Jumat, 31 Agustus 2012

Bid'ah

Bid'ah  

Sering kita mendengar kata 'bid'ah'. Bahwa bid'ah itu adalah sesuatu yang dibuat-buat atau diada-adakan. Sesuatu yang dibuat-buat dan diada-adakan itu adalah sesat. Dan yang sesat itu nanti dimasukkan ke dalam neraka. Yang mengatakan seperti itu adalah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam  sebagaimana sabda beliau berikut:   Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Muslim: 6/242).

Apa saja yang dikatakan bid'ah? Perkara apa saja yang termasuk ke dalam kelompok bid'ah?

Di tengah masyarakat ada dua kelompok yang boleh dikatakan agak berseberangan dalam mendefinisikan 'bid'ah'. Ada sekelompok umat Islam yang sangat 'cepat' menjatuhkan vonis tentang bid'ah atau tidaknya sesuatu. Sebaliknya ada kelompok lain yang sangat 'enteng' membuat variasi amalan dan menolak kalau apa yang diperbuat itu bid'ah.

Siang tadi aku mendengarkan khutbah yang menyinggung sedikit tentang masalah bid'ah secara sepintas. Tersebutlah, kata sang khatib, seorang yang mungkin baru mengaji sedikit, bertanya kepada sang khatib, sambil setengah menghakimi hukum azan dua kali sebelum khutbah Jum'at. Katanya, hal tersebut termasuk bid'ah, tidak diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Padahal sudah dijelaskan bahwa bid'ah itu sesat, dan kesesatan itu nanti hukumannya masuk neraka Allah. Lalu beliau bertanya, tahukah sampeyan sejak kapan dimulai azan dua kali itu? Jawabnya, sejak khalifah Utsman bin 'Affan. Lalu apakah sampeyan mengatakan bahwa 'Utsman bin 'Affan sesat sehingga nanti tempatnya di neraka? Orang itu tidak menjawab. Rasulullah mengatakan bahwa ada sepuluh orang sahabat beliau yang dijamin Allah masuk surga, salah satunya adalah 'Utsman bin 'Affan. 

Lalu beliau terangkan bahwa yang dilakukan oleh 'Utsman itu adalah ijtihaj namanya. Sesuatu yang tidak diajarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, dirasakan keperluannya, ketika orang banyak semakin lalai untuk mendatangi mesjid di hari Jum'at, karena mereka baru beranjak untuk datang sesudah terdengar kumandang azan. Sementara begitu azan selesai, khatib langsung berkhutbah. Maka 'Utsman berijtihaj, dan menyuruh azan dua kali. Azan yang pertama untuk mengingatkan orang dan dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Yang seperti itu tidak bisa dikatakan bid'ah. 

Pada kesempatan lain aku pernah mendapat penjelasan, yang dikatakan bid'ah adalah membuat suatu amalan karena merasa seolah-olah yang sudah diajarkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak cukup sempurna lalu ditambah-tambahi. Kalau ada orang yang mengatakan bahwa dengan berziarah sekian kali ke makam orang shalih atau wali Fulan, sudah sama nilainya dengan berhaji, padahal Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengisyaratkan hal yang seperti itu, maka itulah yang disebut bid'ah. Kalau ada orang yang mengerjakan shalat atau menukar bacaan shalat dengan selain dari yang dicontohkan beliau shalallahu 'alaihi wa sallam, maka itu adalah bid'ah. Seandainya ada orang mengatakan berpuasa boleh ditukar waktunya, menjadi mulai jam lima sore sampai jam enam pagi, atau pelaksanaannya diganti dengan bulan lain selain bulan Ramadhan, maka yang seperti itu adalah bid'ah.  

Kebalikannya, ada pula orang yang memudah-mudahkan dalil untuk sesuatu yang perlu dipertanyakan apakah ada tuntunannya atau tidak. Pada suatu kesempatan ceramah di mesjid kami, seorang penceramah membahas juga tentang bid'ah. Tentang orang yang begitu suka membid'ah-bid'ahkan orang lain. Perayaan maulud dikatakan bid'ah kata beliau. Mengerjakan peringatan seminggu kematian, empat puluh hari kematian, seratus hari kematian, dikatakan bid'ah. Waktu ada yang bertanya, bukankah perayaan maulud itu tidak dilakukan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, dan bahwa tanggal yang dipercayai sebagai tanggal kelahiran beliau shalallahu 'alaihi wa sallam itu tidak ada keterangan yang shahih mengatakan bahwa keterangan itu benar, dan bahwa kalaupun itu benar, yang lahir ketika itu belum lagi menjadi rasul, maka beliau menjawab, itukan untuk kebaikan. Untuk memuliakan Rasulullah.... 

Yang agak aneh, ketika beliau mengakui bahwa mengadakan peringatan kematian itu memang bukan dari ajaran Nabi, tetapi itu hanyalah budaya saja. Beliau pun tidak keberatan mengakui bahwa budaya tersebut berasal dari kepercayaan orang-orang Hindu. Lalu apakah memang perlu melakukannya, kalau itu hanya sebuah budaya? Jawab beliau, banyak ritual agama kita, yang dahulunya juga budaya. Semisal thawaf, itu adalah perbuatan orang jahiliyah yang bahkan kemudian dijadikan bahagian dari ibadah. Jadi boleh-boleh saja sesuatu yang tadinya budaya kemudian dijadikan sebuah amalan, kata beliau. Ini  benar-benar sangat mengagetkan. Beliau sepertinya tidak faham bahwa ibadah haji, termasuk thawaf dan sa'i itu diwarisi dari Nabi Ibrahim, yang lalu perlahan-perlahan disimpangkan oleh umat  yang datang kemudian. Jadi kalau ada orang Arab jahiliyah mengerjakan thawaf, bukanlah karena perbuatan itu suatu budaya. 

Memang perlu kita pelajari betul setiap amalan itu sebelum kita menilainya. Sebelum kita ikut mengamalkannya atau tidak mengamalkannya.   

Wallahu a'lam... 

*****

2 komentar:

  1. Mengerjakan peringatan seminggu kematian, empat puluh hari kematian, seratus hari kematian, kalo ini jelas merupakan Bid'ah, krn tidk prnh dilakukan Rasul,para Sahabat, tabi'in & tabut'tabi'in.
    jgnlh kita mngrjkan sebuah amalan/ibadah brdsrkn mayoritas org2/kbnykan orng,tp coblh gali dasr hukumnya(dalil'a)krn Islam pnya isbath/ketentuan & tlh sempurna, maka dari itu jgn mnambh2(BID"AH).

    BalasHapus