Selasa, 30 September 2014

Perdagangan Hewan Kurban

Perdagangan Hewan Kurban  

Berdagang, berjual beli atas dasar saling ikhlas antara penjual dan pembeli adalah perbuatan yang diizinkan Allah. Menurut ajaran Islam perdagangan harus dilakukan secara jujur dan amanah. Penjual tidak boleh menutup-nutupi kekurangan mutu barang dagangannya. Seandainya ada cacad atau kekurangan barang tersebut, harus dijelaskan kepada si pembeli.

Tujuan orang berdagang tentulah untuk mendapatkan untung. Islam menganjurkan agar perdagangan itu dilakukan dengan amanah. Menjual barang yang baik mutunya dengan mengambil keuntungan yang bersesuaian dengan harga pasaran. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang pedagang memintas pembelian barang dagangan di jalan menuju pasar. Seandainya ada orang menarik kambingnya untuk dijual di pasar, sebelum dia sampai di pasar, lalu ada pedagang yang memintas untuk membeli kambing tersebut, maka hal ini yang dilarang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena pembelian seperti itu tidak amanah. Tidak adil. Orang yang membawa kambing itu belum tahu harga kambing yang berlaku di tengah pasar.

Utsman bin Affan, khalifah Rasulullah yang ketiga adalah seorang pedagang yang sukses. Dan beliau juga adalah seorang yang sangat terkenal kedermawanannya. Menurut riwayat yang sahih, suatu ketika kafilah dagangan Utsman bin 'Affan yang menggunakan beratus-ratus ekor unta yang sarat dengan barang sampai di Madinah. Pedagang lokal orang Yahudi menawar harga barang-barang tersebut dan bersedia membayar dengan keuntungan dua kali lipat. Utsman menolak. Orang Yahudi itu menaikkan tawarannya bahkan akhirnya sampai 10 kali lipat. Utsman tetap menolak. Kalau engkau mau juga, lebihkanlah dari 700 kali lipat baru aku jual, kata beliau. Orang Yahudi itu melongo (dan mungkin juga mencibir), mana ada orang yang akan mau memberi keuntungan seperti itu. Muatan unta yang beratus-ratus itu oleh Utsman di sedekahkan untuk kepentingan umat muslim di Madinah. Beliau lebih mengharapkan keuntungan perdagangan dengan Allah.

Di saat orang ingin membeli kambing untuk kurban seperti saat sekarang, harganya ternyata sudah dinaikkan pedagang dengan 'suka-suka'. Kambing kecil dengan berat sekitar dua puluh kilo ditawarkan dengan harga dua juta rupiah. Sekitar dua kali lipat dari harga biasanya. Yang berjualan kebanyakan adalah pedagang dadakan, membuat kandang di pinggir jalan-jalan besar. Bagaimana aku tahu bahwa harga itu sudah dinaikkan dua kali lipat? Beberapa pekan yang lalu, untuk aqiqah cucu kelima, kami membeli kambing dan sekaligus minta tolong dimasakkan (dibuat sate dan gulai). Kambing ukurang sedang dengan berat sekitar 25 kilo, harganya hanya Rp 1,150,000. Jadi Rp 1,350,000.- ketika sudah jadi sate (400 tusuk) dan gulai dan diantarkan ke rumah. Kambing berukuran sama sekarang tidak akan kurang harganya dari dua setengah juta rupiah. 

Bagaimana hukumnya dengan pedagang yang menaikkan harga agak semena-mena ini? Sah-sah saja dari segi hukum perdagangan. Bukankah ketika transaksi terjadi pasti dalam keadaan sama-sama ikhlas antara penjual dan pembeli. Meski terasa agak kurang nyaman ketika kita tahu, bahwa beberapa pekan sebelum ini harganya hanya separonya. Yang lebih penting lagi adalah keikhlasan kita untuk berkurban. Allah Yang Maha Mengetahui tentu  akan menilai pengorbanan kita dan kepada Allah kita berharap ridha dan balasan-Nya.

****
                              

Senin, 29 September 2014

Kasihannya Kerusakan Mental Sebahagian Masyarakat Kita

Kasihannya Kerusakan Mental Sebahagian Masyarakat Kita 

Aku dan istri menonton penggalan berita di tv, tentang usaha pemerintah beberapa kota di Amrik sana, menyediakan fasilitas air minum (fountain tap) di tempat-tempat umum dalam rangka mengurangi polusi limbah plastik kemasan air mineral. Dalam cuplikan berita yang tertayang beberapa puluh detik itu terlihat kegembiraan masyarakat menikmati fasilitas tersebut.

'Coba kalau di negeri kita disediakan sarana yang serupa.......,' celetuk istriku. 'Dijamin dalam beberapa hari semua bagian alat itu akan hilang tak berbekas.' katanya,

Memang seperti itulah kenyataannya. Sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu, di banyak tempat pemerintah menyediakan telepon umum baik yang menggunakan koin maupun yang menggunakan kartu khusus. Selalu saja ada tangan jahil yang merusak fasilitas yang sangat bermanfaat untuk orang banyak itu. Bagian-bagian dari pesawat telepon itu dipreteli dan dirusak. 

Di belokan jalan raya, entah di Lembah Anai antara Padang - Bukit Tinggi, atau di Kelok 44 jalan ke Maninjau, atau di jalan ke Pekan Baru di pasang cermin besar terbuat dari logam khusus untuk jadi panduan pengemudi melihat keberadaan kendaraan dari arah berlawanan di seberang belokan. Cermin yang diameternya sekitar 90 sentimeter, ditanam dengan tiang yang kokoh dan harganya pasti tidak murah. Apa yang terjadi? Banyak dari cermin itu dirusak dengan melempar atau menembaknya dengan ketapel sehingga kehilangan fungsinya. Permukaan cermin itu jadi bopeng tidak karuan. Kita tidak habis pikir entah apa maksud tindakan orang yang melakukan pengrusakan itu. Padahal dia pasti tidak dirugikan sedikitpun dari keberadaan cermin tersebut. Sementara bagi pengedara alat itu sangat besar manfaatnya.

Pernahkah anda mendengar bahwa baut atau mor dari sebuah jembatan dipreteli orang? Sulit dipercaya tapi begitu kenyataannya. Katakanlah bahwa baut dan mor itu bisa dijual sebagai besi bekas. Tapi akibat yang mungkin terjadi, jembatan jadi rusak, sehingga mengancam keselamatan orang lain tidak dipikirkannya

Suatu hari ada seorang tukang pulung bekerja keras membongkar sepotong besi penyangga tutup kotak sampah di depan rumah. Kebetulan kotak sampah itu terletak agak jauh dari pintu pagar rumahku. Aku menegornya untuk menghentikan perbuatannya. Dia tidak perduli. Aku mengatakan; 'Ini tong sampah saya, kenapa kamu rusak?' Baru dia berhenti itupun dengan mata mendelik seolah-olah protes; 'Masak ini tong sampah sampeyan?' 

Dari beberapa contoh di atas terlihat bahwa ini adalah karena masalah mental. Orang-orang yang melakukan tindakan seperti contoh di atas mempunyai kelainan dan kecenderungan merusak. Dia tidak perduli bahwa tindakannya itu merugikan orang lain. 

Entah bagaimana caranya memperbaiki mental orang-orang seperti itu.

****                         

Kunyit Diperkirakan Dapat Membantu Memperbaiki Otak (dari Hidayatullah.com)

Kunyit Diperkirakan Dapat Membantu Memperbaiki Otak

Zat yang ada dalam kunyit atau kunir dapat mendorong pertumbuhan sel-sel saraf, yang diduga merupakan bagian dari perangkat perbaikan otak.
Kunyit Diperkirakan Dapat Membantu Memperbaiki Otak

REMPAH kunyit yang biasa dipakai untuk meracik bumbu kari atau nasi kuning, mungkin dapat membantu otak untuk memperbaiki dirinya sendiri, menurut laporan yang dimuat di jurnal Stem Cell Research and Therapy.

Studi yang dilakukan di Jerman ini menyebutkan, zat yang ada dalam kunyit atau kunir dapat mendorong pertumbuhan sel-sel saraf, yang diduga merupakan bagian dari perangkat perbaikan otak. Ilmuwan mengatakan, penelitian ini, yang berdasarkan pada riset menggunakan tikus, mungkin dapat membuka jalan untuk obat-obatan untuk stroke dan penyakit Alzheimer di masa mendatang.

Namun, menurut mereka, uji coba masih banyak perlu diperlukan untuk mengetahui apakah hal ini berlaku pada manusia.

Suntikan rempah

Para peneliti dari Institute of Neuroscience and Medicine di Julich, Jerman, dilaporkan BBC belum lama ini, mempelajari efek aromatic-turmerone – zat yang ditemukan ada dalam kunyit. Tikus disuntik dengan zat ini dan kemudian otak mereka dipindai. Bagian tertentu otak, yang diketahui terlibat dalam pertumbuhan sel saraf, terlihat lebih aktif setelah dimasuki aromatic-turmerone.

Peneliti mengatakan, zat ini mendorong pengembangbiakan sel otak. Dalam satu percobaan yang berbeda, peneliti memandikan sel saraf hewan-hewan pengerat dalam konsentrat berbeda yang mengandung ekstrak aromatic-tumerone.

Sel saraf memiliki kemampuan berubah menjadi sel otak jenis berbeda dan para ilmuwan menyatakan sel-sel ini memiliki peran untuk melakukan perbaikan jika otak mengalami kerusakan atau terkena penyakit.

Dr Maria Adele Rueger, yang menjadi bagian tim penelitian, mengatakan, “Pada manusia dan hewan yang lebih berkembang kemampuan mereka tampaknya tidak memadai untuk memperbaiki otak, tapi pada ikan dan hewan yang lebih kecil terlihat bekerja dengan baik.”

Rep: Insan Kamil

Editor: Syaiful Irwan
 
****

Rabu, 24 September 2014

Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin

Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin

[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 19/24-25, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mendapat pertanyaan sebagai berikut, “Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”

Syaikh rahimahullah menjawab:

“Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.

Misalnya di Makkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.

Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Makkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.

Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya” (HR Bukhari dan Muslim).

Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.

Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)”.

[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H]

***

Demikian penjelasan dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Intinya, kita tetap berpuasa Ramadhan, berhari raya dan berpuasa Arofah sesuai dengan penetapan hilal yang ada di negeri kita, walaupun nantinya berbeda dengan puasa, hari raya atau wukuf arafah di Saudi Arabia.

Kamis, 18 September 2014

Sepuluh Tahun Aku Membenci Suamiku (Dari Islampos)

‘Sepuluh Tahun Aku Membenci Suamiku’


KISAH di bawah ini beredar di berbagai forum, fanpage facebook, dan blog. Entah siapa yang menuliskannya, namun satu hal yang pasti, kita bisa memetik pelajaran sangat banyak darinya. Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
_________________________________________________________________________________

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya .

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas.

Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat, kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon.

Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi.

Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “Selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak Armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya.

Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama.

Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat.

Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu.

Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana.

Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas.

Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya.

Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya , tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikanny a atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

****

Sabtu, 06 September 2014

Zulqaidah

Zulqaidah  

Bulan ke sebelas dalam penanggalan Hijriyah. Satu di antara empat bulan-bulan haram, bulan yang diistimewakan Allah. Kebetulan, dengan ketetapan Allah pada bulan itulah aku dilahirkan, dihadirkan ke dunia fana ini. 65 tahun yang lalu, di tahun 1370 Hijriyah.

65 tahun adalah usia yang sudah cukup. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan bahwa usia umat beliau berkisar antara 60 dan 70 tahun. Aku sudah berada dalam kisaran waktu itu. Artinya harus bersiap-siaplah.   

Bersiap-siap ini tentu saja juga dengan memohon pertolongan Allah Ta'ala. Memohon dengan berdoa kepada-Nya. 'Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'da idz-hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rahmah, innaka antal wahhab.' (Ya Rabb kami, janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.)  

'Rabbanaa faghfir lanaa dzunuubanaa wa kaffir ‘annaa sayyiatinaa wa tawaffanaa ma’al abrar.'  (Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.) 

Dan berusaha sebaik-baiknya untuk senantiasa mematuhi perintah Allah Ta'ala. Beribadah semata-mata untuk-Nya. Dan menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. 

65 tahun memang usia yang sudah katambin. Yang sudah harus diwaspadai karena hari sudah sore. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Sangatlah perlu disadari, beratnya tanggung jawab, yang sebenar-benar tanggung jawab, sesudah perjalanan di dunia fana ini nanti berakhir.

Kepada Allah aku berserah diri, dan kepada-Nya aku memohon pertolongan dan perlindungan. Mudah-mudahan Allah menetapkan agar akhir hidupku nanti dalam keadaan husnul khaatimah. Aamiin...  

**** 

Senin, 01 September 2014

Kisah Wanita Misionaris Menangis Mendengar Bacaan Quran Sayyid Qutb (Dari Shoutussalam.com)

Kisah Wanita Misionaris Menangis Mendengar Bacaan Quran Sayyid Qutb

oleh Muhammad Pizaro NT

Shoutussalam.com  

Dalam jiwa penuh dengan kekuatan Iman, maka pergilah Sayyid Quthb ke Amerika. Dalam perjalanan itu, ia bertanya-tanya kepada dirinya: Apakah saya pergi ke Amerika lalu disana akan berperilaku sebagaimana perilaku para utusan lainnya yang hanya puas dan merasa cukup dengan makan dan tidur saja? Ataukah saya harus datang membawa perilaku yang berbeda?

Apakah saya akan tetap menunjukkan keIslaman saya dan berpegang pada ajaran-ajarannya dan mentaati semua aturannya dalam kehidupan gemerlap untuk memuaskan hawa nafsu serta semua perbuatan haram? Segudang pertanyaan itu betul-betul menantang keimanannya. Namun, Sayyid sudah tahu apa yang harus ia lakukan setiba di Amerika.

Pada akhir tahun 1948, akhirnya Sayyid Quthb meninggalkan Iskandariah, Mesir, menuju Amerika menompang kapal api dengan melintasi laut tengah dan mengarungi samudera Atlantik. Diatas kapal api itulah banyak persitiwa yang terjadi dan membekas dalam hatinya. Bahkan kenangan dalam perjalanan menuju Amerika itu banyak dituangkan saat ia menulis Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an. Salah satu kisahnya saat beliau melihat seorang misionaris Kristen berupaya mengkristenkan orang-orang Islam yang menumpang kapal tersebut. Kejadian itu berlangsung tepat ketika waktu bergulir menuju Shalat Jum’at.

Sayyid Quthb melihat sang misionaris tidak ubahnya pendeta-pendeta pada umumnya yang menawarkan ajaran agama Kristen yang sangat kacau. Sontak saja, hal ini membangkitkan rasa dan semangat keimanan Sayyid Quthb untuk menjaga akidah saudara semuslimnya. Tidak butuh menunggu waktu lama, beliau segera menghubungi kapten kapal untuk meminta izin mendirikan Sholat Jum’at di atas kapal. Semua orang Islam, berikut awak kapal pun kemudian mendatangi panggilan Shalat Jum’at yang diinisiasikan Sayyid Quthb. Ia pun akhirnya bertindak sebagai khotib. Dan usut punya usut Sayyid Quthb ternyata tengah melakukan perubahan besar dalam kapal tersebut.

Rupanya, shalat Jum’at yang ia pimpin adalah shalat Jum’at pertama yang didirikan di kapal tersebut. Mengenai hal ini, Sayyid Quthb sempat menulisnya dalam Tafsir Fii Dzihilalil Qur’an saat membahas Surat Yunus.

“Nahkoda kapal (seorang Inggris) memberikan kemudahan kepada kami untuk menunaikan shalat. Ia memberikan kelonggaran kepada para awak kapal, para juru masak, dan para pelayannya, yang kesemuanya beragama Islam untuk menunaikan shalat Jum’at bersama kami asalkan tidak ada tugas saat waktu itu. Mereka sangat bergembira, karena ini merupakan kali pertama dilaksanakannya shalat Jum’at di kapal tersebut.”

Sayyid bersama para jama’ah kemudian menjadi santapan para penumpang asing. Gerakan Sholat Sayyid dan kaum muslimin lainnya terasa asing bagi mereka namun memendam kelembutan ibadah yang begitu syahdu. Hingga sesaat setelah shalat Juma’at dilaksanakan, banyak diantara orang asing mendatangi Sayyid dan para jama’ah seraya mengucapkan selamat dan sukses atas ibadah Jum’at yang baru saja dilaksanakan. Sayyid Quthb pun menulis kenangan itu dalam Kitab Fi Dzhilalil Qur’annya,

“Saya bertindak sebagai Khatib dan imam shalat Jum’at itu. Para penumpang yang sebagian besarnya orang asing itu duduk-duduk berkelompok-kelompok menyaksikan kami shalat. Setelah menunaikan shalat banyak dari mereka, yang datang kepada kami untuk mengucapkan selamat atas kesuksesan kami melaksanakan tugas suci. Dan ini merupakan puncak pengetahuan mereka tentang shalat kami.”

Salah satu orang yang mendatangi jema’ah Sayyid Quthb adalah seorang wanita beragama Nashrani berkebangsaan Yugoslavia. Wanita itu sendiri adalah orang melarikan diri dari tekanan dan ancaman komunis Tito. Wanita itu mengaku takjub atas kesyahduan dan ketertiban Shalat Jum’at yang didirikan Sayyid Quthb dan kaum muslimin. Air matanya pun tak kuasa untuk dibendung. Ia menangis mengetahui betapa nilai-nilai rabbani yang dilantunkan Sayyid Quthb tidak mampu menahan perasaannya.

Wanita itu pun begitu heran. Ia bertanya-tanya alunan musik apa yang baru saja dibacakan Sayyid Quthb. Irama itu pun tidak pernah dikenalnya selama ini. Ia melihat sang imam (yakni Sayyid Quthb) membacakan kalimat-kalimat berlainan namun penuh dengan bahasa dan irama. Menurutnya hal itu tidak pernah ia dengar dalam agamanya selama ini. Akhirnya wanita itu pun kaget saat mengetahui bahwa bahasa yang dilantunkan Sayyid Quthb dalam Shalat Jum’at adalah ayat-ayat Al Qur’anul Karim, sebuah kitab suci mulia bagi umat muslim.

Inilah yang membuat Sayyid Quthb semakin memahami bagaimana kekuatan redaksi di dalam Al Qur’an begitu mempesona. Tidak hanya bagi umat muslim, juga bagi non musim. Karena ucapan takjub itu sendiri keluar dari mulut seorang wanita yang belum pernah memahami satu huruf pun di dalam Al Qur’an. Tentang kejadian itu, Sayyid Quthb menulis dalam Kitab Fii Dzhilalil Qur’an,

“Terjadinya peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya, yang dialami banyak orang menunjukkan bahwa di dalam Al Qur’an ini terdapat rahasia lain yang ditangkap oleh sebagian hati manusia, hanya semata-mata ia mendengar Al Qur’an dibaca. Boleh jadi keimanan wanita kepada agamanya dan pelariannya dari negeri komunis itu telah menjadikan perasaannya begitu sensitif terhadap kalimat-kalimat Allah secara mengaggumkan seperti ini.”

Maka itu Sayyid Quthb, merasa perlu untuk memperbincangkan Al Qur’an dengan kekuatannya, yang tersembunyi dan mengagumkan itu. Sebelum membicarakan segi-segi pengetahuan yang dapat diketahui lebih banyak, daripada orang lain oleh orang-orang yang mempelajari seni pengungkapan dan orang-orang yang berusaha memikirkan dan merenungkannya.

Menurut Sayyid Quthb penyampaian Al Qur’an memiliki keistemewaan karena yang ditunjukinya lebih luas, pengungkapannya lebih lembut, indah, dan lebih hidup. Selain itu menurut Sayyid Quthb, Al Qur’an pun memiliki metode penjelasan yang diluar kemampuan jangkauan manusia. Seperti bagaimana Al Qur’an menyampaikan metodenya dalam beberapa ayat di dalam surat Yunus.

“ dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Surat Yunus, 90)

Menurut Sayyid Quthb, sampai disini kisah ini diceritakan, kemudian dikomentari secara langsung, dengan firman yang diarahkan kepada pemandangan yang dihadapi sekarang,
“ Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Surat Yunus 91-92)

Kemudian disusul lagi dengan membeberkan pandangan yang terus terjadi hingga sekarang ini, (bahkan pada masa-masa selanjutnya),

“ dan sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di tempat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Surat Yunus 93)

Maka benarlah kata Sayyid Quthb bahwa redaksi Al Qur’an sangat berbeda dengan redaksi ciptaan manusia. Redaksi atau susunan Al Qur’an mempunyai kekuatan yang hebat terhadap jiwa, dimana redaksi ciptaan manusia tidak pernah bisa memilikinya. Dengan hanya membacanya, maka kadang-kadang dapat menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang bahasa Arab. Ya termasuk wanita Yugoslavia itu, yang menangis mendengar bacaan Al Qur’an. (last/ermus)

****