Jumat, 27 Juni 2014

Ilmu Yang Mesti Diketahui Sebelum Ramadhan (Dari Media Dakwah)

Ilmu Yang Mesti Diketahui Sebelum Ramadhan

Menyambut Ramadhan, bulan suci, bulan penuh kebaikan bukan hanya dengan suka cita. Persiapan fisik dianjurkan untuk dilakukan. Bentuknya adalah dengan banyak puasa sunnah di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perbanyak taubat pun mesti dilakukan agar ibadah kita dimudahkan di bulan suci Ramadhan. Bekal ilmu lebih-lebih harus kita siapkan agar ibadah kita di bulan Ramadhan tidak jadi sia-sia.

Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa’adah berkata, “Orang yang beribadah tanpa adanya ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang demikian akan mendapatkan kesukaran dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tak terpuji bahkan pantas dapat celaan.”

Apa saja bekal ilmu menyambut Ramadhan yang dimaksud?

Ilmu yang harus kita miliki adalah ilmu yang bisa membuat ibadah puasa kita sah, tidak jadi sia-sia dan semakin membuat puasa kita sempurna serta penuh makna.

1 - Ilmu Tentang Puasa

Puasa artinya menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar Shubuh hingga tenggelamnya matahari (waktu Maghrib). Puasa ini diwajibkan bagi orang yang telah baligh (ditandai dengan mimpi basah atau datang haidh pada wanita), berakal (tidak gila), dalam keadaan sehat dan tidak sedang bersafar.

Bagi orang yang sakit dan musafir mendapatkan keringanan tidak berpuasa dan mesti mengganti di hari lainnya (menunaikan qadha’). Begitu pula untuk orang sepuh (tua renta) yang tidak kuat lagi untuk berpuasa dan orang yang sakit menaun tak kunjung sembuh mendapat keringanan tidak berpuasa. Sebagai gantinya adalah menunaikan fidyah, yaitu sehari tidak berpuasa berarti menunaikan fidyah berupa satu bungkus makanan yang diberikan pada orang miskin.

Wanita hamil dan menyusui pun mendapat keringanan tidak berpuasa jika mereka merasa berat atau khawatir pada keadaan diri atau bayinya. Sebagai gantinya, wanita hamil dan menyusui tersebut mesti menunaikan qadha’ di hari lain saat ia mampu. Karena keduanya lebih tepat dimisalkan dengan wanita hamil dan menyusui bukan dengan orang yang telah sepuh yang hanya menunaikan fidyah.

Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, datang haidh dan nifas, keluar mani saat bercumbu, dan berhubungan intim dengan sengaja.

Puasa tersebut dilakukan dengan berniat. Maksud niat adalah berkeinginan atau mengetahui dalam hati akan melakukan suatu ibadah, tanpa dilafazkan dengan ucapan niat tertentu. Niat itu pun harus ada setiap malamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An Nasai, shahih).

Puasa yang sempurna dilakukan akan menggapai derajat takwa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183).

2 - Ilmu Tentang Amalan Sunnah Saat Puasa

Di antara amalan sunnah yang bisa dilakukan adalah:

a. Makan sahur

Dalam hadits dari Anas disebutkan, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (Muttafaqun ‘alaih). Waktu sahur disunnahkan untuk diakhirkan karena jarak makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan waktu pengerjaan Shalat Shubuh adalah sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (berarti: 10-15 menit) sebagaimana diterangkan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih. Dari hadits ini, Abu Jamroh mengatakan bahwa makan sahur itu (disunnahkan) diakhirkan waktunya.

b. Berbuka puasa

Jika azan Maghrib telah berkumandang, maka diperintahkan untuk segera berbuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Disunnahkan berbuka ketika itu dengan kurma. Jika tidak ada bisa diganti dengan makanan yang manis-manis karena akan mengembalikan kekuatan orang yang telah berpuasa.

Saat kita mulai menyantap makanan berbuka, tetap mengucapkan ‘bismillah’ sebagaimana adab yang diajarkan dalam Islam saat makan. Setelah itu mengucapkan doa saat berbuka puasa, “Dzahabazh zhoma-u wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah” (artinya: dahaga telah hilang dan urat-urat leher telah basah dan pahala telah ditetapkan insya Allah). (HR. Abu Daud, hasan)

c. Memberi makan berbuka puasa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpausa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, shahih).

d. Lebih banyak bersedekah dan beribadah di bulan Ramadhan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk yang begitu giat melakukan amalan kebaikan, juga berderma di bulan Ramadhan dibandingkan waktu lainnya. Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 270).

Juga yang dituntut pada bulan Ramadhan adalah untuk memperbanyak tilawah dan mengkaji Al Qur’an. Karena bulan Ramadhan disebutkan, “Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al Baqarah: 185).

e. Menggapai lailatul qadar, malam yang amalan di dalamnya lebih baik daripada seribu bulan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari). Untuk mudah meraihnya adalah dengan melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di masjid, yaitu berdiam walau beberapa waktu di masjid dalam rangka ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri biasa melakukan i’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

3 - Ilmu Tentang Shalat Tarawih

Shalat tarawih disunnahkan dilakukan secara berjama’ah baik bagi laki-laki dan perempuan. Keutamaannya di antaranya disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, “Siapa saja yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) atas dasar iman dan mengharap padahal dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih).

Shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Namun menurut mayoritas ulama, shalat tarawih tidak dibatasi jumlah raka’atnya. Shalat tarawih boleh dikerjakan dengan raka’at yang sedikit maupun banyak. Karena saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau tidak memberikan batasan. Yang beliau katakan, “Shalat malam itu dua raka’at salam, dua raka’at salam.” (Muttafaqun ‘alaih). Alasan lainnya, Umar bin Khattab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 raka’at. Intinya, shalat tarawih boleh dilakukan dengan 11 atau 23 raka’at asalkan shalat tersebut memiliki thuma’ninah, artinya tidak ngebut atau tidak dengan kecepatan tinggi. Thuma’ninah itu adalah bagian rukun shalat, yang jika tidak ada berarti shalat tidaklah sah.

4 - Ilmu Tentang Zakat Fithri

Zakat fithri adalah zakat yang dikeluarkan menjelang Idul Fithri, paling cepat dua atau tiga hari sebelum Idul Fithri, bukan dibayar di awal atau pertengahan bulan. Zakat fithri yang dikeluarkan bentuknya adalah beras yang merupakan makanan pokok (bukan uang) dengan ukuran satu sho’ (kisaran 2,1 – 3,0 kg). Zakat fithri ini disalurkan pada fakir miskin dengan tujuan untuk membahagiakan mereka pada hari raya dengan makanan dan untuk menyucikan  orang yang berpuasa. Waktu akhir penunaian zakat fithri adalah sebelum shalat ‘ied dilaksanakan.


Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc.

Selasa, 24 Juni 2014

Ramadhan Mengetuk Lagi

Ramadhan Mengetuk Lagi 

Ramadhan menjelang datang. Bulan mulia itu sudah semakin mendekat. Hanya beberapa hari lagi kita akan memasukinya. Kita berharap dan memohon kepada Allah Ta'ala kiranya Dia memberi kita kesempatan, kesehatan, keteguhan iman untuk menjalani Ramadhan yang akan datang ini. Kita berharap bahwa keimanan kita akan lebih baik lagi dan kiranya kita nanti akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang diridhai Allah sebagai orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya.  

Meski sudah berpuluh tahun dan berulangkali kita berjumpa dengan Ramadhan demi Ramadhan, sangatlah perlu juga kita ulangi mengingatkan agar kiranya yang akan datang ini membuahkan hasil yang lebih baik, dibandingkan Ramadhan sebelum-sebelumnya. Mari kita luruskan niat, untuk beribadah di bulan ini semata-mata hanya karena Allah Ta'ala saja. Karena satu di antara dua rukun berpuasa Ramadhan itu adalah adanya niat. Niat yang lillaahi ta'ala. Niat yang kita pasang di dalam hati sanubari bahwa kita akan melaksanakan ibadah shiam karena Allah semata. Rukun yang kedua adalah mengerjakan puasa itu sendiri di rentang waktu yang sudah ditetapkan, yakni sejak waktu fajar sampai terbenam matahari. 

Lalu kita pelihara puasa demi puasa itu dengan sungguh-sungguh. Kita tahan diri kita bukan hanya dari sekedar menghentikan makan, minum dan bercampur dengan istri, tapi kita kendalikan lisan dan perbuatan kita dari hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan membatalkan ibadah kita.  

Puasa adalah ibadah istimewa di sisi Allah Subhanahuwata'ala. Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Telah berfirman Allah 'azza wajalla: 'Semua amalan manusia adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberinya ganjaran.'  (Hadits riwayat Ahmad, Nasa'i dan Muslim). 

Pada bahagian lain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Puasa itu merupakan benteng. Maka jika salah seorang di antara kamu berpuasa, janganlah dia berkata keji dan mencaci-maki. Seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci-makinya, hendaklah dikatakannya; 'Saya ini berpuasa,' dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada dalam tangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi. Firman-Nya: 'Ditinggalkannya makan minum dan nafsu sahwatnya karena Aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku akan memberinya ganjaran, sedang setiap kebajikan itu akan mendapat ganjaran sepuluh kali lipat.' (Hadits riwayat Bukhari dan Abu Daud).

Jadi, marilah kita berusaha agar kiranya pada kesempatan yang insya Allah segera akan kita temui ini kita dapat melaksanakan ibadah shiam dan ibadah lainnya pada siang dan malam harinya dengan sebaik mungkin.   

****                      

Jumat, 20 Juni 2014

Sudah Luruskah Orientasi Hidup Kita? (Dari Hidayatullah.com)

Sudah Luruskah Orientasi Hidup Kita?

 

Saat ini kebanyakan umat Islam telah mengalami penyimpangan orientasi hidup dari apa yang dicita-citakan generasi terdahulu. Umat Islam telah menjadikan harta sebagai  standar kebahagiaan Muslim. Cukup jelas buktinya dengan melihat kecenderungannya yang sangat tinggi pada dunia. Dengan berbagai alasan yang seakan-akan kebaikan, dia kejar dunia. “Kalau saya kaya, saya bisa beribadah dengan tenang dan bisa menunaikan ibadah haji sebagai rukun Islam. Saya bisa membahagiakan orangtua dan bisa banyak bersedekah,” begitu kira-kira kalimat khayalan yang kerap memenuhi benak kebanyakan umat Islam saat ini.

Padahal sudah banyak sekali contoh bahwa hal tersebut adalah amal angan-angan yang belum tentu dia lakukan pada saat kaya nanti. Cobalah simak kisah Tsa’labah bin Haathib yang bercita-cita ingin kaya lalu minta didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Di dalam pikirannya, “Ketika kaya nanti ingin lebih rajin beribadah.” Namun, ketika keinginan kaya itu menjadi kenyataan Tsa’labah bukanlah tambah taat, tapi justru lupa ibadah kepada Allah karena sibuk mengurusi kambing yang semakin banyak.

Zaman sekarang, kejadian ini juga banyak dijumpai dengan berbagai macam fakta yang berbeda tapi pada intinya sama yakni menjadikan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan. Sadar ataupun tidak banyak para orangtua dari kaum Muslimin yang mengarahkan anak-anaknya sejak kecil untu bercita-cita menjadi jadi pilot, dokter, guru,  dan lain sebagainya.

Menjadi pilot, dokter ataupun guru sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah kalau tidak ada niat karena Allah atau untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Aktifitas tersebut hanyalah aktifitas dunia belaka, tak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang non Muslim.

Kemuliaan Mukmin

Kemuliaan seorang Muslim dinilai dari takwanya (keterikatannya terhadap hukum syara’) bukan yang lain. Sehingga siapapun bisa mulia tanpa memandang kaya-miskin, tanpa memandang level profesi dan tanpa memandang nasab asalkan dia terikat dalam setiap aktifitasnya terhadap hukum syara’ (melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan). Si miskin dia bisa sabar dan taat dengan kemiskinannya, sedangkan si kaya dia bisa syukur dan taat dengan kekayaannya. Semuanya bernilai pahala di sisi Allah. Kadar ketaqwaannyalah yang membedakan di antara keduanya.

Sebanyak apapun prestasi yang diraih jika tidak berdasarkan iman, melanggar syara’ dan tujuannya salah, maka di sisi Allah tiada nilai. Setinggi apapun prestasi orang non Muslim, maka tiada nilai di sisi Allah. Setinggi apapun prestasi Muslim jika melanggar syara’ dan salah tujuan, maka juga tidak mempunyai nilai di sisi Allah.

Sehingga hari-hari kaum Muslimin senantiasa dikelilingi kemuliaan saat dia terikat dengan hukum syara’. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Dia makan tidak hanya sekadar makan, tapi untuk menguatkan ibadah, menguatkan shalat, belajar, membantu orangtua dan bekerja untuk menafkahi istri. Membeli baju, tidak untuk gaya-gayaan atau pamer karena sama sekali tidak ada nilai di sisi Allah, tapi untuk menutupi auratnya sehingga tiada kerugiaan dia bekerja dan membelanjakan hartanya karena semua demi tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Menuntut ilmu dalam rangka memenuhi perintah Allah adalah ketika dilakukan dengan penuh keikhlasan, mengharap ridha Allah, mensyukuri terhadap nikmat akal, mencari kebahagiaan di akhirat, menghidupkan agama, menghilangkan kebodohan, dan melestarikan Islam. Sehingga aktifitas menuntut ilmunya bernilai pahala di sisi Allah. Keluarnya keringat dan lelahnya  dinilai pahala di sisi Allah dan termasuk orang dimudahkan jalannya ke surga oleh Allah.

Boleh menuntut ilmu dengan tujuan untuk mendapatkan kedudukan di masyarakat yang dengannya digunakan dalam rangka amar makruf nahi munkar, menjalankan kebenaran dan menegakkan agama Allah. Begitupun juga orang bekerja, jika hanya untuk menumpuk-numpuk kekayaan tiada nilai di sisi Allah. Hanya mendapatkan rasa lelah dan tumpukan uang.

Di zaman tabi’in Khalifah Umar bin Abdul Aziz sibuk membukukan hadits demi menjaga dari kepentingan dari pemalsuan hadits. Semangat ini tidak akan diperoleh bagi yang tujuan hidupnya hanya berorientasi kepada dunia dan standar kebahagiaannya ketika mendapatkan kesenangan-kesenangan dunia.

Bisa dipastikan orang yang mempunyai tujuan dunia tersebut jika hidup di zaman para sahabat maka akan menjadi orang munafik yang takut untuk berjuang untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Dunia yakni harta, tahta, dan keluarga mereka tinggalkan ketika ada perintah hijrah dari Allah. Karena bagi mereka dunia diletakkan di tangan tidak sampai masuk ke hati.

Tentu saat ini, perjuangan untuk kemuliaan Islam bisa saja berbeda dengan generasi terdahulu. Karena kebanyakan negeri-negeri kaum Muslimin mengalami kemunduran berfikir yang sangat jauh dari Islam. Mereka diserang pemikirannya agar jauh dari Islam, bahkan kaum Muslimin sendiri tanpa sadar sudah menyerang agamanya sendiri. Mereka diserang pemikiran dengan sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kapitalisme. Sehingga tolak ukurnya, kesenangan dan kesuksesannya mendapatkan tumpukan materi tanpa peduli agama membolehkan atau melarangnya. Inilah yang terjadi juga pada kaum Muslimin dulu pada saat perang Uhud. Mereka tidak tunduk kepada perintah Rasulullah dan menginginkan dunia (harta) yakni rampasan perang.

Sepatutnya bagi umat Islam untuk mengokohkan keimanan dan menjadikan akhirat sebagai tujuan di atas segala-galanya. Dunia yang sementara jangan sampai menjadi penyakit dirinya. Sehingga apapun profesinya umat bisa melakukan perang pemikiran terhadap para musuh-musuh kaum Muslimin demi kemuliaan Islam dan kaum Muslimin.

Kesimpulannya, orang beriman yang berjuang (memiliki cita-cita) untuk kemuliaan Islam dan kaum Muslimin dalam kehidupannya di dunia, tapi tidak terikat dengan hukum syara’ melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya (takwa) dalam segala aktifitasnya serta cinta dunia, maka tak ubahnya hanya mengulang kegagalan-kegagalan pada perang Uhud di masa modern.

*/Herman Anas, alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura. Tulisan diambil dari Al-Qalam no 32/2013
Rep: Administrator

****
Editor: Cholis Akbar

Senin, 16 Juni 2014

Paradoks

Paradoks  

Hari Ahad subuh kemarin inilah pengajian kami di mesjid. Betapa kita, orang-orang yang mengaku beriman, sangat jomplang dalam persiapan akhirat dibandingkan menikmati dunia (menurut kita), padahal kita mendengar peringatan bahwa 'akhirat itu lebih utama dari dunia'. Ustadz memberikan contoh-contoh paradoks dalam kehidupan kebanyakan umat Islam seperti berikut:

Bangun malam dengan penuh semangat untuk menonton piala dunia, dan tahan berjam-jam memelototi layar kaca untuk sesuatu yang tidak ada manfaat nyata untuk diri. Sementara bangun untuk shalat malam atau bahkan untuk shalat subuh ketika dikumandangkan 'shalat lebih baik daripada tidur', bukan main susahnya.

Gembira dan tetap bersemangat ketika sesudah dua kali 45 menit pertandingan masih nol-nol dan ada perpanjangan waktu 2 x 15 menit. Makin geregetan untuk menonton. Sementara ketika khatib berkhutbah agak sedikit panjang di hari Jum'at, timbul gerutu seolah-olah khatib telah berlebih-lebihan.

Menyisihkan sepuluh ribu rupiah untuk sedekah di hari Jum'at bukan main susahnya. Membelanjakan lima belas ribu sampai tigapuluh ribu untuk sebungkus atau dua bungkus rokok sehari merasa sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja.

Membantu orang yang mendapat musibah (gempa, gunung meletus, kebakaran) panjang sekali berpikirnya. Ketika mampir di mall, melihat baju yang menarik, harganya di atas uang yang ada di dompet, tapi bisa dibeli dengan kartu kredit, maka tanpa ragu-ragu membelinya dengan kartu kredit alias berhutang dulu.

Menonton tv atau memelototi laptop berjam-jam terasa enteng saja. Membaca al Quran satu halaman sehari untuk 5 sampai sepuluh menit bukan main susahnya.

Ngobrol ngalur ngidul ditambah ghibah berjam-jam terasa mengasyikkan saja. Tapi hadir di majelis taklim lebih dari 45 menit, tiap sebentar melihat jam seolah-olah waktu pengajian itu lama sekali.

Dipanggil atasan di kantor datang dengan segera, sesopan mungkin, khawatir akan mendapat nilai tidak bagus dari sang atasan kalau tidak segera hadir. Dipanggil Allah melalui laungan azan untuk mendapatkan kemenangan dari Allah, terbiasa untuk acuh tak acuh saja. 

Masih banyak paradoks lain dalam kehidupan sehari-hari kita, baik yang kita sadari atau tidak kita sadari. Lalu kita bercita-cita juga untuk mendapat balasan akhirat yang baik. Untuk mendapatkan surga Allah. Apakah kita tidak berpikir?

****
                        

Rabu, 11 Juni 2014

Heran

Heran 

Politik, bagi para ahli dan pakar politik, menurut seorang kolumnis Malaysia (Hishamuddin Rais namanya) ujung-ujungnya adalah di penguasaan ekonomi. Orang mau terjun berpolitik, dan bahagia kalau berhasil memenangkan jabatan politik, karena dengan demikian nanti dia (atau mereka) lah yang akan mengatur perekonomian. Pengaturannya itu bisa dilakukan baik dengan cara halus maupun dengan cara kasar. Bisa untuk kepentingan organisasi politik alias partai, dan tentu saja juga bisa untuk kepentingan pribadi-pribadi dan kroni-kroni. Kalau dalam bahasa sederhana di negeri kita, UUD, ujung-ujungnya duit. Dan ini semakin kasat mata saja tampaknya. 

Kita terheran-heran melihat begitu berambisinya orang-orang tertentu untuk terjun ke dunia politik. Apakah untuk jadi anggota legislatif mulai dari tingkat kabupaten / kota sampai anggota DPR pusat. Ambisi yang didukung dengan kesanggupan berkorban, mengeluarkan biaya besar. Padahal sangat besar biayanya untuk berkampanye, untuk menjajakan diri agar dipilih orang. Dan yang lebih mengherankan lagi, sebahagian dari mereka sepertinya hanya bermodalkan nekad. Kalau kita tanyakan secara jujur apa yang akan mereka lakukan atau perjuangkan seandainya nanti terpilih jadi anggota dewan, banyak di antara mereka tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. 'Pokoknya saya akan berjuang untuk rakyat,' begitu katanya. Berjuang apa dan bagaimana caranya? kita tanya. Lalu dijawab, pokoknya kita lihat nanti sajalah.

Dan mereka yang ikut mendaftar ini kebanyakannya lagi adalah orang yang entah siapa-siapa dan tidak dikenal masyarakat banyak. Sebagai contoh. Dia calon dari daerah Bekasi Selatan, tapi tidak ada yang tahu apa kiprahnya selama ini. Tidak pula dia pernah mencoba memperkenalkan dirinya dengan baik, datang kepada calon pemilih, membawa rencana kerja yang akan dilaksanakannya. Paling-paling hanya fotonya (berukuran besar) saja yang terpampang di beberapa tempat. 

Tapi toh akhirnya pemilihan anggota legislatif itu selesai juga. Yang beruntung di antara mereka berhasil terpilih menjadi anggota dewan. Baik dari muka-muka lama ataupun dari muka-muka baru. Yang muka lamapun ada yang kita terheran-heran karena tidak pernah rasanya mendengar apa saja yang sudah diperjuangkannya selama lima tahun terakhir.  

Sekarang sedang ramainya persiapan pemilihan presiden. Ada dua pasangan calon resmi dan sedang bersiap-siap untuk dipilih tanggal 9 Juli 2014 mendatang. Kali ini yang mengherankan adalah fanatisme masing-masing pendukung. Fanatik dalam membela calonnya dan fanatik pula dalam memburuk-burukkan lawan (calonnya). Gejala fanatisme ini terlihat di jaringan-jaringan internet. Di mailing list suatu organisasi (misalnya saja IA-ITB) ada dua kelompok yang berseberangan ini dan saling 'jatuh menjatuhkan'. Begitu juga di facebook, di twitter. Bahkan melibatkan kelompok mantan petinggi militer yang ikut-ikutan terpolarisasi di dua kutub yang berlawanan. Hebat sekali. Sebuah gejala baru buah demokrasi. Mudah-mudahan saja gontok-gontokan ini tidak berlanjut di dunia nyata. 

Aku hanya ikut menumpang heran saja. Tentu saja aku akan memilih salah satu dari dua calon itu nantinya, tapi rasanya aku tidak ingin terlalu muluk-muluk dalam berharap. Hanya berharap pemilihan ini cepat berlalu dan mudah-mudahan dengan selamat. Aamiin.

****                        

Sabtu, 07 Juni 2014

Pilih Sesuai Dengan Kata Hati

Pilih Sesuai Dengan Kata Hati  

Semua tentu berhak memilih. Boleh memilih, siapa yang akan dipercayainya untuk menakhodai kapal besar berpenumpang seperempat milyar manusia ini. Pilihan yang mungkin tidak terlalu mudah karena..... ya, begitu adanya. Namun tetap harus diberi pilihan. Kemana kata hati lebih condong. Tentu sesudah ditelungkup ditelentangkan, dikaji masak-masak. Diperhitungkan dengan matang. Kalau mau bersungguh-sungguh betul, sangat dianjurkan shalat istikharah dahulu, meminta ketetapan hati dan petunjuk dari Allah Subhanahuwata'ala. Karena sebenarnya memang bukan urusan main-main yang sedang kita hadapi. Kita sedang mempertaruhkan buruk-baiknya pengaturan negeri ini lima tahun ke depan. Negeri berpenduduk sangat besar. Negeri yang apa boleh buat selama ini sepertinya sangat kentara kurang elok pengurusannya. Lho? Begitu kata sahibul hikayat. Buktinya, hutang negeri ini luar biasa besarnya. Sementara kehidupan kita, rakyat berderai ini, sepertinya tetap begitu-begitu saja.

Meskipun, kadang-kadang terlihat juga. Hasil keikutsertaan kita dalam pilih memilih ini tidaklah memberi pengaruh besar. Kalah atau menangpun beliau yang kita serumpuni, ternyata kemudian hasilnya untuk kemashlahatan kita dan orang banyak tidaklah terlalu kentara. Tidak signifikan kata yang berbahasa tinggi. 

Kita tentu tidak boleh berputus asa. Dan kali ini seyogianya kita lebih khusyuk berdoa. Memohon kepada Allah, Yang Maha Menentukan. Yang memberikan kekuasaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencabut kekuasaan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Meminta bersungguh-sungguh agar dihadirkan-Nya seorang pemimpin yang lebih baik kali ini. Yang akan membawa perubahan bagi negeri ini menjadi makmur dalam keridhaan-Nya. Agar Dia tetapkan pemimpin yang amanah untuk memimpin negeri ini. Yang adil dan peduli dengan kemashlahatan masyarakat banyak.

Hari memilih itu masih beberapa pekan ke depan. Silahkanlah kita bersiap-siap. Atau menimbang-nimbang bagi yang masih belum merasa mantap yang mana yang akan dipilih. Tapi tidak perlu pula rasanya kita saling melotot dengan orang di kiri-kanan. Dengan orang yang tidak sesuai pilihannya dengan kita. Biarlah masing-masing kita menetapkan pilihan yang sesuai dengan kata hati kita.   

Dan doa itu. Ya Allah, datangkanlah seorang pemimpin untuk kami, yang jujur dan amanah, yang adil dan berwibawa, yang taat kepada-Mu, yang akan menjadikan kami, penduduk negeri ini lebih dekat dengan keridhaan-Mu. Aamiiin.

****                                

Rabu, 04 Juni 2014

Kepada Siapa Lagi Kita Akan Berlindung?

Kepada Siapa Lagi Kita Akan Berlindung?  

Pernahkah kita tersentak dengan apa yang terjadi di sekitar kita? Ketika membaca berita di koran atau menonton televisi? Atau membuka-buka internet? Dengan kejahatan demi kejahatan? Dengan kemaksiatan demi kemaksiatan? Dengan kezhaliman demi kezhaliman? Pernahkah kita tersentak bahwa bahkan kanak-kanak kita berumur balita tidak luput dari ancaman kenistaan? Dinodai? Dirusak? Dilecehkan? Ketika mereka kita titipkan ke sekolah taman kanak-kanak. Atau ketika dia kita suruh belajar mengaji di TPA. Masya Allah. Bahwa anak-anak remaja sangat dini, baru sebelas dua belas tahun terancam melakukan atau diperlakukan secara maksiat? Berita seperti itu jadi bacaan kita sehari-hari. Jadi tontonan di tv atau kita temukan di internet. Terjadi di berbagai pelosok negeri ini. Tidak terkecuali di ranah Minang. Naudzubillah, tsumma naudzubillah. Sungguh mengerikan dan memuakkan.

Siapa yang akan disalahkan? Banyak yang bisa disalahkan. Yang terutama adalah setan yang terkutuk, yang sejak dari memperdaya Nabi Adam alaihis salam, kemudian menghasut Kabil bin Adam, tidak pernah berhenti menipu daya manusia. Dia juga yang menghasut saudara-saudara Nabi Yusuf alaihis salam untuk menzhalimi Yusuf kecil dengan melemparkannya ke dalam sumur. Setan yang selalu beryuwaswisufi shudurrinnas. Yang mengambil jin dan manusia untuk jadi sekutunya, dalam meracuni dan menjerumuskan anak cucu Nabi Adam. Sehingga di antara golongan yang terakhir ini mampu mengerjakan kekejian demi kekejian. Tidak ada rasa malu. Tidak ada rasa takut. 

Banyak yang bisa disalahkan. Termasuk produk-produk teknologi yang canggih-canggih sekarang ini. Gadget, pesawat selebar telapak tangan yang boleh digunakan mengakses apa saja. Pintu surga sekaligus pintu neraka ada di sana. Dan ini banyak menipu sebagian anak-anak muda. Benda canggih yang tentu saja tidak terlalu murah harganya tapi bertebaran di mana-mana. Titik selera, tapi dengan apa akan dijemba? Maka asysyaithannirrajiim melihat peluang ini. Jual saja dirimu, niscaya kau akan mendapatkan semua yang kau mau! Begitu ide cemerlang yang dibisikkannya di ulu hati anak cucu Nabi Adam yang imannya rapuh itu. Jangankan hanya sekedar gadget selebar telapak tangan, lebih dari itu bisa kau peroleh, lanjut si setan yang terkutuk. 

Banyak yang bisa disalahkan. Di antaranya adalah manusia-manusia serakah, penipu, loba dan tamak yang telah terlebih dahulu takluk kepada setan. Yang pandai meniti buih di atas derita serta kelemahan manusia lain. Yang pandai menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Semua itu adalah didikan setan yang mengharubirukan hawa nafsu anak-anak manusia. Dan semua itu ada di sekitar kita.

Lalu? Apa yang dapat kita perbuat? Sementara semua kejahilan itu bisa saja melintas persis di hadapan mata kita. Mungkin saja mengancam kita, atau anak kita, atau cucu kita, kemenakan kita? Bahkan mungkin saja ada yang sudah berhadapan langsung dengan salah satu dari kerabat dekat kita.

Maka kembalilah kepada Allah Yang Maha Pelindung. Hanya kepada-Nya kita dapat berharap serta memohon bantuan. Memohon perlindungan dari gangguan setan dan bala tentaranya. Baik dari golongan jin maupun manusia. Ingatkan diri kita, lalu anggota keluarga kita, anak kemenakan kita agar memelihara diri dari bujuk rayu setan tersebut. Salah satu caranya dengan berislam secara kaffah dan tidak mengikuti langkah-langkah setan. Karena setan itu nyata-nyata musuh yang akan menggiring kita kepada kelalaian dan murka Allah. Ingat bahwa dunia yang penuh tipu daya ini hanya sangat sementara untuk kita tinggali. Nanti kita akan kembali kepada Allah, dan kita akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan selama kita hidup yang sebentar itu. 

*****                                                         

Minggu, 01 Juni 2014

Bagaimana Hukumnya Bermaaf-maafan Sebelum Masuk Ramadhan?

Bagaimana Hukumnya Bermaaf-maafan Sebelum Masuk Ramadhan?   

Pada kesempatan taklim Ahad subuh pagi kemarin di mesjid kami, seorang jamaah bertanya tentang hukum bermaaf-maafan sebelum masuk Ramadhan. Hal ini menjadi diskusi menarik karena menurut si penanya, bukankah hal ini tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Lalu, sepertinya ini adalah sesuatu yang diada-adakan. Sementara sesuatu yang diada-adakan itu cenderung bid'ah. Dan kalau bid'ah maka dianya sesat, dan nanti diancam dengan (hukuman  di) neraka.

Ada dua hal yang menarik di sini. Seingatku, kebiasaan bermaaf-maafan sebelum masuk bulan Ramadhan ini memang merupakan sesuatu yang 'baru'. Dan aku mendapatkannya dari sebuah pengajian juga beberapa tahun yang lalu, berawal dari kebiasaan kita (umat Muslim Indonesia) mengucapkan selamat hari raya Aidil Fitri yang disertai dengan ungkapan 'Mohon Maaf Lahir dan Bathin'. Kenapa di hari raya itu kita bermaaf-maafan, sementara kita berharap dengan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan dengan bersungguh-sungguh niscaya kita kembali suci? Kembali fithrah? Kembali suci ini adalah dalam hubungan kita dengan Allah Ta'ala, sesudah kita melaksanakan perintah-Nya untuk berpuasa (atas dasar iman kepada Allah dan dilakukan dengan penuh kehati-hatian). Adapun hubungan sesama manusia, belum akan selesai sebelum kita juga saling mengikhlaskan dalam bermaaf-maafan. Lalu kalau demikian, bukankah lebih afdal jika bermaaf-maafan itu dilakukan sebelum mengerjakan ibadah Ramadhan. Kita bersihkan hati kita dalam hubungan dengan sesama manusia, lalu setelah itu kita berkonsentrasi untuk beribadah kepada Allah. Bukankah begitu lebih baik?

Iya. Tapi bermaaf-maafan kan bisa dilakukan kapan saja, dan tidak mesti menunggu waktu sebelum masuk bulan Ramadhan? Sebenarnya, inilah jawabannya untuk menghindar dari tuduhan mengada-adakan sesuatu. Kalau bermaaf-maafan boleh dilakukan kapan saja, berarti mengerjakan sebelum Ramadhan bukan sesuatu yang diada-adakan. Dia masih dalam koridor 'boleh' alias mubah. Jadi seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Dan tentu saja tidak perlu pula dipermasalahkan seandainya ada orang yang merasa tidak perlu melakukannya.  

Kami singgung juga kemarin itu tentang kebiasaan sementara orang untuk membayarkan zakat (maal) di bulan Ramadhan, karena ada hadits yang menganjurkan agar kita banyak-banyak bersedekah di bulan itu. Tidak perlu pula dipertanyakan, apakah di jaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat juga membayarkan zakat di bulan Ramadan. Membayar zakat itu, apabila sudah cukup nisabnya dan sudah sampai waktunya wajib dilaksanakan. Lalu menunda (atau mengawalkan) membayarnya sampai masuk bulan Ramadhan mudah-mudahan tidak melanggar apa-apa. Yang jelas ibadah itu tetap dilaksanakan. Wallahu a'lam....

****