Sabtu, 13 April 2013

Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Amar Ma'ruf Nahi Munkar 

Ada sebuah diskusi kecil dengan ustadz, ketika kami mengaji di tengah hujan lebat ba'da asar hari Sabtu sore pekan yang lalu. Tentang ma'na kata-kata ma'ruf dan munkar. Seperti berikut ini keterangan yang beliau berikan;

Ma'ruf artinya adalah 'yang dikenal'. Maksudnya, sesuatu yang dikenal nilai kebajikannya oleh semua orang yang berakal sehat. Menghormati orang tua, berbuat sopan santun kepada sesama manusia, suka membantu orang susah, memberi dengan ikhlas dan hal-hal lain sebangsanya adalah di antara perbuatan baik yang dikenal oleh siapa saja. Tidak ada orang yang berakal sehat akan menentangnya dan mengatakan bahwa prilaku seperti itu sebagai perbuatan tercela. 

Kebalikannya, mungkar berarti sesuatu 'yang ditolak'. Sesuatu perbuatan yang semua orang 'baik-baik' memahaminya sebagai kejahatan dan tidak ada yang menyukainya. Misalnya  membunuh manusia tanpa alasan, mencuri, menyakiti hati orang lain (apa lagi orang tua sendiri), berbuat onar, melakukan perbuatan keji dan sebagainya. Semua itu adalah perbuatan mungkar.

Islam menyuruh agar penganutnya melakukan perbuatan baik-baik. Kebaikan universal, yang dikenal semua orang-orang berakal. Hal itu kita kenal sebagai amar ma'ruf. Sebagai perintah berbuat baik. Berbuat baik kepada semua makhluk. Termasuk kepada hewan sekalipun. Termasuk memelihara lingkungan dari kerusakan.  

Perintah untuk menegakkan kebajikan itu harus sejalan dengan larangan mengerjakan perbuatan 'yang ditolak' oleh masyarakat beradab. Dengan nahi mungkar.  Kalau kita melihat kemungkaran maka hendaklah dicegah. Sabda Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa melihat kemungkaran hendaklah dia menghalanginya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup dengan tangannya hendaklah dicegahnya dengan lisannya. Kalau tidak sanggup juga dengan lisan hendaklah dicegahnya dengan hatinya, berupa doa. Namun yang terakhir ini adalah yang selemah-lemahnya iman.  

Ada pemahaman baru yang aku dengar dari diskusi ini. Yaitu pendapat sang ustadz bahwa mencegah dengan tangan maksudnya adalah dengan kekuasaan. Artinya, cara ini hanya dapat dilakukan oleh yang memegang kekuasaan alias pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya mencegah kemungkaran itu dengan kekuasaannya. Ketika pemerintah lupa atau lalai, tugas kita sebagai rakyat biasa untuk mengingatkan dengan lisan. Memberitahukan dan mengingatkan tentang kemungkaran itu kepada pemerintah supaya sang pemerintah mencegahnya. Seandainya pemerintah berbalik memusuhi kita, pada waktu itu ikhtiar yang tertinggal adalah dengan doa. 

Aku tidak seratus persen yakin dengan pemahaman baru ini karena nash dari hadits Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam di atas tidak merincinya seperti itu melainkan menjelaskan dengan barangsiapa. Sangat umum sifatnya tanpa dibatasi antara penguasa dengan rakyat banyak.   

Wallahu a'lam...

*****        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar