azis.
 
Seseorang yang tidak pernah jauh dari ruang produksi adalah manajer Victor Byrnes, yang keluarganya sudah menjalankan pejagalan dan toko daging sejak 1960an.
 
Victor mengatakan salah satu keuntungan fasilitas proses yang dimiliki orang lokal  adalah lebih fleksible terhadap kebutuhan konsumen, termasuk komunitas Muslim.
 
"Sebetulnya persyaratannya sama saja terhadap seluruh konsumen kami bahwa kami tetap mempertahankan kebersihan. Kami bekerja dengan ukuran dari Safe Food Queensland dan kami juga taat pada kebijakan perusahaan kami," katanya.
 
"Selama proses penyembelihan halal berlangsung, kami melakukannya di pagi hari, karena lokasi masih bersih, pisau dan seluruh perlengkapan belum tersentuh produk yang tidak diberkati... kami hanya bekerja dengan Abdul, pada saat ia mendoakan setiap hewan," papar Victor.
 
Menurut dia, ini hanya masalah bagaimana memastikan bahwa bisnis sehari-hari tetap berlangsung dengan tenang dan dengan meminimalisir stress bagi hewan-hewan.
 
"Hewan-hewan lebih mudah ditangani akhir-akhir ini dan kami menemukan hewan-hewan menjadi lebih tenang dan padahal dulu mereka sedikit gaduh, sehingga mereka merasa tidak terganggu ketika datang ke pejagalan," ujarnya.
 
Jelas terlihat rasa tanggung jawab kepada produsen, konsumen dan hewan. 'Ini merupakan proses yang sulit," Victor Bryrnes mengakui.
 
Dikatakan, produsen sendiri menghabiskan dua hingga tiga tahun untuk membesarkan hewan-hewan, sehingga (produsen) memiliki kedekatan dengan mereka dan kita lihat saat kita datang ke tempat penyembelihan, ini bisa menjadi sulit.
 
"Tapi teruskan saja dan lakukan sebaik mungkin," ucapnya.
 
Tampak jelas dari reaksinya ketika muncul berita kekejaman kepada hewan-hewan dari Australia di luar negeri, umumnya di negara-negara Muslim, muncul rasa  jijik dari diri Imam Aziz.
 
Kekejaman kepada hewan tidak ada tempatnya dalam keyakinannya, ia berkata penuh empati. "Saya sangat benci saat melihat beberapa hal tersebut di televisi. 'Mereka mengabaikan aturan Islam, bahkan hingga (aturan) sebaiknya tidak mengasah pisau di depan hewan yang masih hidup," kata Azis.
 
Ia menambahkan, "Merupakan kesalahan dengan mengikat hewan-hewan tersebut dalam jangka waktu yang lama sebelum menyembelihnya, mereka harus bebas dan pada saat terakhir, ikat, potong dia, dan tuntaskan sesingkat mungkin". (australiaplus/ds)
 
****

Kamis, 01 Mei 2014

Setan Hadir Pada Saat Sekarat (Dari Islampos)

Setan Hadir pada Saat Sekarat

Kamis 1 Rejab 1435 / 1 Mei 2014 20:00


orang mati Setan Hadir pada Saat Sekarat

Pada saat maut tiba, setan sangat antusias menghadapi hal ini agar kesempatan tersebut tidak luput darinya. Dalam Shahih Muslim disebutkan dari Jabir Ibn Abdullah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh setan mendatangi salah seorang kalian dalam setiap situasi dan kondisi bahkan pada saat makan. Dan jika kunyahan makanan salah seorang kalian jatuh, hendaklah ia membersihkan bagian yang kotor lalu memakannya dan tidak membiarkannya dimakan setan. Jika ia telah selesai makan hendaklah ia menjilat jari-jarinya, karena ia tidak tahu di makanan yang mana terdapat keberkahan.”

Para ulama menyebutkan bahwa setan mendatangi manusia pada saat-saat genting itu dengan menyamar sebagai ayah, ibu atau orang lain yang dikenal sambil memberi naeshat dan mengajak untuk masuk agama Yahudi, Nasrani atau agama lain yang bertentangan dengan Islam. Pada saat itulah Allah menggelincirkan orang-orang yang telah ditakdirkan sengsara. Inilah makna ayat, “(Mereka berdo’a), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau member petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).”

Abdullah, putra Imam Ahmad ibn Hanbal, berkisah, “Aku menyaksikan wafatnya ayahku, dan di tanganku ada kain lap untuk mengusap jenggotnya yang lebat. Pada saat itu beliau pingsan kemudian sadar, lalu beliau berkata sambil menunjuk dengan tangannya, “Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah!”

Ia melakukan hal itu berulang-ulang.

Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Hai ayahku, apa yang engkau lihat?’

Ia menjawab, ‘Setan berdiri di dekat terumpahku sambil menggigit ujung jari, dan berkata, “Hai Ahmad, ikutilah bujuk rayuku!”

Akupun berkata, ‘Tidak, enyahlah! Tidak, enyahlah, sampai aku matipun!’

Al-Qurthubi berkata: “Aku mendengar guru kami, Imam Abu al-Abbas Ahmad ibn Umar al-Qurthubi, berkata, ‘Aku menyaksikan ketika saudaraku, Syekh Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Qurthubi, sedang sekarat, di Cordova. Dikatakan kepadanya, ‘Ucapkanlah la ilaaha illa Allah.’ Namun, jawaban yang keluar dari mulutnya, ‘Tidak! Tidak!’

Saat ia siuman, kami menceritakan hal itu kepadanya. Ia pun bercerita, ‘Datang dua setan di sebelah kanan dan kiriku. Salah satunya berkata, ‘Matilah dalam keadaan beragama Yahudi, karena Yahudi adalah agama terbaik.’

Yang satunya berkata, ‘Matilah dalam keadaan Nasrani, karena Nasrani adalah agama terbaik.’

Akupun menjawab, ‘Tidak! Tidak!’

Menurut Ibn Taimiyah, kejadian seperti ini tidak mesti berlaku sama bagi setiap orang. Bahkan pada sebagian orang, ditawarkan lebih dari dua agama sebelum matinya. Sedangkan sebagian lagi malah tidak ditawarkan. Ini semua termasuk fitnah kehidupan dan fitnah kematian yang kita ajurkan untuk menyebutkan bahwa setan sering menggoda manusia pada saat sekarat, karena saat itu adalah waktu hajat.

Beliau berdalil dengan hadis, “Amal itu tergantung penghujungnya.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang hamba beramal dengan amalan ahli surga, namun ketika jarak antara dia dan surga tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuk nerakalah ia. Seorang hamba beramal dengan amalan ahli neraka, namun ketika jarak antara dirinya dengan neraka tinggal sehasta, takdir mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli surga, maka masuk surgalah ia.”

Karena itu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan, “Setan itu paling keras upayanya dalam menggoda anak Adam adalah saat sekarat. Ia berkata kepada kawan-kawannya, ‘Perhatikan dia, sebab bila ia luput, maka selamanya kalian tidak dapat mengambil keuntungan darinya.’” [rika/islampos/ensiklopedia]

****