Selasa, 29 Januari 2013

Denominasi

Denominasi

Kata-kata ini tiba-tiba muncul akhir-akhir ini. Artinya lebih kurang mengatur ulang penyebutan nilai uang. Kabar-kabarnya, nilai uang negeri ini akan dihilangkan nolnya tiga buah. Sehingga nanti kita tidak lagi mengatakan seribu rupiah tapi cukup serupiah. Tidak lagi mengatakan seratus ribu rupiah tapi seratus rupiah. Dan sejuta kita sebut seribu. Begitu kira-kira. 

Kalau hal ini terjadi nanti, maka aku akan mengalami penghilangan tiga buah angka nol dalam uang republik ini sebanyak dua kali. Yang pertama dulu tahun 1965. Persis seperti itu pula. Waktu itu uang yang dikurangi tiga angka nolnya dijuluki dengan tambahan kata-kata 'baru'. Satu rupiah baru yang sama nilainya dengan seribu rupiah lama. Kedua jenis uang baru dan uang lama itu berjalan bersama beberapa bulan. Lalu tinggal uang baru yang segera saja jadi usang. Yang kekuatan belinya segera saja merosot. Tidak berlama-lama kita waktu itu berbilang serupiah dua rupiah, sebentar kemudian jadi sepuluh dua puluh, lalu seratus dua ratus dan seterusnya, dan seterusnya.

Meski kata yang mengatur negeri, denominasi kali ini akan beda. Nilai rupiah akan dipertahankan sama. Yang akan berubah hanya penyebutannya saja, seperti kita bahas di atas tadi. Tapi, aku kok tidak terlalu yakin. Jika nanti tidak ada uang kertas seratus ribu karena diganti dengan uang kertas seratus, rasa-rasanya pemerintah akan segera saja pula memerlukan pecahan yang lebih besar. Dikeluarkan pula uang kertas lima ratus atau bahkan seribu, yang artinya akan sama dengan lima ratus ribu dan sejuta sekarang. Kemudian nilai uang itu akan pelan-pelan tapi pasti merosot lagi nilainya. Jangan-jangan dalam beberapa tahun sesudah denominasi itu, kita akan kembali punya uang kertas seratus ribu, yang artinya sama dengan uang kertas seratus juta uang sekarang.

Nilai tukar uang kita ini memang agak menyedihkan sepanjang sejarahnya. Hampir-hampir tidak pernah bisa bebas dari inflasi. Dan inflasinya sangat luar biasa. Bahkan pernah mengalami gejolak mencengangkan dalam waktu singkat seperti di tahun 1997. Ketika terjadi krisis moneter di Asia. Ketika itu semua mata uang Asia digonjang-ganjingkan entah oleh kekuatan apa. Hanya anehnya, mata uang Asia lainnya seperti Korea, Malaysia, Thailand, Philipina, Singapura dan sebagainya itu, tidak berapa lama kemudian kembali ke nilai tukar semula. Sementara rupiah kita hancur permanen. Sebelum krisis  1 dollar US  setara dengan Rp 2000 dan selama krisis itu anjlok sampai Rp 17000. Waktu nilai tukar uang negara-negara Asia lainnya kembali stabil, rupiah akhirnya bertahan dikisaran 8000 sampai 10000. Alias seperempat atau seperlima dari nilai sebelum krisis. Aku yang awam tidak pernah tahu apa penyebabnya.

Itu saja bagiku yang agak jadi pemikiran. Meskipun tidak akan ada pengaruh apa-apa terhadap rencana pemerintah untuk melakukan denominasi itu.

*****                             

Sabtu, 26 Januari 2013

Rasa

Rasa

Hari Ahad pekan lepas. Karena jalan cukup lancar. Karena waktu masih panjang sebelum kembali ke Jakarta dengan pesawat jam 19.25 malam, padahal hari baru jam dua siang. Maka kami singgahlah di sate mak Syukur Padang Panjang. Walau sebenarnya singgah ini lebih banyak isengnya. Ingin sekedar melepas taragak, konon. Kenapa demikian, karena baru jam sebelas, tiga jam sebelumnya, kami makan di sebuah lepau spesialis gulai ikan air tawar alias ikan tabek di Gaduik. Makan yang pastinya luar biasa dengan gulai kepala ikan mas besar, dengan baluik goreng lado mudo. Lalu sekarang berhenti pula di mak Syukur.

Kata pemantas sebelumnya adalah ingin minum kopi. Karena sejak dari Bukit Tinggi beberapa kali menguap sambil memegang stir. Eloklah diminumkan kopi agak secangkir, untuk melawan kantuk. Begitu biasanya, meski sehari-hari aku bukan lagi pelanggan kopi. Kalau minum kopi di kedai mak Syukur tentu tidak afdal pula kalau satenya tidak dicoba agak sedikit.

Aku penikmat makanan dan cukup faham tentang rasa. Aku tahu mana rasa yang enak sekali, yang enak biasa-biasa, yang kurang enak, yang tidak enak. Ada batas yang sangat jelas di lidahku untuk hal-hal seperti itu, terlebih-lebih untuk masakan orang Minang. Kata iklan, rasa itu gak pernah bohong. Aku setuju itu.

Nah! Inilah yang aku rasakan tentang sate mak Syukur hari Ahad pekan lepas itu. Rasa sate dan kuah sate itu agak jauh tercecer entah dimana. Rasanya kurang sekali dari yang dulu-dulu aku kenal. Kurang garamnya. Kurang gurihnya. Kurang menggigit dan pedasnya. Apakah bukan karena aku makan ketika masih kekenyangan? Aku yakin tidak. Bukan karena itu. Benar-benar rasa itu jauh sekali berbeda. Ini sesuatu yang harusnya disadari betul oleh pengelola sate mak Syukur. Tidak mungkin bahwa di antara staf mak Syukur tidak ada yang menyadari hal itu.  

Ini memang kelemahan dari masakan urang awak yang bumbunya diracik dan ditakar dengan tangan. Banyaknya bumbu seringkali disesuaikan dengan feeling dari tukang masak. Dan feeling itu seringkali tidak konstan. Maka sering terjadi rasa masakan berubah dan bertukar. Dari enak menjadi tidak enak. 

Satu contoh yang lain adalah rasa ayam goreng pop di restoran-restoran Padang. Rasanya tidak ada standar meskipun di restoran yang sama, semisal Sederhana. Ayam goreng pop itu aku kenal pertama sekali di akhir tahun 1960an buatan Rumah Makan Simpang Raya di depan Mesjid Raya Bukit Tinggi. Teringat-ingat terus rasanya. Dan sepertinya resep itu dituliskan oleh penemunya untuk digunakan oleh restoran yang sama di tempat lain. Karena beberapa belas tahun kemudian, aku dan keluarga makan di Simpang Raya di Muaro Bungo - Jambi dalam perjalanan darat dari Jakarta ke kampung, rasanya masih sama. Begitu kata lidahku. Tapi sekarang, rasa ayam pop  di RMP Simpang Raya pun sudah tidak sama. Sudah tercecer entah di mana. Meski namanya masih ayam pop juga.

Kembali ke cerita sate. Dekat tempat aku tinggal, di jalan Pondok Kelapa pernah ada lepau sate Dangung-Dangung. Beberapa kali kami singgah di sana, rasanya bolehlah. Artinya rasa sate mereka cukup khas. Sampai suatu ketika kami singgah pula dan mendapatkan kuah sate itu manis rasanya. Manis, terasa sekali gulanya. Bagiku itu adalah fatal error. Orang kampungku menyebut rasa pedas dicampur manis seperti itu kalimuncungan. Aku ingatkan pegawai warung sate ketika itu, bahwa rasa kuah sate seperti itu tidak enak. Mereka mungkin bukan penentu, jadi hanya sekedar mengangguk-angguk saja. Sepertinya tidak ada perubahan untuk rasa. Dan tidak lama kemudian, warung itu tutup.

Rasa gak pernah bohong.........

*****                                                  

Jumat, 25 Januari 2013

Tukang Pangua

Tukang Pangua

Untuk menerangkan kata-kata bahasa Minang yang satu ini kita harus mulai dengan buah kelapa. Ya, kelapa. Kelapa bumbu dapur untuk berbagai jenis makanan, untuk membuat gulai, untuk membuat urap, untuk dicampur dengan ketan, untuk membuat kalamai alias dodol, membuat ajik atau wajik dan masih banyak lagi. Kelapa itu harus diparut untuk diambil santannya atau digunakan parutannya. Untuk memarut kelapa, sebelum ada mesin pemarut kelapa seperti sekarang, orang Minangkabau menggunakan alat yang namanya pangua

Bagian untuk memarut pangua tersebut terbuat dari besi dengan ujung seperti kipas (melengkung) dengan ukuran sekitar tiga jari tengah tangan. Bagian luar besi berbentuk kipas ini bergerigi seperti mata gergaji dan di belakangnya ada tangkai dari besi yang bengkok bagaikan leher unta. Tangkai ini dipakukan ke sebuah bangku-bangku kayu tempat duduk. Orang memangur (mamangua karambia) duduk di bangku kayu kecil itu sambil mengais-ngaiskan kelapa yang masih ada tempurungnya ke mata pangur. Dengan gerakan mendorong bagian daging kelapa turun naik, daging kelapa akan berjatuhan dalam bentuk serpihan. Panjang juga cerita untuk menjelaskan bentuk dan cara bekerja pangua ini.

Namun entah kenapa, istilah tukang pangua dilekatkan kepada orang yang suka mengambil untung secara tidak wajar dari orang lain. Baik dari yang memangua kecil-kecilan atau yang memangua agak besar-besaran. Yang kecil-kecilan seumpama tukang parkir di Pasa Ateh Bukit Tinggi yang dengan seenaknya meminta ongkos parkir lima ribu rupiah. Kalau ditanya karcis parkir mendelik-delik matanya.

Atau ketika kita makan di sebuah lepau di bagian lain Bukit Tinggi juga. Lepau dengan samba buruak-buruak istilahnya. Ada ikan bilih, ikan nila digoreng, telor dadar yang merupakan kekhususannya. Enak memang makan di sana. Datang giliran membayar, kita makan berempat dengan samba buruak-buruak itu, tidak ada perincian tapi dikatakannya seratus sekian ribu rupiah. Yang membayar segan pula mau menyelidik benar rincian harga makanan. Baru setelah berjalan dari lepau dicoba-coba mereka-reka, memperkirakan. Sepertinya seporsi telor dadar dihargai lebih dari lima belas ribu rupiah. Jelas kurang wajar rasanya. Artinya....... kita sudah kena pangua.

Bukan pedagang-pedagang saja yang pandai memangur. Badan-badan resmi di pemerintahpun seringkali bisa dibuktikan telah melakukan pangua. Perhatikanlah ketika kita akan berangkat di bandara. Dikenai pajak bandara. Yang bepergian di dalam negeri dipajaki 40.000 rupiah. Yang keluar negeri 100.000 rupiah. Pakai rumus apa ini kalau bukan rumus pangua? Orang sama-sama menompang lewat di bandara dikenai pajak yang berbeda.

Contoh lain lagi, penggunaan jalan tol. Jalannya masih yang itu juga. Bahkan mungkin kondisinya sudah lebih buruk karena jalan yang tidak diperbaiki. Bukan hanya itu, jalan itu tidak lagi bebas hambatan tapi berlimpah ruah hambatannya. Jarak 20 kilometer perlu waktu satu jam untuk menyeberanginya. Namun biaya tol selalu saja dinaikkan. Istilahnya disesuaikan. Inilah contoh lain dari ilmu pangua. Pokoknya asalkan  mata pangua dapat makan. Toh orang tidak akan protes. Kalau maupun protespun sudah terlambat, biasanya. 

*****                  

Kamis, 24 Januari 2013

Kebahagiaan

Kebahagiaan

Kebanyakan orang memang kadang-kadang terpancing untuk bertanya, apa sih kebahagiaan itu? Apa saja yang membuat orang bisa berbahagia? Jawaban dan bayangannya akan sangat bermacam-macam. Ada yang membayangkan kebahagiaan akan datang ketika hidup serba berkecukupan. Apa yang diinginkan bisa dibeli. Ada yang merasa berbahagia ketika mempunyai kedudukan terpandang  di tengah masyarakat. Jadi orang penting dan disegani.

Kalau orang bertanya, apakah arti kebahagiaan bagiku, aku akan menjawab tanpa ragu-ragu, kebahagiaan adalah ketika berada di dalam rumahku dalam keadaan ridha dan diridhai. Ya, memang demikian. Aku adalah seorang rumahan sungguhan. Kalau tidak ada keperluan untuk pergi keluar aku lebih suka untuk berdiam diri di rumah. Walaupun hanya akan sekedar mengetik-ngetik di komputer. Walaupun hanya sekedar tidur-tiduran. Atau membaca-baca. Aku bukan seorang penonton tv yang baik. Sehari tanpa mengamati tv bagiku bukan hal yang luar biasa. 

Memang biasanya keluar rumah untuk apa? Bagiku sangat terbatas sekali. Yang utama dan pertama adalah ke mesjid untuk shalat fardhu. Kalau sedang berada di rumah, dan tidak ada uzur, aku wajib shalat berjamaah ke mesjid. Lalu untuk pergi ke tempat kerja, karena sekarang aku ada pekerjaan. Atau pergi mendatangi undangan, biasanya undangan pernikahan. Atau ke arisan keluarga. Atau pergi melayat. 

Memangnya selain itu keluar rumah untuk apa? Tentu banyak sekali kemungkinannya. Ada yang suka berolah raga, entah olah raga apa saja. Kebetulan aku sejak lama tidak lagi pelaku olah raga.(Dulu masih suka main tennis atau sepak bola, tapi itu sudah belasan tahun aku hentikan.) Ada yang suka ngumpul-ngumpul sambil ngobrol di warung kopi atau main apa saja pula. Main kartu, main catur, atau main domino. Ketika masih remaja dulu, pernah pula aku mencoba melakoninya. Tapi sejak berumah tangga puluhan tahun yang lalu, aku tidak tertarik lagi untuk mengulanginya.

Lalu ada pula kesukaan orang untuk bepergian, baik untuk sebentar ataupun untuk berhari-hari. Misalnya sekedar menyetir berkeliling kota. Atau meraun keluar kota untuk pulang hari. Atau menginap beberapa hari. Hal ini kadang-kadang ada juga aku lakukan, biasanya berombongan dan di kampung ketika sekali-sekali pulang kampung. Entah sugesti atau bukan, dalam bepergian dan menginap di tempat lain di mana saja, aku selalu sulit merasakan kenyamanan tidur seperti di rumah sendiri. Di mana saja. Bahkan ketika menginap di hotel mewah ketika sedang bertugas kerja sekalipun. Ada saja yang kurang rasanya.

Bagiku kebahagiaan itu adalah ketika berada di rumah sendiri. Baitii jannatii....
                            
*****                               

Sabtu, 12 Januari 2013

Waswissufii shuduurin naas.....

Waswissufii shuduurin naas.....

Syaithan.... atau (kita tulis biasanya dengan lebih ringkas dalam bahasa kita sebagai) setan, adalah makhluk Allah yang konsisten dalam membujuk rayu untuk menggelincirkan manusia. Untuk mengajak ke jalan yang sesat, ke jalan yang dimurkai Allah. Dan setan telah melakukan itu sejak kehadiran nenek kita, manusia yang pertama sekali diciptakan Allah, yaitu Adam. Dia dapat masuk ke dalam hati manusia, untuk membisikkan rayuan dan godaannya. Alangkah malangnya ketika kita tidak dapat menghindar dari godaan setan.

Dan Allah ajarkan kepada kita umat Islam untuk senantiasa meminta perlindungan kepada-Nya. Kepada Allah yang adalah Rabb manusia. Penguasa manusia. Tuhan manusia. Agar kita dilindungi-Nya dari bisikan setan yang selalu menggoda dan merayu. Setan yang selalu berbisik langsung ke dalam hati manusia. Untuk berbuat dosa apa saja. Dengan rayuan sederhana sampai rayuan gombal. Dari rayuan untuk sekedar membiasakan perbuatan sia-sia sampai godaan mendurhakai Allah. Dari rayuan untuk mengghibah, memperkatakan, menggunjingkan seseorang sampai memfitnah. Dan seterusnya... Di mana saja dan kapan saja. Sedikit saja kita lengah, setan akan segera masuk. Akan membisik-bisikan ke dalam hati kita.  Waswissufii shuduurin naas....

Setan adalah ahlinya untuk menyilapkan mata manusia dari memandang keburukan agar terlihat baik. Agar melihat kebaikan terlihat buruk. Pandai dia memutar-balikkan fakta. Pandai dia membujuk rayu. Mengelabui dan akhirnya menjerumuskan.  Tidak mudah bagi kita untuk menghindar dari godaan setan jika kita tidak dilindungi oleh Allah Yang Maha Melindungi. 

Maka hendaklah kita memohon perlindungan Allah dari godaan setan yang terkutuk itu. Disertai dengan banyak-banyak mengingat Allah. Berzikir dan mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang ikhlas dan khusyuk. Dan jangan diikuti langkah-langkah setan. Wa laa tattabi'uu khutuwaatisy syaithaan....

Oleh karena itu, jangan dibiarkan setan masuk dan berleluasa menggiring hati kita. Jangan biarkan setan menyuruh kita memperbanyak musuh. Memfitnah, berprasangka buruk. Karena kalau kita sekali mengikuti kemauannya, niscaya dia akan menyesatkan kita lebih dan lebih jauh. Dengan kejahatan yang lebih jahat lagi.....

*****
                            

Kamis, 10 Januari 2013

Dari postingan orang.... Adab Wanita Shalihah Dalam Melayani Suami



~# ADAB WANITA SHALIHAH DALAM MELAYANI SUAMI #~
http://4.bp.blogspot.com/-MZErllqhhN8/Tv0_GP-mO9I/AAAAAAAAAFA/NlbVIifqoHM/s320/3.jpg
Di antara perkara-perkara yang harus diperhatikan bagi seorang isteri terhadap suami adalah sebagai berikut:

1. Senantiasa menjaga kehormatan diri dan harta suami, jika sang suami tidak berada di dalam rumah.

2. Senantiasa menyenangkan suami dengan akhlak yang mulia dan kasih sayang terhadap anak-anak.

3.Senantiasa bersolek dan berdandan di depan suami, agar selalu menyenangkan bila dipandang. Ia juga harus memperindah & memperlembut suaranya jika sedang bersama suami.

4. Rela dengan pemberian suami seberapa pun nilainya. Ia tidak akan menuntut suaminya dengan tuntutan yang memberatkan dirinya atau tidak sanggup dipikulnya. Rasulullah SAW bersabda: “Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba perut. Bila diberi ia ridha dan bila tidak diberi ia tidak ridha. Celaka dan celaka….” (HR. Bukhari).

5. Setia kepada suami selama tidak dalam kemaksiatan.

6. Dapat meredam kemarahan suami, bersabar dengan ujian yang menimpa rumah tangga dan selalu bertawakkal kepada Allah atas setiap apa yang diusahakan.

7. Memiliki sifat zuhud terhadap dunia, tidak berambisi untuk menumpuk harta. Karena sikap ambisi kepada dunia dan harta kekayaan akan menyeret dia untuk melupakan dan meremehkan tugas dan kewajiban sebagai isteri.

8. Tidak akan membalas kejahatan dan kedzaliman suami dengan kejahatan yang serupa apalagi melebihi. Senantiasa bersabar dan tiada henti memberikan nasihat dengan cara yang ma’ruf dan penuh kasih sayang.

9. Pandai menciptakan suasana sejuk dan nyaman di dalam rumah. Senantiasa berusaha menjadikan rumah sebagai lembah yang nyaman bagi peristirahatan suami. Sehingga sang suami merasakan suasana surga di dalam rumah. Sekalipun rumah tersebut tidak memiliki fasilitas dan perlengkapan rumah tangga yang mewah.

10. Mampu menjaga harta suami dan kehormatan dirinya pada saat suami tidak ada di sisinya. Tidak akan berkhianat terhadap apa yang telah diamanatkan suami, baik mengenai diri maupun anak-anaknya.

11. Senantiasa mendoakan kebaikan bagi anak dan suami
.
12. Senantiasa menghiasi diri dengan sikap malu dan tawaddhu’, jujur dan benar, tidak berkata dusta atau bersumpah palsu. Senantiasa memenuhi janji dan nazarnya, tidak pernah mengghibah atau mencela kekurangan suami, dan selalu memohon ampunan kepada Allah atas dosa-dosa dan kesalahannya.

13. Seorang isteri shalihah senantiasa meminta maaf kepada suami, baik karena kesalahan yang remeh apalagi kesalahan yang besar. Karena sikap selalu meminta maaf akan menjadikan sang suami senantiasa senang terhadap penghormatan tersebut.



Jumat, 04 Januari 2013

Kehidupan Dunia Ini Hanya Senda Gurau

Kehidupan Dunia Ini Hanya Senda Gurau 

Dalam sebuah wawancara radio yang aku dengarkan sepanjang jalan pulang sore ini dikatakan bahwa uang yang dikorupsikan di Indonesia hampir sebesar 200 triliyun rupiah setahun. 20 milyar dollar lebih dikorup dalam setahun? Ini uang dari mana? Masya Allah..... Betapa hebatnya prestasi ini. Korupsi memang sangat mengagumkan di negara kita ini. 

Bagaimana saja ya, caranya orang-orang pintar itu menilap uang negara? Pernahkah timbul pertanyaan seperti itu di benak anda? Seorang teman mengingatkan, tidak perlu menanyakan bagaimana cara orang menggelapkan uang rakyat, tapi cukup dilihat saja kemakmuran sementara orang. Di negeri ini ada orang yang dengan santai berbelanja mobil mewah seharga lima - tujuh milyar. Padahal dia adalah orang yang bekerja di lingkungan pemerintah. Artinya orang yang digaji dengan uang negara. Nah, berapa gaji petugas negara ini yang paling tinggi, siapapun dia? Jelas uang sebanyak itu bukan dari gajinya. Kalau untuk beli mobil sebegitu mahal dia sanggup, tentu bisa dibayangkan pula di rumah sepeti apa tinggalnya. Berapa pula harga rumahnya? Konon ada harga rumah di Jakarta ini yang beratus milyar rupiah. Dimiliki oleh orang yang bekerja di lingkungan pemerintah.

Sebenarnya kasihan. Kasihan terhadap mereka-mereka yang silau dan kemudian terperosok ke dalam jurang kecurangan. Terperosok ke dalam sesuatu yang terlihat seolah-olah nikmat yang padahal penuh resiko. Resiko di sisi Allah tentu saja. Setiap nikmat yang kita manfatkan itu niscaya akan dimintakan pertanggung-jawabannya nanti. Tsumma latus alunna yauma idzin 'anin na'iim.... (Kemudian kamupasti akan ditanyai pada hari itu tentang nikmat-nikmat...) (At Takatsur (102) ayat 8). 

Kehidupan dunia ini hanyalah ibarat senda gurau dalam waktu yang singkat. Seperti firman Allah dalam surahAl ankbuut (29) ayat 64; Wa maa hadzihil hayaatud dunya illaa lahwun wa la'ib, wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaan, lau kaanu ya'lamuun..... (Kehidupan dunia ini adalah senda gurau dan permainan belaka. Kehidupan akhiratlah yang sejati, kalau mereka mengetahui...)

Tidakkah terpikir oleh kita, seandainya kita ambil sesuatu yang bukan hak milik kita, kita nikmati sebentar di dunia ini, itupun kalau sempat dapat benar-benar menikmatinya, lalu nanti diminta pertanggung-jawaban, disuruh mengembalikan. Kalau tidak bisa, karena memang tidak akan bisa karena sesuatu itu tidak akan kita bawa ke akhirat, maka kita akan dihukum Allah sesuai dengan nilai kejahatan dunia dengan derita akhirat. Menurut hukum Allah sesuai dengan yang dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, seseorang yang mencuri seharga seperempat dinar (= 1 gram emas) maka hukumannya  dipotong tangannya.   Begitu seharusnya hukuman menurut Islam untuk di dunia ini. Bagaimana dengan seseorang yang mencuri berkilo-kilogram emas? Atau bahkan lebih banyak lagi?

Kalaupun dia luput dari hukuman sesuai dengan hukum Allah selama di dunia ini, nanti dia akan dihukum Allah di akhirat dengan hukuman yang setara namun dalam waktu akhirat, yang seharinya setara dengan seribu tahun kehidupan dunia. Yang sakitnya hukuman atau siksa Allah itu akan dirasakan terus menerus dalam jangka waktu yang sangat panjang.

Tidakkah kita tersentak untuk memikirkan?

*****