Sabtu, 21 Desember 2013

Helat Ba Datuak

Helat Ba Datuak           

Berita bahwa suku Guci akan menegakkan gelar pusaka sudah diperbincangkan sejak beberapa tahun ke belakang. Artinya sudah direncanakan sejak lama. Calon Datuak, seorang sarjana ITB berusia 56 tahun. Rencana yang sudah cukup lama dikunyah-kunyah anggota kaumnya. Perlukah perencanaan cukup panjang itu? Jelas sangat perlu. Helat menegakkan penghulu melibatkan orang sekampung besar, penghulu-penghulu dari nagari-nagari, dan tentu saja memerlukan perizinan dan....... biaya.

Dan persiapan itu sepertinya sudah mereka lakukan dengan baik. Hari Jumat sesudah shalat Jum'at adalah waktu memotong kerbau. Bukan sekedar memotong, tapi harus disaksikan pula oleh niniak mamak nan basamo. Artinya, tentu ada pula acara persembahan dan perundingan secara adat. Aku tidak menyaksikan acara ini karena baru berangkat dari Jakarta hari Jum'at sore.

Waktu kami sampai di kampung hari Sabtu pagi, terlihat merawa adat sudah terpasang di pinggir jalan. Balai adat (yang selama ini kami kenal sebagai lapangan olah raga berukuran sedang, tidak seluas lapangan bola), sudah pula disiapkan. Dipasangi tenda. Balai adat ini istilahnya adalah medan nan bapaneh. Menurut cerita, upacara adat di lapangan ini, dahulu sekali, biasanya dilakukan beratapkan langit, di bawah panas matahari.

Antusias. Seperti apa kira-kira acara ini besok. Waktu kami mau bersiap-siap di tahun 1995, aku menyimak bahwa upacara adat ini bisa berlangsung beberapa hari. Artinya, kampung akan dalam suasana baralek dalam beberapa hari tersebut. Mungkin yang dimaksud sejak dari merebahkan kerbau sudah dihitung sebagai bahagian dari acara.  Atau mungkin lebih awal dari itu. Tapi rencana kami waktu itu tidak kesampaian.

Disini aku menemukan dunsanak-dunsanak dari rantau yang antusias itu. Ketika kami shalat zuhur berjamaah di mesjid Darussalam Koto Tuo, terlihat cukup banyak wajah-wajah mereka yang sama-sama hadir, yang bukan penghuni kampung. 

Hari Sabtu itu tidak ada acara khusus dalam rangka berhelat ini, kecuali bagi ibu-ibu yang sibuk memasak untuk hari berhelat hari Ahad esoknya. 

Ada undangan tertulis rupanya, yang aku baca di Ma'had Syekh Ahmad Khatib ditujukan untuk ustadz di sekolah itu. Dari sana aku tahu bahwa acara akan dimulai jam 8.30 pagi, seperti itu yang tertulis. Hari Ahad pagi itu kami yang menginap di Bukit Tinggi santai-santai saja, memasang target sampai di kampung sebelum jam tersebut. Jam delapan lebih sedikit, ketika kami sudah dalam perjalanan, seorang kakak sepupu (dari persukuan kami) yang datang dari Bandung, menelpon dan menanyakan dimana posisiku. Aku katakan bahwa kami sudah di jalan akan sampai sekitar seperempat jam lagi. 'Acara sudah mau dimulai,' katanya. Rupanya dia berharap agar aku sudah hadir di balai adat. Dengan setengah bergurau aku katakan, kalau begitu silahkan duluan saja, aku segera menyusul.

Ketika kami sampai jam setengah sembilan kurang lima, balai adat itu sudah dipenuhi orang. Ada yang duduk bersila duduk melingkar dan ada yang duduk di kursi di belakang lingkaran itu. Yang duduk bersila mungkin sekitar enam puluhan orang. Tapi semuanya dibawah naungan tenda terpal penahan panas. Kebetulan cuaca memang panas pagi itu. Kami yang datang terlambat mengambil tempat duduk di kursi. Di barisan ketiga. Di depan sekali kelihatannya ada juga para penjabat. 

Pembawa acara membacakan tata tertib acara. Lalu diteruskan dengan sambutan-sambutan, yang entah kenapa pula, ada yang disampaikan dalam bahasa Mindo, Minang dan Indonesia. Dan tentu saja ada persembahan dengan petatah-petitih. Kalau yang ini tentu asli berbahasa Minangkabau.

Aku penikmat acara pasambahan berpetatah-petitih ini. Aku sama sekali bukan yang pandai melakukannya. Tapi mengetahui bahwa yang berpesambahan bukan yang 'jawara-jawara' nya. Waktu muda dulu, aku pernah ikut dalam helat mengantar marapulai dengan jawara pasambahan, yang mahir sekali merangkai kata-kata dan berpantun, sehingga sampiran pantunnya dibuat dari apa saja, tapi terlihat indah dan tepat.

Perlu pula dicatat bahwa yang hadir pagi itu ternyata termasuk wakil bupati Agam dan..... Rajo Alam Minangkabau dari Pagaruyuang. Beliau yang terakhir ini memang 'tiba-tiba' populer beberapa tahun ke belakang ini. Dulu, waktu aku masih lebih muda tidak pernah orang menyebut keberadaan Rajo Alam ini. Atau mungkin ketika itu beliau masih diam-diam saja. Wallahu a'lam. 

Demikianlah acara-acara itu berlalu yang intinya mengukuhkan pemberian gelar adat Datuak Bandaro Panjang. Setelah acara di medan nan bapaneh selesai, para hadirin itu pindah ke tempat yang berlindung, alias ke rumah gadang, untuk acara makan bersama. Ada tiga buah rumah yang disiapkan. Rumah saudara Datuak Bandaro Panjang yang jauh terpisah ke utara dari balai adat dan dua buah rumah persukuan Piliang di samping balai adat. Ke rumah adat bergonjong naik Datuk-datuk (ada satu orang lagi serta Datuk Bandaro Panjang) dan beliau-beliau yang duduk bersila sedangkan sebagian yang duduk di kursi ke rumah yang satunya lagi. Aku lihat rombongan Rajo Alam MInangkabau yang dipayungi dengan payung kuning tidak naik ke salah satu dari dua rumah yang dekat ini.

Aku tidak ikut naik ke rumah gadang. Dan acara selanjutnya adalah acara makan bersama, yang didahului pula dengan pasambahan-pasambahan. Di rumah gadang pastinya pasambahan itu lebih lama, tapi setelah aku menyaksikan yang di medan nan bapaneh, aku tidak terlalu berminat untuk ikut ke rumah gadang. Di rumah yang satunya, pasambahan benar-benar hanya untuk mengawali acara makan bersama, tidak berpanjang-panjang. Menjelang azan zuhur kami sudah selesai dan turun dari rumah. Yang di rumah gadang baru selesai sesudah kami kembali dari shalat berjamaah di mesjid. Aku mengucapkan selamat kepada Datuak yang baru dilantik itu ketika berselisih jalan sepulang dari mesjid.

*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar