Rabu, 30 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (6 - habis)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (6 - habis)

Jam sembilan malam kami sampai di hotel, diantarkan oleh She dan beberapa orang lainnya. Sama dengan jam delapan malam waktu Jatibening. Setelah mengucapkan selamat malam kepada mereka aku bergegas menuju lift untuk segera masuk kamar. Ada kekhawatiranku bahwa mereka akan menyambung lagi acara minum khamar (yang ternyata kemudian tidak benar). Pimpinan lokal kantor di Hang Zhou (aku tidak ingat namanya), tuan rumah acara makan malam itu, juga ikut dengan kami. Rupanya dia menyuruh anak buahnya mencari dan mengantarkan teh untuk dihadiahkan kepada kami. Karena temanku memuji teh Cina yang kami minum waktu makan siang tadi. Hal ini aku ketahui keesokan hari, waktu kami mau berangkat. She yang menyerahkan teh hadiah itu.

Aku segera mandi dan berwudhu untuk shalat maghrib dan isya dijamak ta'khir. Shalat zuhur dan asar tadi aku lakukan di atas bis dalam perjalanan menuju danau barat. Sehabis shalat, waktu akan mengirim sms ke rumah, ternyata pulsa habis. Padahal praktis hanya dipakai untuk ber sms ria dengan istri dan ketiga anak-anak. Setelah itu sempat juga mengintip acara tv tapi tidak ada yang menarik. Aku langsung tidur.

Jam setengah lima aku terbangun. Sesudah shalat subuh, terasa perutku lapar. Tadi malam sama sekali tidak ada nasi. Di kamar hotel itu ada alat pembuat kopi, bukan ketel listrik untuk memasak air. Sejak pagi kemarin aku coba mengutak-utik untuk mengoperasikannya, tidak berhasil. Padahal ada brosur petunjuknya. Terpaksa minum air putih kemasan saja, menanti jam enam untuk sarapan. Pagi kemarin kami sarapan di lounge sambil berdiskusi terakhir sebelum rapat. Pagi ini aku akan pergi sarapan ke restoran di bawah.

Mungkin aku orang yang pertama yang masuk ke restoran tempat sarapan itu. Aku memesan kopi dan mengambil beberapa potong roti. Tanpa disengaja aku duduk di pojokan yang menyediakan berbagai macam mi. Kita bisa memesan apa saja yang akan dimintatolongkan memasaknya. Bumbu-bumbu untuk mi tersedia bermacam-macam seperti irisan bawang, irisan seledri, sambel (ini yang aku heran, kok ada juga), berbagai macam kecap dan bumbu-bumbu lain yang aku tidak tahu. Setelah yakin bahwa mi ini aman untuk dicoba, aku lalu memesannya. Mengambil mi biasa berwarna kuning dicampur dengan mi putih, dan daun selada. Semua itu dicemplungkan pelayannya ke dalam air mendidih, bukan kaldu. Aku pilih pula lima macam bumbu, bawang, seledri, sambal, kecap manis dan kecap asin. Insya Allah amanlah. Masih kuamati apakah mi yang sudah terhidang di mangkok itu ada minyak yang mengapung, khawatir kalau-kalau ikut pula minyak yang tidak boleh dimakan. Dan tidak ada. Bismillah, mi itu aku santap. Lumayan enak.

Tidakkah ada kekhawatiran bahwa di dalam ikan yang aku makan kemarin itu tercampur pula yang tidak halal? Ada kekhawatiran itu, dan aku beristighfar. Mudah-mudahan Allah mengampuniku.

Jam delapan kami meninggalkan hotel menuju ke bandara. Jadwal pesawat kami jam sebelas. Berjaga-jaga agar tidak terlambat karena macet. Karena kabarnya 10 km pertama dalam kota arah ke bandara berpotensi macet.

Pagi yang basah dan berkabut. Lalu lintas tidak seperti yang kami khawatirkan. Jam setengah sembilan lebih sedikit kami sampai di bandara, di kumpulan penerbangan menuju Hongkong, Makau, Taipeh dan entah kemana lagi. Bandara ini ternyata cukup besar. Counter untuk check in belum dibuka. Kami menunggu beberapa puluh menit sebelum check in. Setelah itu termangu-mangu sambil agak terkantuk-kantuk menunggu keberangkatan. Jam setengah sebelas kami naik ke pesawat. Lalu terbang ke Hongkong. Transit dua setengah jam lebih kali ini, lalu meneruskan penerbangan ke Jakarta. Misi rapat itu pun selesai. Dan cukup sukses.

*****
                                     

Senin, 28 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (5)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (5)

Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan. Tapi khawatir pertanyaan itu nanti tidak pantas. Seperti bagaimana pandangan orang Cina RRC sekarang tentang 'sama rata, sama rasa'-nya komunis. Seperti bagaimana dengan ketentuan hanya boleh punya satu anak. Seperti bagaimana pandangan mereka, generasi sekarang tentang agama. Berkali-kali aku hampir bertanya tentang itu, selalu aku urungkan. Khawatir pertanyaan seperti itu tidak disenangi atau tidak pada tempatnya. 

Kenapa timbul pertanyaan seperti itu? Karena dari pertemuan sehari ini, tidak sedikit pun terlihat bahwa mereka 'sama rata, sama rasa' seperti beberapa puluh tahun yang lalu, di mana semua orang memakai pakaian dengan model yang sama. Ada batas yang sangat jelas antara atasan dan bawahan. Ada kesan mereka menikmati 'kemewahan'. Orang-orang yang lalu-lalang di jalan terlihat sumringah dan menikmati kehidupan. Bahkan pernah ada di antara peserta rapat secara gurau berkata tentang aturan agama.  Tanpa menjelaskan agama mana.

Aku merasa bahwa sepertinya mereka juga menjaga jarak seperti itu. Acara makan malam yang melibatkan semua peserta rapat tadi siang, rupanya akan dilalui dengan tata krama Cina, begitu temanku yang dari Jakarta memberi bayangan. Kami terlebih dahulu berkumpul di ruangan khusus yang sudah di-reserved, berdiri di belakang kursi-kursi. Ada aturan di mana kepala tuan rumah harus duduk. Dan aturan di mana tamu harus duduk. Semua duduk sesuai dengan tempat yang ditentukan. 

Pelayan mulai meletakkan hidangan satu persatu. Tidak ada babi, for sure. Aku diberi tahu tentang hal itu. Ada ikan dan bahkan beberapa jenis sea food (udang, kepiting). Dan ada sloki kecil untuk semua orang, kecuali aku dan teman satu lagi (orang Indonesia), anak buah She yang datang dari Singapura. Dia ini tidak ikut 'minum' karena alasan kesehatan. Tidak ada yang bertanya atau berlagak bertanya apakah aku kira-kira akan ikut 'minum'. Mereka sudah tahu dan tidak menanyakannya lagi. Aku dan teman dari Singapura yang duduk di sebelahku sama-sama menghadapi gelas biasa berisi air. 

Acara makan malam itu berlangsung dengan 'meriah'. Di sela-sela mencicipi makanan yang dihidangkan di meja bundar berputar, sloki kecil itu tidak berhenti-henti diisi dengan arak putih. Arak yang menurut salah satu dari mereka yang menjawab ketika aku bertanya, mengandung 53% alkohol. Mereka saling 'toast' untuk segala macam urusan. Untuk mengenang teman. Untuk mengenang keberhasilan. Untuk mengenang entah apa lagi. Setiap orang datang kepada yang lain. Bahkan juga kepadaku. Semua, ganti berganti. Bahkan ada yang berulang-ulang. Saling mengucapkan dan mengharapkan kebaikan di masa datang, lalu sama-sama menenggak arak. Bertubi-tubi. Dan ketika mereka datang kepadaku, aku mengangkat pula gelas air putih, sambil mengucapkan 'the same to you'.

Aku beristighfar dalam hati. Seharusnya aku tidak boleh sama duduk dengan orang-orang yang sedang minum khamar ini. Dan aku berada pada posisi yang selemah-lemahnya iman malam itu.

Dalam hal makanan, tetaplah ikan yang aku santap. Teman duduk di sebelah kiriku, berkali-kali menawarkan chicken atau lamb dan selalu aku tolak. She yang duduk terpisah beberapa kursi menjelaskan bahwa aku hanya memilih ikan saja. Sampai suatu saat aku melihat potongan-potongan sebesar jari kelingking berwarna coklat dan entah kenapa aku bertanya kepada teman di sebelah kiriku itu. Dia menjawab bahwa itu adalah 'bambu'. Ooo rebung, kataku dalam hati. Aku ambil sepotong dan aku cicipi. Benar sekali itu adalah rebung muda yang sangat halus tak berserat. Aku punya pilihan lain akhirnya.

Acara makan malam itu berakhir sekitar jam setengah sembilan malam. Yang dimulai sejak jam enam. Waktu dua setengah jam yang sangat mencekam bagiku. Syukurlah akhirnya selesai juga. Kami diantar kembali ke hotel. Di bawah hujan rintik-rintik yang rupanya tidak berhenti sejak kami masuk ke restoran tadi itu......

*****                                                 

Minggu, 27 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (4)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (4)

Mereka menyebutnya dalam Bahasa Inggeris West Lake. Jadi artinya danau (di) barat. Menurut Fang, seorang ahli geologi yang ikut menemani kami, danau itu berupa oxbow lake. Artinya bagian sungai yang ditinggalkan oleh arah arus utama. Hal itu terjadi pada sungai-sungai yang berbelok-belok tajam (meandering) dan pada puncak pembelokan itu arusnya kembali mengambil jalan 'lurus' dan meninggalkan bagian yang melengkung atau belokan.

Kami sampai di dermaga sampan-sampan. Rupanya program berikutnya adalah bersampan-sampan di danau itu. Sampan yang berukuran sedang. Ada tiga deretan tempat duduk penumpang. Dua berhadap-hadapan, dengan sebuah meja yang di atasnya ada sebuah asbak dan satu bangku lagi di belakangnya. Setiap bangku cukup untuk tiga orang. Kami berenam menempati dua bangku yang berhadap-hadapan. Si pendayung sampan punya tempat duduk sendiri di bagian paling belakang. Dia bekerja santai mendayung. Dan ternyata dia kuat sekali. Perahu itu dikayuhnya berkeliling-keliling danau. 

She, (dibaca Sche), yang menemani kami sejak dari Hongkong, jadi tuan rumah yang baik bersama Fang. Dia bercerita tentang danau barat, tentang dongeng dan legendanya, (diantaranya dongeng pengantin ular putih, jelmaan ular yang kawin dengan pangeran, biasalah, namanya juga dongeng), tentang rumah peristirahatan ketua Mao di tepi danau itu yang kami lihat dari jauh, dan konon masih jadi tempat favorit petinggi Cina untuk berkunjung dan menginap, tentang kuil dan sesuatu seperti tonggak dalam danau yang terlihat seperti tempat menambatkan tali kapal dan katanya dibangun seribu tahun yang lalu, dan tiga tonggak dengan latar belakang kuil di atas bukit itu diabadikan di uang kertas 1 yuan. She menghadiahi masing-masing kami selembar uang kertas tersebut sekalian menunjukkan bagian yang digambarkan dalam uang kertas itu.

Sebenarnya, danau itu tidak istimewa-istimewa sangat. Tidak indah-indah sangat. Airnya tidak terlalu jernih. Ada ikan kecil-kecil kadang-kadang terlihat melintas di sisi sampan. Kadang-kadang kami melintas di bawah jembatan. Dua kali kami melihat pasangan pengantin atau calon pengantin sedang berfoto-foto di jalan di atas danau. Katanya mereka sedang membuat foto untuk dekorasi di pesta pernikahan mereka nanti. Mungkin juga ini pengaruh dongeng pengantin ular putih. Entahlah. 

Di tengah danau yang ada pula jalan lain, kami berhenti sejenak untuk berjalan-jalan pula di atas. Melalui taman yang tidak terlalu terawat. Melalui bangunan-bangunan kayu yang tiangnya diukir dengan kaligrafi kuno, yang She sendiri kesulitan membacanya. Tapi dia tetap saja bercerita. Yang jadi perhatianku adalah bahwa tidak ada vandalisme di sana. Tidak ada corat-coret. Tidak ada buang sampah sembarangan. Ini memang perlu diacungi jempol. Padahal pengunjungnya sampai saat senja raya itu masih banyak.

Lalu kami naik sampan lagi. Total kami bersampan-sampan selama hampir dua jam. Makanya aku terkagum-kagum dengan kekuatan si tukang dayungnya yang tidak banyak bicara itu. Sudah menjelang maghrib kami berhenti di dermaga yang lain. Dan disuruh oleh petugas keamanan untuk segera meninggalkan tempat itu (rupanya yang kami jalani itu benar-benar kawasan wisata), karena tempat itu akan segera ditutup. Kami berjalan kaki lagi beberapa saat, menuju restoran di ujung jalan, untuk jamuan makan malam. Saat itu hujan turun rintik-rintik. Restoran itu penuh oleh pengunjung. Orang Cina rupanya sangat senang makan bersama di restoran. Kami naik ke tingkat atas yang sudah di-reserved. Di sana sudah menanti kami semua peserta rapat tadi pagi..........                                                                    

Sabtu, 26 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (3)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (3)

Karena pilihanku hanya ikan, untukku dipesankan dua porsi ikan yang dimasak stim. Aku berbasa basi mengatakan tidak usah sampai dua porsi. Si tuan rumah mengatakan bahwa porsinya terlalu kecil. Ternyata benar. Sepotong ikan yang besarnya hanya sekitar tiga jari tangan. Bagus juga karena diungkap (stim) tadi itu. Rasanya, lumayanlah. Padahal banyak juga jenis ikan yang sebenarnya pantang bagi asam uratku.

Teman se kantor yang satu lagi (yang kebetulan bukan Muslim), juga ikut-ikutan heran kenapa aku menolak chicken, padahal beberapa kali aku katakan bahwa yang paling aman bagiku untuk melawan asam urat hanya ayam. Aku tersenyum saja, tidak menjawab. Dihadapanku ada sebuah kartu menu (iklan) masakan ayam yang disajikan di atas piring, kepala berikut paruh dan jenggernya masih lengkap, sementara badannya sudah diolah. Gambar ayam utuh itu menghadap ke arahku dengan leher utuh, tidak ada bekas sembelihan. Aku teringat cerita si Bungsu yang dia dapat dari temannya di Hongkong, bahwa masakan bebek panggang yang tersohor itu, bebeknya tidak disembelih tapi dipelintir kepalanya ketika mematikannya. Masya Allah.

Makan malam itu boleh dikatakan sukses. Kami beramah tamah sampai jam setengah sembilan malam sebelum akhirnya kembali ke kamar masing-masing. Aku segera berusaha tidur. Satu hal yang di luar dugaanku adalah bahwa cuaca tidaklah sedingin yang aku khawatirkan. Tadi di bandara diumumkan temperatur 18 derajad. Malam ini, dengan AC dihidupkan, temperatur di kamar hanya 23 derajad. Jadi AC berfungsi sebagai pemanas meski tidak pula meniupkan udara panas.

Jam delapan pagi, sesudah sarapan, kami berangkat menuju ke kantor pusat riset mereka. Melalui jalan-jalan dalam kota yang ramai. Dan tertib. Ada jalur khusus kendaraan roda dua (motor dan sepeda, yang terakhir ini cukup banyak), jalur khusus bus (busway) yang hanya dibatasi garis putih lurus. Terlihat tempat parkir khusus sepeda dengan belasan sepeda berwarna-warni, tersusun rapi. Dan aku sekali lagi menemukan di sepanjang jalan bahwa memang tidak ada rumah terpisah. Yang ada hanyalah rumah susun. Mungkin begitu aturannya dalam kota.

Kami sampai di kantor pusat riset itu. Beramah tamah dengan pimpinan dan stafnya, dibawa berkeliling-keliling sebentar melihat bangunan kantor dan laboratorium mereka, sebelum memulai rapat jam sembilan. Di ruang rapat ada spanduk bertuliskan 'Workshop'. Di agenda rapat tertulis bahwa akan ada presentasi dari fihak mereka tentang daerah kerja kami lalu kami juga akan mempresentasikan rencana kerja kami ke depan, yang akan kami mintakan persetujuan mereka sebagai partner. 

Rapat itupun berjalan sangat lancar, sangat memuaskan dan selesai sekitar jam dua belas. Hanya tiga jam. Kami kembali diajak mengunjungi laboratorium mereka, yang diperlengkapi dengan peralatan-peralatan yang baru mereka beli dari Jerman dan Amerika Serikat. Setelah itu kami dibawa ke sebuah restoran di bagian lain dari kota. Katanya dekat sebuah danau. Baik teman yang dari Jakarta maupun yang menemani dari Hongkong berulang kali menyemangatiku bahwa ada beberapa menu ikan yang sudah dipesan untukku. Wow! Yang dari Jakarta juga mengingatkan bahwa tidak akan ada yang mengandung babi. Nah, itu dia. Karena anggapan mereka hanya babi yang haram. 

Kami makan mengelilingi meja bundar yang bagian tengahnya bisa diputar. Benar sekali bahwa ada ikan besar (katanya ikan air tawar) yang juga distim. Yang dari Singapura merasa perlu benar mengatakan bahwa itu khusus untukku. Tapi, ya mana mungkin, karena bagian tengah meja itu diputar-putar. Aku memang tidak menoleh kepada yang lain selain dari ikan itu. Rasanya lumayan enak.

Setelah itu kami diajak mengunjungi danau di bagian barat kota. Turun dari bis lalu berjalan di sebuah jalur di tengah danau yang entah menuju ke mana. Banyak sekali pengunjung di sepanjang jalan itu. Para turis lokal. Bermacam-macam tingkah polah mereka. Ada satu orang anak muda yang berdandan dan menari meniru Michael Jackson mengikuti irama musik yang dibunyikan cukup keras. Lucu sekali. Rupanya tempat itu memang biasa ramai dikunjungi di musim rontok seperti sekarang. Ada pengendara minibus yang berteriak-teriak. Aku tanyakan apa maksud mereka? Rupanya mereka menawarkan jasa untuk wisata keliling danau dengan minibus. Ada banyak sampan berjejer-jejer dalam danau. Dan orang-orang (pengemudinya) yang juga menawarkan jasa. Rupanya program kami siang itu memang akan berjalan kaki dan diteruskan dengan naik sampan antik itu......

*****                                              

Undangan Walimahan

Undangan Walimahan 

Siang ini kami menghadiri pesta pernikahan anak seorang teman. Undangan, yang apa boleh buat, dikirim melalui sms, tapi dengan kalimat yang sangat santun. Dan aku merasa sangat perlu menghadirinya. Bukan pesta ecek-ecek. Tempatnya di Pullman hotel di Podomoro City di Jakarta Barat. Kalau tempat pestanya saja sangat berkelas (memang begitu adanya) kenapa dong, kok undangannya melalui sms? Jangan-jangan memang sekedar basa-basi karena teringat di saat-saat terakhir saja oleh yang punya hajat? Aku yakin tidak.

Ku awali cerita ini agak jauh ke belakang. Ke tahun 1986 - 1987 an. Ketika itu, perusahaan tempat aku bekerja melalui masa di mana harga minyak mentah turun, dari 30 dolar ke sekitar 10 dolar per barrel. Akibatnya, kegiatan pengeboran sumur minyak yang tadinya menggebu-gebu, dengan menggunakan sepuluh buah menara pengeboran, direm mendadak, dan jumlahnya sedang dikurangi. Setiap menara pengeboran itu diawasi oleh satu orang ahli geologi operasional. Ada sebelas orang ahli geologi nasional dan dua orang asing yang bekerja bersama-sama. Ahli nasional nomor sebelas baru saja diangkat dan sedang dalam masa percobaan tiga bulan ketika krisis harga minyak itu terjadi. Suatu hari aku menerima surat keputusan perusahaan untuk disampaikan kepada si nomor sebelas. Isinya, yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus masa percobaan. Aku terheran-heran karena aku tidak pernah memberi penilaian negatif terhadap pekerjaannya. Rupanya yang memberikan penilaian negatif adalah wakilku, orang asing, dan itu dilakukannya ketika aku sedang cuti. Aku datangi manejer distrik untuk menjelaskan bahwa penilaian terhadap kawan ini tidak fair. Dia seorang yang sangat potensial, lulus cum laude dari PT nya. Si manejer mengatakan, bahwa sebenarnya bukan itu masalahnya. Dengan situasi harga minyak mentah waktu itu, kita perlu merasionalisasi jumlah tenaga, begitu alasannya. Bagaimana pun aku berusaha meyakinkan si manejer distrik itu, dia tetap tidak mau merobah keputusan yang sudah ditandatanganinya. 

Kawan paling muda itu, apa boleh buat terpaksa pamit mundur. Dengan sedih. Karena kami, khususnya yang nasional, pada waktu itu sangat kompak dan guyub dalam pergaulan dan pekerjaan.

Sekitar tahun 1989, ketika aku kembali dari Perancis dan kembali menduduki posisi yang sama di kantor, dan aku lihat waktu itu kami memerlukan tenaga tambahan lagi, aku teringat kepada kawan muda dahulu itu. Aku jelaskan niatku untuk mencoba menghubunginya lagi kepada perusahaan. Mulanya perusahaan seperti setuju. Dan kawan itu aku hubungi. Dia mengatakan masih berminat untuk bergabung jika memang mungkin. Tapi sayang, ternyata tidak berhasil. Perusahaan memutuskan agar mencari kandidat lain saja. 

Beberapa tahun yang lalu, aku dengar bahwa teman tersebut bekerja di salah satu Bank BUMN dan karirnya sangat bagus di sana. Kenapa tidak, pikirku. Memang banyak saja teman-teman berpendidikan geologi yang sukses di bidang lain. Setahun yang lalu, secara kebetulan aku bertemu dengannya di pesta pernikahan anak teman lain (salah satu dari sepuluh ahli geologi operasional yang lain). Sudah lebih dua puluh tahun sejak kami berpisah. Dia memberiku kartu namanya. Vice President. Bukan main, kataku. Dia tersenyum ramah dan meminta nomor teleponku. Kebetulan, hapeku tertinggal, dan aku berjanji akan menghubunginya. 

Aku betul-betul menghubunginya. Setelah itu kami pernah saling berkirim ucapan selamat hari raya.

Dua hari yang lalu aku menerima sms darinya. Itulah sms undangan yang aku datangi hari ini. Teringat saja pantun dendang tukang Kim di negeriku dulu. Batu sangkar berlantai batu - Tanah jual, lebuh bersilang. Nasib kita siapa tahu - Sekarang susah, nanti 'kan senang. 

*****         

Kamis, 24 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (2)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (2) 

Jam setengah empat lebih kami sudah kembali berada di dalam pesawat. Pesawat yang lebih kecil dari yang menerbangkan kami dari Jakarta ke Hongkong pagi tadi. Dan kelihatannya pesawat ini juga sudah cukup tua. Tapi itu tidak jadi masalah. Pesawat ini akan membawa kami ke Hang Zhou dalam waktu dua jam lebih. Kali ini dalam suasana Cina yang jelas lebih kental karena mungkin hanya kami saja yang Melayu di atas pesawat ini.

Setelah beberapa lama mengudara pramugari mulai sibuk membagi-bagikan hidangan. Mulai sekarang, tidak ada lagi yang benar-benar halal bagiku kecuali ikan. Tapi tidak ada ikan. Pilihan yang paling aman di antara yang tidak aman adalah beef dengan kentang pure dan sayuran. Dan aku memesannya. Untuk menikmati hanya kentang pure dan sayurannya saja. Kebetulan aku duduk dengan rekan Melayu. Teman yang satunya duduk dengan tuan rumah di bangku di belakang kami. Teman dudukku hanya melirik saja tapi tidak bertanya kenapa aku tidak memakan potongan-potongan beef yang dimasak seperti kalio daging itu. 

Cuaca cukup cerah sore itu. Matahari bersinar dari arah belakang di rusuk kiri. Tidak lama lagi matahari itu akan terbenam, selagi kami masih di udara. Waktu itu pun datang. Cahaya siang pelan-pelan mulai redup, pertanda sudah masuk waktu maghrib. Aku bertayamum dan bersiap-siap untuk shalat. Aku tanyakan apakah teman dudukku akan sama-sama shalat, karena setahuku dia seorang yang mengerjakan shalat. Dia bilang biarlah nanti saja di tempat tujuan. Aku shalat sendirian. Shalat yang dijamak dan diqasar. Dengan bacaan dijahar (dikeraskan) secukupnya.

Kira-kira jam enam waktu setempat kami mendarat di kota tujuan. Bandaranya moderen dan bersih. Yang pertama sekali mencolok mataku adalah seragam petugas imigrasi yang serupa benar dengan seragam tentara kita, dengan tanda pangkat bintang emas. Ada yang dua, ada yang tiga bintang emas. Jadi kami diterima petugas imigrasi yang ibarat jenderal di negeri kita. Di luar pagar penjemputan ada seorang memegang kertas dengan nama-nama kami bertiga. Kebetulan namaku agak salah eja. Padahal kami ditemani oleh orang Petro China yang dari Singapura dan bersama-sama dari Hongkong. 

Kami segera menuju kendaraan yang sudah disiapkan.  Sebuah minibus. Kami berempat ditambah si penjemput dan sopir minibus. Melaju di jalan raya menuju pusat kota yang katanya sekitar 40 km jaraknya. Miriplah dengan jarak Bekasi ke Cengkareng. Jalan raya dipenuhi kendaraan roda empat meski tidak sampai macet. Aku melirik bangunan-bangunan bertingkat berjejer-jejer di kiri dan kanan jalan. Rupanya itu adalah rumah susun. Tidak terlihat, mungkin karena malam hari, rumah sendiri-sendiri. Yang ada hanya apartemen atau rumah susun itu saja. 

Kami sampai di hotel. Check in, lalu meletakkan koper kecil ke kamar dan segera kembali ke loby hotel. Malam itu kami diajak makan malam di restoran hotel tempat kami menginap oleh yang menemani dari Hong Kong tadi. Aku mengumumkan terus terang bahwa aku hanya bisa makan ikan. Si tuan rumah bertanya agak terheran-heran. Aku jawab saja karena alasan kesehatan. Kami pun makan. Bismillah....

*****                              

Jumat, 18 November 2011

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (1)

Pergilah Rapat Ke Negeri Cina (1)

Perjalanan paling jauh ke arah utara yang pernah kutempuh barulah sampai ke Bangkok. Itu dulu di tahun 1983. Sesudah itu sekedar singgah di bandaranya pernah pula dua kali lagi, di tahun 1988, dan tahun 1990. Lebih ke utara dari itu belum pernah.

Hari Jumat pekan lepas, orang yang aku bantu dalam bekerja (aku kan seorang konsultan) mengatakan, kita akan ke Cina hari Senin malam. Ajakan pergi ke Cina ini memang sudah pernah diberitahunya jauh hari sebelumnya, tapi belum ada jadwal yang pasti. Tapi bahwa akan pergi secara mendadak seperti itu tidak pernah terpikirkan olehku. Jadwal itu akhirnya berubah menjadi Selasa pagi. Tetap saja, masih sangat meragukan karena kami belum punya visa Cina. Dan pasportku tinggal di rumah. Beberapa orang yang perlu sibuk, terpaksa sibuk, memesan tiket dan mempersiapkan (entah bagaimana caranya) pengurusan visa, yang baru akan dilakukan hari Senin pagi-pagi sekali. Seseorang datang mengambil pasportku ke rumah hari Minggu siang. Ah, kita lihat sajalah. Seberapa canggih mereka ini berurusan.

Ternyata semua beres. Visa diperoleh hari Senin sore sedangkan tiket sudah diberikan ke tanganku hari Senin pagi. Jadwal keberangkatan itu, adalah jam 8.40 hari Selasa tanggal 15 November. Sejujurnya, aku tidak terlalu bersemangat untuk melakukan perjalanan ini. Terbayang segala tantangan dan kesulitan yang akan kuhadapi. Terutama dalam urusan makan. Bukan saja karena masalah pantangan untuk penyakit asam urat, yang lebih memusingkan adalah kehalalan makanan yang akan dimasukkan ke dalam perut.

Tapi apa boleh buat. Karena pekerjaan aku mesti berangkat. Kota yang akan kami tuju bernama Hang Zhou, yang sampai tiga hari yang lalu aku tidak tahu di mana lokasi tepatnya. Kami akan terbang melalui Hongkong dan dari sana disambung dengan dua jam lebih lagi penerbangan lain, lebih ke utara lagi. Perjalanan ke Hongkong aman-aman saja. Di menu makan pagi yang disuguhkan terbaca bahwa semua makanan di penerbangan ini dipersiapkan dengan metoda halal. Tidak terlalu jelas maksudnya. Ditambah lagi, pengertian halal bagi orang bukan Muslim adalah tidak diikutsertakannya babi. Itu saja. 

Jam dua siang kami sampai di Hongkong (waktu Hongkong satu jam lebih cepat dari WIB). Waktu transit hanya satu jam. Kami terbirit-birit pindah gate yang jaraknya sangat jauh. Di samping berusaha mencari tuan rumah yang berjanji akan bertemu di bandara ini dan akan bersama-sama terbang ke Hang Zhou. Orang tersebut akhirnya bertemu di ruang tunggu mau masuk pesawat. Kami segera disuruh naik ke pesawat.....

                                                 

Jumat, 11 November 2011

Cemas, Gamang dan Doa

Cemas, Gamang dan Doa

Setiap kita tentu pernah merasa cemas. Ada kalanya merasuk saja ke dalam hati perasaan seperti itu. Kadang-kadang kita gamang. Siapa pula yang akan tidak pernah cemas. Cemas dan gamang kadang-kadang, sekali-sekali, tentu singgah dalam kehidupan. Cemas tentang apa saja. Cemas seakan-akan yang diharapkan tidak akan tercapai. Cemas seakan-akan  yang dinanti tidak akan tiba. Cemas seakan-akan yang diperlukan tidak akan terbeli karena uang tidak cukup. Cemas kalau-kalau orang tidak menepati janji. Dan sebagainya. Lalu timbul gamang. Gamang artinya khawatir kalau-kalau. Khawatir kalau-kalau dia tidak datang dan akibatnya kita akan kecewa. Atau akibatnya kita akan mendapat kesulitan. Atau akibatnya kita akan rugi. Dan sebagainya pula.

Sebagian orang yang mendekati usia pensiun, tiba-tiba timbul cemas. Dengan segala kekhawatiran dalam kecemasannya. Lalu setelah masa pensiun itu benar-benar datang, timbul gamang. Bagaikan berdiri di tepi tebing terjal. Rasa-rasa akan jatuh saja. Atau seseorang yang akan melepas orang dikasihinya pergi jauh. Timbul cemas. Kalau-kalau nanti terjadi apa-apa atas orang yang dikasihi tersebut. Bahkan sebaliknya, kalau-kalau sepeninggalnya terjadi apa-apa dengan kita yang ditinggalkan. Menari-nari di angan-angan segala sesuatu yang mungkin terjadi. 

Sesuatu itu memang bisa saja terjadi. Seringkali kita mendengar berita tentang musibah. Tentang kesulitan. Tentang kegagalan. Karena semua itu memang mengikuti pula ketetapan Allah. Kalau Allah berkehendak sesuatu itu akan terjadi, maka terjadilah dia.

Di sini perlunya doa. Permohonan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Permohonan agar kita terhindar dari yang kita cemaskan. Ketika kita masuk ke suatu negeri, kita khawatir tentang keamanan di negeri itu, atau kita cemas tentang kemungkinan ancaman yang bisa menimpa kita, di sana kita berdoa. Memohon pertolongan Allah, agar kiranya kita terhindar dari segala keburukan yang mencemaskan. Kepada Allah kita kembalikan segala urusan. Segala kemungkinan yang mencemaskan itu dan kepada Allah kita meminta pertolongan. Bisa saja terjadi, suatu musibah sedang menghampiri kita. Tapi dengan berdoa kepada Allah, lalu Allah menjauhkannya dari kita.

Cemas dan gamang adalah permainan kehidupan. Doa kepada Allah, insya Allah bisa menjadi obat penenang di kala kita sedang cemas.

*****

                                         

Minggu, 06 November 2011

Hari Sibuk

Hari Sibuk

Alhamdulillah, bolehlah barangkali aku senang dengan lingkunganku ini. Lingkungan yang dimampatkan menjadi sebuah RW dengan lebih kurang 200an rumah. Dengan warga yang majemuk. Ada Jawa, Sunda, Aceh, Tapanuli dan Batak, Palembang, Minang, Bengkulu, Madura, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Manado, Bali..... Pokoknya Indonesia Raya. Dan kami guyub. Terlebih lagi, akrab di lingkungan mesjid komplek. Jamaah mesjid yang aku saksikan berawal dari sedikit dan lama-lama jadi semakin banyak. Dan alhamdulillah sekali lagi, kami cukup istiqamah dalam berjamaah. Dalam shalat berjamaah.

Dan hari ini kami semua sibuk. Sibuk memotong dan mencacah hewan kurban. Cerita yang sudah pernah kutulis sebelumnya. Biarlah kali ini kuulangi lagi. Ada empat belas ekor sapi yang kami potong hari Ini. Sebuah rekor baru karena sebelum ini yang terbanyak, dua tahun yang lalu, tiga belas ekor. Dan enam belas ekor kambing. Kami bergotong royong. Jamaah mesjid komplek ini, jamaah yang ikut berkurban, bertungkuslumus, berdarah-darah memotong, mencacah, mencincang, memasukkan ke plastik, membagi-bagikan. 

Dalam urusan membagi ini kami sudah sangat berpengalaman untuk menghindari ketidak tertiban. Kami bergotong royong pula membagi-bagikan kupon ke RW tetangga, yang penghuninya dari kelas bawah. Ada tukang / buruh harian, ada tukang ojek, supir angkot, penjual bakso keliling, tukang sol sepatu. Itulah yang menerima pembagian. Ada seribu limaratus kupon yang kami bagikan. Lalu kantong daging kami siapkan sebanyak jumlah kupon ditambah ekstra beberapa puluh. Tadi sesudah asar, para pemegang kupon itu sudah antri di luar pagar mesjid. Menunggu sambil menonton kami mempersiapkan bungkusan daging dalam kantong plastik.

Pekerjaan memotong-motong itu (dibantu oleh jagal sapi yang profesional) selesai jam setengah lima. Selesai dalam arti kata semua sudah masuk kantong plastik siap dibagi-bagikan. Lalu pintu yang dijaga petugas satpam dibuka dengan mengijinkan pemegang kupon masuk sepuluh demi sepuluh orang. Semua berlangsung dengan tertib. Meski di luar, mereka berdesak-desak (inilah kebiasaan tidak sabar masyarakat kita). Padahal semua kebagian. Bahkan yang tidak punya kupon, beberapa puluh orang, masih dapat kami layani. Jam setengah enam selesailah pekerjaan besar itu. Selesai dengan selamat tanpa ada masalah sedikitpun. Petugas mesjid bekerja keras membersihkan beranda mesjid dari serpihan daging, darah dan kotoran lainnya. Petugas yang memang sudah disiapkan untuk itu.

Lalu tinggallah capek. Tapi hati senang. Karena pekerjaan ibadah itu terlaksana dengan baik. Mudah-mudahan Allah menerima yang kami kerjakan sebagai amalan yang shalih. 

****                                 

Rabu, 02 November 2011

Rukun Iman Ke Enam - Beriman Dengan Takdir

Rukun Iman Ke Enam - Beriman Dengan Takdir 

Dalam perjalanan hidup, kadang-kadang kita tercenung. Kadang-kadang kita menyesal. Kita sadar dengan kekeliruan namun sudah terlambat. Nasi sudah jadi bubur, begitu biasanya kita katakan. Ada orang yang berlarut-larut 'memikirkan' sesuatu yang telah berlalu itu. Bahkan kadang-kadang dengan kesedihan yang dalam. 'Coba dulu aku tempuh jalan yang satu lagi.' Atau, 'Coba dulu aku ikuti kata-katanya.' Atau, 'Seandainya dulu aku bersabar sedikit.' Dan sebagainya. Semua itu adalah ungkapan penyesalan. Ungkapan penasaran karena sesuatu ternyata berjalan tidak ke arah yang diinginkan. Atau sesuatu berjalan ke arah yang tidak menyenangkan.

Bolehkah kita larut ke dalam penyesalan karena kekecewaan seperti itu? Mengeluh karena yang kita dapatkan sekarang tidak seperti yang kita harapkan? 

Islam mengajar kita untuk beriman dengan ketetapan Allah yang sudah berlaku. Itulah yang kita sebut sebagai 'takdir'.  Sesuatu yang terjadi, baik yang kita terlibat dalam kejadiannya atau pun Allah menetapkannya tanpa kita kehendaki. Beriman dengan takdir berarti menerimanya apa adanya. Menerimanya sebagai suatu ketetapan Allah. Dan kita tidak perlu menyesalinya, apalagi dengan kata-kata 'coba kalau'. Karena 'coba kalau' itu sudah terlambat dan tidak mungkin waktu dimundurkan kembali untuk mengubah yang sudah terjadi. Yang boleh kita lakukan adalah mengambil pelajaran dari 'takdir' yang berlaku itu. Seandainya hal itu sesuatu yang tidak menyenangkan, sesuatu yang buruk, mudah-mudahan kita mampu menghindari hal yang sama terjadi lagi.

Beriman dengan takdir Allah, artinya mempercayai bahwa sesuatu itu telah terjadi dengan izin Allah. Dia terjadi sebagai ketetapan Allah, yang baik maupun yang buruk. Dan kita tidak dapat menukar apa-apa yang sudah ditetapkan Allah dengan sesuatu yang kita angan-angankan. Kalau suatu takdir itu merupakan keburukan, yang boleh kita lakukan adalah memohon kepada Allah agar Allah menggantinya dengan yang baik. Kalau takdir itu berupa suatu yang menyedihkan atau menyakitkan, kita memohon kepada Allah agar diberi-Nya kesabaran dan kekuatan. Tidak akan ada gunanya kita menyesal-nyesali sesuatu yang sudah terjadi. Penyesalan seperti itu justru menunjukkan kelemahan iman.  

*****