Rabu, 21 Mei 2014

Lain Dahulu Lain Sekarang

Lain Dahulu Lain Sekarang 

Lain Bengkulu, lain Semarang. Lain dahulu, lain sekarang. Ya, iyalah. Dengan kemajuan teknologi. Kita tidak lagi hidup di jaman pergi ke kota naik delman yang ditarik kuda, duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, mengendalikan kuda supaya bagus jalannya. Meski aku melalui jaman itu. Melalui waktu ketika untuk pergi ke kota dari kampungku di kaki gunung Marapi di Ranah Minang, harus menggunakan bendi alias delman itu. Dan aku waktu itu benar-benar merasa senang duduk di muka di samping pak kusir.

Tapi ini bukan cerita bendi atau delman. Aku terkagum-kagum dengan hasil temuan teknologi sampai saat ini. Yang paling akhir aku kagumi adalah alat komunikasi skype yang kemarin kami gunakan untuk berkomunikasi antara Jatibening dan Pau di Perancis. Perangkat ini bukan baru-baru sangat. Sudah beberapa tahun dia hadir. Dan akupun pernah menggunakannya untuk berkomunikasi ke Bandung, dengan si Bungsu. Ketika kemarin digunakan untuk jarak lebih jauh, waktu itulah aku tersentak. Betapa jarak menjadi semakin tidak berarti dengan alat canggih ini.

Terbayang masa-masa dahulu. Dari dahulu ketika aku masih kanak-kanak, naik delman tadi itu. Sampai dahulu ketika anak-anak masih kanak-kanak. Yang terakhir ini di tahun delapan puluhan awal. Kami tinggal di Balikpapan saat itu. Setiap tahun kami pulang ke kampung ketika aku mengambil cuti tahunan. Sudah naik pesawat jet. Naik taksi dari Bandara Tabing ke kampung atau dari Bandara Simpang Tiga ke rumah mertua di Pekan Baru. Artinya alat transportasi waktu itu mirip dengan sekarang. Hanya saja, untuk memberitahu bahwa kami sudah selamat sampai kembali di Balikpapan sepulang dari cuti, media penyampai berita hanyalah surat. Tidak lazim untuk mengirim telegram untuk berita seperti itu. Dan surat, seandainya begitu sampai langsung ditulis, baru akan sampai di tangan ibuku 3-4 hari kemudian. Balasannya, di mana beliau menyampaikan rasa syukur bahwa kami sudah selamat kembali di perantauan baru akan datang beberapa hari lagi kemudian.

Belum ada telepon di kampung waktu itu. Bahkan di kotapun (di tempat mertua di Pekan Baru) tidak ada telepon. Jauh sekali bedanya dengan sekarang ketika semua orang punya hape, bahkan sampai di kampung-kampung. Lalu kita bisa menghubungi siapa saja di mana saja.

Pengalaman pahit dengan pesawat telepon pernah aku alami tahun 1990, waktu kami pergi melaksanakan ibadah haji. Ketika itu terjadi peristiwa terowongan Mina yang mengambil korban lebih dari 1500 orang jamaah haji Indonesia. Kami ikut-ikutan antri di telepon umum di Mina untuk menghubungi anak-anak di Balikpapan. Aku berhasil menghubungi nomor telepon kantor dan minta disambungkan ke rumah tempat tinggal kami. Men-dial langsung ke nomor rumah dari luar negeri tidak bisa. Apa yang terjadi? Petugas telepon itu, mungkin karena sedang sibuk, tidak berhasil menyambungkan ke rumah. Habis koin 50 riyal, dan tidak ada lagi koin, telepon itu diam saja, tidak tersambung ke rumah. Dengan 15 riyal seharusnya sudah cukup untuk berkomunikasi ke tanah air. Baru dua hari kemudian dari Makkah kami berhasil menghubungi anak-anak dan adikku di Balikpapan. Padahal waktu itu semua orang senewen, menunggu dan mengamati berita TVRI yang menyiarkan nama-nama korban terowongan Mina. Anak kami yang paling tua bahkan diteror temannya yang mengatakan bahwa nama kami terbaca di antara nama-nama korban tersebut.  

Itulah bedanya. Sekarang semua orang bisa berkomunikasi audio visual ke balik bumi sana.

****                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar