Jumat, 30 Juni 2017

Menoleh Sedikit Ke Belakang, Lalu Perhatikanlah!

Menoleh Sedikit Ke Belakang, Lalu Perhatikanlah!    

Sering sekali kita tersadar tentang cepatnya waktu berlalu. Apalagi dengan mengingat kejadian-kejadian agak khusus yang kita lalui. Aku terbiasa menoleh ke belakang, ke kejadiaan yang telah berlalu itu. Baru kemarin rasanya aku dirawat di rumah sakit karena tidak bisa buang air kecil. Padahal kejadian tersebut sudah 3 tahun yang lalu. Masih sangat dekat rasanya ketika aku memulai pensiun dari tempat aku bekerja selama hampir tiga puluh tahun, padahal itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Begitu seterusnya, seperti masih kemarin ketika aku dan keluarga pindah dari Balikpapan ke Jatibening. Atau seperti masih kemarin ketika aku sekolah di Bandung. 

Semua kenangan masa lalu itu bisa menari-nari dalam ingatan. Bahkan sebahagian terasa masih sangat segar. Entah itu pengalaman pahit karena sebuah kegagalan, atau kenangan manis ketika berhasil dalam suatu pencapaian. Lalu ketika direntang waktunya ke belakang, ternyata kejadian-kejadian tersebut telah berlalu berpuluh tahun.

Apa artinya? Tentu saja artinya sudah sangat jauh perjalanan hidup yang aku tempuh. Dan aku sudah semakin mendekat ke garis finish. Hari yang dijanjikan itu pasti akan datang. Karena memang begitu adanya ketetapan Allah, kita sebagai makhluk Allah hanya singgah sebentar di dunia ini. Allah mengingatkan di dalam surat Al Insyiqaaq ayat 6; 'Hai manusia! Sesungguhnya kamu selalu bekerja keras menuju Rabbmu, maka kamu pasti menemui-Nya.' Setiap kita bekerja keras mengharungi hidup ini, mengisinya dengan berbagai kesibukan, namun semua itu pasti akan berakhir dengan datangnya waktu kita kembali kepada-Nya. 

Justru bekal untuk kembali menghadap-Nya itu yang seharusnya diperhitungkan. Dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Tanpa persiapan yang memadai untuk menggapai ridha-Nya, betapa akan ruginya kita. Karena janji Allah pasti. Di sana, di kampung akhirat kita akan memetik apapun yang kita tanam selama persinggahan di dunia ini.  Persiapan yang tidak pula akan mudah kalau kita tidak mendapat bimbingan dan petunjuk Allah. 

Ya Allah hamba memohon kepada-Mu, agar Engkau matikan hamba dalam husnul khatimah. Agar Engkau karuniai hamba dengan taubatan nashuha sebelum mati. Agar Engkau ampuni segala dosa dan khilaf yang hamba perbuat. Aamiin. 

****                 

Selasa, 27 Juni 2017

Berhasilkah Kita Mencapai Derajat Taqwa Selepas Ramadhan?

Berhasilkah Kita Mencapai Derajat Taqwa Selepas Ramadhan? 

Allah mengingatkan orang yang beriman untuk berpuasa di bulan Ramadhan agar setelah itu mereka menjadi orang yang bertaqwa. Orang-orang yang berimanpun patuh. Mereka jalankan ibadah puasa, menahan diri dari lapar, haus dan syahwat. Mereka tegakkan shalat dengan sebaik yang mereka bisa, berjamaah di awal waktu. Lalu di penghujung Ramadhan muncul pertanyaan untuk diri sendiri, apakah aku berhasil menjadi orang yang bertaqwa.    

Pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab oleh yang bersangkutan sendiri. Mampukah dia memperbaiki dirinya dalam memelihara kepatuhannya kepada Allah sesudah selesai melalui latihan sebulan penuh di bulan Ramadhan. Di bulan puasa dikendalikannya hawa nafsunya, diperbaikinya cara beribadahnya. Lalu, setelah itu, mampukah dia mempertahankan pengendalian nafsu tadi itu. Mengendalikan dirinya agar tidak terjerumus kedalam kefasikan. Mengendalikan dirinya agar tidak melakukan hal-hal yang terlarang, apa juapun itu. Memelihara kepatuhan dan ketaatannya dalam beribadah kepada Allah. Tetap memelihara shalat di awal waktu dan hadir berjamaah ke mesjid untuk setiap shalat fardhu.   

Karena biasanya hal inilah yang sulit. Jamaah shalat subuh di hari kedua hari raya biasanya langsung menurun drastis. Banyak yang kelelahan akibat tertanduk hidangan hari raya, sehingga bangun subuh kesiangan. Dan kalau hari kedua bulan Syawal saja sudah terkulai lesu, hari-hari berikutnya biasanya jadi semakin lesu. Dan akhirnya, pencapaian (kalaupun berhasil) selama bulan Ramadhan rontok kembali. Tak terlihat bekasnya. Kalau itu yang terjadi, berarti derajat ketaqwaan yang jadi harapan di awal Ramadhan boleh jadi gagal diraih.  

Sebaliknya ada orang yang berusaha keras agar tetap istiqamah. Tetap berusaha mengendalikan dirinya dari berbagai godaan. Godaan yang memang semakin gencar saja datangnya. Mungkin karena setan yang dibelenggu selama Ramadhan, waktu dibebaskan Allah dari belenggunya, mengamuk mempengaruhi mereka-mereka yang sudah bersusah payah mengendalikan diri itu. 

Pengendalian diri adalah tujuan utama dari pelatihan selama Ramadhan. Pengendalian diri untuk menghindar dari bermaksiat. Dan pengendalian diri untuk menjaga kepatuhan. Kalau ini berhasil, mudah-mudahan kita sudah mencapai derajat taqwa.

****                    

Terancam? Tidakkah Kamu Minta Perlindungan Allah?

Terancam? Tidakkah Kamu Minta Perlindungan Allah?  

Seorang kemenakan bercerita bahwa suatu hari mobilnya diikuti dua sepeda motor yang memepetnya sambil menunjuk-nunjuk ke ban mobil. Dia tahu bahwa ban mobilnya itu sudah dikerjain, jalan mobil terseok-seok. Dan dia tahu bahwa kalau dia berhenti pastilah dia akan jadi mangsa di jalan yang relatif sepi saat itu. Dan dia tidak mau berhenti. Mobil dengan roda yang tidak  normal itu dipacunya sampai ke sebuah bengkel kenalannya, yang untung saja tidak terlalu jauh letaknya. Dan dia menemukan bahwa dua ban mobil bagian belakang  itu tertusuk paku ranjau. 

Kejahatan seperti ini sudah cukup lama keberadaannya di Jakarta. Akupun pernah mengalami ban mobil tertusuk paku khusus tersebut. Dan aku berhenti di pinggir jalan yang cukup ramai, mengunci pintu mobil sebelum mengganti ban yang kempes itu. Memang begitu usaha untuk terhindar dari pencurian paksa. Jika pintu tidak dikunci, alamat akan digerayangi ketika kita sedang bekerja mengganti ban. 

Ada kemenakan lain yang bekerja sebagai pengendara taksi online. Dia mengeluh dan ketakutan terhadap ancaman begal ataupun perampok jalanan. Karena beredar cerita betapa sadisnya para pembegal yang tidak segan-segan membunuh korbannya. Lalu bagaimana? Apakah akan berhenti berusaha, bekerja sebagai sopir taksi? 

Aku menasihatinya agar lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya Allah saja yang sebaik-baik tempat berlindung dan tempat meminta pertolongan. Serahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan bertawakkal. Baca bismillaahi tawakkaltu setiap kali akan melangkahkan kaki dari rumah, lalu yakini sepenuhnya bahwa Allah akan menolong dan melindungi dari setiap bentuk kejahatan.

Yang namanya begal, rampok, bajak laut sudah ada sejak entah kapan-kapan. Cerita orang dibegal, dirampok, dibajak sudah terdengar sejak kapan-kapan. Tapi apakah setiap orang lalu berhenti saja berusaha karena takut dirampok? Tentu bukan demikian cara menghindar dari menjalankan pekerjaan mencari nafkah. Mintalah perlindungan Allah setiap saat.   

****                      

Minggu, 25 Juni 2017

Telah Berlalu Ramadhan 1438H

Telah Berlalu Ramadhan 1438H     

Ramadhan 1438 telah berakhir. Telah berlalu dalam senyap. Cepatnya waktu 29 hari bergulir, yang tiap harinya direntang sejak sahur sampai maghrib sampai hampir menjelang tengah malam. Dengan rutinitas yang itu ke itu setiap hari. Eloknya di negeri khatulistiwa ini yang titik-titik waktu itu nyaris sama dalam keduapuluhsembilan hari. Alarm hapeku disetel untuk berbunyi lima menit sebelum jam empat setiap pagi, dan waktu yang ada sangat mencukupi untuk digunakan  memanaskan makanan, menyeduh teh dan makan sahur dengan santai. Azan subuh jam setengah lima lebih lima yang sedikit demi sedikit akhirnya bergeser ke jam setengah lima lebih sepuluh.  

Lalu bergegas ke mesjid untuk shalat subuh. Ta'lim ba'da subuh (dengan ustadz dari luar) hanya ada di hari Sabtu dan Ahad. Jadi, seusai shalat dan zikir bergegas pulang. Di rumah langsung mengaji. Dibanyakkan membacanya dari hari-hari biasa. Seterusnya menyimak kaji dari grup tadarus WA. Yang ini agak diangsur-angsur.  Sampai kantuk menyerang di sekitar jam tujuh - delapan. Dan tidur (menambah tidur) sekitar dua jam. Bangun tidur melasak di pekarangan belakang. Lalu mengaji dan mendengar kaji pula sampai waktu zhuhur. Setelah shalat zhuhur, bermain dengan cucu yang paling bungsu. 

Ada-ada saja pula yang digerayangi sesudah asar menjelang maghrib. Berbuka dengan seteguk teh panas lalu bergegas ke mesjid. Pulang dari mesjid baru makan dan seterusnya kembali lagi ke mesjid menjelang isya. Sesudah tarawih kami lanjutkan mentadarus al Quran sampai jam sepuluh malam. Terakhir sebelum tidur aku menambah bacaan al Quran terlebih dahulu, dan baru naik ke tempat tidur sesudah jam sebelas malam.    

Di sepuluh malam terakhir kamipun beritikaf di mesjid, meski hanya dengan itikaf mini. Hanya di malam-malam ganjil. Ada jamaah yang mengusul agar kita melakukan full itikaf, tapi kenyataannya masih belum juga mampu kami laksanakan. Ada pula jamaah yang untuk itikaf bergabung ke mesjid lain, namun ada pula yang nyeletuk, kalau mau beritikaf seyogianya dilakukan di mesjid tempat kita melaksanakan shalat fardhu sehari-hari. Artinya, yang di mesjid komplek kita sendiri.  

Begitulah hari-hari berlalu. Begitulah Ramadhan 1438 dijalani. Biarlah Allah saja yang menilai. Ramadhan telah usai. Tadi subuh jamah shalat subuh hanya dua shaf, sementara selama Ramadhan empat shaf.   

**** 

Selasa, 06 Juni 2017

Lalu...... Dimana Allah?

Lalu..... Dimana Allah?  

Tersebut kisah tentang khalifah Umar ibnu Khaththab yang pada suatu hari sedang dalam perjalanan dinas. Beliau berjumpa dengan seorang anak gembala yang sedang menggembalakan puluhan ekor kambing. Terjadi dialog antara Umar dengan anak gembala tersebut. 

'Wahai anak, juallah kepadaku seekor dari kambing mu itu.'

'Aku bukanlah pemilik kambing-kambing ini. Aku hanyalah seorang budak penggembala,' jawab anak gembala tersebut.

'Engkau bisa mengatakan kepada tuanmu bahwa seekor kambing ditangkap serigala. Tuanmu tidak akan mengetahuinya.'

Lalu jawab si anak gembala itu.... 'Lalu.... kalau demikian dimana Allah?'   

Umar terharu mendengar kejujuran si anak gembala yang takut bahwa Allah pasti mengetahui keburukan apa yang dilakukannya, meski orang lain bisa dibohongi.

Cerita sederhana ini sangat mengusik hati kita sebagai orang yang beriman. Jujur itu seharusnya benar-benar hanya karena kita yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi kita. Kita takut berbohong. Kita takut mengambil hak orang. Kita takut berbuat zalim. Kita takut merugikan orang lain. Dan kejujuran seperti itu adalah bahagian dari ketakwaan. Yang kita sedang berlatih untuk memupuknya selama bulan Ramadhan. Jujur kepada Allah. Puasa adalah sarana kita untuk membuktikan ketakwaan kita kepada Allah. Kita bisa saja membatalkan puasa tanpa dilihat siapapun. Tapi kita tidak melakukannya karena kita yakin Allah mengawasi tingkah laku kita.  

Tidak semua orang menyadari bahwa dia dibawah pengawasan Allah. Banyak saja orang yang tidak jujur. Tidak amanah. Mau berbohong  atau berbuat zalim untuk keuntungan sedikit. Dan ini ada di setiap strata masyarakat. 

Sebagai contoh sederhana. Seorang pembantu rumah tangga yang diberi amanah untuk menjaga rumah, ternyata berlaku tidak jujur. Dia mengambil yang bukan haknya dengan diam-diam. Lalu menutupi perbuatannya itu dengan kebodohannya. Yang hilang itu adalah sebahagian dari sejumlah barang yang sangat dikenal pemiliknya. Tadinya tersusun sekian, lalu kemudian separuhnya hilang. Yang hilang adalah dibagian belakang, yang kalau dilihat dari depan masih seperti semula. Tidakkah dia tahu bahwa perbuatannya itu adalah sebuah dosa dan Allah mengetahuinya?

Ada lagi cerita tentang seseorang membuat kebohongan dan memfitnah. Dibuatnya segala cara untuk mendukung kebohongan yang tengah dilakukannya. Dia berusaha agar orang percaya dengan apa yang dikatakannya yang padahal adalah kebohongan. Dia tidak tahu bahwa dia sedang diawasi Allah.

Mudah-mudahan kita yang dipanggil Allah sebagai orang-orang yang beriman mampu melaksanakan ibadah Ramadhan untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada-Nya.

****   

Sabtu, 03 Juni 2017

Penerbangan Yang Agak Meletihkan (2)

Penerbangan Yang Agak Meletihkan (2)   

Ternyata tidak mudah untuk tertidur, meski saat itu sudah jam setengah sebelas malam waktu Perancis. Di Pau aku sudah tidur pada jam segini. Mungkin karena lampu menyala dan hampir setiap orang menonton di layar monitornya masing-masing. Akhirnya aku coba pula mengutak-atik monitor di hadapanku dan akhirnya memilih sebuah filem Afrika, yang ceritanya mengenai istri-istri yang mogok melayani suami. Suaranya tidak begitu jelas terdengar di alat bantu pendengarku, tapi itu tidak penting sangat. Padahal aku biasanya tidak terlalu suka menonton film. 

Sudah lewat tengah malam waktu Perancis, atau sekitar jam lima waktu Jakarta. Aku akhirnya mengantuk juga. Sudah tiga jam sejak kami berangkat dari Schiphol dan saat itu pesawat sedang berada di udara Laut Hitam di sebelah utara Turki. Aku mencoba menghitung-hitung jam berapa nanti akan masuk waktu subuh. Jam tanganku yang tidak pernah aku robah jalannya, tetap menunjukkan waktu Jakarta (untuk memudahkan setiap kali berkomunikasi dengan anak-anak dan cucu-cucu di Jatibening). Menurut hitungan-hitunganku waktu subuh akan masuk antara jam tujuh - jam delapan waktu Jakarta, atau sekitar tiga jam lagi dari waktu saat itu.  

Kakiku terasa sangat tidak nyaman meski sepatu sudah aku lepas. Sepertinya kakiku agak bengkak. Tapi alhamdulillah aku tertidur. Sampai istriku membangunkan, memberi tahu bahwa di luar sudah terlihat cahaya siang, meski belum sempurna terang. Dia membuka penutup jendela sedikit. Lampu-lampu dalam pesawat itu semua mati dan sepertinya semua orang sedang tidur. Aku lihat jam tanganku menunjukkan jam setengah delapan. Kami segera mengerjakan shalat subuh, dengan tetap diawali qabliyah subuh. 

Sesudah shalat aku berusaha menggerak-gerakkan kakiku yang tetap terasa tidak nyaman. Agak lama sampai aku bisa tertidur lagi. Dan terbangun di saat pramugari membagikan sarapan. Sarapan yang alhamdulillah tidak mengandung bahan yang mencurigakan. 

Pesawat itu akhirnya sampai di Kuala Lumpur menjelang jam tiga siang waktu Malaysia. Kami yang hanya transit diharuskan juga keluar dari pesawat. Aku memasang sepatu dengan susah payah. Sepatu terasa sangat sempit. Aku berjalan tertatih-tatih dengan sepatu sempit itu. 

Penerbangan dilanjutkan ke Jakarta. Kami mendarat di Jakarta jam setengah enam sore, sesuai dengan jadwal. Kali ini sepatu tidak muat lagi dipakai dan terpaksa bagian belakangnya diinjak. Aku harus menggendong ransel waktu turun. Istriku yang sebenarnya juga tidak terlalu kuat mengambil alih membawa barang tentengan lebih banyak. Aku berjalan dengan sangat sulit turun dari pesawat. Di depan loket imigrasi, aku diarahkan seorang petugas untuk tidak ikut antrian dan disuruh maju ke loket khusus diplomat yang kebetulan kosong. Petugas itu memberi tahu ke petugas di loket bahwa aku sakit. Rupanya dia melihat aku berjalan sangat tertatih-tatih. 

Alhamdulillah, kami sudah sampai dengan selamat. Si Bungsu yang menjemput kami di bandara. Lewat waktu isya, kami sampai di rumah di Jatibening.

****