Sabtu, 30 Maret 2013

Bebek Slamet

Bebek Slamet  

Pertama kali aku mencicipi bebek Slamet ini sekitar dua tahun yang lalu di Jogyakarta. Bebek muda digoreng kering dihidangkan dengan lalap yang di antaranya ada rebusan daun pepaya. Satu-satunya yang agak kurang berkenan dari rangkaian sajian itu adalah sambel koreknya yang 'alllahu rabbi' pedasnya, karena sepertinya seratus peratus cabe rawit. Untuk yang satu ini aku menyerah.

Bebek muda yang digoreng kering itu memang lumayan gurih. Tidak ada amis-amisnya seperti kebiasaan daging bebek kalau salah penanganannya. Kami sekeluarga, termasuk menantu dan cucu-cucu menyukainya. Ternyata rumah makan Bebek Slamet sudah merambah Jakarta. Kami beberapa kali mengunjungi yang di Jatiwaringin. Bahkan pernah datang ke sana sekitar jam setengah sembilam malam, ternyata sudah kehabisan. 

Kemarin siang setelah meraun-raun di Balikpapan, termasuk ke kilo sepuluh mengunjungi pesantren Al Mujahiddin (sayang tidak bertemu dengan ustadz Rusdiman yang sedang pergi umrah), lalu diteruskan ke Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup di KM 23 arah ke Samarinda. Di sini dipelihara beruang madu  ex sitaan dari orang-orang yang memelihara hewan tersebut dalam kandang. Kasihan juga, bahwa hewan yang dirusak habitatnya itu dipelihara sesudah dirusak fisiknya seperti dipotong kuku dan taringnya secara permanen oleh pemelihara perorangan. Lalu pemerintah daerah menyitanya dan memeliharanya di dalam taman tersebut. 

Dari taman KWPLH kami kembali ke Balikpapan. Shalat zuhur (terlambat, sudah jam satu lewat) di mesjid Istiqamah. Mesjid yang semakin rapi dan banyak kesibukannya. Bertemu dengan seorang aktifis Yayasan Ar Rahman yang sudah lupa namanya.   

Setelah itu barulah kami menuju restoran Bebek Slamet di jalan Puspoyudho. Sebuah restoran yang lebih apik dari yang pernah kami kunjungi di Jogya maupun di Jakarta, karena yang ini ber-ac dengan meja kursi yang lebih baik. Sedang ramai pengunjung pula. Berarti bisnis mereka di Balikpapan ini cukup sukses. Rasa bebek gorengnya standar, artinya sama seperti yang pernah kami makan sebelumnya. Termasuk pedes sambel korek yang bersangatan itu, disertai kehadiran lalap rebusan daun pepaya. Kemampuan mempertahankan rasa ini memang merupakan syarat kalau usaha ini mau dibuka di banyak tempat. Kecuali Hamizan yang sepertinya masuk angin atau belum puas tidur di pangkuan, kami menikmati makan siang kemarin itu. 

Tadi malam kami dijamu oleh inyiak Ben (adikku yang paling bungsu) di rumahnya dengan hidangan bebek hijau Koto Gadang, gulai ayam nenas muda, burung dara goreng balado. Semua adalah masakannya berdua dengan istrinya, nenek Yayuk. Kami cepak cepong menikmatinya, sampai terperangah karena kenyang berat.  

*****

                        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar