Rabu, 10 Februari 2010

Cuka Apel

Cuka Apel

Seorang teman menganjurkan saya untuk mencoba cuka apel sebagai obat penawar asam urat. Sebuah tawaran yang perlu dipertimbangkan karena sejarah asam urat di tubuh saya sudah terhitung lama, sejak tahun 1986. Dan sudah semakin tinggi kadar asam uratnya. Bermacam-macam obat dan cara pengobatan sudah saya coba. Ada yang (pernah) manjur, yang setengah manjur, yang menimbulkan alergi.

Bertahun-tahun saya cukup aman dengan memakai pil herbal buatan Cina. Sumalin namanya. Sampai suatu saat obat itu tidak lagi manjur. Pernah pula bertahun-tahun saya memakan beberapa lembar daun sambung nyawa setiap hari, aman dalam arti kata tidak pernah diganggu oleh asam urat meski menu makan hampir tidak dibatasi. Daun 'sakti' itupun berakhir keampuhannya sesudah enam tahun. Akhirnya kembali ke dokter. Nah, disinilah timbul masalah, karena ternyata obat dokter yang nama dagangnya zyluric, menimbulkan alergi sariawan berat bagi saya.

Terpaksalah berdiet. Mengenali dan memilih makanan yang boleh dan yang tidak boleh. Terakhir sejak beberapa bulan terakhir mengintensifkan minum jus sirsak. Ada pengaruhnya (manfaat dan kebaikannya) meski tidak spektakuler sekali. Lalu datang anjuran mencoba jus apel tadi itu.

Saya mencarinya di toserba. Mematut-matut sebuat botol bertulisan Korea dengan keterangan berbahasa Inggeris. Sudah dimasukkan ke keranjang belanjaan. Tapi tiba-tiba saya ingin menelitinya lagi, apa saja kandungan sang cuka apel tersebut. Masya Allah...... Alkohol 7.5%. Ya bubarlah. Dikembalikan saja ke raknya.

Saya masih bertanya-tanya apakah semua cuka apel mengandung alkohol.....


***

Rabu, 03 Februari 2010

Pulang Kampung Lagi (9)

(9)

Aku ternyata sudah sangat mengantuk. Begitu serah terima stir aku hanya bertahan beberapa menit dan setelah itu segera tertidur. Terbangun waktu kami sudah sampai di Rumah Makan Begadang. Mungkin aku sempat tertidur kira-kira setengah jam. Hari menjelang jam dua pagi. Dan perut memang sedang lapar-laparnya. Tidak ada pengunjung lain selain kami waktu itu. Tapi pegawai rumah makan itu masih segar-segar saja. Mungkin mereka memang yang bertugas khusus malam hari. Kamipun makan di antara kantuk dan lapar. Lauknya sudah agak terbatas tapi masih adalah. Makan subuh itu diiringi dengan secangkir kopi ginseng.

Sesudah makan kami lanjutkan lagi perjalanan menuju Bakauheni. Melalui dalam kota Bandar Lampung, kota kembar Tanjung Karang dan Teluk Betung. Sepi pagi itu. Ya iyalah, sudah jam tiga subuh. Aku kembali terkantuk-kantuk dan tertidur ayam. Jam empat kami sampai di pelabuhan. Persis saat kendaraan-kendaraan sedang naik ke atas feri. Tidak terlalu lama kamipun dapat giliran untuk naik feri. Aku melihat-lihat ke luar. Di lantai tempat mobil kami itu tidak ada kamar kecil, tidak ada air. Kalau mau ke mushala harus naik ke tingkat atas melalui tangga besi. Aku tidak yakin istri-istri itu akan sanggup naik tangga dalam kondisi kelelahan seperti itu. Jam empat lebih seperempat adalah waktu subuh. Akhirnya aku mengajak shalat di mobil saja. Kami bertayamum dan shalat subuh berjamaah di dalam mobil.

Sudah jam setengah delapan waktu feri itu sampai di pelabuhan Merak. Kami segera keluar dari perut feri. Menuju ke pompa bensin terdekat. Untuk mengisi bensin dan untuk ke kamar kecil. Suami adik ipar menyerahkan stir kembali kepadaku. Kami melaju di jalan tol Merak - Jakarta. Jalan yang ternyata banyak perbaikan pula. Sebagian jalur sedang mengalami operasi gali lobang tutup lobang. Padahal berapa tahun benarlah baru umur jalan tol ini. Ternyata kualitasnya sama saja. Belum bisa dibandingkan dengan jalan tol di negeri orang.

Alhamdulillah, jam sepuluh kami sampai di Jatibening dengan selamat.


*****